Mateo bergegas mengantarkan Aca pulang, setelah Ezra berhasil mengusir keduanya, tanpa menjelaskan apa yang akan ia lakukan. hati Aca semakin tidak tenang, mengingat saat meminta restu, Ezra malah menuduhnya tidak benar. "Apa yang harus aku lakukan menghadapi ke kekonyolan Ezra, Mateo?" keluh Aca sembari memijit keningnya karena pening.Mateo yang duduk di kursi supir, menggunakan tangan kirinya perlahan mengusap punggung Aca. "Aku ada di sini. Kamu tenang saja."Mendengar penuturan Mateo, wanita yang kini penampilannya sudah kusut membulatkan matanya dengan sempurna. "Kamu hanya diam. buktinya, kamu tidak bisa berbuat apa-apa saat Ezra mengatakan aku menjadi wanita murahan di sini!" Mateo tertegun seraya melepas pergelangan tangannya dari punggung sang pujaan hati. ia memilih pokus kembali melajukan mobil di perjalanan malamnya. "Perbuatan Ezra itu betul-betul di luar nalar, Mateo. Kita harus antisipasi dengan kelakuannya. minimal kamu terus dampingi Ezra kemana dia pergi!" gerutu
Helena menghela napas panjang, ia berdiri ditengah-tengah antara Mateo dan Ezra. "Mateo, dari kemarin juga Ezra dengan Mamah. Dia gak kemana-mana!"Ezra memicingkan bibirnya, mendapatkan pembelaan dari sang istri. membuat Mateo mendecih, karena tahu kebusukan sahabatnya yang melakukan kejahatan dengan cukup cerdik."Cukup, Zra. beri aku ketenangan dengan Aca. kamu bukannya membantu kami, nyatanya malah mempersulit keadaan!" Mateo mendengus kesal, ia tatap netra Ayah tirinya dengan tajam.Helena yang tak mungkin membiarkan keduanya berkelahi, mendorong tubuh Mateo untuk masuk ke kamar. Ezra yang semakin puas melihat emosi Mateo yang membeludak karena membanting pintunya kencang, ia tertawa terbahak-bahak, membuat Helena menggeleng keheranan. "Apaan, sih. gak lucu, tau!""Bagiku lucu. Kenapa selalu aku yang disalahkan jika Mateo dan Aca mendapatkan kesusahan? Masih banyak ribuan orang di luar yang pantas di salahkan. Contohnya kamu." Helena terbelalak, mendapati Ezra yang menuduhnya sam
Aca hanya bisa melamun duduk bersila di atas ranjang. Ruangan bercat putih itu menjadi saksi, bagaimana dilemanya Aca menentukan pilihan yang menekannya. Tepat pukul 12 malam, Aca memutuskan kepastian. Ia akhirnya memilih untuk melanjutkan susunan acara yang dua hari lagi dilangsungkan. Jika menolak, sudah pasti ia kalah memperjuangkan cinta yang sedari dulu ia dambakan. Meskipun hatinya masih terasa gelisah karena sang Ayah belum juga ditemukannya. “Ca ...” Merasa terpanggil, Aca menghela napas panjang. Ia bangkit, bergegas menghampiri sumber suara yang berada di balik pintu rumahnya. Tak lain pria itu adalah Mateo, pagi ini ia sengaja mendatangi pujaan hatinya untuk membeli keperluan resepsi pernikahan yang belum lengkap. “Kamu belum siap?” tanyanya. Aca menggeleng. “Silakan masuk! Aku siap-siap dulu.” Setelah pintu terbuka lebar tanpa di tutup kembali, Aca masuk ke kamar meninggalkan Mateo yang setia duduk di sofa menunggunya. Sambil menunggu Aca, Mateo memainkan ponselnya.
Ia tatap netra berbinar dari pria paruh baya itu. kerinduan kepadanya semakin melekat, saat ini Aca tak tanggung-tanggung memeluknya. "Papa ada di sini?" "Kamu cantik sekali, Nak," puji Papa Aca, membuat wanita bergaun pengantin itu tersipu malu. Ia pun melepas pelukannya, berjajar kembali dengan calon suaminya. kebahagiaannya kini semakin lengkap. Bukan karena para tamu undangan yang semakin ramai, melainkan kedatangan pria paruh baya itu yang selalu menari-nari dipikirannya. "Terima kasih, Mateo," lirih Aca. Mateo sedikit melirik kepada pujaan hatinya. "Aku tidak tahu apa-apa." Ezra dan Helena tertawa kecil, karena kedatangan Papa Aca itu memang sudah direncanakan sejak lama. Setelah acara sakral di mana menyatukan hati antara Aca dan Mateo menjadi sah layaknya pasangan suami-istri, kini penghujung acara dengan hiburan sedang di lakukan. Aca dan Mateo masih setia di panggung pelaminan, sedangkan Ezra dan Helena kini berada ditengah-tengah keramaian bersama dengan beberapa kole
Lirikannya tajam sekali menatap Aca, membuat wanita yang kini menjadi pusat perhatian seluruh tamu di gedung pesta pernikahannya tertegun. "Mama kok di sini?" wanita yang masih dianggap muda itu mendecih, ia mendelikan mata kepada Aca. "Kamu pikir Mama akan diam saja tanpa kabar Papamu?" "Apa kamu sengaja membuat rumah tanggaku dan Papamu berantakan, Ca? dari dulu memang kamu kelihatan sekali tidak menyetujui hubungan kami!" Mateo mendengus kesal, ia berdiri melindungi tubuh sang istri di depannya. matanya menatap tajam kepada wanita berbaju sederhana dengan jaket serta celana jeans panjang. "Ini hari pernikahan kita. Jika kalian mau ribut, jangan di sini!" sentak Mateo. "Kamu berani ya, membentak ibu mertuamu!" Tak kalah wanita itu menatap tajam kepada Mateo. "Sekarang saya yang berkuasa di sini. kalian pergi, jangan ganggu kebahagiaan kami." Wanita itu mendecih, melihat Mateo sengaja mengusirnya yang menunjuk sebuah pintu yang terbuka lebar. "Kalian memang sengaja tersenyum ata
"Loh, kok ada orang tuanya Aca?" tanya Helena seraya mengernyitkan kening keheranan kepada sang suami yang terus menggandeng tangannya. kini, Helena dan Ezra sudah tiba di sebuah rumah sakit. baru saja keluar dari mobil mahalnya, mendapati pasangan suami-istri yang tempo hari ditemuinya di sebuah Desa.Ezra hanya mengangkat kedua bahunya sambil menuntun sang istri, mendekat kepada pasangan suami-istri yang sedang berseteru di sebuah taman rumah sakit. "Kamu enak, ya, menikmati rumah megah itu sendirian, sedangkan aku dan Riska kelaparan di desa!" "Kejadiannya tidak seperti itu, Niatnya aku hanya pulang-pergi." "Halah ... alasan!" "Kalau kamu tidak pergi ke Jakarta, kita udah di jemput sama supir dan menghadiri pesta pernikahan Aca, aku tidak segembel ini!" Helena dan Ezra berdiri tepat di dekat pasangan suami-istri yang berjarak dua meter saja. Ezra tersenyum sinis, mendengar celotehan seorang wanita kepada suaminya itu. ia merasa senang, karena akhirnya apa yang direncanakan ber
“Kenapa kamu menahanku seperti ini?” gerutu Aca. Ia mengamuk sambil memukul-mukul dada bidang suaminya. Mateo terus mempererat pelukannya, mencegah Aca agar tidak menghampiri kedua orang tuanya. Meskipun ia hatinya tersayat merasa sedih mendengar isak tangis Aca. Ia tak tega, tetapi bagaimana lagi, Mateo setuju melihat Ezra dan Helena sedang memberi pelajaran kepada kedua orang tua sang istri. “Tenang dulu, Ca. Ini keputusan yang baik untuk kita. Ke depannya kamu tidak perlu memikirkan tentang kehidupan orang tuamu, biarkan Ezra dan Mamah yang mengatasinya.” Mateo berucap sambil mengusap-usap punggung Aca.Aca mendorong tubuh Mateo, ia menatapnya dengan tajam. “Kehidupanku dan kalian jauh berbeda. Kalau aku gak ngikutin permintaan Mamah, yang ada Papa yang terus didesak kerja. Kamu tau kondisi Papaku seperti apa!” Aca terus mencecar Mateo, bagaimana tidak? Ia sengaja berjuang mencari pekerjaan untuk membantu pahlawan hidupnya. Dulu kala, Aca memang terpaksa. Namun, saat tahu Ibu tir
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu