Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan.
Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba berbicara, percakapan itu selalu terhenti, seakan ada penghalang tak kasatmata yang sulit dipahami. "Kenapa kita seperti ini?" gumamnya dalam hati, menatap jam di dinding yang seakan bergerak terlalu lambat. Pekerjaan di kantor memang penting, tapi saat itu, rasanya semuanya tidak berarti lagi. Arka menghembuskan napas berat dan menatap keluar jendela. Pikirannya melayang kembali ke rumah, ke Alea, ke perasaan yang tak bisa ia pahami. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kami? pertanyaannya berputar di benaknya tanpa ada jawaban yang memadai. Arka mencoba untuk kembali bekerja, tetapi otaknya tidak bisa berkonsentrasi. Semuanya terasa kabur dan tidak jelas. Dalam sekejap, ia merasa terperangkap dalam rutinitas yang terus berputar tanpa ada arah yang pasti. Saat makan siang, Arka kembali menatap ponselnya dan melihat nama Alea di daftar kontak. Ia ragu untuk menghubungi, merasa seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Apa yang akan dia katakan? Bagaimana kalau percakapan itu hanya menambah jarak di antara mereka? Namun, di dalam hatinya, Arka tahu satu hal yang pasti, ia tidak bisa terus menghindari perasaan ini. Ia harus melakukan sesuatu, meskipun ia tidak tahu pasti bagaimana caranya. --- Setelah pulang kerja, suasana di rumah terasa hening. Raka sudah tidur, dan Arka mendapati Alea duduk sendirian di ruang tamu, menatap ponselnya. Suasana itu semakin membuat Arka merasa cemas, namun ia tahu ini saatnya untuk membuka percakapan yang sudah ia hindari selama ini. “Alea...” panggil Arka pelan, akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan yang sudah lama ingin ia lakukan. Alea berhenti sejenak, matanya bertemu dengan mata Arka. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda, tapi ia tidak tahu apa yang akan dibicarakan. Selama beberapa waktu terakhir, mereka hanya berkomunikasi lewat percakapan biasa, tentang Raka, tentang pekerjaan, atau hal-hal lain yang tidak menyentuh inti perasaan mereka. "Mas, ada apa?" tanya Alea, mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi di benak Arka. Arka menarik napas panjang, merasa seperti ada beban yang ingin ia keluarkan tapi terhalang. "Aku merasa... kita semakin jauh, Al." Suaranya hampir tak terdengar, seperti ia takut kata-kata itu akan terlalu berat bagi Alea. Alea terdiam, menatap Arka dengan ekspresi yang sulit dibaca. Matanya tampak sedikit bingung, tapi ada perasaan yang sama yang mengendap di dalam hati Alea. “Aku juga merasakannya”, pikirnya. Tetapi seperti biasa, ia tidak tahu bagaimana cara untuk membicarakan perasaan itu. "Apa maksud Mas?" tanya Alea, meski suaranya tidak sepenuhnya yakin. Arka merasa perasaan itu terus menderanya, seperti gelombang yang datang tanpa ampun. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Alea. Tapi setiap kali aku pulang ke rumah, aku merasa seperti... seperti kita ini cuma dua orang asing yang saling tinggal di bawah atap yang sama." Alea menatap Arka dengan tatapan kosong, kemudian menunduk sejenak. “Jangan bilang ini sudah berakhir...” pikirnya, tapi kata-kata itu terasa seperti sesuatu yang harus dihadapi. "Kita nggak seperti dulu lagi, ya?" Alea bertanya pelan, suaranya hampir berbisik. Arka menggelengkan kepala, merasa hatinya semakin rapuh. "Aku nggak tahu, Alea. Aku masih sayang kamu. Aku nggak tahu kenapa kita bisa sampai di titik ini, tapi setiap kali aku lihat kamu, aku merasa... seperti aku nggak lagi mengenalmu. Bahkan aku tidak mengenali diriku saat ini." Alea merasakan kepedihan dalam kata-kata Arka, dan hatinya tergores. "Aku nggak tahu, Mas. Aku capek," jawabnya dengan suara lirih. "Capek dengan semuanya. Rasanya, kita terus saja terjebak dalam rutinitas. Aku ngurusin rumah, kamu ngurusin pekerjaan, dan Raka... dan kita nggak pernah bener-bener ngobrol lagi." Arka menatap Alea dalam diam, seakan mencoba meresapi setiap kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Ia merasakan kelelahan yang sama, namun ia juga merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam lagi. Sesuatu yang lebih rumit daripada sekadar rutinitas. Ada perasaan kosong yang membekas, seolah mereka telah kehilangan satu sama lain di tengah kesibukan yang tak pernah berhenti. "Alea... kita terlalu sibuk dengan semuanya sampai lupa sama diri kita sendiri, kan?" kata Arka pelan, menatap wajah Alea yang terlihat kelelahan. "Kita terlalu sibuk dengan pekerjaan, dengan Raka, dengan segala hal yang harus kita lakukan, sampai kita lupa... kita juga butuh perhatian satu sama lain." Alea menundukkan wajahnya, mencoba menahan air mata yang mulai muncul di sudut matanya. "Aku nggak tahu lagi, Mas. Aku takut kalau aku terus bertahan, semuanya malah makin hancur." Arka merasakan dadanya sesak, dan meskipun kata-kata itu menyakitkan, ia tahu bahwa ini adalah hal yang harus mereka hadapi. "Aku nggak mau kehilangan kamu, Alea. Aku tahu aku nggak sempurna. Aku tahu aku sering nggak peka, tapi aku... aku nggak bisa terus seperti ini." Alea memalingkan wajahnya, berusaha menahan air mata. "Aku cuma... aku cuma pengen kita kembali seperti dulu, Mas. Kita bisa tertawa bareng, kita bisa berbicara tanpa rasa takut. Kita bisa jadi tim lagi, bukan cuma dua orang yang hidup di bawah atap yang sama." Arka merasa hatinya hancur mendengar kata-kata itu. “Aku juga ingin itu,” pikirnya. "Aku janji, Alea. Aku nggak bisa janji bakal sempurna, tapi aku akan berusaha. Aku akan coba buat kita keluar dari kebingungan ini." Keheningan mengisi ruangan itu untuk beberapa saat, dan meskipun perasaan mereka masih campur aduk, mereka tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sesuatu yang akan membawa mereka lebih dekat, meski langkah pertama itu penuh keraguan. Setelah percakapan panjang yang penuh dengan rasa sakit dan kejujuran, Arka dan Alea duduk bersama, tidak berkata apa-apa, tapi saling memahami bahwa mereka telah melangkah maju, meskipun masih banyak yang harus dihadapi. Dan meskipun perasaan mereka masih belum sepenuhnya jelas, ada secercah harapan yang mulai muncul, seperti matahari yang perlahan muncul setelah hujan.Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara