"Halo, Ca, tolong belikan pelumas di apotek."Wanita yang sedang duduk menghadap layar laptop mengernyitkan kening. "untuk apa, Pak?""Potong gaji 50% kalau kamu banyak tanya. O, ya, aku juga tidak segan memotong gajimu sebesar 70% kalau kamu banyak ngomong ke karyawan yang lain!" jawab seorang pria di seberang telepon, bahkan ia sendiri yang mematikan sambungannya.Wanita berpakaian seksi itu mendengus kesal, perintah dari sang bos membuatnya malu. Tidak mungkin seorang gadis membeli benda cairan seperti jelly itu."Apa katanya?" tanya temannya."Udah ayo ikut aku." Ia pun menarik pergelangan tangannya untuk bergegas mengabulkan permintaan sang bos.****"Aww ... Zra, sakit! Pelan-pelan.""Ii-iya, Tan. Sebentar lagi masuk.""Ahhh ... Zra. Ini kulit Tante udah berdarah. Jangan di paksa in, ah. Nanti malah robek!""Tantenya jangan tegang, jangan ditarik. Ok, aku akan berhenti. Tunggu sampai pelumas itu datang!"Deg!Kedua karyawan yang mendengar suara aneh dibalik pintu terperanjat. Men
"Aku bukan buronan! Memangnya Bapak tahu dari siapa perkataan tidak benar itu?" cecar Mateo kepada seorang pria paruh baya, pemilik toko roti di sebuah pasar swalayan.Semenjak Helena pergi dari rumah, Mateo pun pergi karena jenuh. Niatnya hanya ingin menghirup udara segar, sesekali mengunjungi toko yang ramai, berharap ia mendapatkan pekerjaan. Namun, tak di sangka banyak sekali yang mengatakan jika Mateo adalah seorang buronan. Entah kasus apa, membuat Mateo mengamuk di pasar tersebut."Kami juga gak tahu. Yang jelas kemarin di setiap sudut pasar, ada yang menempelkan kertas ini!" Seorang pria memberikan selembar kertas kepada Mateo, karena amarah Mateo yang menggelegar, mengundang orang-orang berdatangan.'PERINGATAN! JANGAN COBA-COBA MENERIMA ORANG DI BAWAH INI. BERDALIH MENCARI PEKERJAAN. IA HANYA PURA-PURA, NAMANYA MATEO YANG SEBENARNYA ADALAH BURONAN POLISI.'Mateo meremas kertas bertulisan itu, bahkan foto nya pun terpampang nyata di sana, netranya semakin merah padam dengan ta
Ezra mengangguk antusias. Tak peduli jika nantinya syarat dari Mateo sulit di tempuh olehnya. Yang terpenting ia sudah berhasil membujuk sahabatnya."Syaratnya ... semua aku serahkan kepada Mamah!" Mateo mengangkat kedua alisnya menatap Ezra, pria muda itu, melirik kepada Helena."Tan, bagaimana? Jika Tante berkata tidak, aku tidak akan mengganggu hidup Tante lagi. Ini pertanyaan terakhir dariku, Tan." Ezra memohon dengan tatapan binar, bahkan kali ini posisinya pun sedang berlutut di depan Helena.Helena menggeleng perlahan. "Maaf, Zra!"Hati Ezra mencelos lagi-lagi ia mendapatkan penolakan dari pujaan hatinya. "Ya sudah. Hari ini aku tidak akan mengganggu Tante!" "Tante jangan pergi dari perusahaan ini. Sekarang anggap aku sebagai bos Tante, mungkin jika Mateo belum mendapatkan pekerjaan dia juga boleh bekerja di sini." Ujar Ezra menampakkan senyum manisnya.Atas perjanjian yang sudah disepakati, Ezra pergi meninggalkan Helena dan Mateo. Kali ini hatinya benar-benar kacau. Ternyata
Wanita itu terkekeh, ia melepaskan rangkulan dari Ezra dan duduk di sofa depannya. "Aku Pakai baju ini cantik gak?"Ezra mengangguk antusias. "Meskipun lebih cantik tante Helena, sih!"Wanita itu berdecih. "Pikiran kau memang ke Tante terus, deh! Lagian mau apa sih menyuruh aku datang ke sini?""Ca, aku bingung harus melakukan apa lagi?" keluh Ezra menampakkan raut wajah lesunya. Meskipun suasana di club malam tersebut begitu ramai, itu semua sama sekali tidak membuat Ezra terhibur. Ia justru merasa sirik karena dikelilingi oleh beberapa pasangan yang sedang bercumbu.Aca, wanita yang setia menemani Ezra saat ini menjadi jajaran terdepan mendukung perjuangan Ezra. Ternyata selain menjadi sekretarisnya, gadis itu pun menjadi teman dekat Ezra dari duli. Bahkan tempat mengeluh untuk Ezra."Kenapa kamu begitu cinta kepada Tante Helena, apa kamu sudah di butakan olehnya?" tanya gadis berbaju merah."Bukan di butakan, tetapi entah kenapa hati aku selalu tertuju padanya!" ketus Ezra mendengu
Netra redup yang sedang bersandiwara itu, tiba-tiba membulat sempurna. Raut wajah cemberut dari Ezra, kini mendadak senyum semringah. "Ta– tante gak bohong, 'kan?'Helena menggeleng. "Asal kamu pulang!""Ok!" Entah siluman apa yang merasuki tubuhnya. Ia begitu lincah menggendong Helena dengan gaya bridal style, membuat Mateo menganga di tempat. "Astaga ... tipuan macam apa ini!""Siapa yang menipu? kamu saja yang bodoh. Bukannya kamu tahu sendiri kalau aku tidak minum-minuman seperti itu!"Mateo menepuk jidatnya seraya berjalan. Dalam keadaan panik, ia sulit sekali berpikir jernih.Di perjalanan, Ezra tak lepas menggenggam tangan Helena, wanita itu pun tidak menolak karena cengkeraman darinya begitu erat. "Zra, ini sudah sampai!" protes Helena. Ezra tetap menggenggam tangannya. "Memangnya kenapa?""Ezra, ini sudah malem. Jangan bikin kesel bisa gak, sih?" jangankan Helena, Mateo pun jengkel padanya karena kunci pintu tidak segera di bukakan.Akhirnya Ezra membukakan pintu untuk Mate
Mateo— pemuda yang selalu bersama Helena diam. Pikirannya terus bekerja antara merestui atau tidak. Pasangan beda usia di depannya itu adalah dua orang yang berarti bagi hidupnya. Namun, siapa sangka takdir berkata lain yang nyatanya Ezra menyukai sang Mamah."Hmm ... jujur aku masih ragu." Mateo yang sedari tadi menundukkan kepala, kini ia melirik kepada Ezra. "Buktikan jika kamu benar-benar serius kepada Mamah.""Setelah aku menikah kamu yang berkuasa di perusahaan ini. Aku dan Tante akan mengurus hotel yang sudah lama terbengkalai. Hotel itu masih milik Ayah," jawab Ezra dengan santai."Aku tidak bisa membuktikan dengan spontan, butuh banyak waktu untuk aku berjuang mendapatkan hati Tante Helena, Mateo," ujarnya kembali.Mateo mengangguk perlahan, nyatanya menaklukkan seorang wanita yang sama sekali tidak menaruh hati pada kita itu sulit. "Baiklah. Aku restui hubungan kalian," Helena membulatkan matanya dengan sempurna.Sungguh, wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu tidak me
"Tante pilih yang mana, perjaka atau duda?" Ezra tertawa terbahak-bahak. Helena yang di sampingnya hanya menggeleng.Kini keduanya sedang berada di sebuah tempat yang menyediakan beberapa gedung khusus untuk pesta acara pernikahan. Namun, bukannya Ezra dan Helena memilih gedung-gedung yang tertera di sebuah buku, pemuda itu terus bercanda sampai satu jam lamanya."Zra, bisa serius?" Ezra menutup mulutnya, menahan tawa. Entah kenapa hari itu terlihat sekali begitu bahagia."Jadi, kamu pilih yang mana? Perawan atau janda?" sindir Helena mengulum senyum, membuat Ezra tertawa lagi."Janda perawan seperti Tante," jawab Ezra santai.Helena menghela napas panjang, sedikit melirik kepada pemuda itu. Pasalnya kondisi dirinya menjadi janda perawan masih jadi rahasia yang tertutup rapat. 'kenapa Ezra tahu?'"Tan, katanya serius?" Helena menggeleng cepat, memudarkan lamunannya."Kalau Tante gimana kamu aja.""Menurut aku semua bagus. Kalau Tante suka semuanya pun, aku gak keberatan memakai lima ge
Menata hati yang sempat tidak beraturan, membuat Helena senyum-senyum sendiri sambil memandangi atap kamar sampai tertidur pulas. Bahkan Ezra yang sudah selesai mengganti pakaiannya untuk melanjutkan perjalanan, tersenyum semringah. Di pandangnya Helena yang manis meskipun tertutup mata."Indahnya bidadari duniaku ini."Ezra menggeleng seraya mendekati Helena. Meskipun tubuhnya di balut selimut putih, tetapi aura wanita itu selalu memancarkan ke cantikkannya.Sampai akhirnya Ezra sendiri yang menghidangkan beberapa makanan yang sudah di pesan untuknya di atas meja. Tring!Suara gelas dan piring beradu mengganggu Helena, kemudian perlahan membuka mata. "Loh, Ezra?"Ezra menyeringai berdiri di depannya. Melihat Helena terkejut melihatnya. "Maaf, aku gak sengaja!" Helena bangkit meskipun ia berat sekali membuka mata karena masih mengantuk. "Kamu ngapain di sini, Zra?"Helena menghela napas panjang. Ia melirik kepada pakaiannya yang masih tertutup rapat. Ia khawatir, pemuda itu berbuat n