Mungkin tepatnya pukul 23.56 WIB, Ezra dan Helena baru saja tiba di kediaman rumahnya. di bukannya pedal pintu dengan perlahan oleh Ezra, agar Mateo tidak menyadari kedatangannya."Ekhem!" Ezra yang sudah berada di dalam rumah menyeringai, mendapati Mateo yang mendehem seraya bangkit dari sofa merah. Helena yang berada di belakang Ezra cekikikan. Karena sebelumnya Mateo mengatakan via pesan, jangan memberitahukan kepada Ezra jika dirinya setia menunggu kedatangannya. "Apa kamu pikir dengan caramu itu semua berjalan sempurna, Pak?" sindir Mateo, karena sampai saat ini pujaannya hatinya masih sulit di hubungi, yang mungkin masih kesal kepada aduan Ezra kepada kedua orang tuanya.Ezra yang bersikap biasa saja, begitu santai duduk di sofa. tanpa menyimpan rasa bersalah, karena kini ia malah menikmati sebatang rokok yang baru saja dibakar."Zra! apa maksudnya, sih!" Gerutu Mateo yang kini duduk di depannya. Sedangkan Helena yang sudah kelelahan di perjalanan, wanita itu memilih untuk ber
Mateo bergegas mengantarkan Aca pulang, setelah Ezra berhasil mengusir keduanya, tanpa menjelaskan apa yang akan ia lakukan. hati Aca semakin tidak tenang, mengingat saat meminta restu, Ezra malah menuduhnya tidak benar. "Apa yang harus aku lakukan menghadapi ke kekonyolan Ezra, Mateo?" keluh Aca sembari memijit keningnya karena pening.Mateo yang duduk di kursi supir, menggunakan tangan kirinya perlahan mengusap punggung Aca. "Aku ada di sini. Kamu tenang saja."Mendengar penuturan Mateo, wanita yang kini penampilannya sudah kusut membulatkan matanya dengan sempurna. "Kamu hanya diam. buktinya, kamu tidak bisa berbuat apa-apa saat Ezra mengatakan aku menjadi wanita murahan di sini!" Mateo tertegun seraya melepas pergelangan tangannya dari punggung sang pujaan hati. ia memilih pokus kembali melajukan mobil di perjalanan malamnya. "Perbuatan Ezra itu betul-betul di luar nalar, Mateo. Kita harus antisipasi dengan kelakuannya. minimal kamu terus dampingi Ezra kemana dia pergi!" gerutu
Helena menghela napas panjang, ia berdiri ditengah-tengah antara Mateo dan Ezra. "Mateo, dari kemarin juga Ezra dengan Mamah. Dia gak kemana-mana!"Ezra memicingkan bibirnya, mendapatkan pembelaan dari sang istri. membuat Mateo mendecih, karena tahu kebusukan sahabatnya yang melakukan kejahatan dengan cukup cerdik."Cukup, Zra. beri aku ketenangan dengan Aca. kamu bukannya membantu kami, nyatanya malah mempersulit keadaan!" Mateo mendengus kesal, ia tatap netra Ayah tirinya dengan tajam.Helena yang tak mungkin membiarkan keduanya berkelahi, mendorong tubuh Mateo untuk masuk ke kamar. Ezra yang semakin puas melihat emosi Mateo yang membeludak karena membanting pintunya kencang, ia tertawa terbahak-bahak, membuat Helena menggeleng keheranan. "Apaan, sih. gak lucu, tau!""Bagiku lucu. Kenapa selalu aku yang disalahkan jika Mateo dan Aca mendapatkan kesusahan? Masih banyak ribuan orang di luar yang pantas di salahkan. Contohnya kamu." Helena terbelalak, mendapati Ezra yang menuduhnya sam
Aca hanya bisa melamun duduk bersila di atas ranjang. Ruangan bercat putih itu menjadi saksi, bagaimana dilemanya Aca menentukan pilihan yang menekannya. Tepat pukul 12 malam, Aca memutuskan kepastian. Ia akhirnya memilih untuk melanjutkan susunan acara yang dua hari lagi dilangsungkan. Jika menolak, sudah pasti ia kalah memperjuangkan cinta yang sedari dulu ia dambakan. Meskipun hatinya masih terasa gelisah karena sang Ayah belum juga ditemukannya. “Ca ...” Merasa terpanggil, Aca menghela napas panjang. Ia bangkit, bergegas menghampiri sumber suara yang berada di balik pintu rumahnya. Tak lain pria itu adalah Mateo, pagi ini ia sengaja mendatangi pujaan hatinya untuk membeli keperluan resepsi pernikahan yang belum lengkap. “Kamu belum siap?” tanyanya. Aca menggeleng. “Silakan masuk! Aku siap-siap dulu.” Setelah pintu terbuka lebar tanpa di tutup kembali, Aca masuk ke kamar meninggalkan Mateo yang setia duduk di sofa menunggunya. Sambil menunggu Aca, Mateo memainkan ponselnya.
Ia tatap netra berbinar dari pria paruh baya itu. kerinduan kepadanya semakin melekat, saat ini Aca tak tanggung-tanggung memeluknya. "Papa ada di sini?" "Kamu cantik sekali, Nak," puji Papa Aca, membuat wanita bergaun pengantin itu tersipu malu. Ia pun melepas pelukannya, berjajar kembali dengan calon suaminya. kebahagiaannya kini semakin lengkap. Bukan karena para tamu undangan yang semakin ramai, melainkan kedatangan pria paruh baya itu yang selalu menari-nari dipikirannya. "Terima kasih, Mateo," lirih Aca. Mateo sedikit melirik kepada pujaan hatinya. "Aku tidak tahu apa-apa." Ezra dan Helena tertawa kecil, karena kedatangan Papa Aca itu memang sudah direncanakan sejak lama. Setelah acara sakral di mana menyatukan hati antara Aca dan Mateo menjadi sah layaknya pasangan suami-istri, kini penghujung acara dengan hiburan sedang di lakukan. Aca dan Mateo masih setia di panggung pelaminan, sedangkan Ezra dan Helena kini berada ditengah-tengah keramaian bersama dengan beberapa kole
Lirikannya tajam sekali menatap Aca, membuat wanita yang kini menjadi pusat perhatian seluruh tamu di gedung pesta pernikahannya tertegun. "Mama kok di sini?" wanita yang masih dianggap muda itu mendecih, ia mendelikan mata kepada Aca. "Kamu pikir Mama akan diam saja tanpa kabar Papamu?" "Apa kamu sengaja membuat rumah tanggaku dan Papamu berantakan, Ca? dari dulu memang kamu kelihatan sekali tidak menyetujui hubungan kami!" Mateo mendengus kesal, ia berdiri melindungi tubuh sang istri di depannya. matanya menatap tajam kepada wanita berbaju sederhana dengan jaket serta celana jeans panjang. "Ini hari pernikahan kita. Jika kalian mau ribut, jangan di sini!" sentak Mateo. "Kamu berani ya, membentak ibu mertuamu!" Tak kalah wanita itu menatap tajam kepada Mateo. "Sekarang saya yang berkuasa di sini. kalian pergi, jangan ganggu kebahagiaan kami." Wanita itu mendecih, melihat Mateo sengaja mengusirnya yang menunjuk sebuah pintu yang terbuka lebar. "Kalian memang sengaja tersenyum ata
"Loh, kok ada orang tuanya Aca?" tanya Helena seraya mengernyitkan kening keheranan kepada sang suami yang terus menggandeng tangannya. kini, Helena dan Ezra sudah tiba di sebuah rumah sakit. baru saja keluar dari mobil mahalnya, mendapati pasangan suami-istri yang tempo hari ditemuinya di sebuah Desa.Ezra hanya mengangkat kedua bahunya sambil menuntun sang istri, mendekat kepada pasangan suami-istri yang sedang berseteru di sebuah taman rumah sakit. "Kamu enak, ya, menikmati rumah megah itu sendirian, sedangkan aku dan Riska kelaparan di desa!" "Kejadiannya tidak seperti itu, Niatnya aku hanya pulang-pergi." "Halah ... alasan!" "Kalau kamu tidak pergi ke Jakarta, kita udah di jemput sama supir dan menghadiri pesta pernikahan Aca, aku tidak segembel ini!" Helena dan Ezra berdiri tepat di dekat pasangan suami-istri yang berjarak dua meter saja. Ezra tersenyum sinis, mendengar celotehan seorang wanita kepada suaminya itu. ia merasa senang, karena akhirnya apa yang direncanakan ber
“Kenapa kamu menahanku seperti ini?” gerutu Aca. Ia mengamuk sambil memukul-mukul dada bidang suaminya. Mateo terus mempererat pelukannya, mencegah Aca agar tidak menghampiri kedua orang tuanya. Meskipun ia hatinya tersayat merasa sedih mendengar isak tangis Aca. Ia tak tega, tetapi bagaimana lagi, Mateo setuju melihat Ezra dan Helena sedang memberi pelajaran kepada kedua orang tua sang istri. “Tenang dulu, Ca. Ini keputusan yang baik untuk kita. Ke depannya kamu tidak perlu memikirkan tentang kehidupan orang tuamu, biarkan Ezra dan Mamah yang mengatasinya.” Mateo berucap sambil mengusap-usap punggung Aca.Aca mendorong tubuh Mateo, ia menatapnya dengan tajam. “Kehidupanku dan kalian jauh berbeda. Kalau aku gak ngikutin permintaan Mamah, yang ada Papa yang terus didesak kerja. Kamu tau kondisi Papaku seperti apa!” Aca terus mencecar Mateo, bagaimana tidak? Ia sengaja berjuang mencari pekerjaan untuk membantu pahlawan hidupnya. Dulu kala, Aca memang terpaksa. Namun, saat tahu Ibu tir