Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 30 : Di Antara Rasa yang Tersimpan

Share

Bab 30 : Di Antara Rasa yang Tersimpan

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-12-11 22:05:24

Pagi keesokan harinya, Arka memasuki kantor dengan langkah ragu. Hari pertama setelah ia sembuh dari sakit, dan ia merasa ada beban berat yang harus dihadapinya.

Sebisa mungkin, ia ingin menghindari Dina. Semua yang terjadi antara mereka membuat Arka merasa bahwa kedekatan itu adalah kesalahan besar. Alea telah menunjukkan perhatian yang tulus, sesuatu yang mengingatkannya kembali pada alasan ia jatuh cinta kepada istrinya.

Namun, Dina tidak semudah itu dihindari.

Saat Arka berjalan menuju ruangannya, Dina sudah berdiri di depan pintu, tangan terlipat di dada, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit ditebak. “Arka,” sapanya dengan nada dingin, “Kenapa nggak ada kabar? Kamu sakit dan nggak cerita apa-apa?”

Arka berhenti, menatapnya dengan gugup. “Maaf, Dina. Aku nggak sempat kasih tahu. Lagipula, nggak perlu semua orang tahu soal itu, kan?”

Dina mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawabannya. “Semua orang? Aku bukan semua orang, Arka. Aku pikir, setidaknya kamu
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 31 : Jejak yang Tertinggal

    Malam tiba, membawa serta angin lembut yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar Alea. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Cangkir teh yang sudah dingin masih tergenggam di tangannya, namun pikirannya mengembara jauh, kembali ke momen di kafe tadi siang. Semua yang terjadi masih berputar-putar dalam benaknya, seperti putaran roda yang tak pernah berhenti. Randy. Nama itu terus berputar di kepalanya, meskipun ia mencoba mengusirnya. Kata-kata Randy, tatapannya, senyumnya, semuanya terasa begitu jelas dan sulit untuk diabaikan. Bahkan setelah semua yang terjadi, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Alea menghela napas panjang, mencoba mengusir kekacauan yang menggerogoti pikirannya. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri, tetapi semua usaha itu terasa sia-sia. Wajah Randy muncul begitu jelas dalam pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa ia hilangkan. Rasa itu datang begitu kuat, mes

    Last Updated : 2024-12-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 32 : Antara Dua Pilihan

    Malam itu, Arka duduk di teras rumah, memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh sesak oleh rasa bersalah dan kebingungan. Dina masih memenuhi pikirannya, meski ia tahu tidak seharusnya begitu. Di sisi lain, ada Alea yang perlahan membuka hatinya kembali untuknya, memberikan cinta yang seharusnya ia jaga sejak awal. Langkah lembut terdengar mendekat. Alea keluar dari dalam rumah dengan membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arka tanpa berkata apa-apa. Suasana sunyi di antara mereka, tetapi tidak canggung. Hanya ada suara angin malam yang berembus pelan. "Kamu kenapa duduk di luar? Lagi banyak pikiran, Mas?" tanya Alea akhirnya, memecah keheningan. Arka mengangguk pelan. "Iya, cuma lagi... bingung aja." Alea memandangnya, mencoba menangkap emosi di wajah suaminya. "Kalau ada yang bisa aku bantu, kamu bisa cerita." Arka menghela napas panjang. "Kadang aku merasa, aku nggak layak dapat kesempatan kedua dari kamu." Alea terdiam sejenak. Ia

    Last Updated : 2024-12-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 33 : Bayang-Bayang yang Tak Terjamah

    Randy menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan yang ia kirim untuk Alea tadi malam masih tak berbalas. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alea telah membacanya. Sebuah notifikasi kecil yang biasanya ia harapkan muncul kini terasa seperti siksaan, mengingatkannya bahwa ia sedang menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan. Sambil menghela napas panjang, ia meletakkan ponselnya di meja, mencoba mengalihkan perhatian pada pekerjaan yang menumpuk. Namun, fokusnya terus melompat-lompat, seolah-olah seluruh pikirannya terikat pada bayangan wanita itu. Suara lembut Alea, cara ia tertawa pelan saat mendengar sesuatu yang konyol, hingga tatapan matanya yang menyiratkan kerinduan akan kebahagiaan, semua itu begitu menghantui Randy. Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang perlahan menguasainya. Tapi ketegangan itu bukan hanya berasal dari pekerjaannya, melainkan dari pergulatan batinnya sendiri. Di satu sisi, ia tahu Alea bukan miliknya. Tidak pernah

    Last Updated : 2024-12-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 34 : Cahaya di Balik Pagi

    Pagi itu, sinar mentari lembut menyelinap melalui tirai jendela dapur, memantulkan cahaya ke permukaan meja makan yang telah tertata rapi. Aroma sup ayam yang mengepul dari panci memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang mengusir sisa dingin malam. Alea berdiri di depan kompor, tangannya dengan cekatan mengaduk kuah sambil tersenyum kecil. Dari arah ruang tengah, langkah kaki kecil terdengar mendekat, disusul suara lembut yang memecah keheningan. "Selamat pagi, Bunda," ucap Raka, suaranya masih serak khas anak yang baru bangun tidur. Rambutnya kusut, matanya sedikit sembab, tetapi senyumnya yang manis tidak pernah gagal membuat Alea merasa damai. "Selamat pagi, Sayang. Tidurnya nyenyak?" Alea menyambutnya dengan senyum hangat, sambil mengusap kepala Raka yang penuh kasih. Raka mengangguk polos. "Iya, tapi aku lapar," katanya dengan nada menggemaskan. Alea tertawa kecil. "Sebentar lagi supnya jadi, ya. Sudah Bunda siapkan mangkuknya di meja," ujarnya, menunjuk ke arah

    Last Updated : 2024-12-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 35 : Keraguan

    Arka duduk di depan komputernya dan mulai mengetik, namun tangannya tak terasa lambat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Raka, tentang Alea, dan tentang masa depan mereka. Meski langkahnya penuh keraguan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Arka tahu bahwa jalan mereka masih panjang, dan banyak hal yang harus diputuskan. Namun, dengan langkah perlahan, mereka mungkin bisa kembali menemukan kebahagiaan yang mereka miliki dulu. Di luar jendela kantornya, langit tampak cerah. Meskipun hari baru saja dimulai, Arka merasa sedikit lebih optimis. Dia tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapai kebahagiaan, namun jika mereka bisa melalui hari-hari ini bersama, mungkin masa depan mereka bisa lebih baik. Dan dengan langkah kecil itu, Arka mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semua yang mereka butuhkan adalah sedikit waktu, sedikit harapan, dan usaha yang terus menerus. Namun tiba-tiba Dina muncul dengan senyum yang sudah sangat familiar bagi Arka, tetapi kali

    Last Updated : 2024-12-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 36 : Bunga yang Menghadirkan Dilema

    Arka terdiam sejenak, mencoba mengontrol diri. "Dina, ini bukan waktunya untuk membahas itu." Dina tersenyum miring, senyum yang lebih mirip senyum penuh dendam. "Oh, jadi ini caramu memperbaiki semuanya? Membeli bunga untuk istrimu, setelah semua yang kamu katakan padaku? Kamu kira ini akan menyelesaikan masalah?" Suasana semakin tegang. Arka merasa hatinya berat, namun ia mencoba untuk tetap tenang. "Dina, aku sudah membuat keputusan. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Alea. Kita sudah bicara tentang ini. Aku lelah, Dina!!" Namun, Dina tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut. Ia melangkah lebih dekat lagi, hampir tidak memberi ruang bagi Arka untuk bernafas. "Kamu pikir aku bodoh?" Dina berteriak, suara hatinya terpecah. "Kamu pikir kamu bisa membeli dirimu keluar dari masalah ini dengan sekuntum bunga? Kamu pikir kamu bisa melupakan semua yang kita lalui begitu saja? Kamu dan Alea memang seharusnya bahagia, tapi jangan harap aku akan tinggal diam!" Arka merasa hati

    Last Updated : 2024-12-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 37 : Ketegangan yang Memuncak

    Keesokan harinya dikantor. Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Dina, Arka merasa dadanya semakin sesak. Ia telah mengorbankan banyak waktu dan energi untuk memperbaiki hubungan dengan Alea, berharap bahwa sedikit perhatian yang dia tunjukkan akan dapat menyembuhkan luka-luka lama. Namun, Dina ternyata bukan ancaman yang bisa ia hindari begitu saja. Arka duduk di kursi kantornya, merasa berat. Proyek besar yang dikelola oleh dua tim berbeda, timnya yang dipimpin oleh Arka dan tim Dina yang kini juga terlibat, semakin rumit. Keterlambatan proyek sudah menjadi masalah besar, tetapi masalah yang lebih mengkhawatirkan adalah persaingan di dalam tim-tim itu sendiri, yang semakin terasa. Arka berusaha fokus pada laporan-laporan yang ada di meja kerjanya, tapi pikirannya terus teralihkan ke berbagai percakapan yang terjadi di antara para anggota tim. Beberapa minggu terakhir, hubungan antara dua tim ini terasa semakin renggang, terutama setelah Dina secara terang-terangan men

    Last Updated : 2024-12-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 38 : Ketenangan Hati

    Arka menghela napas panjang ketika dia melewati pintu depan rumah, merasakan seluruh kelelahan dan tekanan hari itu menggerogoti tubuhnya. Pekerjaan yang belum selesai, masalah yang terus mengendap di benaknya, dan ketidakpastian yang melingkupi hubungan mereka semua menambah beban di pundaknya. Meskipun ia mencoba tetap tegar di luar, di dalam, ia merasa semakin terperangkap oleh tanggung jawab yang tak kunjung berakhir. Ruangan rumah yang gelap terasa seperti tempat perlindungan bagi Arka. Tanpa suara kecuali detak jam dinding, ruang tamu yang sunyi itu memberikan kedamaian yang sangat dibutuhkannya. Pintu yang baru saja dia tutup memberikan sensasi seakan menghalangi dunia luar sejenak, memisahkannya dari hiruk-pikuk yang terus berputar di luar sana. Ketika Arka melangkah ke ruang tengah, dia melihat Alea duduk di depan kanvas besar yang terletak di sudut ruangan. Dengan kuas di tangan, Alea tampak sangat tenggelam dalam dunianya sendiri. Setiap goresan di kanvas seakan men

    Last Updated : 2024-12-14

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 137: Jejak Pengkhianatan

    Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak. “Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.” Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima. “Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?” Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status