Beranda / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 23 : Bayangan di Antara Mereka

Share

Bab 23 : Bayangan di Antara Mereka

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-09 19:54:52

Arka membalas senyumnya, namun tak ada kehangatan yang sejati dalam ekspresinya. Senyum itu lebih terlihat seperti basa basi daripada kebahagiaan yang tulus. “Akhirnya aku bisa sedikit bernafas dengan lega, Din,” ujarnya dengan nada yang terdengar lebih datar, meski mencoba terdengar antusias.

Suaranya tidak seterang atau sehangat saat ia berbicara dengan Alea, bahkan lebih terdengar seolah sebuah pengalihan dari perasaan yang mulai mengganggu pikirannya.

Dina, yang tak melihat keraguan sedikit pun di wajah Arka, langsung memeluknya dengan erat, penuh keceriaan.

“Aku senang banget bisa menghabiskan waktu sama kamu, Arka,” kata Dina, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tak terbendung.

Dina merasa dunia ini milik mereka berdua, dan Arka adalah satu-satunya orang yang bisa memberinya kebahagiaan yang ia impikan selama ini.

Namun, Arka hanya merespon pelukan itu dengan tangan yang agak kaku. Ia menggenggam tangan Dina, meski seolah tidak sepenuhnya merasakannya. Ada perasa
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 24 : Badai Malam Itu

    Malam-malam berlalu dengan kegelisahan yang semakin menguasai hati Alea. Setiap detik seakan terasa lebih berat dari sebelumnya, menyusul kejadian demi kejadian yang tak kunjung menyelesaikan permasalahan yang membelenggu pernikahannya. Namun, satu hal yang selalu menguatkan adalah sosok Raka, anak mereka yang masih kecil, yang seolah menjadi pengingat bagi Alea untuk tetap bertahan. Ia berusaha memendam rasa kecewa terhadap Arka yang semakin menjauh, berusaha memberi Raka perhatian yang lebih. Tapi, kali ini, malam itu, keadaan berubah drastis. Sekitar pukul 1 pagi, Alea terbangun dari tiduran yang gelisah. Ia mendengar suara tangisan Raka yang tak biasanya, begitu keras dan penuh kesakitan. Biasanya, Raka jarang sekali menangis di malam hari. Kecemasannya langsung memuncak. Tanpa pikir panjang, Alea berlari ke kamar anaknya, dan betapa terkejutnya ia melihat Raka terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya terasa panas, dan napasnya tersengal-sengal. Anak kecil itu menggigil, matan

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-09
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 25 : Dua Dunia, Satu Pilihan

    “Alea, bagaimana keadaan Raka? Maaf, tadi aku tidak bisa mengangkat telepon,” tanya Arka dengan suara penuh kekhawatiran. Alea menjawab dengan nada datar, menyembunyikan kekecewaannya. “Dia sudah lebih baik sekarang. Untungnya ada yang bisa membantu.” Arka merasakan nada dingin dari Alea dan bertanya, “Siapa yang mengantarkan kalian ke rumah sakit?” “Temanku yang membantuku semalam,” jawab Alea. “Kamu tidak bisa dihubungi, jadi aku tidak punya pilihan lain.” Setelah panggilan telepon dengan Alea, Arka menutup ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Wajahnya terlihat cemas, dan Dina, yang memperhatikan ekspresinya sejak tadi, akhirnya tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dina mendekat sambil bertanya dengan nada dingin, “Siapa yang kamu telepon, Arka? Jangan bilang kamu memikirkan keluargamu lagi, padahal kita sedang liburan loh.” Arka tampak terganggu dan berbisik pelan pada Dina, “Raka sakit tadi malam, Dina. Aku hanya memastikan dia sudah baik-baik saja.” Dina

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 26 : Mencari Jalan Pulang

    Setelah telepon dari Arka, Alea merasa hatinya semakin dingin. Perasaan kecewa yang ia pendam selama ini perlahan berubah menjadi kelelahan emosional. Ia melihat Raka yang masih tertidur dengan tenang, wajah kecilnya terlihat lebih damai setelah malam yang berat. Alea teringat pada Randy. Meski ia merasa bersyukur atas bantuan Randy, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Bagaimana pun, ia masih istri Arka, dan kehadiran Randy di saat-saat seperti ini membuat pikirannya semakin kacau. Saat matahari mulai meninggi, Alea duduk di dapur, memandangi secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia memutar ulang percakapan dengan Randy tadi malam. Kata-kata Randy yang penuh perhatian terus terngiang di benaknya, memberikan perasaan yang aneh sekaligus kenyamanan yang tidak ia dapatkan dari Arka. Alea bergumam pada dirinya sendiri, "Apakah aku terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tidak ada untukku ketika aku benar-benar membutuhkannya?" Namun, ia buru-buru menepis pikiran itu. Baginya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 27 : Tepi Perasaan

    Pagi itu, Arka bangun lebih awal dari biasanya. Suara jam alarm yang berdenting terasa lebih keras di telinganya, mengingatkan pada semua ketegangan yang masih menggantung dalam rumahnya. Di luar, cahaya matahari pagi mulai menyelinap melalui celah-celah jendela, memancar hangat ke dalam kamar tidur, namun hatinya tetap terasa berat. Setelah beberapa menit duduk di tepi tempat tidur, Arka memutuskan untuk meninggalkan kamar dan pergi ke dapur. Ia ingin memulai hari dengan hal yang berbeda, sesuatu yang sederhana dan bisa memberinya ketenangan. Tapi yang pertama kali menyambutnya bukanlah rasa damai, melainkan suara langkah kaki kecil yang datang dari arah ruang tamu. Raka, yang baru saja bangun, tampak sedikit bingung saat melihat ayahnya yang sudah ada di dapur. "Ayah, kok udah bangun?" tanya Raka dengan suara masih serak, matanya yang mengantuk memandang Arka. Arka tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Ayah udah bangun. Kamu juga bangun pagi ya?" jawabnya sambil berjalan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 28 : Cinta yang Menyembuhkan

    Beberapa hari setelah peristiwa itu, Arka mulai merasa tubuhnya lelah. Pekerjaan yang menumpuk, tekanan dalam kehidupan rumah tangga, rasa bersalah yang terus menghantuinya seolah menguras semua tenaganya, dan juga Dina. Awalnya ia berusaha menepis perasaan lelah itu, menganggapnya sebagai efek dari stres yang biasa, namun ketika tubuhnya mulai merasakan demam yang tak kunjung reda, ia menyadari bahwa tubuhnya sedang memberi sinyal. Pagi itu, saat ia terbangun, rasa pusing yang luar biasa langsung menyerang. Arka berusaha bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Langkahnya oleng, dan akhirnya ia terjatuh kembali ke tempat tidur. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Alea, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mendengar suara dari kamar Arka. Ia segera berlari menuju kamar dan terkejut melihat suaminya terkulai lemas di atas tempat tidur. "Mas ?!" serunya panik, lalu mendekat dengan cepat. "Kamu kenapa?" Arka membuka matanya dan mencoba tersenyum m

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 29 : Kembali

    Hujan di luar semakin deras, membuat suasana kamar terasa lebih hangat dan damai. Alea masih bersandar pada bantal disebelah Arka, sementara Arka kini berbaring lebih dekat di sisinya. Tangannya masih menggenggam tangan Alea, jari-jarinya bermain lembut di punggung tangan istrinya. “Alea,” panggil Arka pelan, nadanya penuh kelembutan. “Hm?” jawab Alea, sedikit mengalihkan pandangan ke arah suaminya. “Aku kangen sama semuanya... sama kita.” Suara Arka terdengar rendah dan penuh emosi. “Aku tahu aku banyak salah. Aku nggak pernah benar-benar ada buat kamu seperti dulu.” Alea tidak segera menjawab, tetapi tatapannya melembut. Ia tahu kata-kata Arka kali ini bukan sekadar permintaan maaf biasa. Ada kejujuran di sana, sesuatu yang selama ini tidak ia dengar dari suaminya. “Sudahlah, Mas. Kamu butuh istirahat,” Alea berusaha mengalihkan topik, meski hatinya mulai goyah. Tapi Arka tidak menyerah. Ia menarik Alea perlahan, memintanya untuk lebih dekat. “Aku nggak mau tidur sebelum

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 30 : Di Antara Rasa yang Tersimpan

    Pagi keesokan harinya, Arka memasuki kantor dengan langkah ragu. Hari pertama setelah ia sembuh dari sakit, dan ia merasa ada beban berat yang harus dihadapinya. Sebisa mungkin, ia ingin menghindari Dina. Semua yang terjadi antara mereka membuat Arka merasa bahwa kedekatan itu adalah kesalahan besar. Alea telah menunjukkan perhatian yang tulus, sesuatu yang mengingatkannya kembali pada alasan ia jatuh cinta kepada istrinya. Namun, Dina tidak semudah itu dihindari. Saat Arka berjalan menuju ruangannya, Dina sudah berdiri di depan pintu, tangan terlipat di dada, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit ditebak. “Arka,” sapanya dengan nada dingin, “Kenapa nggak ada kabar? Kamu sakit dan nggak cerita apa-apa?” Arka berhenti, menatapnya dengan gugup. “Maaf, Dina. Aku nggak sempat kasih tahu. Lagipula, nggak perlu semua orang tahu soal itu, kan?” Dina mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawabannya. “Semua orang? Aku bukan semua orang, Arka. Aku pikir, setidaknya kamu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-11
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 31 : Jejak yang Tertinggal

    Malam tiba, membawa serta angin lembut yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar Alea. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Cangkir teh yang sudah dingin masih tergenggam di tangannya, namun pikirannya mengembara jauh, kembali ke momen di kafe tadi siang. Semua yang terjadi masih berputar-putar dalam benaknya, seperti putaran roda yang tak pernah berhenti. Randy. Nama itu terus berputar di kepalanya, meskipun ia mencoba mengusirnya. Kata-kata Randy, tatapannya, senyumnya, semuanya terasa begitu jelas dan sulit untuk diabaikan. Bahkan setelah semua yang terjadi, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Alea menghela napas panjang, mencoba mengusir kekacauan yang menggerogoti pikirannya. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri, tetapi semua usaha itu terasa sia-sia. Wajah Randy muncul begitu jelas dalam pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa ia hilangkan. Rasa itu datang begitu kuat, mes

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12

Bab terbaru

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status