Entah kenapa malam ini kamar itu terasa lebih gelap dari biasanya.Dua hati yang terbiasa berbagi tempat kini terasa asing, seolah mereka hanya sekadar bayang-bayang yang berbaring di sisi lain ranjang yang sama.Dingin. Begitu membeku, sampai tak ada lagi celah untuk mencairkan es yang mereka bangun perlahan dalam diam.Sepi. Begitu menggema, sampai suara mereka sendiri pun kehilangan nyali untuk memenuhi ruang kosong itu.Mereka tersesat, berputar-putar dalam labirin perasaan yang tak lagi mereka kenali. Saling menyalahkan, saling menjauh, tanpa tahu cara untuk menemukan jalan pulang ke tempat yang mereka sebut rumah.Rumah. Sebuah kata yang dulu terasa hangat, kini hanya tinggal nama tanpa makna.Alea duduk di tepi ranjang, tubuhnya tegak seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah di dalam dirinya. Jemarinya mencengkeram ujung selimut dengan kuat, seakan itu satu-satunya yang menahan kemarahan dan rasa sakit di hatinya agar tidak meluap.Matanya terarah ke lantai, tapi pikirannya mel
Pagi itu, suasana di rumah terasa berbeda. Arka bangun seperti biasanya, dengan langkah pelan menuju ruang makan. Biasanya, aroma sarapan yang hangat menyambutnya. Alea akan sudah di meja, menunggu dengan senyum tipis yang terkadang disertai tawa ringan, sementara Raka akan sibuk dengan mainannya di sudut meja. Tapi pagi ini, yang menyambutnya hanya keheningan.Meja makan yang biasanya penuh dengan piring, mangkuk, dan gelas, yang kadang ia tolak. Kini hanya ada secangkir kopi yang belum tersentuh, dibiarkan mendingin oleh waktu.Arka berdiri di pintu ruang makan, memandang meja itu kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia merasa ada yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. Sebuah kekosongan yang begitu dalam, menggerogoti hatinya tanpa bisa ia hindari.Dia melangkah masuk, duduk di kursi yang biasa ia duduki. Tangannya menyentuh cangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Rasanya pahit, lebih dari sekadar kopi yang kurang manis. Rasa pahit itu menusuk, membuat dad
Setelah sepanjang hari yang panjang di kantor, Arka akhirnya pulang ke rumah sekitar pukul tujuh malam. Udara malam yang agak sejuk menyambutnya saat ia memasuki rumah. Suasana rumah yang semula tampak biasa, kini terasa berbeda. Suasana hati antara dirinya dan Alea, istrinya, semakin terasa tegang, seolah setiap sudut rumah menyimpan ketegangan yang belum terucapkan. Alea sedang berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Suara panci dan wajan yang beradu terdengar pelan, memberi tanda bahwa ia sedang sibuk menyiapkan hidangan. Arka menanggalkan jas kerjanya, kemudian melangkah masuk ke ruang makan dengan langkah pelan. Ia mencoba untuk tampak tenang, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Alea menoleh saat mendengar langkah Arka mendekat, memberikan senyum tipis sebagai sapaan, meskipun di dalam hatinya, ada pertanyaan yang menggantung tentang keadaan rumah tangga mereka yang semakin jauh. “Mas, makan malam sudah siap,” ujar Alea,
Arka membalas senyumnya, namun tak ada kehangatan yang sejati dalam ekspresinya. Senyum itu lebih terlihat seperti basa basi daripada kebahagiaan yang tulus. “Akhirnya aku bisa sedikit bernafas dengan lega, Din,” ujarnya dengan nada yang terdengar lebih datar, meski mencoba terdengar antusias. Suaranya tidak seterang atau sehangat saat ia berbicara dengan Alea, bahkan lebih terdengar seolah sebuah pengalihan dari perasaan yang mulai mengganggu pikirannya. Dina, yang tak melihat keraguan sedikit pun di wajah Arka, langsung memeluknya dengan erat, penuh keceriaan. “Aku senang banget bisa menghabiskan waktu sama kamu, Arka,” kata Dina, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tak terbendung.Dina merasa dunia ini milik mereka berdua, dan Arka adalah satu-satunya orang yang bisa memberinya kebahagiaan yang ia impikan selama ini. Namun, Arka hanya merespon pelukan itu dengan tangan yang agak kaku. Ia menggenggam tangan Dina, meski seolah tidak sepenuhnya merasakannya. Ada perasa
Malam-malam berlalu dengan kegelisahan yang semakin menguasai hati Alea. Setiap detik seakan terasa lebih berat dari sebelumnya, menyusul kejadian demi kejadian yang tak kunjung menyelesaikan permasalahan yang membelenggu pernikahannya. Namun, satu hal yang selalu menguatkan adalah sosok Raka, anak mereka yang masih kecil, yang seolah menjadi pengingat bagi Alea untuk tetap bertahan. Ia berusaha memendam rasa kecewa terhadap Arka yang semakin menjauh, berusaha memberi Raka perhatian yang lebih. Tapi, kali ini, malam itu, keadaan berubah drastis. Sekitar pukul 1 pagi, Alea terbangun dari tiduran yang gelisah. Ia mendengar suara tangisan Raka yang tak biasanya, begitu keras dan penuh kesakitan. Biasanya, Raka jarang sekali menangis di malam hari. Kecemasannya langsung memuncak. Tanpa pikir panjang, Alea berlari ke kamar anaknya, dan betapa terkejutnya ia melihat Raka terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya terasa panas, dan napasnya tersengal-sengal. Anak kecil itu menggigil, matan
“Alea, bagaimana keadaan Raka? Maaf, tadi aku tidak bisa mengangkat telepon,” tanya Arka dengan suara penuh kekhawatiran. Alea menjawab dengan nada datar, menyembunyikan kekecewaannya. “Dia sudah lebih baik sekarang. Untungnya ada yang bisa membantu.” Arka merasakan nada dingin dari Alea dan bertanya, “Siapa yang mengantarkan kalian ke rumah sakit?” “Temanku yang membantuku semalam,” jawab Alea. “Kamu tidak bisa dihubungi, jadi aku tidak punya pilihan lain.” Setelah panggilan telepon dengan Alea, Arka menutup ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Wajahnya terlihat cemas, dan Dina, yang memperhatikan ekspresinya sejak tadi, akhirnya tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dina mendekat sambil bertanya dengan nada dingin, “Siapa yang kamu telepon, Arka? Jangan bilang kamu memikirkan keluargamu lagi, padahal kita sedang liburan loh.” Arka tampak terganggu dan berbisik pelan pada Dina, “Raka sakit tadi malam, Dina. Aku hanya memastikan dia sudah baik-baik saja.” Dina
Setelah telepon dari Arka, Alea merasa hatinya semakin dingin. Perasaan kecewa yang ia pendam selama ini perlahan berubah menjadi kelelahan emosional. Ia melihat Raka yang masih tertidur dengan tenang, wajah kecilnya terlihat lebih damai setelah malam yang berat. Alea teringat pada Randy. Meski ia merasa bersyukur atas bantuan Randy, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Bagaimana pun, ia masih istri Arka, dan kehadiran Randy di saat-saat seperti ini membuat pikirannya semakin kacau. Saat matahari mulai meninggi, Alea duduk di dapur, memandangi secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia memutar ulang percakapan dengan Randy tadi malam. Kata-kata Randy yang penuh perhatian terus terngiang di benaknya, memberikan perasaan yang aneh sekaligus kenyamanan yang tidak ia dapatkan dari Arka. Alea bergumam pada dirinya sendiri, "Apakah aku terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tidak ada untukku ketika aku benar-benar membutuhkannya?" Namun, ia buru-buru menepis pikiran itu. Baginya,
Pagi itu, Arka bangun lebih awal dari biasanya. Suara jam alarm yang berdenting terasa lebih keras di telinganya, mengingatkan pada semua ketegangan yang masih menggantung dalam rumahnya. Di luar, cahaya matahari pagi mulai menyelinap melalui celah-celah jendela, memancar hangat ke dalam kamar tidur, namun hatinya tetap terasa berat. Setelah beberapa menit duduk di tepi tempat tidur, Arka memutuskan untuk meninggalkan kamar dan pergi ke dapur. Ia ingin memulai hari dengan hal yang berbeda, sesuatu yang sederhana dan bisa memberinya ketenangan. Tapi yang pertama kali menyambutnya bukanlah rasa damai, melainkan suara langkah kaki kecil yang datang dari arah ruang tamu. Raka, yang baru saja bangun, tampak sedikit bingung saat melihat ayahnya yang sudah ada di dapur. "Ayah, kok udah bangun?" tanya Raka dengan suara masih serak, matanya yang mengantuk memandang Arka. Arka tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Ayah udah bangun. Kamu juga bangun pagi ya?" jawabnya sambil berjalan ke
Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya
Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn
Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco
Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya
Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du
Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan
Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung
Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A
Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek