Setelah memastikan Raka tertidur, Alea dan Arka duduk di ruang tengah. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat. Alea membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. âJadi,â Alea memulai dengan nada ringan sambil duduk di samping Arka, âkamu beneran udah cari penginapan, Mas?â Arka mengangguk sambil meraih cangkir tehnya. âIya, aku lihat-lihat tadi siang. Ada beberapa pilihan, tapi aku pengen tanya kamu dulu. Kamu lebih suka tempat yang dekat dengan pusat kota atau yang agak sepi?â Alea berpikir sejenak. âAku lebih suka yang sepi sih, Mas. Kalau bisa yang bener-bener dekat sama pantai, jadi Raka bisa main pasir sepuasnya.â Arka tersenyum kecil, seolah sudah tahu jawabannya. âAku juga mikir gitu. Aku nemu satu penginapan, kamarnya ada balkon yang langsung menghadap laut. Kayaknya cocok buat kita.â Mata Alea berbinar. âWah, sounds perfect! Berapa hari kita di sana, Mas?â âTiga hari, gimana? Cukup nggak menurut kamu?â tanya Arka sambil menyesap tehnya. Alea men
Pagi itu, rumah Arka dan Alea terasa lebih sibuk dari biasanya. Di dapur, Alea dengan cekatan menyiapkan bekal makanan ringan yang sudah direncanakannya sejak malam sebelumnya. Dengan tangannya yang cekatan, ia memasukkan beberapa buah, roti lapis, dan snack ke dalam wadah, memastikan semuanya cukup untuk perjalanan. Di ruang tamu, Raka dengan penuh semangat memeriksa ranselnya, tak sabar ingin tahu mainan apa saja yang akan dibawa. âBunda! Aku bawa truk pasir ini ya?â teriak Raka dari ruang tamu, wajahnya penuh semangat saat mengangkat mainan besar itu. Alea tertawa kecil. âBawa aja, Nak. Tapi jangan lupa bawa topi pantainya juga, biar nggak kepanasan nanti,â jawabnya, sambil menata barang di meja dapur. âIyaaa!â jawab Raka, lalu berlari ke kamarnya dengan riang untuk mengambil barang lainnya. Alea menatapnya, senyum tulus melengkung di wajahnya. Kebahagiaan Raka adalah kebahagiaan mereka semua. Meskipun hatinya sedikit terasa berat dengan berbagai pikiran yang mengganggu, ia
Malam itu, setelah seharian menikmati pantai, Arka dan Alea duduk di teras penginapan yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang sejuk membelai kulit mereka, sementara lilin-lilin kecil yang menyala memberi sentuhan hangat pada suasana. Di meja depan mereka, seafood yang sudah lama mereka tunggu akhirnya datang: udang rebus, cumi bakar, kepiting saus tiram, semuanya mengundang selera. Alea menyendokkan satu piring udang besar dan menatapnya dengan mata berbinar. âMas, ini udangnya enak banget sih! Kamu selalu bisa pilih makanan yang nggak pernah gagal, deh,â katanya sambil tersenyum penuh syukur. Arka tertawa kecil, meletakkan piringnya di meja. âAku kan tahu kesukaan kamu, Alea. Makanan enak buat orang yang spesial.â Alea pura-pura menggulirkan matanya dengan gemas. âAduh, kamu nih. Selalu aja gitu, sih. Nanti aku jadi malu!â âTapi kan emang kamu yang spesial,â jawab Arka, tetap dengan senyum nakal di wajahnya. Alea terkekeh, lalu mengambil udang rebus yang sudah dise
Perjalanan pulang dari liburan yang menyenangkan terasa berbeda malam itu. Suasana di dalam mobil masih hangat meski angin malam sudah mulai menusuk. Raka tertidur pulas di kursi belakang, kepalanya bersandar di jendela, dengan tubuh kecilnya yang tampak nyaman dalam selimut tebal yang dipersiapkan Arka. Alea duduk di samping Arka, memandangi pemandangan yang semakin gelap di luar jendela, namun hatinya terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Arka, yang tengah menyetir, sesekali melirik ke arah Alea, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit kecemasan yang masih tampak di matanya. Ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya bisa melupakan semua masalah yang ada, tetapi saat ini, mereka sedang berada di momen yang penuh dengan kehangatan. "Capek, ya?" tanya Arka dengan lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kebisuan malam. Alea menoleh, memberikan senyuman tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku seneng bisa liburan kayak gini." Arka mengangguk, senyumannya mela
Alea menatap sejenak, terdiam, mencoba meresapi kenyataan bahwa pria itu sedang berada di restoran yang sama. Arka, yang merasakan perubahan sikap Alea, mengikuti pandangan matanya. Begitu melihat siapa yang dimaksud Alea, ia langsung bisa menebak siapa sosok itu. Sesaat, suasana menjadi sedikit tegang. Randy, yang terlihat sedang berbicara dengan pelayan, akhirnya mengalihkan pandangan dan melihat Alea. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut, namun dengan cepat ia menyapa mereka. "Alea?" Randy menyapa, dengan nada yang cukup ramah, namun ada kesan canggung yang tak bisa disembunyikan. Alea tersenyum, meskipun sedikit kikuk. "Randy, lagi apa di sini?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap santai. Randy kemudian berjalan mendekat, lalu menjawab, âAku habis ada janji sama klien, Al.â Lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Arka. "Halo, Arka, kan?" kata Randy, mencoba bersikap sopan. "Senang akhirnya bisa ketemu." Arka mengangguk dan berjabat tangan dengan Randy. "Iya,
Setelah makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Suasana di dalam mobil terasa lebih santai sekarang, jauh dari kecanggungan yang sempat terjadi saat bertemu Randy. Namun, di balik ketenangan itu, ada sebuah pertanyaan yang menggelayuti hati Alea. Alea duduk di samping Arka, matanya memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai pudar satu per satu. Meski hatinya terasa lebih ringan setelah beberapa hari bersama, ada perasaan yang tak terungkapkan, sebuah keraguan yang belum sepenuhnya hilang. Arka menyetir dengan tenang, namun ia bisa merasakan adanya ketegangan di udara. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Al?" tanya Arka, suaranya lembut, mencoba membuka percakapan. Alea terdiam sejenak. Ia menatap tangan Arka yang memegang setir dengan mantap, merasakan kenyamanan yang datang dari sentuhan halus itu. Namun, perasaan cemas tentang Dina yang belum sepenuhnya hilang membuat hatinya masih bertanya-tanya. "Mas, maaf aku mau tanya
Malam itu terasa berbeda, udara di kamar mereka terasa lebih hangat, meski di luar angin malam bertiup pelan. Alea duduk di tepi tempat tidur, matanya sedikit letih setelah seharian, namun ada kilauan yang tak bisa disembunyikan di wajahnya. Arka memperhatikannya dengan seksama, matanya yang penuh dengan kasih sayang, seolah ingin menyelami setiap detail tentang wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya ini. Alea mengenakan gaun tidur tipis berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan sempurna, mengalir ringan di kulitnya yang halus. Kain itu begitu sederhana, tapi Arka merasa itu lebih indah dari apa pun yang pernah ia lihat. Setiap lekuk tubuh Alea seolah memanggilnya, menimbulkan rasa ingin yang menggelora dalam dirinya. Arka duduk di hadapannya, menatap Alea dengan tatapan yang begitu intens hingga membuat Alea merasa seperti satu-satunya hal yang ada di dunia ini. Semua kata-kata dan kekhawatirannya menguap begitu saja, tergantikan dengan perasaan yang lebih dalam, lebih kua
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Arka dan Alea semakin terasa kuat, seperti dua jiwa yang semakin menyatu dalam ikatan tak terpisahkan. Setiap hari, mereka semakin terbuka satu sama lain, berbicara tentang hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya tidak mereka bicarakan. Percakapan yang ringan, tawa bersama, hingga sentuhan kecil yang mengingatkan mereka akan kedekatan yang semakin tumbuh. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Alea bangun lebih awal dari Arka. Di dapur, ia menyiapkan sarapan sambil mendengarkan suara langkah kaki Arka yang baru saja terbangun. Tanpa berkata apa-apa, Arka datang mendekat, melingkarkan tangannya di pinggang Alea dari belakang, dan membelai rambutnya yang panjang. âSelamat pagi, sayang,â Arka berbisik, suaranya dalam dan hangat. Rasanya, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah menyatu dengan udara pagi yang lembut, membawa kenyamanan yang hanya bisa mereka rasakan berdua. Alea tersenyum dan menoleh, merasakan hatinya berbunga-bunga
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.âIni yang terbaik,â ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.âRandy!â panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.âMa, Pa?âAlea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. âPerusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,â jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.âDan kamu? Apa alasanmu ada di sini?âRandy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. âAku datang untuk mendukung Alea,â jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.âMendukung Alea?â tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. âKamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.âRandy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. âIya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.âArka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.âRaka?â ulangnya, nada suaranya semakin rendah. âJadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?âRandy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. âJangan lebay.ââTapi itu kenyataannya,â Randy bersikeras dengan senyum lebar. âAku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.ââDan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.âAlea tertawa kecil. âAku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.ââFair enough,â Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. âAku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.âAlea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. âMakasih, Randy. AkuâĶ aku senang kamu mau datang.ââSelalu, Alea,â jawab Randy lembut. âAku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.âMalam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.âRandy?â ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. âDia juga ada di Singapura?ââIya,â jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. âDia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.âArka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.âTerima kasih, Kak,â katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. âArka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.âTapi âĶâ lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. âAku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.âWajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. âAlea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.âNamun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. âTapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.âRandy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. âAlea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.âAir mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. âAku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.âKata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.âRandy âĶ aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,â kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.âKamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,â jawab Randy cepat. âCukup kasih aku kesempatan. Itu aja.â***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam