Alea merasakan ada yang janggal. Kenapa Dina bisa ada di sini, bersama anaknya? Apakah ada yang tidak ia ketahui? Raka tampak ceria, menggenggam kantong plastik berisi makanan ringan, sementara Dina terlihat sedang berbicara dengan santai, seakan tidak ada yang aneh. Tapi wajah Alea mulai terasa cemas. Apa yang sedang terjadi? Dengan hati-hati, Alea melangkah lebih dekat, mencoba tetap tenang meski ada seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ketika Dina melihatnya, senyuman di wajahnya terlihat sangat berbeda, lebih misterius, lebih tajam. Alea menghela napas, langkahnya semakin mendekat, namun ada perasaan tidak nyaman yang mengendap di dada. Begitu sampai di depan mereka, Alea memanggil Raka. "Sayang, ayo pulang." Raka menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Bunda, ini Tante Dina, teman baru Raka. Tadi dia ngajak Raka ngobrol." Alea menatap Dina dengan tatapan tajam. "Dina?" suaranya lebih dingin daripada yang ia harapkan. Dina tersenyum tipis, seolah tidak ad
Pagi itu, setelah mengantar Raka ke sekolah, Alea merasa ada yang perlu dia selesaikan. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dina. Kenapa wanita itu bisa tahu begitu banyak tentang Raka? Bagaimana mungkin ia berada di sekolah yang sama dengan anaknya, di saat yang tidak tepat? Alea berjalan menuju ruang tamu, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Dia menghela napas panjang, meraih ponselnya, dan mencari nomor Cinta. Teman SMA Alea dan Randy, yang sekarang bekerja di kantor yang sama dengan Arka. Sepertinya, Cinta bisa memberikan sedikit pencerahan, setidaknya untuk membantu Alea memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan sedikit ragu, Alea mengetik pesan singkat, mengajak Cinta untuk bertemu. Beberapa detik kemudian, pesan itu dibaca, dan balasan pun datang. Cinta: "Hai Al! Lagi sibuk banget nih, tapi makan siang bisa, deh. Tumben, mau ngomongin apa?" Alea tersenyum, merasa sedikit lega. "Makasih Cinta! Aku butuh ngobrol. Ketemu d
Alea merasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa cemas yang semula dia coba buang kini kembali muncul dengan kuat. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Apakah Arka sengaja berpapasan dengan Dina? Atau ada hal lain yang lebih dalam di balik pertemuan mereka? Dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lemas, Alea menarik napas dalam-dalam. Ia berbalik perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Rasanya, seolah-olah dunia mulai berputar begitu cepat, dan dia tidak bisa lagi mengendalikan semuanya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Alea berhenti. Matanya kembali memandang Arka dan Dina dari kejauhan, seakan-akan sedang menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya penuh dengan pertanyaan yang semakin menumpuk, dan dia tahu, untuk mendapatkan jawaban, dia harus berani mengambil langkah selanjutnya. Meskipun itu berarti menghadapi kenyataan yang mungkin jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. Dengan langkah mantap, Alea melangka
Malampun tiba, Arka kembali ke rumah. Lalu Arka mengunci pintu dan melepaskan sepatu kerjanya. Dia menoleh ke ruang tamu, tempat di mana Alea biasanya berada. Namun, hari ini berbeda. Alea tidak terlihat seperti biasanya. Tidak ada suara tawa atau obrolan ringan seperti yang biasa mereka lakukan setelah Arka pulang kerja. Alea sedang duduk di sudut ruang tamu, di depan kanvas besar yang terletak di atas meja. Tangannya bergerak dengan pelan, menorehkan kuas di atas kanvas, membuat goresan-goresan warna yang terlihat indah, namun terkesan penuh ketegangan. Setiap gerakan terlihat lebih terfokus daripada biasanya, seolah dia sedang berusaha menenangkan sesuatu dalam dirinya yang mungkin tak terlihat. Arka berhenti sejenak di ambang pintu, mengamati. Tanpa berkata-kata, ia melepas jasnya dan mendekati Alea, berdiri di belakangnya. Meski terdengar biasa saja, langkah Arka terdengar lebih berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. "Alea," suara Arka terdengar lembut, namu
Randy duduk di depan layar komputer, matanya bergerak cepat menggeser dokumen-dokumen yang tampak tak ada habisnya. Sebagai seorang yang baru dipindahkan ke cabang ini sebulan yang lalu, banyak hal yang masih harus ia pelajari. Meski begitu, ia tak bisa mengeluh. Ini adalah kesempatan yang tak datang dua kali, dan ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. Pagi itu, proyek yang sedang dikerjakan oleh timnya terasa semakin menantang. Proyek besar yang melibatkan teknologi untuk memperbarui sistem dan platform digital yang digunakan oleh banyak klien mereka. Randy tahu ini adalah salah satu ujian besar untuk membuktikan kemampuannya di dunia teknologi. Namun, masih banyak hal yang belum bisa ia kendalikan. Ia belum pernah bertemu langsung dengan banyak klien besar, dan itu menjadi beban tambahan di kepalanya. Sementara itu, para seniornya di kantor tampaknya sudah sangat sibuk dengan proyek-proyek mereka masing-masing. Randy sering mendapati dirinya duduk lama di depan komputer,
Siang itu, Alea duduk di meja makan, secangkir kopi hangat di depan matanya. Hujan di luar belum berhenti sejak semalam, tapi kali ini tidak ada perasaan yang mengikutinya. Udara di dalam rumah terasa lebih sepi, meskipun Arka sudah pergi ke kantor. Raka pun sudah berangkat sekolah, dan suasana di rumah terasa lebih tenang daripada biasanya. Ponsel Alea bergetar, memecah keheningan. Ia mengambil ponsel itu dengan sedikit enggan, melihat nama yang muncul di layar: Arka. Ia menghela napas pelan sebelum membuka pesan tersebut. Arka: “Sayang, akhir pekan ini aku sudah atur semuanya. Kita pergi liburan, ya. Aku dan kamu. Raka akan senang. Ini waktunya buat kita berdua. Aku butuh refreshing kayaknya, aku sudah atur semuanya.” Pesan yang singkat itu tiba-tiba mengaduk-aduk pikirannya. Alea terdiam sejenak, matanya terfokus pada kata-kata yang ada. Liburan? Menghabiskan waktu bersama keluarga? Itu memang terdengar seperti sesuatu yang ia butuhkan, meskipun perasaannya masih campur aduk.
Setelah memastikan Raka tertidur, Alea dan Arka duduk di ruang tengah. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat. Alea membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. “Jadi,” Alea memulai dengan nada ringan sambil duduk di samping Arka, “kamu beneran udah cari penginapan, Mas?” Arka mengangguk sambil meraih cangkir tehnya. “Iya, aku lihat-lihat tadi siang. Ada beberapa pilihan, tapi aku pengen tanya kamu dulu. Kamu lebih suka tempat yang dekat dengan pusat kota atau yang agak sepi?” Alea berpikir sejenak. “Aku lebih suka yang sepi sih, Mas. Kalau bisa yang bener-bener dekat sama pantai, jadi Raka bisa main pasir sepuasnya.” Arka tersenyum kecil, seolah sudah tahu jawabannya. “Aku juga mikir gitu. Aku nemu satu penginapan, kamarnya ada balkon yang langsung menghadap laut. Kayaknya cocok buat kita.” Mata Alea berbinar. “Wah, sounds perfect! Berapa hari kita di sana, Mas?” “Tiga hari, gimana? Cukup nggak menurut kamu?” tanya Arka sambil menyesap tehnya. Alea men
Pagi itu, rumah Arka dan Alea terasa lebih sibuk dari biasanya. Di dapur, Alea dengan cekatan menyiapkan bekal makanan ringan yang sudah direncanakannya sejak malam sebelumnya. Dengan tangannya yang cekatan, ia memasukkan beberapa buah, roti lapis, dan snack ke dalam wadah, memastikan semuanya cukup untuk perjalanan. Di ruang tamu, Raka dengan penuh semangat memeriksa ranselnya, tak sabar ingin tahu mainan apa saja yang akan dibawa. “Bunda! Aku bawa truk pasir ini ya?” teriak Raka dari ruang tamu, wajahnya penuh semangat saat mengangkat mainan besar itu. Alea tertawa kecil. “Bawa aja, Nak. Tapi jangan lupa bawa topi pantainya juga, biar nggak kepanasan nanti,” jawabnya, sambil menata barang di meja dapur. “Iyaaa!” jawab Raka, lalu berlari ke kamarnya dengan riang untuk mengambil barang lainnya. Alea menatapnya, senyum tulus melengkung di wajahnya. Kebahagiaan Raka adalah kebahagiaan mereka semua. Meskipun hatinya sedikit terasa berat dengan berbagai pikiran yang mengganggu, ia
Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang
Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda
Suara sirene ambulans menggema di sepanjang jalan yang sepi, mengiringi perjalanan Alea yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur darurat. Randy duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alea yang terasa dingin, mencoba memberikan kenyamanan dalam ketidakpastian yang mengerikan ini. Setiap detik terasa panjang, seperti beban berat yang terus menekan jantungnya. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya. "Alea ... ayo, bertahanlah," bisiknya pelan, meskipun ia tahu bahwa Alea tidak dapat mendengarnya. Wajah Alea tampak pucat, dan napasnya sesekali terengah-engah. Randy merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sisinya, menunggu pertolongan datang. Kecelakaan itu begitu mendalam menggores hati Randy. Semua itu terjadi begitu cepat. Bahkan sebelum ia sempat berbicara lebih banyak dengan Alea, kejadian itu datang begitu mendadak dan menghantam mereka berdua. Randy menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ing
Alea berjalan pelan menuju gedung tempat seminar berlangsung, meskipun pikirannya masih terjerat oleh pesan misterius yang diterimanya. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Seminar yang seharusnya menjadi tempat untuk mengisi jiwa dan pikiran, kini terasa seperti hal yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang sedang mengganggu hatinya. Di dalam ruangan seminar, Alea mencoba untuk fokus. Ia duduk di kursi paling belakang, berusaha untuk menyerap materi yang disampaikan oleh pembicara. Namun, matanya hanya terarah pada papan tulis, sementara pikirannya berlarian jauh, melayang ke pesan yang baru saja ia terima. "Kamu telah mengkhianati suamimu," kalimat itu terus berputar di kepalanya, dan bayangan wajah Randy yang tersenyum kepadanya di kafe tadi semakin jelas. “Siapa yang mengirimkan pesan itu?” tanya Alea dalam hati. Kenapa mereka tahu? Apa yang mereka inginkan dariku? Pikirannya terus berputar-putar. Ia mencoba berkon
Pagi itu, Alea merasa sedikit lebih ringan. Setelah beberapa hari penuh dengan rutinitas yang melelahkan, ia akhirnya bisa menyempatkan diri untuk mengikuti seminar terapi seni yang sudah ia rencanakan. Seminar itu sudah lama ia nantikan, sebuah kesempatan untuk kembali menghubungkan dirinya dengan dunia seni yang sangat ia cintai. Meskipun perasaan cemas tetap ada, ia merasa ini adalah langkah kecil yang tepat untuk dirinya sendiri. Setelah sarapan bersama Arka dan Raka, Alea bersiap untuk pergi. Ia mengenakan pakaian yang nyaman, siap menyerap ilmu baru dan meresapi ketenangan yang datang bersama seni. Sambil berjalan keluar rumah, ia mengecek ponselnya sejenak untuk memastikan tidak ada pesan penting yang tertinggal. Di jalan menuju seminar, ia merasa lapar dan memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kafe yang terletak di sepanjang jalan. Kafe itu kecil dan nyaman, dengan suasana yang tenang, sempurna untuk menikmati waktu sambil menenangkan pikiran. Begitu masuk, Alea lang
Setelah pertemuan yang melelahkan dengan Risa, Arka merasa kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga yang akhirnya ia ambil terasa berat, namun juga sebuah langkah besar yang harus dilakukan. Dalam keheningan malam yang mencekam, ia tahu ia harus segera pulang, meskipun banyak pekerjaan yang masih menunggu di kantornya. Sesampainya di rumah, suasana yang sederhana namun hangat menyambutnya. Raka, sedang asyik bermain dengan mainan kereta api di ruang tamu. Alea, duduk di dekat jendela besar dengan kanvas di depannya, tengah fokus pada lukisannya. Alea, dengan tangan yang sedikit berlumuran cat, memandangi lukisannya dengan penuh perhatian. Di lantai, Raka tersenyum riang setiap kali keretanya melaju cepat di atas rel kecil. Melihat pemandangan itu, Arka merasa hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pekerjaan yang belum selesai masih menghantui pikirannya. Raka yang melihatnya langsung berlari kecil menghampiri, memangg
Sore itu, Arka merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat dari biasanya. Dengan tumpukan tugas yang terus menumpuk di mejanya, proyek Tech Hub yang hampir tak ada ujungnya, dan tekanan dari setiap arah yang datang, terutama dari Dina yang semakin menguasai kendali di dalam proyek Arka merasa hampir tenggelam. Setiap detik di kantor terasa semakin panjang, dan setiap keputusan yang ia buat seperti bertaruh pada masa depan yang belum pasti. Pekerjaan ini, yang dulunya penuh dengan semangat dan visi, kini terasa seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Sejak ia mengambil keputusan untuk tetap berada di perusahaan ini, setiap langkah terasa semakin rumit. Ada begitu banyak hal yang harus ia tangani, dari eksekusi proyek hingga menjaga hubungan dengan tim, klien, bahkan dirinya sendiri. Semua itu menggerogoti energi dan waktu yang ada, dan semakin lama, semakin membuatnya merasa terpecah. Di satu sisi, Arka merasa memiliki kewajiban untuk membawa perusahaan keluarga ke l
Pagi itu, Arka kembali ke kantor dengan pikiran yang penuh. Proyek Tech Hub terus berkembang, namun bukan tanpa tantangan. Sejak Dina mengambil lebih banyak alih kendali, setiap keputusan yang diambil terasa semakin berat. Arka tahu, di balik layar, Dina sedang menjalankan rencananya sendiri, dan ia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam permainan yang lebih besar. Tapi itu tidak mudah. Proyek ini, yang semula berjalan lancar, kini menuntut seluruh perhatian dan energi Arka.Hari itu, ia duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan laporan dan email yang masuk. Setiap menit terasa berharga, setiap keputusan harus dipikirkan matang-matang. Arka merasakan tekanan yang luar biasa. Keputusan yang salah bisa berarti kegagalan besar, dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.Tapi meskipun ia berusaha sekeras mungkin, pikirannya tak bisa lepas dari apa yang sedang terjadi di rumah. Alea, istrinya, telah merencanakan untuk pergi ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Selama beberapa minggu
Arka duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Meski fisiknya ada di kantor, pikirannya tidak tenang. Dia tahu, apa yang terjadi di balik layar proyek ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.Dina tidak hanya bermain dengan pekerjaan, tapi juga dengan ambisinya sendiri dan Arka mulai merasakannya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya sejak ia kembali ke kantor terasa semakin berat, seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya.Selama beberapa hari terakhir, meskipun tampaknya segalanya berjalan normal, Arka tahu ada yang salah. Dina semakin sering berinisiatif, mengambil peran lebih besar dalam pengambilan keputusan, meskipun proyek ini seharusnya ia yang memimpin. Ketika Arka bertanya, selalu ada alasan yang rasional, jawaban yang terdengar logis, namun selalu ada celah di dalamnya.Hari itu, saat rapat berlangsung, Dina mengajukan sebuah revisi desain besar yang langsung mengubah alur proyek. Padahal, revisi tersebut sangat mendalam dan bi