Arka tiba di apartemen Dina sekitar setengah jam setelah telepon dari wanita itu. Begitu pintu dibuka, Dina menyambutnya dengan wajah yang tampak pucat, meskipun ia berusaha memberikan senyum yang tampaknya dipaksakan. Ia mengenakan piyama sederhana, dan tampak lemah, seperti ada beban besar yang membuatnya terhuyung-huyung untuk berdiri. "Masuklah, Arka. Maaf merepotkan kamu," ucap Dina pelan sambil berjalan perlahan menuju sofa, menunduk, dan memegang perutnya seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa ia andalkan untuk berdiri. Arka mengikutinya dengan langkah berat. Ia menutup pintu di belakangnya dan segera mendekati Dina. "Kamu sakit apa? Sudah minum obat?" tanyanya khawatir sambil mengamati sekitar, mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya dipenuhi perasaan tak menentu. Dina duduk di sofa, memegangi perutnya dengan satu tangan. "Aku nggak tahu, pulang dari kafe tadi. Aku ngerasa pusing, mual … mungkin maagku kambuh. Aku belum sempat makan apa-apa hari ini," jawabnya,
Malam itu, Alea duduk di ruang tamu, matanya terpaku pada layar ponsel yang sudah lama tidak bergetar. Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi Arka belum juga pulang. Kecemasan mulai merayapi hatinya, ditambah dengan rasa curiga yang perlahan muncul, karena ini bukan pertama kalinya Arka pulang terlambat tanpa memberi kabar. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Alea segera meraihnya, berharap itu kabar dari suaminya. Dan memang benar, sebuah pesan masuk dari Arka. Arka: "Maaf ya, Alea. Aku nggak bisa pulang malam ini. Ada kerjaan mendadak yang harus aku selesaikan, jadi aku putusin nginep di kantor biar nggak terlalu capek bolak-balik. Tadi aku udah sampe gerbang kompleks, tapi tiba-tiba aku dapet telepon dari kantor. Kamu istirahat aja, ya. Jangan tungguin aku." Alea membaca pesan itu berulang kali. Kata-kata Arka tampak sederhana, tapi ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak yakin. Ia tahu betul Arka adalah orang yang pekerja keras, tapi alasan ini terasa aneh. Kenapa harus ngin
Hari itu, Arka pulang ke rumah setelah semalam tidak kembali, karena menginap di rumah Dina. Perasaan bersalah yang mulai meresap semakin mendalam, terutama setiap kali ia melihat wajah Alea. Sejak beberapa hari terakhir, cemas dan rasa bersalah itu terus mengganggunya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan semua ini kepada istrinya. Meskipun ia masih mencintainya, ia tahu bahwa setiap keputusan yang ia buat semakin mengarah pada kehancuran hubungan mereka. Setibanya di rumah, Arka memasukkan mobil ke halaman dengan langkah berat. Beban yang ia rasakan terasa lebih berat dari sebelumnya. Ia merasa terjebak, tidak tahu bagaimana harus menghadapi Alea. Meskipun Alea tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, Arka bisa merasakan bahwa istrinya pasti sudah merasakan perbedaan dalam diri suaminya. Sejak beberapa kejadian terakhir, suasana di rumah terasa semakin tegang dan penuh kecanggungan. Seperti ada dinding yang memisahkan mereka, meskipun mereka tinggal satu atap. Alea sedang
Jam menunjukkan pukul 11, dan Alea mulai bersiap untuk pergi. Sejak pagi, ia merasa cemas ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Meskipun Arka telah mengajaknya makan siang bersama, ia tahu bahwa perasaan mereka tidak lagi seperti sebelumnya. Tapi, meskipun hati kecilnya merasakan adanya keraguan, ia memilih untuk tetap pergi. Ini adalah kesempatan untuk kembali terhubung, meski ia tahu jalan yang mereka tempuh tak akan mudah. Dengan langkah pelan, Alea melangkah ke kamar mandi untuk bersiap. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda yang sudah lama ia simpan di lemari. Tidak ada yang spesial, hanya pakaian yang membuatnya merasa nyaman dan sedikit percaya diri. Sesekali ia melirik ke jam dinding, memastikan waktu agar tidak terlambat. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini mungkin bisa menjadi langkah kecil menuju perbaikan. Setelah selesai berpakaian, Alea keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu. Matanya sempat berkeliling mencari tas tangan kesayangannya, s
Randy tertegun saat melihat sosok yang begitu familiar berdiri di bawah kanopi. Apakah dia sedang menunggu hujan reda, atau mungkin menanti seseorang? Wajah Alea tampak pucat, dan tubuhnya terlihat rapuh, seolah anginpun bisa membuatnya jatuh. Di antara genangan air yang perlahan mengisi jalanan, Randy melangkah mendekat, ragu-ragu untuk menyapa, namun hatinya terasa tersentak begitu melihat Alea berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. “Alea?” Suara Randy terdengar pelan, hampir seperti bisikan, namun ada kepastian dalam nada itu. Ia ingin memastikan bahwa ini benar-benar Alea yang ia kenal. Alea mengangguk perlahan, matanya yang basah berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap. Ia berusaha keras menahan air mata, tapi tidak bisa. Perasaan yang begitu berat dalam dadanya akhirnya meledak. Ia merasa malu, tapi perasaan itu terlalu besar untuk disembunyikan lebih lama. Randy menatapnya dengan kebingungannya yang dalam, seolah mencari jawa
Alea masuk ke dalam mobilnya dengan tubuh basah kuyup, namun yang membuatnya terhenti bukanlah hujan yang deras, melainkan hampa yang menguar di dadanya. Ponselnya terjatuh di kursi sampingnya, dan ia meraihnya dengan terburu-buru, seakan berharap ada kabar dari Arka yang bisa memberi sedikit pelipur lara. Namun layar ponselnya kosong. Hanya keheningan yang memenuhi ruang di dalam mobil, sepi yang terasa lebih pekat daripada hujan yang baru saja reda. Alea menangis, perasaan yang selama ini terkunci dalam dada, kini meledak. Randy, dengan pernyataan cinta yang ia dengar tadi, kini membuatnya berada di persimpangan yang tak bisa ia hindari. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini? Mengapa semuanya terasa begitu sulit? Mengapa, setelah semua yang terjadi, ia masih merasa begitu terhubung dengan seseorang yang kini bukan miliknya? Dengan gemetar, Alea menghidupkan mesin mobil. Ia ingin pergi jauh, melarikan diri dari rasa sakit, dari kenyataan yang ia tidak tahu harus bagaima
Sore itu, Alea terbangun dengan perasaan hampa yang masih membebani dadanya. Hujan yang reda tadi seakan meninggalkan jejak kesendirian yang dalam. Langit di luar jendela mulai memerah, menandakan senja datang menghampiri, namun keindahan langit yang memudar itu tidak bisa menghilangkan kekosongan yang menghinggap di hati Alea. Ia memandang ke luar jendela, seakan berharap angin atau hujan akan membawa jawab atas kegundahannya, namun tak ada yang datang. Hanya senja yang perlahan memudar, seperti perasaan yang semakin suram di dalam dirinya. Alea tahu, sekarang adalah waktunya untuk menjemput Raka di rumah ibunya, tempat di mana ia merasa bisa sedikit menghela napas dan mencoba melupakan beban yang ada. Namun, langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap detik yang berlalu menambah beban dalam pikirannya. Pikirannya terputar-putar, terjebak antara perasaan kecewa kepada Arka yang terus menghantui, dan kata-kata Randy yang masih terngiang jelas di telinganya. Ia mencoba untuk tida
Alea menatap layar ponselnya yang terus bergetar di meja. Nama Arka muncul di sana, terang benderang, seolah memanggil-manggilnya untuk menjawab. Tetapi tangannya enggan bergerak. Ia hanya memandang layar itu, seperti menunggu sesuatu. Apa? Ia bahkan tidak tahu. Ada rasa bingung yang begitu dalam, seakan semua pilihan yang ada terasa salah. Perasaan itu begitu menguasai dirinya, hingga tubuhnya terasa berat, tak mampu untuk bergerak. "Haruskah aku menjawabnya? Apa yang akan ia katakan?" pikirnya. "Permintaan maaf? Janji-janji yang entah akan ia tepati atau tidak? Atau mungkin hanya pembicaraan basa-basi untuk memastikan aku baik-baik saja?" Alea menghela napas panjang, tangannya melingkar di sekeliling tubuhnya, mencoba memberikan kehangatan pada dirinya sendiri. "Apa ia benar-benar peduli? Apa ia menyadari betapa hancurnya aku setiap kali ia mengabaikan kebutuhanku? Tidak, Alea. Jangan jawab. Dia hanya akan membuat semuanya terasa semakin sulit. Dia akan berkata sesuatu yang me
Setelah beberapa hari yang penuh keputusasaan, kondisi Alea akhirnya mulai membaik. Perlahan, ia mulai menerima kenyataan yang begitu pahit dan tak terelakkan. Hari demi hari, rasa sakit fisik yang mendera tubuhnya mulai menghilang, namun luka di dalam hati masih terasa begitu dalam, menuntut waktu untuk sembuh.Alea tahu bahwa proses ini tak mudah, dan meski luka itu tak bisa terhapus, ia mulai merasa sedikit lebih kuat. Dengan dukungan dari orang-orang yang mencintainya, terutama Arka, ia perlahan menemukan kembali dirinya.Hari ini adalah hari yang telah ia tunggu-tunggu. Hari kepulangan dari rumah sakit. Rasa campur aduk memenuhi dadanya, di satu sisi, ia merasa lega bisa keluar dari tempat ini, tapi di sisi lain, ada ketakutan yang menggigit di dalam dirinya. Bagaimana rasanya kembali ke rumah? Apakah ia bisa menjalani kehidupan seperti sebelumnya, ataukah semuanya akan berubah?Arka, seperti biasa, tak pernah meninggalkannya. Ia selalu ada, menjadi tiang penyangga yang kuat di t
Waktu seakan terhenti. Semua suara, semua gerakan, menjadi hampa, menghilang dalam kesunyian yang mencekam. Mata Alea membelalak lebar, terkejut dan bingung, tidak percaya dengan kata-kata yang baru saja Arka ucapkan. Ia terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kebenaran yang datang begitu tiba-tiba. Tetapi kenyataan itu terlalu pahit untuk diterima.Air mata mulai mengalir, tak bisa lagi dibendung. Hatinya robek, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hancurnya dia saat itu.Alea, dengan suara gemetar, hampir berbisik.“Tidak … itu tidak mungkin. Kamu pasti salah. Dia baik-baik saja, kan? Aku masih bisa merasakannya waktu itu … Aku masih …”Arka memotongnya dengan suara yang pecah karena tangis, “maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf. Aku sudah mencoba … Aku berdoa setiap saat, berharap keajaiban … tapi kecelakaannya terlalu parah. Dokter bilang tidak ada yang bisa dilakukan…”Alea menggelengkan kepalanya dengan lemah, suaranya semakin tidak karuan. Isaknya semakin keras,
Alea merasa gelisah, tubuhnya lemah, dan pikirannya kacau. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain berbaring di tempat tidur rumah sakit, dengan satu harapan, mendapatkan penjelasan.Tangannya gemetar ketika ia melihat tombol yang terletak di samping tempat tidurnya. Tanpa berpikir panjang, ia menekan tombol itu dengan lembut, berharap seorang perawat segera datang dan memberinya sedikit kelegaan.Beberapa detik terasa seperti menit, lalu terdengar suara langkah kaki di luar pintu kamar. Pintu kamar terbuka perlahan, dan seorang perawat muncul dengan senyum ramah di wajahnya.“Selamat sore, Nona Alea. Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya perawat itu dengan lembut.Alea menatapnya dengan mata yang penuh kebingungan dan ketakutan. “Perut dan kepala saya ... terasa sangat sakit. Apa yang terjadi pada saya? Kenapa saya di sini?” suara Alea terdengar cemas, seolah ia berusaha mencari kepastian dalam setiap kata.Perawat itu tampak ragu sejenak, lalu menghampiri tempat tidur dan memeriks
Dina sedang bersiap di kantornya. Ia duduk di mejanya, matanya tidak teralihkan dari layar komputer. Hari ini, semuanya harus berjalan sesuai rencana. Ia sudah memutuskan untuk tidak lagi bermain-main. Jika Arka ingin menghadapi kenyataan, maka ia harus siap menghadapi Dina, yang selalu berada di belakang layar dengan rencana yang lebih matang.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Masuk," jawab Dina singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar.Sekretarisnya, Susy, melangkah masuk dengan membawa beberapa berkas. "Bu Dina, semua jadwal sudah diatur seperti yang diminta. Pak Arka akan datang ke kantor sekitar pukul dua siang nanti."Dina mengangguk, matanya tetap fokus pada layar, namun pikirannya sudah melayang jauh. Ini adalah langkah pertama dari rencana besarnya. Arka akan datang, dan Arka akan melihat betapa mudahnya mengambil kendali atas situasi ini."Baik, terima kasih, Susy," jawab Dina. "Jaga agar semuanya tetap berjalan lancar."Begitu sekretarisnya keluar, Dina mel
Di rumah sakit, Arka duduk di samping tempat tidur Alea, menatap wajah istrinya yang masih terlelap dalam koma. Tangannya menggenggam erat jemari Alea, seolah mencoba menyampaikan kekuatan yang tersisa dalam dirinya. Matanya merah karena kurang tidur, pikirannya penuh dengan bayangan semua kesalahan yang telah ia lakukan. Penyesalan menggerogoti dirinya seperti racun. Seluruh dunianya kini hanya berputar pada wanita yang terbaring di hadapannya. “Sayang ... maafkan aku,” bisiknya pelan. Suara alat medis yang monoton menjadi satu-satunya teman kesunyiannya. Arka memikirkan semua kesalahan yang telah ia perbuat, semua janji yang ia langgar, dan semua rasa sakit yang ia sebabkan pada Alea. Ia merasa terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tidak pernah berakhir. Ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Randy melangkah masuk, membawa tas kecil di tangannya. Langkahnya mantap, tetapi wajahnya menampakkan keraguan yang dalam. “Randy?” Arka memandangnya dengan pandangan lelah. Randy
Dina tetap duduk di kursinya, mengaduk sisa espresso yang sudah mulai dingin. Dina menyandarkan tubuhnya ke kursi, bibirnya membentuk senyum tipis. Senyum penuh makna. Randy bereaksi persis seperti yang ia perkirakan. Kemarahan. Ketidakpercayaan. Kebingungan. Semua itu terpancar jelas di wajahnya beberapa menit yang lalu. “Dia terlalu lemah untuk ini,” pikir Dina. “Terlalu lurus untuk melihat peluang.” Namun, ada satu hal yang mengusik pikirannya. Randy mungkin tidak semudah itu dimanipulasi. Reaksinya yang tegas, bahkan penuh kemarahan. Bisa menjadi penghalang bagi rencana Dina. Tapi bukan Dina namanya jika ia menyerah. “Dia akan berpikir,” bisiknya pelan sambil memandang ke luar jendela. Awan mendung masih menggantung, membuat suasana semakin suram. “Dan semakin dia memikirkannya, semakin dia sadar bahwa aku benar.” Dina menyesap sisa kopinya perlahan, membiarkan rasa pahit mengalir di tenggorokannya. Seperti rasa pahit yang ia simpan di dalam hatinya selama ini. Cinta ada
Setelah ketegangan yang menggantung di ruang rapat, Dina berdiri dari kursinya dan menatap Randy. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit ditebak, antara kesal dan sedikit terhibur karena melihat kebingungan di mata Randy. “Kita tidak bisa membicarakan ini di sini,” katanya sambil memungut berkas-berkasnya. “Ayo, aku tahu tempat yang lebih tenang.” Randy ragu sejenak, tetapi ia akhirnya mengikuti Dina keluar dari ruang rapat. Mereka berjalan dalam diam menuju kedai kopi kecil yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Langit masih mendung, angin dingin berhembus pelan, dan Randy merasa semakin tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengerikan di balik ketenangan Dina yang tampak begitu terkontrol. Sesampainya di kedai, Dina memilih meja di sudut yang jauh dari keramaian. Ia memesan secangkir espresso, sementara Randy hanya meminta air mineral. Ketika pelayan pergi, Dina menyandarkan tubuhnya di kursi, matanya menatap tajam ke arah Randy. “Jadi,” Dina memulai, dengan nada suara yang s
Pagi itu, Randy duduk di dalam mobilnya, memandangi langit yang kelabu. Awan tebal menggantung rendah, seolah mencerminkan kebimbangan yang tak henti-henti mengisi pikirannya. Tidak ada hujan yang turun, tetapi suasana mendung terasa menekan, persis seperti hatinya saat ini. Berat dan penuh tanda tanya. Dengan satu tarikan napas dalam, Randy menyalakan mesin mobil. Denting kecil suara klakson di kejauhan menyusup di antara lamunannya. Ia menatap keluar jendela, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi hari ini. Hari ini adalah hari rapat penting di kantor Arka. Seharusnya Arka yang memimpin rapat ini, tetapi keadaan Alea yang masih kritis membuatnya tidak bisa hadir untuk waktu yang belum ditentukan. Randy memahami alasan itu, tetapi sesuatu tetap mengganggunya. Fakta bahwa Dina, yang kini memimpin rapat, tampaknya semakin mengambil alih posisi Arka dalam banyak hal. Ada rasa tidak nyaman yang merayapi benaknya, namun ia berusaha menepisnya. Dina adalah kolega profesional,
Siang itu, keadaan Alea perlahan mulai stabil. Setelah berhari-hari berada dalam ketidakpastian, akhirnya ia dipindahkan ke ruang perawatan.Meski tubuhnya masih lemah, monitor yang ada di sampingnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang menggembirakan. Suara detak jantungnya terdengar teratur, memberi sedikit harapan bagi Arka yang tidak henti-hentinya menjaga di sisinya. Ruangan rumah sakit itu sunyi, kecuali suara monoton monitor yang setia memantau kondisi Alea. Lampu yang menyinari ruangan terasa dingin, memberikan kesan semakin mencekam.Arka duduk di kursi dekat ranjang Alea, menggenggam tangan istrinya dengan erat. Wajahnya yang tampak lelah, dengan mata merah dan bengkak karena kurang tidur, menunjukkan bahwa ia belum bisa lepas dari kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Ia menatap wajah Alea yang masih tampak tenang meski tertidur, seakan tak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang ia rasakan.Perlahan, Arka membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan Alea yang ia