Arka duduk di depan komputernya dan mulai mengetik, namun tangannya tak terasa lambat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Raka, tentang Alea, dan tentang masa depan mereka. Meski langkahnya penuh keraguan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Arka tahu bahwa jalan mereka masih panjang, dan banyak hal yang harus diputuskan. Namun, dengan langkah perlahan, mereka mungkin bisa kembali menemukan kebahagiaan yang mereka miliki dulu. Di luar jendela kantornya, langit tampak cerah. Meskipun hari baru saja dimulai, Arka merasa sedikit lebih optimis. Dia tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapai kebahagiaan, namun jika mereka bisa melalui hari-hari ini bersama, mungkin masa depan mereka bisa lebih baik. Dan dengan langkah kecil itu, Arka mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semua yang mereka butuhkan adalah sedikit waktu, sedikit harapan, dan usaha yang terus menerus. Namun tiba-tiba Dina muncul dengan senyum yang sudah sangat familiar bagi Arka, tetapi kali
Arka terdiam sejenak, mencoba mengontrol diri. "Dina, ini bukan waktunya untuk membahas itu." Dina tersenyum miring, senyum yang lebih mirip senyum penuh dendam. "Oh, jadi ini caramu memperbaiki semuanya? Membeli bunga untuk istrimu, setelah semua yang kamu katakan padaku? Kamu kira ini akan menyelesaikan masalah?" Suasana semakin tegang. Arka merasa hatinya berat, namun ia mencoba untuk tetap tenang. "Dina, aku sudah membuat keputusan. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Alea. Kita sudah bicara tentang ini. Aku lelah, Dina!!" Namun, Dina tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut. Ia melangkah lebih dekat lagi, hampir tidak memberi ruang bagi Arka untuk bernafas. "Kamu pikir aku bodoh?" Dina berteriak, suara hatinya terpecah. "Kamu pikir kamu bisa membeli dirimu keluar dari masalah ini dengan sekuntum bunga? Kamu pikir kamu bisa melupakan semua yang kita lalui begitu saja? Kamu dan Alea memang seharusnya bahagia, tapi jangan harap aku akan tinggal diam!" Arka merasa hati
Keesokan harinya dikantor. Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Dina, Arka merasa dadanya semakin sesak. Ia telah mengorbankan banyak waktu dan energi untuk memperbaiki hubungan dengan Alea, berharap bahwa sedikit perhatian yang dia tunjukkan akan dapat menyembuhkan luka-luka lama. Namun, Dina ternyata bukan ancaman yang bisa ia hindari begitu saja. Arka duduk di kursi kantornya, merasa berat. Proyek besar yang dikelola oleh dua tim berbeda, timnya yang dipimpin oleh Arka dan tim Dina yang kini juga terlibat, semakin rumit. Keterlambatan proyek sudah menjadi masalah besar, tetapi masalah yang lebih mengkhawatirkan adalah persaingan di dalam tim-tim itu sendiri, yang semakin terasa. Arka berusaha fokus pada laporan-laporan yang ada di meja kerjanya, tapi pikirannya terus teralihkan ke berbagai percakapan yang terjadi di antara para anggota tim. Beberapa minggu terakhir, hubungan antara dua tim ini terasa semakin renggang, terutama setelah Dina secara terang-terangan men
Arka menghela napas panjang ketika dia melewati pintu depan rumah, merasakan seluruh kelelahan dan tekanan hari itu menggerogoti tubuhnya. Pekerjaan yang belum selesai, masalah yang terus mengendap di benaknya, dan ketidakpastian yang melingkupi hubungan mereka semua menambah beban di pundaknya. Meskipun ia mencoba tetap tegar di luar, di dalam, ia merasa semakin terperangkap oleh tanggung jawab yang tak kunjung berakhir. Ruangan rumah yang gelap terasa seperti tempat perlindungan bagi Arka. Tanpa suara kecuali detak jam dinding, ruang tamu yang sunyi itu memberikan kedamaian yang sangat dibutuhkannya. Pintu yang baru saja dia tutup memberikan sensasi seakan menghalangi dunia luar sejenak, memisahkannya dari hiruk-pikuk yang terus berputar di luar sana. Ketika Arka melangkah ke ruang tengah, dia melihat Alea duduk di depan kanvas besar yang terletak di sudut ruangan. Dengan kuas di tangan, Alea tampak sangat tenggelam dalam dunianya sendiri. Setiap goresan di kanvas seakan men
Pagi itu, Arka berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Langit masih mendung, mencerminkan suasana hatinya yang berat. Meski percakapan semalam dengan Alea sempat membuatnya merasa lebih tenang, bayang-bayang masa lalu terus mengusik pikirannya. Dina, wanita yang pernah menjadi kelemahannya, masih ada di sekitar, seperti bayangan yang sulit ia singkirkan. Begitu memasuki ruang kantor, Arka langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kolega yang biasanya ramah hanya melempar senyum tipis, lalu buru-buru kembali ke pekerjaan mereka. Arka menatap mereka satu per satu, mencoba mencari tahu penyebab ketegangan yang samar itu. “Pak Arka,” sapa Dedi, dengan nada hati-hati. Arka menoleh, matanya menyipit curiga. “Ada apa?” Dedi tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri berbicara. “Tadi pagi, Bu Dina masuk ke ruang rapat tanpa pemberitahuan. Beliau mengubah beberapa bagian proyek tanpa koordinasi dengan tim.” Arka mendengus kesal. Dina lagi. Setelah semua
Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Alea melanjutkan langkahnya menuju toko roti kecil yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hujan mulai turun dengan lebat, membuat suasana sekitar tampak suram. Di tengah hujan yang mengguyur, Alea memutuskan untuk berhenti sejenak dan membeli roti kesukaannya untuk dibawa pulang. Ia baru saja keluar dari toko, membawa kantong roti hangat di tangannya, ketika mendengar suara langkah sepatu yang mendekat. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang ia kenal. Randy, yang sedang berjalan menuju toko roti, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan melambaikan tangan. “Alea! Gak nyangka ketemu di sini!” Randy menyapa dengan suara riang, meski hujan mulai turun lebih deras. Alea mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi segera tersenyum. “Randy? Kok bisa ada di sini?” Randy tertawa, memperlihatkan senyuman lebar. “Aku juga kaget, tadi mau beli roti, eh ketemu kamu. Bisa jadi pertanda, nih!” Ia mengangkat payung besar yang ada di tangannya dan langsung men
Alea merasakan ada yang janggal. Kenapa Dina bisa ada di sini, bersama anaknya? Apakah ada yang tidak ia ketahui? Raka tampak ceria, menggenggam kantong plastik berisi makanan ringan, sementara Dina terlihat sedang berbicara dengan santai, seakan tidak ada yang aneh. Tapi wajah Alea mulai terasa cemas. Apa yang sedang terjadi? Dengan hati-hati, Alea melangkah lebih dekat, mencoba tetap tenang meski ada seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ketika Dina melihatnya, senyuman di wajahnya terlihat sangat berbeda, lebih misterius, lebih tajam. Alea menghela napas, langkahnya semakin mendekat, namun ada perasaan tidak nyaman yang mengendap di dada. Begitu sampai di depan mereka, Alea memanggil Raka. "Sayang, ayo pulang." Raka menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Bunda, ini Tante Dina, teman baru Raka. Tadi dia ngajak Raka ngobrol." Alea menatap Dina dengan tatapan tajam. "Dina?" suaranya lebih dingin daripada yang ia harapkan. Dina tersenyum tipis, seolah tidak ad
Pagi itu, setelah mengantar Raka ke sekolah, Alea merasa ada yang perlu dia selesaikan. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dina. Kenapa wanita itu bisa tahu begitu banyak tentang Raka? Bagaimana mungkin ia berada di sekolah yang sama dengan anaknya, di saat yang tidak tepat? Alea berjalan menuju ruang tamu, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Dia menghela napas panjang, meraih ponselnya, dan mencari nomor Cinta. Teman SMA Alea dan Randy, yang sekarang bekerja di kantor yang sama dengan Arka. Sepertinya, Cinta bisa memberikan sedikit pencerahan, setidaknya untuk membantu Alea memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan sedikit ragu, Alea mengetik pesan singkat, mengajak Cinta untuk bertemu. Beberapa detik kemudian, pesan itu dibaca, dan balasan pun datang. Cinta: "Hai Al! Lagi sibuk banget nih, tapi makan siang bisa, deh. Tumben, mau ngomongin apa?" Alea tersenyum, merasa sedikit lega. "Makasih Cinta! Aku butuh ngobrol. Ketemu d
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam