Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 51: Kenangan yang Tertinggal

Share

Bab 51: Kenangan yang Tertinggal

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-12-18 16:12:25

Alea menatap sejenak, terdiam, mencoba meresapi kenyataan bahwa pria itu sedang berada di restoran yang sama. Arka, yang merasakan perubahan sikap Alea, mengikuti pandangan matanya. Begitu melihat siapa yang dimaksud Alea, ia langsung bisa menebak siapa sosok itu. Sesaat, suasana menjadi sedikit tegang.

Randy, yang terlihat sedang berbicara dengan pelayan, akhirnya mengalihkan pandangan dan melihat Alea. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut, namun dengan cepat ia menyapa mereka.

"Alea?" Randy menyapa, dengan nada yang cukup ramah, namun ada kesan canggung yang tak bisa disembunyikan.

Alea tersenyum, meskipun sedikit kikuk. "Randy, lagi apa di sini?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap santai.

Randy kemudian berjalan mendekat, lalu menjawab, “Aku habis ada janji sama klien, Al.” Lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Arka. "Halo, Arka, kan?" kata Randy, mencoba bersikap sopan. "Senang akhirnya bisa ketemu."

Arka mengangguk dan berjabat tangan dengan Randy. "Iya,
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 52 : Kejujuran yang Terungkap

    Setelah makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Suasana di dalam mobil terasa lebih santai sekarang, jauh dari kecanggungan yang sempat terjadi saat bertemu Randy. Namun, di balik ketenangan itu, ada sebuah pertanyaan yang menggelayuti hati Alea. Alea duduk di samping Arka, matanya memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai pudar satu per satu. Meski hatinya terasa lebih ringan setelah beberapa hari bersama, ada perasaan yang tak terungkapkan, sebuah keraguan yang belum sepenuhnya hilang. Arka menyetir dengan tenang, namun ia bisa merasakan adanya ketegangan di udara. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Al?" tanya Arka, suaranya lembut, mencoba membuka percakapan. Alea terdiam sejenak. Ia menatap tangan Arka yang memegang setir dengan mantap, merasakan kenyamanan yang datang dari sentuhan halus itu. Namun, perasaan cemas tentang Dina yang belum sepenuhnya hilang membuat hatinya masih bertanya-tanya. "Mas, maaf aku mau tanya

    Last Updated : 2024-12-19
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 53 : Malam yang Hangat dan Penuh Cinta

    Malam itu terasa berbeda, udara di kamar mereka terasa lebih hangat, meski di luar angin malam bertiup pelan. Alea duduk di tepi tempat tidur, matanya sedikit letih setelah seharian, namun ada kilauan yang tak bisa disembunyikan di wajahnya. Arka memperhatikannya dengan seksama, matanya yang penuh dengan kasih sayang, seolah ingin menyelami setiap detail tentang wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya ini. Alea mengenakan gaun tidur tipis berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan sempurna, mengalir ringan di kulitnya yang halus. Kain itu begitu sederhana, tapi Arka merasa itu lebih indah dari apa pun yang pernah ia lihat. Setiap lekuk tubuh Alea seolah memanggilnya, menimbulkan rasa ingin yang menggelora dalam dirinya. Arka duduk di hadapannya, menatap Alea dengan tatapan yang begitu intens hingga membuat Alea merasa seperti satu-satunya hal yang ada di dunia ini. Semua kata-kata dan kekhawatirannya menguap begitu saja, tergantikan dengan perasaan yang lebih dalam, lebih kua

    Last Updated : 2024-12-19
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 54 : Cinta yang Makin Intens

    Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Arka dan Alea semakin terasa kuat, seperti dua jiwa yang semakin menyatu dalam ikatan tak terpisahkan. Setiap hari, mereka semakin terbuka satu sama lain, berbicara tentang hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya tidak mereka bicarakan. Percakapan yang ringan, tawa bersama, hingga sentuhan kecil yang mengingatkan mereka akan kedekatan yang semakin tumbuh. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Alea bangun lebih awal dari Arka. Di dapur, ia menyiapkan sarapan sambil mendengarkan suara langkah kaki Arka yang baru saja terbangun. Tanpa berkata apa-apa, Arka datang mendekat, melingkarkan tangannya di pinggang Alea dari belakang, dan membelai rambutnya yang panjang. “Selamat pagi, sayang,” Arka berbisik, suaranya dalam dan hangat. Rasanya, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah menyatu dengan udara pagi yang lembut, membawa kenyamanan yang hanya bisa mereka rasakan berdua. Alea tersenyum dan menoleh, merasakan hatinya berbunga-bunga

    Last Updated : 2024-12-19
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 55 : Gangguan itu

    Malam harinya, setelah Raka tidur, Arka mengajak Alea untuk berjalan-jalan di sekitar taman rumah mereka. Udara malam yang sejuk dan bintang yang bersinar menambah suasana romantis. Mereka berjalan berdampingan, tangan mereka sering bersentuhan, hingga akhirnya Arka dengan lembut meraih tangan Alea dan menggenggamnya. “Alea,” suara Arka terdengar lembut, penuh perasaan, “Aku merasa sangat bahagia setiap kali aku bersama kamu. Bahkan ketika kita nggak banyak bicara, aku merasa tenang.” Alea memandang Arka, mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada begitu banyak yang tak perlu diucapkan. “Aku juga merasa begitu, Arka. Rasanya seperti kita mulai menemukan kembali kebahagiaan yang pernah hilang.” Arka tersenyum, memperlambat langkah mereka, membiarkan malam itu menjadi milik mereka berdua. “Aku akan terus berusaha, Alea. Agar kamu tahu betapa berharganya kamu bagi aku. Kamu sudah sangat sabar dengan aku, dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Alea merasa matanya

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 56 : Keputusan yang Terlambat

    Sore itu, sebelum pulang, Arka mengirim pesan singkat kepada Alea. Arka: “Sayang, malam ini aku akan pulang tepat waktu. Aku kangen Raka, dan aku kangen kamu.” Pesan itu dibalas dengan cepat oleh Alea: Alea: “Kami juga kangen kamu, Mas. Hati-hati nyetirnya ya Mas. Dalam perjalanan pulang, meskipun lelah, Arka merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa di rumah, ada dua orang yang selalu menunggunya dengan cinta dan kehangatan yang tulus. Di tengah semua kerumitan hidupnya, keluarga adalah alasan yang membuatnya terus bertahan. Sore itu, Arka menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari biasanya. Hatinya ringan membayangkan waktu yang akan dihabiskan bersama Alea dan Raka malam ini. Ia bahkan sempat mampir ke toko roti di dekat kantor untuk membeli kue kesukaan Raka, sebagai kejutan kecil. Namun, saat ia berjalan menuju mobilnya di area parkir, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di depannya. Dina. --- “Arka, aku butuh bicara,” ucap Dina dengan nada yang terdengar putus

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 57 : Kembali ke Rumah

    Arka menutup pintu mobil dengan pelan, berusaha menenangkan dirinya setelah percakapan yang berat dengan Dina. Jantungnya masih berdetak kencang, pikirannya terasa penuh dengan tumpukan kekhawatiran dan penyesalan. Tetapi ketika ia melihat rumah kecilnya yang penuh dengan kenangan, segala kecemasan itu sedikit mereda. Ia tahu, apa yang telah dilakukannya, walaupun sulit, adalah langkah yang benar untuk keluarganya. Langkahnya terasa lebih ringan ketika ia mendekati pintu rumah. Sebelum mengetuk pintu, ia mengirim pesan singkat kepada Alea. Arka: “Aku sudah sampai di depan, Sayang. Cuma butuh beberapa menit lagi.” Pesan itu langsung dibalas dengan cepat. Alea: “Aku dan Raka udah nunggu. Mas cepat masuk ya.” Tersenyum melihat balasan itu, Arka membuka pintu dan memasuki rumah. Wangi masakan dan kebersihan rumah langsung menyambutnya. Di ruang tamu, Alea sedang duduk di sofa, dengan Raka yang sedang bermain mobil-mobilan di lantai. Melihat mereka, hati Arka langsung terasa lebi

    Last Updated : 2024-12-20
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 58 : Seminar dan Wawasan Baru

    Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum suara alarm pertama kali terdengar. Jam menunjukkan pukul lima pagi, dan meski tubuhnya masih terasa lelah, hatinya penuh semangat. Hari ini adalah seminar penting yang sudah ia tunggu-tunggu tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis. Alea bergegas menuju dapur, memulai rutinitas pagi dengan menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk Raka. Ia memang bukan tipe yang bisa meninggalkan rumah begitu saja tanpa memastikan semuanya teratur. Ia menyiapkan dua porsi sarapan sederhana. Roti bakar dengan selai, serta segelas susu hangat untuk Raka. Di sampingnya, ia menyiapkan bekal makan siang untuk Raka, lengkap dengan nasi, ayam panggang, dan sayuran. Semuanya disusun rapi dalam kotak makan dan diletakkan di atas meja. Setelah semua selesai, Alea melihat jam di ponselnya. Ia masih punya cukup waktu untuk membereskan semuanya dan meninggalkan pesan untuk Arka. Alea berjalan ke dapur dan mulai memeriksa segala

    Last Updated : 2024-12-21
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 59 : Pertemuan tak terduga

    Alea terkejut melihat Randy di sana, tetapi segera tersenyum dan melambai. “Randy! Kita ketemu lagi.” sapa Alea sambil mendekat. Randy tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Alea. "Hai Alea. Aku baru saja selesai dengan beberapa urusan di sini. Tapi ... kenapa kamu di sini, kamu ikut seminar?" Alea sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi senyumnya tak hilang. "Iya, baru selesai seminar. Tadi tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis." “Oh, seminar seni ya? Wah, menarik juga, kayaknya aku belum pernah denger soal itu sebelumnya,” jawab Randy, nada suaranya menunjukkan ketertarikan. Beberapa saat setelah percakapan singkat itu, Randy memandang jam tangannya dan sepertinya memikirkan sesuatu. “Al, kamu udah selesai seminar kan? Gimana kalau kita minum teh dulu sebelum kamu pulang? Aku tahu tempat yang enak buat santai sebentar. Nggak jauh dari sini, kok.” Alea terkejut dengan tawaran itu, tapi ia merasa cukup nyaman berbincang dengan Randy setelah pe

    Last Updated : 2024-12-21

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status