Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum suara alarm pertama kali terdengar. Jam menunjukkan pukul lima pagi, dan meski tubuhnya masih terasa lelah, hatinya penuh semangat. Hari ini adalah seminar penting yang sudah ia tunggu-tunggu tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis. Alea bergegas menuju dapur, memulai rutinitas pagi dengan menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk Raka. Ia memang bukan tipe yang bisa meninggalkan rumah begitu saja tanpa memastikan semuanya teratur. Ia menyiapkan dua porsi sarapan sederhana. Roti bakar dengan selai, serta segelas susu hangat untuk Raka. Di sampingnya, ia menyiapkan bekal makan siang untuk Raka, lengkap dengan nasi, ayam panggang, dan sayuran. Semuanya disusun rapi dalam kotak makan dan diletakkan di atas meja. Setelah semua selesai, Alea melihat jam di ponselnya. Ia masih punya cukup waktu untuk membereskan semuanya dan meninggalkan pesan untuk Arka. Alea berjalan ke dapur dan mulai memeriksa segala
Alea terkejut melihat Randy di sana, tetapi segera tersenyum dan melambai. “Randy! Kita ketemu lagi.” sapa Alea sambil mendekat. Randy tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Alea. "Hai Alea. Aku baru saja selesai dengan beberapa urusan di sini. Tapi ... kenapa kamu di sini, kamu ikut seminar?" Alea sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi senyumnya tak hilang. "Iya, baru selesai seminar. Tadi tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis." “Oh, seminar seni ya? Wah, menarik juga, kayaknya aku belum pernah denger soal itu sebelumnya,” jawab Randy, nada suaranya menunjukkan ketertarikan. Beberapa saat setelah percakapan singkat itu, Randy memandang jam tangannya dan sepertinya memikirkan sesuatu. “Al, kamu udah selesai seminar kan? Gimana kalau kita minum teh dulu sebelum kamu pulang? Aku tahu tempat yang enak buat santai sebentar. Nggak jauh dari sini, kok.” Alea terkejut dengan tawaran itu, tapi ia merasa cukup nyaman berbincang dengan Randy setelah pe
Setelah percakapan yang mendalam dengan Randy, Alea merasa emosinya sedikit terombang-ambing. Di satu sisi, ia merasa lega telah mengungkapkan batasan dan kejujurannya, namun di sisi lain, perasaan campur aduk itu tidak bisa begitu saja ia buang. Saat mobilnya melaju menuju rumah, pikirannya terputar-putar antara rasa bersyukur atas percakapan yang jujur itu dan kesadaran bahwa ia harus kembali ke kenyataan. Hidupnya sudah penuh dengan komitmen pada keluarga. Sampai akhirnya, ia tiba di rumah. Suasana yang tenang dan familiar menyambutnya. Raka dan Arka sudah ada di rumah, dan keduanya sedang menghabiskan waktu bersama di ruang tamu. Arka melihat ke arah Alea dan memberikan senyuman hangat, sedangkan Raka yang sedang bermain dengan mainan kesukaannya, hanya melirik sesaat. Alea masuk dan segera meletakkan tasnya di meja. Arka bangkit dari tempat duduknya dan mendekat. “Seminar seru, kan?” tanya Arka sambil menatap Alea dengan penasaran. Alea tersenyum dan mengangguk. “Iya, ser
Pagi itu, Arka duduk di ruang kerjanya, mencoba menyelesaikan laporan mingguan yang sudah terlambat. Ia menyesap kopi hitamnya sambil menatap layar komputer, berharap bisa menyelesaikan semuanya sebelum jam makan siang. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara notifikasi ponselnya yang terus berdentang. Awalnya, Arka mengabaikannya, mengira itu hanya pesan grup kantor biasa. Tetapi ketika notifikasi itu semakin banyak, ia mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan ragu, ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Pesan dari rekan-rekan kerja membanjir: "Pak Arka, ini foto Bapak sama Bu Dina di media sosial, beneran nih?" "Wah, Pak Arka, gosipnya makin rame nih, lihat deh Medsos Bu Dina." "Pak, kok nggak cerita? Foto ini kok mesra banget?" Arka terkejut membaca pesan-pesan itu. Ia buru-buru membuka media sosial dan langsung menemukan unggahan Dina. Di sana, sebuah foto mereka berdua terpampang jelas. Foto itu diambil beberapa waktu lalu, saat merek
Malam itu, di rumah Alea dan Arka, setelah makan malam selesai, Alea menyusul Arka yang tengah duduk di ruang tamu, termenung dengan secangkir teh di tangannya. "Mas, kamu yakin nggak ada yang kamu sembunyikan dari aku?" tanya Alea hati-hati, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Intuisinya berkata ada sesuatu yang salah. Arka tersentak, tapi dengan cepat menyembunyikan kegugupannya. "Nggak ada, Alea. Aku cuma stres sama kerjaan, itu aja," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Alea menghela napas panjang, merasa tidak sepenuhnya yakin, tapi ia memilih untuk tidak memaksa. "Kalau begitu, istirahat aja, Mas. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja," ujarnya sambil menepuk pundak Arka pelan, sebelum beranjak menuju kamar. Setelah Alea pergi, Arka memandangi cangkir tehnya yang kini sudah dingin. Di luar, angin malam berdesir pelan, membawa kesunyian yang semakin menambah berat pikiran Arka. Ia tahu, kebohongan ini tidak akan bertahan lama. Dina. Nama itu teru
Arka tiba di apartemen Dina sekitar setengah jam setelah telepon dari wanita itu. Begitu pintu dibuka, Dina menyambutnya dengan wajah yang tampak pucat, meskipun ia berusaha memberikan senyum yang tampaknya dipaksakan. Ia mengenakan piyama sederhana, dan tampak lemah, seperti ada beban besar yang membuatnya terhuyung-huyung untuk berdiri. "Masuklah, Arka. Maaf merepotkan kamu," ucap Dina pelan sambil berjalan perlahan menuju sofa, menunduk, dan memegang perutnya seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia andalkan untuk berdiri. Arka mengikutinya dengan langkah berat. Ia menutup pintu di belakangnya dan segera mendekati Dina. "Kamu sakit apa? Sudah minum obat?" tanyanya khawatir sambil mengamati sekitar, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi perasaan tak menentu. Dina duduk di sofa, memegangi perutnya dengan satu tangan. "Aku nggak tahu, pulang dari kafe tadi. Aku ngerasa pusing, mual … mungkin maagku kambuh. Aku belum sempat makan apa-apa hari ini," jawabnya,
Malam itu, Alea duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada layar ponsel yang sudah lama tidak bergetar. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Arka belum juga pulang. Kecemasan mulai merayapi hatinya, ditambah dengan rasa curiga yang perlahan muncul, karena ini bukan pertama kalinya Arka pulang terlambat tanpa memberi kabar. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Alea segera meraihnya, berharap itu kabar dari suaminya. Dan memang benar, sebuah pesan masuk dari Arka. Arka: "Maaf ya, Alea. Aku nggak bisa pulang malam ini. Ada kerjaan mendadak yang harus aku selesaikan, jadi aku putusin nginep di kantor biar nggak terlalu capek bolak-balik. Tadi aku udah sampe gerbang kompleks, tapi tiba-tiba aku dapet telepon dari kantor. Kamu istirahat aja, ya. Jangan tungguin aku." Alea membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Arka tampak sederhana, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak yakin. Ia tahu betul Arka adalah orang yang pekerja keras, tapi alasan ini terasa aneh. Kenapa harus ngin
Hari itu, Arka pulang ke rumah setelah semalam tidak kembali, karena menginap di rumah Dina. Perasaan bersalah yang mulai meresap semakin mendalam, terutama setiap kali ia melihat wajah Alea. Sejak beberapa hari terakhir, cemas dan rasa bersalah itu terus mengganggunya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada istrinya. Meskipun ia masih mencintainya, ia tahu bahwa setiap keputusan yang ia buat semakin mengarah pada kehancuran hubungan mereka. Setibanya di rumah, Arka memasukkan mobil ke halaman dengan langkah berat. Beban yang ia rasakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia merasa terjebak, tidak tahu bagaimana harus menghadapi Alea. Meskipun Alea tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Arka bisa merasakan bahwa istrinya pasti sudah merasakan perbedaan dalam diri suaminya. Sejak beberapa kejadian terakhir, suasana di rumah terasa semakin tegang dan penuh kecanggungan. Seperti ada dinding yang memisahkan mereka, meskipun mereka tinggal satu atap. Alea sedang
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam