Pagi itu, suasana di rumah terasa berbeda. Arka bangun seperti biasanya, dengan langkah pelan menuju ruang makan. Biasanya, aroma sarapan yang hangat menyambutnya. Alea akan sudah di meja, menunggu dengan senyum tipis yang terkadang disertai tawa ringan, sementara Raka akan sibuk dengan mainannya di sudut meja. Tapi pagi ini, yang menyambutnya hanya keheningan.Meja makan yang biasanya penuh dengan piring, mangkuk, dan gelas, yang kadang ia tolak. Kini hanya ada secangkir kopi yang belum tersentuh, dibiarkan mendingin oleh waktu.Arka berdiri di pintu ruang makan, memandang meja itu kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia merasa ada yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. Sebuah kekosongan yang begitu dalam, menggerogoti hatinya tanpa bisa ia hindari.Dia melangkah masuk, duduk di kursi yang biasa ia duduki. Tangannya menyentuh cangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Rasanya pahit, lebih dari sekadar kopi yang kurang manis. Rasa pahit itu menusuk, membuat dad
Setelah sepanjang hari yang panjang di kantor, Arka akhirnya pulang ke rumah sekitar pukul tujuh malam. Udara malam yang agak sejuk menyambutnya saat ia memasuki rumah. Suasana rumah yang semula tampak biasa, kini terasa berbeda. Suasana hati antara dirinya dan Alea, istrinya, semakin terasa tegang, seolah setiap sudut rumah menyimpan ketegangan yang belum terucapkan. Alea sedang berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Suara panci dan wajan yang beradu terdengar pelan, memberi tanda bahwa ia sedang sibuk menyiapkan hidangan. Arka menanggalkan jas kerjanya, kemudian melangkah masuk ke ruang makan dengan langkah pelan. Ia mencoba untuk tampak tenang, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Alea menoleh saat mendengar langkah Arka mendekat, memberikan senyum tipis sebagai sapaan, meskipun di dalam hatinya, ada pertanyaan yang menggantung tentang keadaan rumah tangga mereka yang semakin jauh. “Mas, makan malam sudah siap,” ujar Alea,
Arka membalas senyumnya, namun tak ada kehangatan yang sejati dalam ekspresinya. Senyum itu lebih terlihat seperti basa basi daripada kebahagiaan yang tulus. “Akhirnya aku bisa sedikit bernafas dengan lega, Din,” ujarnya dengan nada yang terdengar lebih datar, meski mencoba terdengar antusias. Suaranya tidak seterang atau sehangat saat ia berbicara dengan Alea, bahkan lebih terdengar seolah sebuah pengalihan dari perasaan yang mulai mengganggu pikirannya. Dina, yang tak melihat keraguan sedikit pun di wajah Arka, langsung memeluknya dengan erat, penuh keceriaan. “Aku senang banget bisa menghabiskan waktu sama kamu, Arka,” kata Dina, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tak terbendung.Dina merasa dunia ini milik mereka berdua, dan Arka adalah satu-satunya orang yang bisa memberinya kebahagiaan yang ia impikan selama ini. Namun, Arka hanya merespon pelukan itu dengan tangan yang agak kaku. Ia menggenggam tangan Dina, meski seolah tidak sepenuhnya merasakannya. Ada perasa
Malam-malam berlalu dengan kegelisahan yang semakin menguasai hati Alea. Setiap detik seakan terasa lebih berat dari sebelumnya, menyusul kejadian demi kejadian yang tak kunjung menyelesaikan permasalahan yang membelenggu pernikahannya. Namun, satu hal yang selalu menguatkan adalah sosok Raka, anak mereka yang masih kecil, yang seolah menjadi pengingat bagi Alea untuk tetap bertahan. Ia berusaha memendam rasa kecewa terhadap Arka yang semakin menjauh, berusaha memberi Raka perhatian yang lebih. Tapi, kali ini, malam itu, keadaan berubah drastis. Sekitar pukul 1 pagi, Alea terbangun dari tiduran yang gelisah. Ia mendengar suara tangisan Raka yang tak biasanya, begitu keras dan penuh kesakitan. Biasanya, Raka jarang sekali menangis di malam hari. Kecemasannya langsung memuncak. Tanpa pikir panjang, Alea berlari ke kamar anaknya, dan betapa terkejutnya ia melihat Raka terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya terasa panas, dan napasnya tersengal-sengal. Anak kecil itu menggigil, matan
“Alea, bagaimana keadaan Raka? Maaf, tadi aku tidak bisa mengangkat telepon,” tanya Arka dengan suara penuh kekhawatiran. Alea menjawab dengan nada datar, menyembunyikan kekecewaannya. “Dia sudah lebih baik sekarang. Untungnya ada yang bisa membantu.” Arka merasakan nada dingin dari Alea dan bertanya, “Siapa yang mengantarkan kalian ke rumah sakit?” “Temanku yang membantuku semalam,” jawab Alea. “Kamu tidak bisa dihubungi, jadi aku tidak punya pilihan lain.” Setelah panggilan telepon dengan Alea, Arka menutup ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Wajahnya terlihat cemas, dan Dina, yang memperhatikan ekspresinya sejak tadi, akhirnya tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dina mendekat sambil bertanya dengan nada dingin, “Siapa yang kamu telepon, Arka? Jangan bilang kamu memikirkan keluargamu lagi, padahal kita sedang liburan loh.” Arka tampak terganggu dan berbisik pelan pada Dina, “Raka sakit tadi malam, Dina. Aku hanya memastikan dia sudah baik-baik saja.” Dina
Setelah telepon dari Arka, Alea merasa hatinya semakin dingin. Perasaan kecewa yang ia pendam selama ini perlahan berubah menjadi kelelahan emosional. Ia melihat Raka yang masih tertidur dengan tenang, wajah kecilnya terlihat lebih damai setelah malam yang berat. Alea teringat pada Randy. Meski ia merasa bersyukur atas bantuan Randy, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Bagaimana pun, ia masih istri Arka, dan kehadiran Randy di saat-saat seperti ini membuat pikirannya semakin kacau. Saat matahari mulai meninggi, Alea duduk di dapur, memandangi secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia memutar ulang percakapan dengan Randy tadi malam. Kata-kata Randy yang penuh perhatian terus terngiang di benaknya, memberikan perasaan yang aneh sekaligus kenyamanan yang tidak ia dapatkan dari Arka. Alea bergumam pada dirinya sendiri, "Apakah aku terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tidak ada untukku ketika aku benar-benar membutuhkannya?" Namun, ia buru-buru menepis pikiran itu. Baginya,
Pagi itu, Arka bangun lebih awal dari biasanya. Suara jam alarm yang berdenting terasa lebih keras di telinganya, mengingatkan pada semua ketegangan yang masih menggantung dalam rumahnya. Di luar, cahaya matahari pagi mulai menyelinap melalui celah-celah jendela, memancar hangat ke dalam kamar tidur, namun hatinya tetap terasa berat. Setelah beberapa menit duduk di tepi tempat tidur, Arka memutuskan untuk meninggalkan kamar dan pergi ke dapur. Ia ingin memulai hari dengan hal yang berbeda, sesuatu yang sederhana dan bisa memberinya ketenangan. Tapi yang pertama kali menyambutnya bukanlah rasa damai, melainkan suara langkah kaki kecil yang datang dari arah ruang tamu. Raka, yang baru saja bangun, tampak sedikit bingung saat melihat ayahnya yang sudah ada di dapur. "Ayah, kok udah bangun?" tanya Raka dengan suara masih serak, matanya yang mengantuk memandang Arka. Arka tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Ayah udah bangun. Kamu juga bangun pagi ya?" jawabnya sambil berjalan ke
Beberapa hari setelah peristiwa itu, Arka mulai merasa tubuhnya lelah. Pekerjaan yang menumpuk, tekanan dalam kehidupan rumah tangga, rasa bersalah yang terus menghantuinya seolah menguras semua tenaganya, dan juga Dina. Awalnya ia berusaha menepis perasaan lelah itu, menganggapnya sebagai efek dari stres yang biasa, namun ketika tubuhnya mulai merasakan demam yang tak kunjung reda, ia menyadari bahwa tubuhnya sedang memberi sinyal. Pagi itu, saat ia terbangun, rasa pusing yang luar biasa langsung menyerang. Arka berusaha bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Langkahnya oleng, dan akhirnya ia terjatuh kembali ke tempat tidur. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Alea, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mendengar suara dari kamar Arka. Ia segera berlari menuju kamar dan terkejut melihat suaminya terkulai lemas di atas tempat tidur. "Mas ?!" serunya panik, lalu mendekat dengan cepat. "Kamu kenapa?" Arka membuka matanya dan mencoba tersenyum m
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”
Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru
Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p
Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega
Beberapa saat kemudian, Nyonya Mirna ibunya Arka tiba. Nyonya Mirna datang dengan wajah ramah, membawa makanan ringan dan beberapa barang kebutuhan Alea. Segera, ia duduk di samping tempat tidur Alea dan menyentuh tangan putrinya dengan lembut. “Alea, nak, kamu sudah lebih baik? Bagaimana perasaanmu?” Alea tersenyum lemah. "Lebih baik, Bu. Hanya butuh waktu untuk pulih." Ia mengangkat pandangannya ke arah ibu Arka. "Arka pasti cemas, ya?" Nyonya Mirna mengangguk dengan penuh perhatian. "Dia pasti sangat khawatir. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Alea. Arka sudah menghubungi ibu untuk menjaga kamu hari ini. Dia akan kembali lebih cepat setelah pekerjaan selesai. Maaf kalau ibu jarang datang berkunjung, ya." Alea mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega dengan kehadiran ibu Arka. "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok, rumah ibu kan jauh. Terima kasih ya, Bu, sudah menyempatkan datang dan menjaga aku di sini. Kadang aku khawatir, Bu. Tapi aku tahu aku harus kuat, untuk keluarga k
Arka merasa hatinya terombang-ambing ketika ia meninggalkan rumah sakit pagi itu. Setelah memastikan Alea tertidur dan dalam keadaan stabil, ia harus kembali bekerja. Meskipun perasaannya enggan, Arka tahu, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dalam waktu yang lama. Namun, ia berjanji akan segera kembali, tepat waktu. Ia mengirim pesan singkat kepada ibunya untuk memberitahukan bahwa ia akan menggantikan posisinya menjaga Alea di rumah sakit sore nanti. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Arka juga memberi tahu ibunya bahwa ia perlu datang untuk menemani Alea, karena kondisi Alea yang masih lemah dan membutuhkan perhatian penuh. Ibu Arka segera menyanggupi untuk datang ke rumah sakit dan menjaganya. Walaupun jarak rumah dan rumah sakit lumayan jauh. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Arka akhirnya melangkah keluar menuju mobilnya. --- Di ruang perawatan rumah sakit, Alea terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lelah setelah istirahat semalaman. Ruangan rumah
Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai