Beranda / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 57 : Kembali ke Rumah

Share

Bab 57 : Kembali ke Rumah

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-20 12:49:48

Arka menutup pintu mobil dengan pelan, berusaha menenangkan dirinya setelah percakapan yang berat dengan Dina. Jantungnya masih berdetak kencang, pikirannya terasa penuh dengan tumpukan kekhawatiran dan penyesalan. Tetapi ketika ia melihat rumah kecilnya yang penuh dengan kenangan, segala kecemasan itu sedikit mereda. Ia tahu, apa yang telah dilakukannya, walaupun sulit, adalah langkah yang benar untuk keluarganya.

Langkahnya terasa lebih ringan ketika ia mendekati pintu rumah. Sebelum mengetuk pintu, ia mengirim pesan singkat kepada Alea.

Arka: “Aku sudah sampai di depan, Sayang. Cuma butuh beberapa menit lagi.”

Pesan itu langsung dibalas dengan cepat.

Alea: “Aku dan Raka udah nunggu. Mas cepat masuk ya.”

Tersenyum melihat balasan itu, Arka membuka pintu dan memasuki rumah. Wangi masakan dan kebersihan rumah langsung menyambutnya. Di ruang tamu, Alea sedang duduk di sofa, dengan Raka yang sedang bermain mobil-mobilan di lantai. Melihat mereka, hati Arka langsung terasa lebi
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 58 : Seminar dan Wawasan Baru

    Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya, jauh sebelum suara alarm pertama kali terdengar. Jam menunjukkan pukul lima pagi, dan meski tubuhnya masih terasa lelah, hatinya penuh semangat. Hari ini adalah seminar penting yang sudah ia tunggu-tunggu tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis. Alea bergegas menuju dapur, memulai rutinitas pagi dengan menyiapkan sarapan dan bekal sekolah untuk Raka. Ia memang bukan tipe yang bisa meninggalkan rumah begitu saja tanpa memastikan semuanya teratur. Ia menyiapkan dua porsi sarapan sederhana. Roti bakar dengan selai, serta segelas susu hangat untuk Raka. Di sampingnya, ia menyiapkan bekal makan siang untuk Raka, lengkap dengan nasi, ayam panggang, dan sayuran. Semuanya disusun rapi dalam kotak makan dan diletakkan di atas meja. Setelah semua selesai, Alea melihat jam di ponselnya. Ia masih punya cukup waktu untuk membereskan semuanya dan meninggalkan pesan untuk Arka. Alea berjalan ke dapur dan mulai memeriksa segala

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 59 : Pertemuan tak terduga

    Alea terkejut melihat Randy di sana, tetapi segera tersenyum dan melambai. “Randy! Kita ketemu lagi.” sapa Alea sambil mendekat. Randy tersenyum dan melambaikan tangan ke arah Alea. "Hai Alea. Aku baru saja selesai dengan beberapa urusan di sini. Tapi ... kenapa kamu di sini, kamu ikut seminar?" Alea sedikit terkejut dengan pertanyaan itu, tetapi senyumnya tak hilang. "Iya, baru selesai seminar. Tadi tentang penerapan terapi seni dalam penyembuhan psikologis." “Oh, seminar seni ya? Wah, menarik juga, kayaknya aku belum pernah denger soal itu sebelumnya,” jawab Randy, nada suaranya menunjukkan ketertarikan. Beberapa saat setelah percakapan singkat itu, Randy memandang jam tangannya dan sepertinya memikirkan sesuatu. “Al, kamu udah selesai seminar kan? Gimana kalau kita minum teh dulu sebelum kamu pulang? Aku tahu tempat yang enak buat santai sebentar. Nggak jauh dari sini, kok.” Alea terkejut dengan tawaran itu, tapi ia merasa cukup nyaman berbincang dengan Randy setelah pe

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 60 : Perasaan yang Terungkap

    Setelah percakapan yang mendalam dengan Randy, Alea merasa emosinya sedikit terombang-ambing. Di satu sisi, ia merasa lega telah mengungkapkan batasan dan kejujurannya, namun di sisi lain, perasaan campur aduk itu tidak bisa begitu saja ia buang. Saat mobilnya melaju menuju rumah, pikirannya terputar-putar antara rasa bersyukur atas percakapan yang jujur itu dan kesadaran bahwa ia harus kembali ke kenyataan. Hidupnya sudah penuh dengan komitmen pada keluarga. Sampai akhirnya, ia tiba di rumah. Suasana yang tenang dan familiar menyambutnya. Raka dan Arka sudah ada di rumah, dan keduanya sedang menghabiskan waktu bersama di ruang tamu. Arka melihat ke arah Alea dan memberikan senyuman hangat, sedangkan Raka yang sedang bermain dengan mainan kesukaannya, hanya melirik sesaat. Alea masuk dan segera meletakkan tasnya di meja. Arka bangkit dari tempat duduknya dan mendekat. “Seminar seru, kan?” tanya Arka sambil menatap Alea dengan penasaran. Alea tersenyum dan mengangguk. “Iya, ser

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-21
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 61 : Jejak di Media Sosial

    Pagi itu, Arka duduk di ruang kerjanya, mencoba menyelesaikan laporan mingguan yang sudah terlambat. Ia menyesap kopi hitamnya sambil menatap layar komputer, berharap bisa menyelesaikan semuanya sebelum jam makan siang. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara notifikasi ponselnya yang terus berdentang. Awalnya, Arka mengabaikannya, mengira itu hanya pesan grup kantor biasa. Tetapi ketika notifikasi itu semakin banyak, ia mengernyit, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dengan ragu, ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Pesan dari rekan-rekan kerja membanjir: "Pak Arka, ini foto Bapak sama Bu Dina di media sosial, beneran nih?" "Wah, Pak Arka, gosipnya makin rame nih, lihat deh Medsos Bu Dina." "Pak, kok nggak cerita? Foto ini kok mesra banget?" Arka terkejut membaca pesan-pesan itu. Ia buru-buru membuka media sosial dan langsung menemukan unggahan Dina. Di sana, sebuah foto mereka berdua terpampang jelas. Foto itu diambil beberapa waktu lalu, saat merek

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 62 : Sisi Gelap Keputusan

    Malam itu, di rumah Alea dan Arka, setelah makan malam selesai, Alea menyusul Arka yang tengah duduk di ruang tamu, termenung dengan secangkir teh di tangannya. "Mas, kamu yakin nggak ada yang kamu sembunyikan dari aku?" tanya Alea hati-hati, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Intuisinya berkata ada sesuatu yang salah. Arka tersentak, tapi dengan cepat menyembunyikan kegugupannya. "Nggak ada, Alea. Aku cuma stres sama kerjaan, itu aja," jawabnya dengan senyum tipis yang dipaksakan. Alea menghela napas panjang, merasa tidak sepenuhnya yakin, tapi ia memilih untuk tidak memaksa. "Kalau begitu, istirahat aja, Mas. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja," ujarnya sambil menepuk pundak Arka pelan, sebelum beranjak menuju kamar. Setelah Alea pergi, Arka memandangi cangkir tehnya yang kini sudah dingin. Di luar, angin malam berdesir pelan, membawa kesunyian yang semakin menambah berat pikiran Arka. Ia tahu, kebohongan ini tidak akan bertahan lama. Dina. Nama itu teru

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 63 : Batas yang Terlalu Dekat

    Arka tiba di apartemen Dina sekitar setengah jam setelah telepon dari wanita itu. Begitu pintu dibuka, Dina menyambutnya dengan wajah yang tampak pucat, meskipun ia berusaha memberikan senyum yang tampaknya dipaksakan. Ia mengenakan piyama sederhana, dan tampak lemah, seperti ada beban besar yang membuatnya terhuyung-huyung untuk berdiri. "Masuklah, Arka. Maaf merepotkan kamu," ucap Dina pelan sambil berjalan perlahan menuju sofa, menunduk, dan memegang perutnya seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia andalkan untuk berdiri. Arka mengikutinya dengan langkah berat. Ia menutup pintu di belakangnya dan segera mendekati Dina. "Kamu sakit apa? Sudah minum obat?" tanyanya khawatir sambil mengamati sekitar, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi perasaan tak menentu. Dina duduk di sofa, memegangi perutnya dengan satu tangan. "Aku nggak tahu, pulang dari kafe tadi. Aku ngerasa pusing, mual … mungkin maagku kambuh. Aku belum sempat makan apa-apa hari ini," jawabnya,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-22
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 64 : Alasan di Balik Pesan

    Malam itu, Alea duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada layar ponsel yang sudah lama tidak bergetar. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Arka belum juga pulang. Kecemasan mulai merayapi hatinya, ditambah dengan rasa curiga yang perlahan muncul, karena ini bukan pertama kalinya Arka pulang terlambat tanpa memberi kabar. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Alea segera meraihnya, berharap itu kabar dari suaminya. Dan memang benar, sebuah pesan masuk dari Arka. Arka: "Maaf ya, Alea. Aku nggak bisa pulang malam ini. Ada kerjaan mendadak yang harus aku selesaikan, jadi aku putusin nginep di kantor biar nggak terlalu capek bolak-balik. Tadi aku udah sampe gerbang kompleks, tapi tiba-tiba aku dapet telepon dari kantor. Kamu istirahat aja, ya. Jangan tungguin aku." Alea membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Arka tampak sederhana, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak yakin. Ia tahu betul Arka adalah orang yang pekerja keras, tapi alasan ini terasa aneh. Kenapa harus ngin

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 65 : Menghadapi Pilihan

    Hari itu, Arka pulang ke rumah setelah semalam tidak kembali, karena menginap di rumah Dina. Perasaan bersalah yang mulai meresap semakin mendalam, terutama setiap kali ia melihat wajah Alea. Sejak beberapa hari terakhir, cemas dan rasa bersalah itu terus mengganggunya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada istrinya. Meskipun ia masih mencintainya, ia tahu bahwa setiap keputusan yang ia buat semakin mengarah pada kehancuran hubungan mereka. Setibanya di rumah, Arka memasukkan mobil ke halaman dengan langkah berat. Beban yang ia rasakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia merasa terjebak, tidak tahu bagaimana harus menghadapi Alea. Meskipun Alea tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Arka bisa merasakan bahwa istrinya pasti sudah merasakan perbedaan dalam diri suaminya. Sejak beberapa kejadian terakhir, suasana di rumah terasa semakin tegang dan penuh kecanggungan. Seperti ada dinding yang memisahkan mereka, meskipun mereka tinggal satu atap. Alea sedang

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-23

Bab terbaru

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status