Ezra diam sejenak, masih mencerna apa yang diucapkan sang Istri. "Ayolah!" "Memangnya testpack buat apa?" tanya Ezra polos. "Astaga ... mendeteksi kehamilan, suamiku. Aku baru sadar kalau bulan ini telat datang bulan!" "Datang bulan? Datang angin bisa di tentu in juga, gak?" Helena menggeplak tangan Ezra. "Cepetan!" Helena perasaannya mendadak gusar, ia takut hamil oleh Nico karena perbuatan kejamnya. Sang suami tidak mungkin, karena terlalu mencintainya Ezra selalu menggunakan pengaman. Ezra yang ternyata sedang kebingungan karena tidak tahu membeli benda itu di mana, akhirnya menghubungi Aca untuk membelinya. **** Ting![Tolong belikan testpack dan segera antar ke rumah!] “Aca!”Aca menyeringai, ia menoleh kepada Mateo yang sedang menatap tajam padanya. Kini, wanita berpakaian seksi navy selutut itu sedang menghadiri rapat dadakan yang di buat oleh Mateo. Pria muda di sampingnya geram, karena terganggu dengan suara notifikasi yang masuk ke dalam ponsel Aca. "Ca, mohon untuk
Ezra, Aca, dan Mateo semakin di buat panik karena Helena tidak lagi mengeluarkan suara di balik kamar mandi. "Mateo, kita dobrak!" Mateo mengangguk. Ia melangkah mundur mengambil ancang-ancang. "Satu ... dua ... tiga!' Brugh! Benar saja, Helena sudah tergeletak di lantai, dengan percikan air shower yang terus keluar. Ezra segera mengangkat sang Istri berlari ke dalam kamar. Membaringkannya ke ranjang, tak peduli kasurnya menjadi basah."Istriku, kamu kenapa?" Ezra menggoyang-goyangkan tubuh Helena yang masih tidak tersadarkan diri."Mungkin karena ini!" Aca memberikan sebuah kertas panjang kecil kepada Ezra, ternyata ia fokus memungut benda yang di genggam Helena tadi. "Apa artinya?" tanya Ezra, ia terus memperhatikan benda di genggamnya. Aca kembali lagi mengambil benda itu, ternyata sebuah testpack garis merah dua membuat Aca tercengang. "Selamat, Zra! tante Helena hamil." "Ha-hamil?" tanya Ezra dan Mateo kompak. "Dua garis merah menandakan Tante sedang hamil." "Tapi aku tidak
Tak tega melihat sang istri ketiduran di mobil, Ezra menggendongnya ke dalam kamar. Kesedihannya tak sanggup diluapkan kepada Helena, karena pastinya sang istri mengalami hal yang sama. Dibelai lembut peluh yang membasahi kening istrinya dengan tatapan binar. Hatinya kembali sakit, karena mengingatnya harus berkorban menghidupkan janin yang semestinya tidak ada di dunia ini."Maafkan aku, Istriku!" Dikecupnya kening Helena dengan lembut, bahkan bulir air mata Ezra tak sengaja menetes di pipi Helena. Ezra bangkit, memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas. Saat beberapa langkah ia berniat pergi dari sang istri, kakinya terasa berat untuk meninggalkannya. Pria yang sudah mengganti pakaiannya dengan jas hitam, menoleh ke belakang. Memerhatikan istrinya kembali yang masih tertidur pulas. "Tenang saja, Istriku. Kekejaman yang sudah di perbuat oleh Ayahku, akan ku balas sekarang!"Ezra menghela napas panjang. Ia memaksakan diri untuk pergi keluar. Derai air matanya sudah berhenti, ia m
Hari demi hari dilalui tanpa keberadaan sang suami. Entah ke mana saat ini keberadaan Ezra, yang pastinya Helena begitu cemas. Karena menghubunginya lewat ponsel nomornya tidak aktif. Bahkan Helena mencoba bertanya ke beberapa karyawan yang hari kemarin ia sempat datang ke perusahaannya, tetapi mereka kompak menjawab tidak tahu."Mamah sudah makan?" tanya Mateo. Pagi ini ia mendapati Helena yang sedang melamun, duduk di kursi depan meja makan.Helena menggeleng. "Gak berselera."Mateo menghela napas panjang seraya duduk di sofa. Melihat Helena begitu lesu, ia pun tidak bersemangat pergi ke kantor. Padahal Mateo sudah menggunakan pakaian formal dengan rambut yang sudah tertata rapi. "Tunggu besok, ya? Kalau sampai Ezra belum datang juga. Kita pergi dari sini." Helena mengangguk."Kekayaan ini semuanya milik Ezra. Kita harus tahu diri. Untuk apa pemiliknya sudah tidak membutuhkan kami di sini, tetapi kita malah menguasai hartanya." "Benar. Aku pun akan menitipkan perusahaannya kepada A
Tiga hari kemudian ..."Bagaimana ini? Aku takut Mateo marah!" keluh Aca kepada Ezra yang sedang melajukan mobil di sampingnya.Ezra terkekeh. "Kamu lupa, siapa pemilik perusahaan itu sesungguhnya?" "Ya, tapi aku di tugaskan Mateo, bukan sama kamu!" Aca mendengus kesal, melipat tangannya di dada. "Terima saja kontrak kerja sama itu. Aku kenal dengan klien itu. Ia adalah pemilik butik terkenal di Surabaya," jawab Ezra santai. Meskipun baru beberapa bulan terakhir Ia menjadi CEO di perusahaan sang Ayah, karena ramah Ia mudah mencari informasi beberapa klien yang memintanya untuk bekerja sama. Bisnis yang di gauli adalah memproduksi pakaian dengan brand yang sudah terkenal. Dengan begitu banyak yang memburu kualitas terbaik dari perusahaannya."Bagaimana ke depannya tuan Nico marah dengan perbuatanmu?" tanya Aca mendadak panik. Mengingat beberapa hari yang lalu ia menjadi saksi bagaimana Ezra mengancam ke tiga istri Ayahnya."Itu bukan masalah untukku. Lagian dia duluan yang mencari m
"Bagaimana keadaan anakku, Dok?"Melihat seorang wanita berbaju jas putih keluar dari ruangan IGD, Helena bergegas menemuinya yang sudah menangani Mateo."Luka di bagian tangannya lumayan parah, mendapat 8 jahitan. Memangnya luka itu karena apa?" tanya dokter kebingungan."Ke gigit tokek, Dok. Apakah Mateo sudah bisa di bawa pulang?" tepis Ezra tiba-tiba. Karena Ezra berhasil mengambil peluru di tangan sahabatnya.Tidak mungkin Ezra membiarkan Helena menjelaskan kepada Dokter apa yang sudah ia lakukan. Bisa-bisa sel penjara mengakhiri hidupnya.Dokter yang tidak menaruh kecurigaan karena ucapan Ezra terdengar masuk akal, ia menggeleng. "Penanganan khusus harus di lakukan. Karena sampai saat ini Mateo belum tersadarkan diri." Helena melirik kepada Ezra dengan tatapan tajam, membuat Ezra hanya bisa menyeringai. Sang Istri ternyata masih marah padanya."Baiklah. Tangani anakku dengan baik." Dokter itu mengangguk. Ia pun kembali lagi ke dalam ruangan IGD.Aca yang memerhatikan Dokter itu
Begitu sulit menjelaskan bagaimana ia Aca jika sebenarnya ia memang mencintai gadis itu sedari dulu, tetapi Mateo tidak percaya diri dengan keadaannya yang jauh berbeda dengan Ezra yang dikelilingi harta."Aku takut kamu menolak ku karena miskin, tapi itu dulu. Sekarang aku sedang berjuang mengumpulkan banyak uang untuk kita habiskan di masa tua nanti." Mateo menyeringai, pemuda yang masih berbaring di atas brankar itu mencoba meyakinkan hati Aca."Hmm ... jika berkenan, maukah kamu menikah denganku?" "Hayoh, lagi pada ngapain?" Kedatangan Ezra dan Helena mengejutkan pasangan muda itu terutama Aca.Ia menepis jemari lentiknya yang di genggam oleh Mateo. Jantungnya berdegup kencang kali ini. Sulit percaya jika pujaan hatinya sudah mulai berani mengatakan cinta padanya. "Hei, pemuda gila. Bisa-bisanya kamu baru datang sudah tega menembakkan peluru padaku?" gerutu Mateo. Ternyata kekesalan di hatinya masih terpendam."Kamu yang pahlawan kesiangan. Datang langsung membela pak Tua itu," j
Sial, pesan yang sengaja mengelabui pikiran Mateo, membuat pria muda itu tidak bisa tenang untuk tidur. Bahkan kedekatan Ezra dan Aca masuk ke dalam mimpi Mateo. Saat bangun, entah kenapa Mateo mendadak benci kepada kekasihnya yang masih tertidur pulas di sofa."Ca, bangun, Ca. Ini sudah pagi." Merasa tubuhnya terguncang-guncang, gadis itu perlahan membuka netranya. Ia sedikit terperanjat bangkit, sadar jika ia berada di rumah sakit."Kamu lapar?" Mateo menggeleng, ia memasang raut wajah sinis pada Aca.Aca yang belum begitu sadar dari tidurnya merasa aneh dengan perilaku pemuda yang tadi malam menyatakan cinta padanya. Tak berpikir jauh, Aca masuk ke kamar mandi untuk membasuh muka. 'Ada apa dengan Mateo, apa tadi malam ia kesurupan? Kenapa jutek dan cuek lagi?'Aca bertanya di depan cermin. Menatap wajahnya yang masih terlihat cantik. Ia mengulas senyumnya. 'Huhft! Mungkin sudah dari lahir sikapnya memang jutek seperti itu.'Tak lama ia pun kembali menemui kekasihnya. "Kenapa suste
Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi
“Loh, maksudnya apa ini, Mateo?” tanya Aca terbelalak. Sama dengan Mateo yang netranya membulat sempurna. “Sepertinya kita masuk perangkap Ezra lagi.” Pasangan yang masih menggunakan piyama itu bergegas keluar. Rasa khawatirnya kepada Helena tiba-tiba hilang, tergantikan dengan keheranan. Kini keduanya sudah berada di halaman perusahaannya. Nuansanya jauh berbeda. Baru saja sampai di depan pintu, banyak sekali beberapa balon serta bunga yang menghias berkeliling.Mateo mendengus kesal, sudah lelah ia tertipu oleh Ezra yang mengatakan jika mamahnya sedang dalam bahaya. “Pak, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Mateo kepada salah satu satpam di sana. Pria berbaju serba hitam itu hanya menggeleng, lalu beranjak pergi begitu santai. Mateo pun mendekati dua teman yang berada di depan pintu itu yang tak lain Kila dan Kelvin diikuti Aca. “Ada apa ini? Di mana Ezra dan Mamah?” tanya Mateo kepada Kila. Wanita berambut Dora itu melirik kepada Kelvin yang justru mendadak pergi begitu saja.
“Terima kasih.” Aca yang masih memejamkan mata mendapatkan sambaran kecupan yang mengenai keningnya dari pria perkasa yang baru menjelajahi tubuhnya. Deru napasnya Aca masih bergemuruh, ia terlentang di atas ranjang ditemani keringat karena malam pertama. Sekujur tubuh terasa nyeri, apalagi di bagian mahkotanya yang berdenyut dan terasa panas. Mateo yang baru selesai membersihkan bagian tubuhnya, sambil menggunakan pakaian melirik kepada sang istri. Seketika hatinya terenyuh, mengingat rintihan dan desahan suara Aca yang masih terngiang di pikirannya. Setelah piyama hitam membalut tubuhnya, Mateo beranjak mendekati Aca. Ia usap anak rambut sang istri yang menutupi matanya. “Ca, masih sakit, ya?”Aca mengangguk, tetapi tidak membuka matanya. “Aku bantu bersihkan tubuhmu, bagaimana?” tawar Mateo.Perlahan Aca membuka matanya. Ia tatap wajah tampan Mateo yang terlihat lebih segar dengan pucuk rambutnya masih basah. “Tidak perlu, aku bisa sendiri.”Aca menghela napas pajang. Ia perlah
Dua pasang mata saling tatap. Bak seperti pangeran dan putri penampilan Mateo dan Aca malam ini. Jemari lentik Aca menggelantung ke leher Mateo, sedang jemari kekar pria tampan itu berada di pinggang sang istri. Mereka menari di tengah-tengah para tamu undangan malam. Menikmati lantunan musik yang mendamaikan hati. Bahkan banyaknya lampu warna-warni mengelilingi ruangan megah itu, mendukung keharmonisan keduanya. Sungguh, selain bahagia karena akhirnya bertemu kembali dengan sang papa, Aca pun senang mendapati kenyamanan yang sulit terungkap kan.“Selamat, ya, Ca!” Aca sedikit terkejut ia menoleh ke belakang saat seseorang tiba-tiba merangkulnya. Sesaat ia menghela napas pajang, bahkan menghamburkan senyum manisnya. “Terima kasih, Kila.” Aca pun melepaskan pelukannya dengan Mateo, ia memilih duduk di bangku kosong dengan wanita tersebut. Ya, tak lain yang datalah ialah Kila. Dua gadis yang sempat berseteru, perlahan hubungan mereka mulai membaik. Semua berawal dari Aca yang membu