Helena menghela napas panjang, ia berdiri ditengah-tengah antara Mateo dan Ezra. "Mateo, dari kemarin juga Ezra dengan Mamah. Dia gak kemana-mana!"Ezra memicingkan bibirnya, mendapatkan pembelaan dari sang istri. membuat Mateo mendecih, karena tahu kebusukan sahabatnya yang melakukan kejahatan dengan cukup cerdik."Cukup, Zra. beri aku ketenangan dengan Aca. kamu bukannya membantu kami, nyatanya malah mempersulit keadaan!" Mateo mendengus kesal, ia tatap netra Ayah tirinya dengan tajam.Helena yang tak mungkin membiarkan keduanya berkelahi, mendorong tubuh Mateo untuk masuk ke kamar. Ezra yang semakin puas melihat emosi Mateo yang membeludak karena membanting pintunya kencang, ia tertawa terbahak-bahak, membuat Helena menggeleng keheranan. "Apaan, sih. gak lucu, tau!""Bagiku lucu. Kenapa selalu aku yang disalahkan jika Mateo dan Aca mendapatkan kesusahan? Masih banyak ribuan orang di luar yang pantas di salahkan. Contohnya kamu." Helena terbelalak, mendapati Ezra yang menuduhnya sam
Aca hanya bisa melamun duduk bersila di atas ranjang. Ruangan bercat putih itu menjadi saksi, bagaimana dilemanya Aca menentukan pilihan yang menekannya. Tepat pukul 12 malam, Aca memutuskan kepastian. Ia akhirnya memilih untuk melanjutkan susunan acara yang dua hari lagi dilangsungkan. Jika menolak, sudah pasti ia kalah memperjuangkan cinta yang sedari dulu ia dambakan. Meskipun hatinya masih terasa gelisah karena sang Ayah belum juga ditemukannya. “Ca ...” Merasa terpanggil, Aca menghela napas panjang. Ia bangkit, bergegas menghampiri sumber suara yang berada di balik pintu rumahnya. Tak lain pria itu adalah Mateo, pagi ini ia sengaja mendatangi pujaan hatinya untuk membeli keperluan resepsi pernikahan yang belum lengkap. “Kamu belum siap?” tanyanya. Aca menggeleng. “Silakan masuk! Aku siap-siap dulu.” Setelah pintu terbuka lebar tanpa di tutup kembali, Aca masuk ke kamar meninggalkan Mateo yang setia duduk di sofa menunggunya. Sambil menunggu Aca, Mateo memainkan ponselnya.
Ia tatap netra berbinar dari pria paruh baya itu. kerinduan kepadanya semakin melekat, saat ini Aca tak tanggung-tanggung memeluknya. "Papa ada di sini?" "Kamu cantik sekali, Nak," puji Papa Aca, membuat wanita bergaun pengantin itu tersipu malu. Ia pun melepas pelukannya, berjajar kembali dengan calon suaminya. kebahagiaannya kini semakin lengkap. Bukan karena para tamu undangan yang semakin ramai, melainkan kedatangan pria paruh baya itu yang selalu menari-nari dipikirannya. "Terima kasih, Mateo," lirih Aca. Mateo sedikit melirik kepada pujaan hatinya. "Aku tidak tahu apa-apa." Ezra dan Helena tertawa kecil, karena kedatangan Papa Aca itu memang sudah direncanakan sejak lama. Setelah acara sakral di mana menyatukan hati antara Aca dan Mateo menjadi sah layaknya pasangan suami-istri, kini penghujung acara dengan hiburan sedang di lakukan. Aca dan Mateo masih setia di panggung pelaminan, sedangkan Ezra dan Helena kini berada ditengah-tengah keramaian bersama dengan beberapa kole
Lirikannya tajam sekali menatap Aca, membuat wanita yang kini menjadi pusat perhatian seluruh tamu di gedung pesta pernikahannya tertegun. "Mama kok di sini?" wanita yang masih dianggap muda itu mendecih, ia mendelikan mata kepada Aca. "Kamu pikir Mama akan diam saja tanpa kabar Papamu?" "Apa kamu sengaja membuat rumah tanggaku dan Papamu berantakan, Ca? dari dulu memang kamu kelihatan sekali tidak menyetujui hubungan kami!" Mateo mendengus kesal, ia berdiri melindungi tubuh sang istri di depannya. matanya menatap tajam kepada wanita berbaju sederhana dengan jaket serta celana jeans panjang. "Ini hari pernikahan kita. Jika kalian mau ribut, jangan di sini!" sentak Mateo. "Kamu berani ya, membentak ibu mertuamu!" Tak kalah wanita itu menatap tajam kepada Mateo. "Sekarang saya yang berkuasa di sini. kalian pergi, jangan ganggu kebahagiaan kami." Wanita itu mendecih, melihat Mateo sengaja mengusirnya yang menunjuk sebuah pintu yang terbuka lebar. "Kalian memang sengaja tersenyum ata
"Loh, kok ada orang tuanya Aca?" tanya Helena seraya mengernyitkan kening keheranan kepada sang suami yang terus menggandeng tangannya. kini, Helena dan Ezra sudah tiba di sebuah rumah sakit. baru saja keluar dari mobil mahalnya, mendapati pasangan suami-istri yang tempo hari ditemuinya di sebuah Desa.Ezra hanya mengangkat kedua bahunya sambil menuntun sang istri, mendekat kepada pasangan suami-istri yang sedang berseteru di sebuah taman rumah sakit. "Kamu enak, ya, menikmati rumah megah itu sendirian, sedangkan aku dan Riska kelaparan di desa!" "Kejadiannya tidak seperti itu, Niatnya aku hanya pulang-pergi." "Halah ... alasan!" "Kalau kamu tidak pergi ke Jakarta, kita udah di jemput sama supir dan menghadiri pesta pernikahan Aca, aku tidak segembel ini!" Helena dan Ezra berdiri tepat di dekat pasangan suami-istri yang berjarak dua meter saja. Ezra tersenyum sinis, mendengar celotehan seorang wanita kepada suaminya itu. ia merasa senang, karena akhirnya apa yang direncanakan ber
“Kenapa kamu menahanku seperti ini?” gerutu Aca. Ia mengamuk sambil memukul-mukul dada bidang suaminya. Mateo terus mempererat pelukannya, mencegah Aca agar tidak menghampiri kedua orang tuanya. Meskipun ia hatinya tersayat merasa sedih mendengar isak tangis Aca. Ia tak tega, tetapi bagaimana lagi, Mateo setuju melihat Ezra dan Helena sedang memberi pelajaran kepada kedua orang tua sang istri. “Tenang dulu, Ca. Ini keputusan yang baik untuk kita. Ke depannya kamu tidak perlu memikirkan tentang kehidupan orang tuamu, biarkan Ezra dan Mamah yang mengatasinya.” Mateo berucap sambil mengusap-usap punggung Aca.Aca mendorong tubuh Mateo, ia menatapnya dengan tajam. “Kehidupanku dan kalian jauh berbeda. Kalau aku gak ngikutin permintaan Mamah, yang ada Papa yang terus didesak kerja. Kamu tau kondisi Papaku seperti apa!” Aca terus mencecar Mateo, bagaimana tidak? Ia sengaja berjuang mencari pekerjaan untuk membantu pahlawan hidupnya. Dulu kala, Aca memang terpaksa. Namun, saat tahu Ibu tir
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah