Malam itu terasa berbeda, udara di kamar mereka terasa lebih hangat, meski di luar angin malam bertiup pelan. Alea duduk di tepi tempat tidur, matanya sedikit letih setelah seharian, namun ada kilauan yang tak bisa disembunyikan di wajahnya. Arka memperhatikannya dengan seksama, matanya yang penuh dengan kasih sayang, seolah ingin menyelami setiap detail tentang wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya ini. Alea mengenakan gaun tidur tipis berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan sempurna, mengalir ringan di kulitnya yang halus. Kain itu begitu sederhana, tapi Arka merasa itu lebih indah dari apa pun yang pernah ia lihat. Setiap lekuk tubuh Alea seolah memanggilnya, menimbulkan rasa ingin yang menggelora dalam dirinya. Arka duduk di hadapannya, menatap Alea dengan tatapan yang begitu intens hingga membuat Alea merasa seperti satu-satunya hal yang ada di dunia ini. Semua kata-kata dan kekhawatirannya menguap begitu saja, tergantikan dengan perasaan yang lebih dalam, lebih kua
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Arka dan Alea semakin terasa kuat, seperti dua jiwa yang semakin menyatu dalam ikatan tak terpisahkan. Setiap hari, mereka semakin terbuka satu sama lain, berbicara tentang hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya tidak mereka bicarakan. Percakapan yang ringan, tawa bersama, hingga sentuhan kecil yang mengingatkan mereka akan kedekatan yang semakin tumbuh. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Alea bangun lebih awal dari Arka. Di dapur, ia menyiapkan sarapan sambil mendengarkan suara langkah kaki Arka yang baru saja terbangun. Tanpa berkata apa-apa, Arka datang mendekat, melingkarkan tangannya di pinggang Alea dari belakang, dan membelai rambutnya yang panjang. “Selamat pagi, sayang,” Arka berbisik, suaranya dalam dan hangat. Rasanya, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah menyatu dengan udara pagi yang lembut, membawa kenyamanan yang hanya bisa mereka rasakan berdua. Alea tersenyum dan menoleh, merasakan hatinya berbunga-bunga
Malam harinya, setelah Raka tidur, Arka mengajak Alea untuk berjalan-jalan di sekitar taman rumah mereka. Udara malam yang sejuk dan bintang yang bersinar menambah suasana romantis. Mereka berjalan berdampingan, tangan mereka sering bersentuhan, hingga akhirnya Arka dengan lembut meraih tangan Alea dan menggenggamnya. “Alea,” suara Arka terdengar lembut, penuh perasaan, “Aku merasa sangat bahagia setiap kali aku bersama kamu. Bahkan ketika kita nggak banyak bicara, aku merasa tenang.” Alea memandang Arka, mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada begitu banyak yang tak perlu diucapkan. “Aku juga merasa begitu, Arka. Rasanya seperti kita mulai menemukan kembali kebahagiaan yang pernah hilang.” Arka tersenyum, memperlambat langkah mereka, membiarkan malam itu menjadi milik mereka berdua. “Aku akan terus berusaha, Alea. Agar kamu tahu betapa berharganya kamu bagi aku. Kamu sudah sangat sabar dengan aku, dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Alea merasa matanya
Sore itu, sebelum pulang, Arka mengirim pesan singkat kepada Alea. Arka: “Sayang, malam ini aku akan pulang tepat waktu. Aku kangen Raka, dan aku kangen kamu.” Pesan itu dibalas dengan cepat oleh Alea: Alea: “Kami juga kangen kamu, Mas. Hati-hati nyetirnya ya Mas. Dalam perjalanan pulang, meskipun lelah, Arka merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa di rumah, ada dua orang yang selalu menunggunya dengan cinta dan kehangatan yang tulus. Di tengah semua kerumitan hidupnya, keluarga adalah alasan yang membuatnya terus bertahan. Sore itu, Arka menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari biasanya. Hatinya ringan membayangkan waktu yang akan dihabiskan bersama Alea dan Raka malam ini. Ia bahkan sempat mampir ke toko roti di dekat kantor untuk membeli kue kesukaan Raka, sebagai kejutan kecil. Namun, saat ia berjalan menuju mobilnya di area parkir, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di depannya. Dina. --- “Arka, aku butuh bicara,” ucap Dina dengan nada yang terdengar putus
Arka menutup pintu mobil dengan pelan, berusaha menenangkan dirinya setelah percakapan yang berat dengan Dina. Jantungnya masih berdetak kencang, pikirannya terasa penuh dengan tumpukan kekhawatiran dan penyesalan. Tetapi ketika ia melihat rumah kecilnya yang penuh dengan kenangan, segala kecemasan itu sedikit mereda. Ia tahu, apa yang telah dilakukannya, walaupun sulit, adalah langkah yang benar untuk keluarganya. Langkahnya terasa lebih ringan ketika ia mendekati pintu rumah. Sebelum mengetuk pintu, ia mengirim pesan singkat kepada Alea. Arka: “Aku sudah sampai di depan, Sayang. Cuma butuh beberapa menit lagi.” Pesan itu langsung dibalas dengan cepat. Alea: “Aku dan Raka udah nunggu. Mas cepat masuk ya.” Tersenyum melihat balasan itu, Arka membuka pintu dan memasuki rumah. Wangi masakan dan kebersihan rumah langsung menyambutnya. Di ruang tamu, Alea sedang duduk di sofa, dengan Raka yang sedang bermain mobil-mobilan di lantai. Melihat mereka, hati Arka langsung terasa lebi
Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum suara alarm pertama kali terdengar. Jam menunjukkan pukul lima pagi, dan meski tubuhnya masih terasa lelah, hatinya penuh semangat. Hari ini adalah seminar penting yang sudah ia tunggu-tunggu tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis. Alea bergegas menuju dapur, memulai rutinitas pagi dengan menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk Raka. Ia memang bukan tipe yang bisa meninggalkan rumah begitu saja tanpa memastikan semuanya teratur. Ia menyiapkan dua porsi sarapan sederhana. Roti bakar dengan selai, serta segelas susu hangat untuk Raka. Di sampingnya, ia menyiapkan bekal makan siang untuk Raka, lengkap dengan nasi, ayam panggang, dan sayuran. Semuanya disusun rapi dalam kotak makan dan diletakkan di atas meja. Setelah semua selesai, Alea melihat jam di ponselnya. Ia masih punya cukup waktu untuk membereskan semuanya dan meninggalkan pesan untuk Arka. Alea berjalan ke dapur dan mulai memeriksa segala
Alea terkejut melihat Randy di sana, tetapi segera tersenyum dan melambai. “Randy! Kita ketemu lagi.” sapa Alea sambil mendekat. Randy tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Alea. "Hai Alea. Aku baru saja selesai dengan beberapa urusan di sini. Tapi ... kenapa kamu di sini, kamu ikut seminar?" Alea sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi senyumnya tak hilang. "Iya, baru selesai seminar. Tadi tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis." “Oh, seminar seni ya? Wah, menarik juga, kayaknya aku belum pernah denger soal itu sebelumnya,” jawab Randy, nada suaranya menunjukkan ketertarikan. Beberapa saat setelah percakapan singkat itu, Randy memandang jam tangannya dan sepertinya memikirkan sesuatu. “Al, kamu udah selesai seminar kan? Gimana kalau kita minum teh dulu sebelum kamu pulang? Aku tahu tempat yang enak buat santai sebentar. Nggak jauh dari sini, kok.” Alea terkejut dengan tawaran itu, tapi ia merasa cukup nyaman berbincang dengan Randy setelah pe
Setelah percakapan yang mendalam dengan Randy, Alea merasa emosinya sedikit terombang-ambing. Di satu sisi, ia merasa lega telah mengungkapkan batasan dan kejujurannya, namun di sisi lain, perasaan campur aduk itu tidak bisa begitu saja ia buang. Saat mobilnya melaju menuju rumah, pikirannya terputar-putar antara rasa bersyukur atas percakapan yang jujur itu dan kesadaran bahwa ia harus kembali ke kenyataan. Hidupnya sudah penuh dengan komitmen pada keluarga. Sampai akhirnya, ia tiba di rumah. Suasana yang tenang dan familiar menyambutnya. Raka dan Arka sudah ada di rumah, dan keduanya sedang menghabiskan waktu bersama di ruang tamu. Arka melihat ke arah Alea dan memberikan senyuman hangat, sedangkan Raka yang sedang bermain dengan mainan kesukaannya, hanya melirik sesaat. Alea masuk dan segera meletakkan tasnya di meja. Arka bangkit dari tempat duduknya dan mendekat. “Seminar seru, kan?” tanya Arka sambil menatap Alea dengan penasaran. Alea tersenyum dan mengangguk. “Iya, ser
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam