Di ruang tamu, Arka masih diam di sofa setelah Alea masuk ke kamar. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar tanpa arah.
Ia memijat pelipisnya, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya Alea inginkan darinya. Pertanyaan Alea tadi terus menggema di benaknya: ” Apa aku masih jadi bagian dari kebahagiaan kamu?” Namun, sebelum ia bisa menemukan jawabannya, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Dina. Dina: “Sudah selesai dengan deadline laporan? Aku mau diskusi soal proyek kita besok. Tapi kalau sibuk, nggak apa-apa. Have a good night, ya.” Arka membaca pesan itu dengan napas berat. Dina, seperti biasa, selalu menyelipkan nada santai tapi perhatian dalam setiap pesannya. Terlalu perhatian, pikirnya. Ada yang aneh dengan cara Dina selalu tahu kapan harus memberi perhatian, kapan harus mundur. Terkadang, itu membuat Arka merasa nyaman, terlalu nyaman. Seperti tempat berlindung yang tidak ia temukan di rumah, terutama setelah suasana yang semakin terasa asing dengan Alea. Dina bukan hanya rekan kerja yang cekatan. Ada sesuatu dalam caranya berbicara dan tersenyum yang terkadang membuat Arka merasa lebih dihargai daripada yang ia rasakan di rumah. Seperti saat itu, ketika Dina memberinya perhatian tepat di saat yang ia butuhkan. Selalu tahu kapan harus hadir, kapan harus menghilang. Arka, yang tidak tahu harus berkata apa lagi, akhirnya mengetik balasan. Arka: “Baru selesai tadi sore. Besok pagi aku ada waktu, kita bahas di ruang meeting.” Ia meletakkan ponselnya kembali di meja, namun pikirannya terus berputar. Dina, yang selalu berada di sana ketika ia membutuhkan seseorang, yang selalu membuatnya merasa dilihat. Dan di sisi lain, ada Alea, yang selama ini selalu menjadi bagian dari hidupnya, tetapi sekarang terasa lebih seperti seorang asing. Orang yang bahkan tidak mengerti dengan kelelahan fisik dan hatinya. --- Di sisi lain, Dina membaca balasan Arka sambil menyandarkan tubuhnya di kursi santai apartemennya. Senyumnya tipis, matanya berkilat penuh arti, seolah menyimpan rencana yang jauh lebih besar daripada sekadar pesan singkat. Rambut cokelat tuanya tergerai hingga bahu, memberikan kesan santai tapi elegan, dengan sedikit gelombang yang menambah kesan menggoda. Gaun tidurnya yang ringan membungkus tubuhnya dengan sempurna, menonjolkan lekuk-lekuknya dengan cara yang hampir tidak bisa diabaikan. Dina tahu betul bagaimana memanfaatkan penampilannya, dan malam ini, ia memutuskan untuk mempermainkan Arka sedikit lebih lama. “Besok pagi,” gumam Dina pelan, membaca balasan Arka dengan senyum penuh arti. Tapi sebelum ia mengirim pesan balasan, ia berhenti sejenak, merenung. Ia menatap ponselnya, jari-jarinya mengarah ke tombol kirim, tapi ia menahannya, lalu dengan senyum kecil, ia menghapus apa yang sudah ia tulis. Dina merasa ada kenikmatan tersendiri ketika Arka menunggu. Sebuah permainan yang sudah ia kuasai dengan sempurna. Biarkan dia penasaran, pikirnya, sambil menatap ponselnya dengan senyum yang penuh arti. Biar dia yang menunggu, dan biar aku yang menentukan kapan semuanya akan terjadi. Ia tahu, meski tidak mengungkapkan perasaan secara langsung, Arka sebenarnya membutuhkan perhatian lebih. Sesuatu yang mungkin tidak ia dapatkan dari rumah tangganya yang kini semakin menjauh. Dina sudah mengamatinya cukup lama, dan ia tahu kapan harus memberi ruang dan kapan harus mendekat. Dina menarik napas dalam-dalam, merasakan ketegangan yang membangun di dalam dirinya. Ia tidak hanya ingin menjadi seseorang yang hanya hadir untuk Arka secara profesional. Lebih dari itu, ia ingin menjadi orang yang menggantikan posisi yang sekarang kosong di hati Arka, menggantikan tempat yang dulu diisi oleh Alea. Dengan satu gerakan, ia kembali mengetik pesan, kali ini tidak untuk Arka, tetapi untuk dirinya sendiri. Sebuah pengingat akan ambisinya. “Ini belum selesai,” ia menulis dengan hati-hati. “Aku harus lebih sabar, lebih cerdik.” Senyum tipis kembali merekah di bibirnya saat membaca pesan itu. Dina tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari permainan yang lebih besar. --- Hujan terus mengguyur kota, suara air yang jatuh membentur atap menciptakan irama yang seakan mengiringi setiap langkah Arka. Di ruang tamu, Arka duduk di sofa, matanya kosong menatap jendela yang basah, seolah-olah ia mencari jawaban dari luar sana. Semua pikirannya berputar, dipenuhi oleh kebingungannya. “Kenapa aku merasa seperti ini? Kenapa rasanya semakin sulit untuk mendekat padanya? Alea... dulu aku bisa berbicara denganmu, kita bisa saling berbagi, tapi sekarang...? Semua terasa asing. Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan,” gumamnya. Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. Tapi semakin ia mencoba berpikir, semakin jelas perasaan cemas dan bingung yang menguasainya. Arka meremas jemarinya, merasa ada tembok yang semakin tinggi antara dirinya dan Alea. Ia ingin mendekat, tapi kata-kata seolah terkunci. Pikirannya kembali terarah pada Dina. Percakapan mereka tadi siang... tatapan Dina yang penuh arti, yang seolah menyiratkan lebih banyak daripada kata-kata yang terucap. Arka bisa merasakannya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapinya. “Apa yang sebenarnya aku cari? Kenapa aku merasa terjebak di antara perasaan yang tidak bisa kujelaskan? Dina... atau Alea? Semua ini terasa seperti sebuah kebingungan besar, dan aku tidak tahu lagi bagaimana melangkah,” gumamnya lagi menyiratkan kebingungan. Arka menatap ke luar jendela lagi, lalu matanya tertuju pada ruang tidur mereka yang terlihat sunyi di ujung lorong. Ia merasa gelisah. Di satu sisi, ia ingin terus duduk di sana, membiarkan dirinya tenggelam dalam kebingungannya. Namun, di sisi lain, ia merasa dorongan yang kuat untuk bergerak, untuk berbuat sesuatu. “Alea... Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Semua terasa tidak jelas. Tapi, aku tahu satu hal. Aku tidak bisa terus begini. Aku tidak ingin kita kehilangan kesempatan hanya karena aku terlalu takut untuk bertindak,” fikirnya. Lalu Arka memutuskan untuk bergerak. Dengan langkah berat, Arka bangkit dari sofa dan menuju ke kamar. Saat ia membuka pintu, matanya langsung tertuju pada Alea yang duduk di ujung tempat tidur, tubuhnya membelakangi Arka. Hatinya berdebar lebih cepat. Tanpa kata-kata, ia melangkah mendekat, merasa seolah-olah ini adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kebingungannya. Alea mendengar langkah kaki Arka, namun tidak berbalik. Tangan Arka terulur, memegang lembut wajah Alea, lalu dengan hati yang penuh pertanyaan dan emosi yang tak terungkapkan. Arka menunduk dan mencium bibir Alea dengan dalam.Ciuman itu bukanlah sekadar ciuman biasa. Itu adalah ciuman yang penuh dengan kebingungan, kerinduan, dan pencarian. Alea terdiam, tubuhnya terasa kaku sejenak. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Semua perasaan yang terpendam di dalam dirinya mendesak untuk keluar, tetapi ia juga terjebak dalam ketidakpastian. Setelah beberapa detik, Arka melepaskan ciuman itu dan menatap Alea dengan mata yang terlihat penuh konflik. "Aku nggak tahu apakah aku masih bisa mencintaimu seperti dulu," ucapnya dengan suara pelan, hampir seperti gumaman, tapi setiap kata terasa menusuk. "Tapi aku tahu satu hal… aku nggak mau menyerah begitu saja." Kata-kata itu menggantung di udara, bergaung di dalam pikiran Alea. Sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Arka berbalik dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Alea yang masih duduk di tempat tidur dengan pikiran yang berkecamuk. Hatinya terasa begitu berat, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Alea menatap pintu yang telah tertutup. Perlahan
Malam pun tiba. Di rumah, Alea menatap jam di dinding ruang tamu. Hampir pukul delapan malam, tetapi Arka belum juga pulang. Ia sudah menyiapkan makan malam sederhana, tetapi makanan itu mulai dingin.Ketika akhirnya pintu depan terbuka, Alea bergegas menyambut, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. “Mas, kamu baru pulang?”“Maaf, tadi ada kerjaan tambahan,” jawab Arka tanpa menatap Alea. Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, lalu duduk sambil memeriksa ponselnya.“Mas, makan malam sudah siap. Aku bikin sup kesukaanmu,” ujar Alea pelan.“Aku udah makan di luar tadi,” jawab Arka, membuat hati Alea semakin hancur.Raka, yang duduk di lantai sambil bermain, tiba-tiba mendongak. “Ayah lupa bilang selamat ulang tahun ke Bunda?”Ruangan langsung hening. Arka menatap anaknya dengan bingung. “Ulang tahun?” tanyanya dengan alis terangkat.Alea memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok kamu lagi sibuk banget belakangan ini.”Namun, senyum itu tidak bisa menutupi luka di hatinya. Ia m
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya di rumah Arka dan Alea. Meski lampu-lampu menyala, suasana di ruang tamu terasa kelam.Alea duduk di sofa, menatap scarf biru di tangannya. Air matanya telah kering, tetapi hatinya masih basah oleh luka yang baru saja tercipta.“Alea...” suara Arka memecah keheningan. Ia berdiri tak jauh dari istrinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.Tatapannya bimbang, seperti orang yang tahu ia salah, tapi terlalu keras kepala untuk mengakui sepenuhnya.“Kenapa kamu harus bicara seolah aku yang salah?” tanya Alea pelan, tanpa menoleh ke arahnya. Suaranya tidak marah, hanya lelah.“Aku nggak bilang kamu salah.”Alea mendongak, matanya bertemu dengan mata Arka yang masih menyimpan sisa-sisa kecurigaan. “Tapi kamu berpikir aku menyembunyikan sesuatu kan? Itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Padahal aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim scarf ini.”Arka menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Alea, tetapi tidak cukup
Di balik pintu kamar, Alea duduk di tepi ranjang, air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencintai Arka, tetapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap suaminya perlahan menggerogoti hatinya. “Kenapa kamu nggak bisa percaya aku, Mas?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada udara. Ia menghapus air matanya, tetapi luka itu tetap ada. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Dan ia tidak yakin apakah masih ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya. --- Arka berdiri di depan cermin kamar, melepaskan dasi dengan gerakan cepat tapi gelisah. Alea masih diam di kamar mereka, dan keheningan itu terasa lebih memekakkan daripada suara pertengkaran mereka tadi. Ia menatap pantulan dirinya, napasnya berat. Ia tahu, meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk memikirkan solusi. Ia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tatapan penuh luka Alea. Tanpa berkata apa-apa
Ketika Dina membisikkan namanya lagi, "Arka…" suaranya serak namun penuh kendali, sesuatu dalam diri Arka retak. Napasnya memburu, nyaris tersengal.Suhu udara di kamar apartemen itu seolah meningkat drastis, meski hanya ada mereka berdua. Matanya bertemu dengan tatapan Dina yang tajam, menguasai, seolah tak memberinya ruang untuk mundur.Dina menyentuh pipinya dengan ujung jari, lalu menelusuri rahangnya, memaksa wajah Arka untuk tetap menatapnya. "Jangan berpura-pura lagi," bisiknya, kali ini lebih dalam, nyaris seperti perintah.Arka menggeram pelan, bingung antara keinginan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Tapi saat Dina mendekat, menyamarkan jarak di antara mereka, semua logika tersingkir.Ciumannya mendarat di leher Dina, penuh dorongan, seolah menyalurkan semua kekacauan batin yang selama ini ia pendam.Tangan Dina melingkar di lehernya, kuku-kukunya menggali sedikit ke kulit Arka, menariknya lebih dekat. Ia memimpin dengan gerakan yang penuh kepastian, mengendalikan s
Pagi hampir menjelang, waktu menunjukan pukul 4 dini hari. Arka terbaring di sofa apartemen Dina, napasnya berat setelah apa yang baru saja terjadi.Dina masih terkulai di sampingnya, tubuhnya yang terbungkus piyama merah satin itu tampak terbaring dengan puas. Namun, di dalam benaknya, sesuatu yang lebih gelap dan berat mulai tumbuh.Ketika Arka melirik ke samping, matanya tertumpu pada sebuah benda yang tak seharusnya ada di sana. Sebuah liontin perak kecil yang ia beli untuk Alea.Ia mengenali liontin itu dengan jelas, perhiasan itu baru saja ia beli di toko perhiasan. Sebuah hadiah kecil untuk istrinya.Rasa terkejut yang menyusup ke dalam dirinya segera berganti dengan perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.Dengan hati-hati, Arka bangkit dari sofa, menghindari gerakan yang dapat membangunkan Dina. Ia mendekati meja kecil tempat liontin itu terletak dan memegangnya dengan tangan yang gemetar.Ini bukan hanya soal perhiasan. Ini soal semuanya. Tentang kebohongan yang tak pern
Hari Minggu itu dimulai dengan udara pagi yang cerah, meskipun di dalam hati Alea masih ada awan gelap yang menggelayuti.Subuh tadi, setelah percakapan penuh ketegangan dengan Arka, ia merasa ada jurang yang semakin lebar di antara mereka. Arka berusaha membujuknya untuk pergi berlibur bersama Raka, mencoba mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang mereka hadapi."Alea, aku cuma ingin kita mencoba ... menghabiskan waktu bersama. Demi Raka, juga kita," ujar Arka dengan nada pelan, hampir seperti memohon.Alea menatap suaminya. Ada harapan di sana, tetapi sekaligus rasa ragu. "Aku nggak yakin, Mas. Tapi kalau itu bisa membantu, aku akan ikut."Pagi itu, mereka pergi berenang bersama. Arka memilih kolam renang kecil di dekat rumah, berharap suasana sederhana ini bisa memberi sedikit kedamaian.Raka terlihat sangat gembira. "Ayah, Bunda, lihat nih! Aku bisa berenang lebih cepat sekarang!" serunya, tubuh mungilnya meluncur ke dalam air dengan antusias.Arka tersenyum kecil, mencoba t
Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda. Arka yang biasanya santai dan ceria, kini tampak lebih serius dari biasanya. Langkahnya yang cepat dan tegas menuju ruang kerja Dina sudah cukup untuk membuat seluruh staf merasa ada yang tak biasa.Dina yang sedang mengetik di komputernya, sejenak menoleh dan melihat Arka berjalan menuju mejanya. Wajahnya terlihat gelisah, namun dia berusaha untuk tetap tenang."Din, ada waktu?" suara Arka terdengar datar, tapi penuh dengan ketegasan.Dina menatap Arka dengan senyuman tipis, berusaha tidak menunjukkan kecemasan. "Iya," ia berusaha terdengar santai, meski di dalam dirinya, sebuah rasa was-was mulai tumbuh.Arka tidak menjawab, hanya melangkah lebih dekat dan berdiri di samping meja Dina. "Bisa kita bicara sebentar? Di ruang rapat." Suaranya tidak memberi ruang untuk penolakan.Dina menghela napas pelan, kemudian berdiri dari kursinya. "Oke kamu duluan kesana. Nanti aku nyusul."Di ruang rapat yang sunyi, hanya ada mereka berdua. Arka duduk di m
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”
Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru
Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p
Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega
Beberapa saat kemudian, Nyonya Mirna ibunya Arka tiba. Nyonya Mirna datang dengan wajah ramah, membawa makanan ringan dan beberapa barang kebutuhan Alea. Segera, ia duduk di samping tempat tidur Alea dan menyentuh tangan putrinya dengan lembut. “Alea, nak, kamu sudah lebih baik? Bagaimana perasaanmu?” Alea tersenyum lemah. "Lebih baik, Bu. Hanya butuh waktu untuk pulih." Ia mengangkat pandangannya ke arah ibu Arka. "Arka pasti cemas, ya?" Nyonya Mirna mengangguk dengan penuh perhatian. "Dia pasti sangat khawatir. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Alea. Arka sudah menghubungi ibu untuk menjaga kamu hari ini. Dia akan kembali lebih cepat setelah pekerjaan selesai. Maaf kalau ibu jarang datang berkunjung, ya." Alea mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega dengan kehadiran ibu Arka. "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok, rumah ibu kan jauh. Terima kasih ya, Bu, sudah menyempatkan datang dan menjaga aku di sini. Kadang aku khawatir, Bu. Tapi aku tahu aku harus kuat, untuk keluarga k
Arka merasa hatinya terombang-ambing ketika ia meninggalkan rumah sakit pagi itu. Setelah memastikan Alea tertidur dan dalam keadaan stabil, ia harus kembali bekerja. Meskipun perasaannya enggan, Arka tahu, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dalam waktu yang lama. Namun, ia berjanji akan segera kembali, tepat waktu. Ia mengirim pesan singkat kepada ibunya untuk memberitahukan bahwa ia akan menggantikan posisinya menjaga Alea di rumah sakit sore nanti. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Arka juga memberi tahu ibunya bahwa ia perlu datang untuk menemani Alea, karena kondisi Alea yang masih lemah dan membutuhkan perhatian penuh. Ibu Arka segera menyanggupi untuk datang ke rumah sakit dan menjaganya. Walaupun jarak rumah dan rumah sakit lumayan jauh. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Arka akhirnya melangkah keluar menuju mobilnya. --- Di ruang perawatan rumah sakit, Alea terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lelah setelah istirahat semalaman. Ruangan rumah
Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai