Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 34 : Cahaya di Balik Pagi

Share

Bab 34 : Cahaya di Balik Pagi

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-12-13 15:24:28

Pagi itu, sinar mentari lembut menyelinap melalui tirai jendela dapur, memantulkan cahaya ke permukaan meja makan yang telah tertata rapi. Aroma sup ayam yang mengepul dari panci memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang mengusir sisa dingin malam.

Alea berdiri di depan kompor, tangannya dengan cekatan mengaduk kuah sambil tersenyum kecil. Dari arah ruang tengah, langkah kaki kecil terdengar mendekat, disusul suara lembut yang memecah keheningan.

"Selamat pagi, Bunda," ucap Raka, suaranya masih serak khas anak yang baru bangun tidur. Rambutnya kusut, matanya sedikit sembab, tetapi senyumnya yang manis tidak pernah gagal membuat Alea merasa damai.

"Selamat pagi, Sayang. Tidurnya nyenyak?" Alea menyambutnya dengan senyum hangat, sambil mengusap kepala Raka yang penuh kasih.

Raka mengangguk polos. "Iya, tapi aku lapar," katanya dengan nada menggemaskan.

Alea tertawa kecil. "Sebentar lagi supnya jadi, ya. Sudah Bunda siapkan mangkuknya di meja," ujarnya, menunjuk ke arah
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 35 : Keraguan

    Arka duduk di depan komputernya dan mulai mengetik, namun tangannya tak terasa lambat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Raka, tentang Alea, dan tentang masa depan mereka. Meski langkahnya penuh keraguan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Arka tahu bahwa jalan mereka masih panjang, dan banyak hal yang harus diputuskan. Namun, dengan langkah perlahan, mereka mungkin bisa kembali menemukan kebahagiaan yang mereka miliki dulu. Di luar jendela kantornya, langit tampak cerah. Meskipun hari baru saja dimulai, Arka merasa sedikit lebih optimis. Dia tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapai kebahagiaan, namun jika mereka bisa melalui hari-hari ini bersama, mungkin masa depan mereka bisa lebih baik. Dan dengan langkah kecil itu, Arka mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semua yang mereka butuhkan adalah sedikit waktu, sedikit harapan, dan usaha yang terus menerus. Namun tiba-tiba Dina muncul dengan senyum yang sudah sangat familiar bagi Arka, tetapi kali

    Last Updated : 2024-12-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 36 : Bunga yang Menghadirkan Dilema

    Arka terdiam sejenak, mencoba mengontrol diri. "Dina, ini bukan waktunya untuk membahas itu." Dina tersenyum miring, senyum yang lebih mirip senyum penuh dendam. "Oh, jadi ini caramu memperbaiki semuanya? Membeli bunga untuk istrimu, setelah semua yang kamu katakan padaku? Kamu kira ini akan menyelesaikan masalah?" Suasana semakin tegang. Arka merasa hatinya berat, namun ia mencoba untuk tetap tenang. "Dina, aku sudah membuat keputusan. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Alea. Kita sudah bicara tentang ini. Aku lelah, Dina!!" Namun, Dina tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut. Ia melangkah lebih dekat lagi, hampir tidak memberi ruang bagi Arka untuk bernafas. "Kamu pikir aku bodoh?" Dina berteriak, suara hatinya terpecah. "Kamu pikir kamu bisa membeli dirimu keluar dari masalah ini dengan sekuntum bunga? Kamu pikir kamu bisa melupakan semua yang kita lalui begitu saja? Kamu dan Alea memang seharusnya bahagia, tapi jangan harap aku akan tinggal diam!" Arka merasa hati

    Last Updated : 2024-12-13
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 37 : Ketegangan yang Memuncak

    Keesokan harinya dikantor. Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Dina, Arka merasa dadanya semakin sesak. Ia telah mengorbankan banyak waktu dan energi untuk memperbaiki hubungan dengan Alea, berharap bahwa sedikit perhatian yang dia tunjukkan akan dapat menyembuhkan luka-luka lama. Namun, Dina ternyata bukan ancaman yang bisa ia hindari begitu saja. Arka duduk di kursi kantornya, merasa berat. Proyek besar yang dikelola oleh dua tim berbeda, timnya yang dipimpin oleh Arka dan tim Dina yang kini juga terlibat, semakin rumit. Keterlambatan proyek sudah menjadi masalah besar, tetapi masalah yang lebih mengkhawatirkan adalah persaingan di dalam tim-tim itu sendiri, yang semakin terasa. Arka berusaha fokus pada laporan-laporan yang ada di meja kerjanya, tapi pikirannya terus teralihkan ke berbagai percakapan yang terjadi di antara para anggota tim. Beberapa minggu terakhir, hubungan antara dua tim ini terasa semakin renggang, terutama setelah Dina secara terang-terangan men

    Last Updated : 2024-12-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 38 : Ketenangan Hati

    Arka menghela napas panjang ketika dia melewati pintu depan rumah, merasakan seluruh kelelahan dan tekanan hari itu menggerogoti tubuhnya. Pekerjaan yang belum selesai, masalah yang terus mengendap di benaknya, dan ketidakpastian yang melingkupi hubungan mereka semua menambah beban di pundaknya. Meskipun ia mencoba tetap tegar di luar, di dalam, ia merasa semakin terperangkap oleh tanggung jawab yang tak kunjung berakhir. Ruangan rumah yang gelap terasa seperti tempat perlindungan bagi Arka. Tanpa suara kecuali detak jam dinding, ruang tamu yang sunyi itu memberikan kedamaian yang sangat dibutuhkannya. Pintu yang baru saja dia tutup memberikan sensasi seakan menghalangi dunia luar sejenak, memisahkannya dari hiruk-pikuk yang terus berputar di luar sana. Ketika Arka melangkah ke ruang tengah, dia melihat Alea duduk di depan kanvas besar yang terletak di sudut ruangan. Dengan kuas di tangan, Alea tampak sangat tenggelam dalam dunianya sendiri. Setiap goresan di kanvas seakan men

    Last Updated : 2024-12-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 39 : Kehadiran yang Mengusik

    Pagi itu, Arka berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Langit masih mendung, mencerminkan suasana hatinya yang berat. Meski percakapan semalam dengan Alea sempat membuatnya merasa lebih tenang, bayang-bayang masa lalu terus mengusik pikirannya. Dina, wanita yang pernah menjadi kelemahannya, masih ada di sekitar, seperti bayangan yang sulit ia singkirkan. Begitu memasuki ruang kantor, Arka langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kolega yang biasanya ramah hanya melempar senyum tipis, lalu buru-buru kembali ke pekerjaan mereka. Arka menatap mereka satu per satu, mencoba mencari tahu penyebab ketegangan yang samar itu. “Pak Arka,” sapa Dedi, dengan nada hati-hati. Arka menoleh, matanya menyipit curiga. “Ada apa?” Dedi tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri berbicara. “Tadi pagi, Bu Dina masuk ke ruang rapat tanpa pemberitahuan. Beliau mengubah beberapa bagian proyek tanpa koordinasi dengan tim.” Arka mendengus kesal. Dina lagi. Setelah semua

    Last Updated : 2024-12-14
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 40 : Langkah Tak Terduga

    Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Alea melanjutkan langkahnya menuju toko roti kecil yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hujan mulai turun dengan lebat, membuat suasana sekitar tampak suram. Di tengah hujan yang mengguyur, Alea memutuskan untuk berhenti sejenak dan membeli roti kesukaannya untuk dibawa pulang. Ia baru saja keluar dari toko, membawa kantong roti hangat di tangannya, ketika mendengar suara langkah sepatu yang mendekat. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang ia kenal. Randy, yang sedang berjalan menuju toko roti, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan melambaikan tangan. “Alea! Gak nyangka ketemu di sini!” Randy menyapa dengan suara riang, meski hujan mulai turun lebih deras. Alea mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi segera tersenyum. “Randy? Kok bisa ada di sini?” Randy tertawa, memperlihatkan senyuman lebar. “Aku juga kaget, tadi mau beli roti, eh ketemu kamu. Bisa jadi pertanda, nih!” Ia mengangkat payung besar yang ada di tangannya dan langsung men

    Last Updated : 2024-12-15
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 41 : Dibalik Topeng

    Alea merasakan ada yang janggal. Kenapa Dina bisa ada di sini, bersama anaknya? Apakah ada yang tidak ia ketahui? Raka tampak ceria, menggenggam kantong plastik berisi makanan ringan, sementara Dina terlihat sedang berbicara dengan santai, seakan tidak ada yang aneh. Tapi wajah Alea mulai terasa cemas. Apa yang sedang terjadi? Dengan hati-hati, Alea melangkah lebih dekat, mencoba tetap tenang meski ada seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ketika Dina melihatnya, senyuman di wajahnya terlihat sangat berbeda, lebih misterius, lebih tajam. Alea menghela napas, langkahnya semakin mendekat, namun ada perasaan tidak nyaman yang mengendap di dada. Begitu sampai di depan mereka, Alea memanggil Raka. "Sayang, ayo pulang." Raka menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Bunda, ini Tante Dina, teman baru Raka. Tadi dia ngajak Raka ngobrol." Alea menatap Dina dengan tatapan tajam. "Dina?" suaranya lebih dingin daripada yang ia harapkan. Dina tersenyum tipis, seolah tidak ad

    Last Updated : 2024-12-15
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 42 : Jejak yang Terselubung

    Pagi itu, setelah mengantar Raka ke sekolah, Alea merasa ada yang perlu dia selesaikan. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dina. Kenapa wanita itu bisa tahu begitu banyak tentang Raka? Bagaimana mungkin ia berada di sekolah yang sama dengan anaknya, di saat yang tidak tepat? Alea berjalan menuju ruang tamu, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Dia menghela napas panjang, meraih ponselnya, dan mencari nomor Cinta. Teman SMA Alea dan Randy, yang sekarang bekerja di kantor yang sama dengan Arka. Sepertinya, Cinta bisa memberikan sedikit pencerahan, setidaknya untuk membantu Alea memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan sedikit ragu, Alea mengetik pesan singkat, mengajak Cinta untuk bertemu. Beberapa detik kemudian, pesan itu dibaca, dan balasan pun datang. Cinta: "Hai Al! Lagi sibuk banget nih, tapi makan siang bisa, deh. Tumben, mau ngomongin apa?" Alea tersenyum, merasa sedikit lega. "Makasih Cinta! Aku butuh ngobrol. Ketemu d

    Last Updated : 2024-12-15

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status