Jam menunjukkan pukul 11, dan Alea mulai bersiap untuk pergi. Sejak pagi, ia merasa cemas ada perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Meskipun Arka telah mengajaknya makan siang bersama, ia tahu bahwa perasaan mereka tidak lagi seperti sebelumnya. Tapi, meskipun hati kecilnya merasakan adanya keraguan, ia memilih untuk tetap pergi. Ini adalah kesempatan untuk kembali terhubung, meski ia tahu jalan yang mereka tempuh tak akan mudah. Dengan langkah pelan, Alea melangkah ke kamar mandi untuk bersiap. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna biru muda yang sudah lama ia simpan di lemari. Tidak ada yang spesial, hanya pakaian yang membuatnya merasa nyaman dan sedikit percaya diri. Sesekali ia melirik ke jam dinding, memastikan waktu agar tidak terlambat. Sesuatu dalam dirinya berkata bahwa ini mungkin bisa menjadi langkah kecil menuju perbaikan. Setelah selesai berpakaian, Alea keluar dari kamar dan berjalan ke ruang tamu. Matanya sempat berkeliling mencari tas tangan kesayangannya, s
Randy tertegun saat melihat sosok yang begitu familiar berdiri di bawah kanopi. Apakah dia sedang menunggu hujan reda, atau mungkin menanti seseorang? Wajah Alea tampak pucat, dan tubuhnya terlihat rapuh, seolah anginpun bisa membuatnya jatuh. Di antara genangan air yang perlahan mengisi jalanan, Randy melangkah mendekat, ragu-ragu untuk menyapa, namun hatinya terasa tersentak begitu melihat Alea berdiri di sana, seolah menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. “Alea?” Suara Randy terdengar pelan, hampir seperti bisikan, namun ada kepastian dalam nada itu. Ia ingin memastikan bahwa ini benar-benar Alea yang ia kenal. Alea mengangguk perlahan, matanya yang basah berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang terucap. Ia berusaha keras menahan air mata, tapi tidak bisa. Perasaan yang begitu berat dalam dadanya akhirnya meledak. Ia merasa malu, tapi perasaan itu terlalu besar untuk disembunyikan lebih lama. Randy menatapnya dengan kebingungannya yang dalam, seolah mencari jawa
Alea masuk ke dalam mobilnya dengan tubuh basah kuyup, namun yang membuatnya terhenti bukanlah hujan yang deras, melainkan hampa yang menguar di dadanya. Ponselnya terjatuh di kursi sampingnya, dan ia meraihnya dengan terburu-buru, seakan berharap ada kabar dari Arka yang bisa memberi sedikit pelipur lara. Namun layar ponselnya kosong. Hanya keheningan yang memenuhi ruang di dalam mobil, sepi yang terasa lebih pekat daripada hujan yang baru saja reda. Alea menangis, perasaan yang selama ini terkunci dalam dada, kini meledak. Randy, dengan pernyataan cinta yang ia dengar tadi, kini membuatnya berada di persimpangan yang tak bisa ia hindari. Apa yang harus ia lakukan dengan perasaan ini? Mengapa semuanya terasa begitu sulit? Mengapa, setelah semua yang terjadi, ia masih merasa begitu terhubung dengan seseorang yang kini bukan miliknya? Dengan gemetar, Alea menghidupkan mesin mobil. Ia ingin pergi jauh, melarikan diri dari rasa sakit, dari kenyataan yang ia tidak tahu harus bagaima
Sore itu, Alea terbangun dengan perasaan hampa yang masih membebani dadanya. Hujan yang reda tadi seakan meninggalkan jejak kesendirian yang dalam. Langit di luar jendela mulai memerah, menandakan senja datang menghampiri, namun keindahan langit yang memudar itu tidak bisa menghilangkan kekosongan yang menghinggap di hati Alea. Ia memandang ke luar jendela, seakan berharap angin atau hujan akan membawa jawab atas kegundahannya, namun tak ada yang datang. Hanya senja yang perlahan memudar, seperti perasaan yang semakin suram di dalam dirinya. Alea tahu, sekarang adalah waktunya untuk menjemput Raka di rumah ibunya, tempat di mana ia merasa bisa sedikit menghela napas dan mencoba melupakan beban yang ada. Namun, langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap detik yang berlalu menambah beban dalam pikirannya. Pikirannya terputar-putar, terjebak antara perasaan kecewa kepada Arka yang terus menghantui, dan kata-kata Randy yang masih terngiang jelas di telinganya. Ia mencoba untuk tida
Alea menatap layar ponselnya yang terus bergetar di meja. Nama Arka muncul di sana, terang benderang, seolah memanggil-manggilnya untuk menjawab. Tetapi tangannya enggan bergerak. Ia hanya memandang layar itu, seperti menunggu sesuatu. Apa? Ia bahkan tidak tahu. Ada rasa bingung yang begitu dalam, seakan semua pilihan yang ada terasa salah. Perasaan itu begitu menguasai dirinya, hingga tubuhnya terasa berat, tak mampu untuk bergerak. "Haruskah aku menjawabnya? Apa yang akan ia katakan?" pikirnya. "Permintaan maaf? Janji-janji yang entah akan ia tepati atau tidak? Atau mungkin hanya pembicaraan basa-basi untuk memastikan aku baik-baik saja?" Alea menghela napas panjang, tangannya melingkar di sekeliling tubuhnya, mencoba memberikan kehangatan pada dirinya sendiri. "Apa ia benar-benar peduli? Apa ia menyadari betapa hancurnya aku setiap kali ia mengabaikan kebutuhanku? Tidak, Alea. Jangan jawab. Dia hanya akan membuat semuanya terasa semakin sulit. Dia akan berkata sesuatu yang me
Di pagi hari, Arka bangun dengan tubuh yang terasa berat, bukan karena kelelahan fisik, tetapi karena beban yang tak kunjung hilang dari pikirannya. Malam sebelumnya, ia terjaga sepanjang waktu, memikirkan setiap kata yang akan ia ucapkan jika bertemu dengan Alea. Ada kekhawatiran yang menggerogoti dirinya. Takut kehilangan lagi, takut jika segala yang telah ia coba bangun akan runtuh hanya karena kesalahannya yang terus berulang. Hari ini, ia tahu, ia harus menghadapi kenyataan. Apapun yang akan terjadi. Dengan perasaan cemas yang mencekam, Arka berbalik ke meja kerjanya dan memandang kalender di dinding. Hari ini adalah hari yang berbeda. Ia memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ini bukan soal pekerjaan lagi, pikirnya. Ini tentang keluarganya, tentang orang-orang yang benar-benar berarti dalam hidupnya. Sudah terlalu lama ia mengabaikan mereka demi pekerjaan dan ambisi pribadi. Ini saatnya untuk memperbaiki apa yang telah rusak, meskipun ia tahu bahwa jalan untuk
Arka duduk di ruang tamu, menatap langit-langit dengan pandangan kosong. Ia merasa ada beban berat di dadanya, seperti ada sesuatu yang tak bisa ia lepaskan. Pembicaraannya dengan Alea tadi pagi masih menggema di kepalanya. Meski sudah mengatakan banyak hal, Arka tahu bahwa kata-katanya saja tidak cukup. Ia harus menunjukkan dengan tindakan bahwa ia benar-benar ingin berubah. Langkah pertama yang ia rencanakan adalah membawa Alea kembali ke rumah mereka. Tempat di mana semuanya dimulai, dan semoga, bisa diperbaiki. Sejak semalam, Arka merasa gelisah. Ia tahu, untuk bisa kembali bersama Alea, ia harus lebih dari sekadar berjanji. Ia harus membuktikan bahwa ia bisa menjadi suami yang lebih baik, lebih hadir, lebih peduli. Tetapi pada saat yang sama, ia juga tidak bisa mengabaikan rasa takut yang menghantuinya. Bagaimana jika Alea tidak mau lagi bersama? Bagaimana jika luka-luka yang ada terlalu dalam untuk sembuh? Ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela, mencoba menenangkan
Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai
“Alea ... ” suara Arka terdengar di seberang, lembut tetapi sarat emosi. “Aku nggak tahu harus bilang apa, tapi aku cuma ingin tahu kabarmu. Kamu ... baik-baik saja, kan?”Alea terdiam sejenak, mencoba menyembunyikan emosi yang mulai berkecamuk. “Aku baik, Arka. Raka juga baik. Dia ... dia menikmati waktunya di rumah Kak Risa.”Arka tersenyum kecil di seberang, meskipun itu tidak terlihat oleh Alea. “Aku senang mendengar itu. Aku tahu aku nggak punya hak untuk mencampuri hidupmu lagi, tapi aku cuma ingin kamu tahu kalau aku ... aku selalu mendoakan yang terbaik untuk kamu dan Raka.”Alea menarik napas panjang, mencoba menjaga suaranya tetap stabil. “Terima kasih, Arka. Aku ... aku juga berharap kamu bisa menemukan kebahagiaanmu.”Ada jeda yang panjang di antara mereka, seolah-olah keduanya mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.“Alea,” suara Arka terdengar pelan, penuh kehati-hatian, seolah-olah ia takut kata-katanya akan menyakiti. “Aku tahu aku mungkin nggak punya hak lagi, t
Alea menggigit bibirnya, merasa dadanya sesak oleh campuran emosi yang sulit dijelaskan. “Randy, aku nggak tahu kapan aku akan benar-benar siap. Kalau kamu lelah … aku nggak akan menyalahkanmu.”Randy menatap Alea dengan tatapan yang dalam, seolah-olah ingin memastikan ia mengerti. “Aku nggak lelah, Alea. Karena mencintaimu adalah hal paling alami yang pernah aku rasakan. Jadi, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, oke?”Alea tersenyum kecil, meskipun matanya sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Randy. Aku nggak tahu apa aku layak mendapatkan ini, tapi terima kasih.”Randy mengangguk sekali lagi sebelum melangkah mundur. “Selamat malam, Alea. Aku harap kamu mimpi indah malam ini.”Alea menatapnya hingga Randy berbalik dan berjalan pergi. Ketika pintu apartemen tertutup, Alea bersandar pada pintu itu, menatap ke arah lantai dengan hati yang penuh kebingungan.Di balkon hotelnya, Randy berdiri dengan tangan di saku jasnya, menatap gemerlap lampu kota Singapura. Malam yang tenang itu
Restoran kecil itu dipenuhi alunan musik lembut, menciptakan suasana tenang di bawah cahaya lilin. Meja mereka terletak di sudut yang cukup privat, dengan pemandangan menghadap ke Marina Bay yang berkilauan. Alea dan Randy duduk berhadapan, menikmati hidangan penutup yang manis.“Kamu tahu,” kata Randy sambil mengaduk kopinya pelan. “Aku nggak pernah menyangka kalau Singapura akan jadi tempat aku bolak-balik seperti sekarang. Dulu, aku nggak terlalu suka ke sini.”Alea tersenyum kecil, menatap secangkir teh di depannya. “Kenapa? Singapura kan rapi, teratur. Rasanya semua orang suka tinggal di sini.”Randy terkekeh, menatap Alea dengan sorot mata lembut. “Mungkin karena dulu aku datang ke sini hanya untuk urusan kerja dan mengunjungi orangtuaku. Tapi sekarang, ada alasan lain.”Alea mengangkat alis, pura-pura tidak paham. “Alasan lain?”“Ya,” jawab Randy, nada suaranya santai tetapi penuh makna. “Raka sangat menyukai taman-taman di sini. Dan, tentu saja, ada kamu.”Alea tertawa kecil,
Langit malam Singapura dipenuhi bintang, meskipun gemerlap lampu kota mengaburkan sebagian cahayanya. Alea berjalan pelan menuju apartemennya setelah menghabiskan waktu seharian di rumah Risa. Langkahnya terasa berat karena kelelahan, tetapi hati kecilnya merasa lega karena Raka terlihat bahagia bersama keluarganya.Ketika ia hampir sampai di pintu apartemen, langkahnya terhenti. Sosok yang familiar berdiri di depan pintu, membuat alis Alea terangkat karena terkejut. Randy, dengan jas rapi dan sebuah kotak kecil berbungkus kertas biru di tangannya, berdiri di sana."Randy?" panggil Alea, menatapnya dengan penuh tanya. “Apa yang kamu lakukan di sini?”Randy berbalik, menyunggingkan senyum hangat yang khas. “Aku cuma ingin memastikan kamu sampai dengan selamat. Dan… ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”Alea mengerutkan kening, tetapi membuka pintu apartemennya dan mempersilakan Randy masuk. “Mungkin kamu mau bicara di dalam?”Randy mengangguk, mengikuti Alea masuk ke dalam apartemen k
Pagi itu, di sela kesibukannya di pusat komunitas, ponsel Alea bergetar di atas meja. Nama "Kak Risa" muncul di layar, membuat Alea terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab panggilan itu.“Halo, Kak Risa,” sapa Alea dengan nada ramah namun penuh kehati-hatian.“Halo, Alea,” suara Risa terdengar hangat namun tegas. “Aku mau bicara soal Raka. Aku ingin dia menginap di rumahku selama beberapa hari.”Alea terkejut mendengar permintaan itu. “Menginap, Kak? Tapi—”Risa segera memotong. “Alea, dengar dulu. Aku tahu kamu mungkin merasa ragu. Tapi aku dan keluargaku juga bagian dari hidup Raka. Dia keponakanku, dan anak-anak di rumah selalu ingin mengenal dia lebih dekat. Aku pikir ini bisa jadi momen yang baik untuknya, untuk merasa bahwa dia punya keluarga besar di sini.”Alea terdiam. Pikirannya langsung melayang ke Raka, yang selama ini hanya mengenal dunia kecil yang ia ciptakan untuk melindunginya. Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa Raka juga butuh merasakan kasih sayang dari keluarga l
Randy melangkah keluar dari terminal bandara Changi, matanya menatap hiruk-pikuk kota Singapura yang sudah mulai terasa akrab baginya. Perjalanan bisnis yang sering membawanya ke kota ini kini memiliki makna lebih dalam, bukan hanya pekerjaan, tetapi juga kesempatan untuk bertemu seseorang yang mulai mengisi ruang di hatinya.Dalam beberapa bulan terakhir, Randy selalu menyempatkan waktunya untuk bertemu Alea dan Raka setiap kali ia berada di Singapura. Dari awalnya hanya pertemuan singkat, kini pertemuan itu terasa lebih personal. Ada kehangatan yang sulit ia jelaskan setiap kali ia melihat senyum Alea atau mendengar cerita polos dari Raka.---Di sore yang cerah, sinar matahari menyinari taman dengan lembut, memberikan nuansa damai. Randy duduk di bangku taman dekat apartemen Alea, tangannya memegang cangkir kopi hangat. Di depannya, Raka sedang berlari-larian mengejar bola dengan penuh semangat, tertawa ceria. Alea duduk di sampingnya, matanya terus mengawasi anaknya sambil terseny
Setelah resmi bergabung dengan perusahaan keluarga, Arka memulai harinya lebih awal dari biasanya. Gedung kantor pusat keluarga yang megah di Jakarta kini menjadi tempat ia menghabiskan sebagian besar waktunya. Di balik meja kerjanya yang besar, ia memandang deretan laporan keuangan, grafik pertumbuhan bisnis, dan proposal proyek. Namun, kali ini, beban tanggung jawab itu terasa berbeda—bukan lagi sebagai seorang arsitek ambisius, tetapi sebagai penerus yang ingin memberikan makna baru pada warisan keluarganya.Setelah rapat selesai, Arka kembali ke ruang kerjanya. Di layar laptopnya, wajah kakaknya, Risa, muncul melalui panggilan video. Risa tampak sibuk dengan tumpukan dokumen di meja kerjanya di Singapura, tetapi senyumnya tetap ramah.“Bagaimana kabar Jakarta?” tanya Risa, membuka percakapan.“Cukup menantang,” jawab Arka sambil tersenyum tipis. “Tapi aku rasa aku mulai memahami apa yang Ayah rasakan selama ini. Tanggung jawab ini berat, tapi aku ingin membuatnya bermakna.”Risa m
Alea menatap Randy dengan perasaan yang sulit ia namai. Ada kehangatan yang familiar, tetapi juga kegelisahan yang menggantung di udara di antara mereka. Sudah lama sejak seseorang datang menemuinya dengan niat sehangat ini. Sejenak, ia berpikir apakah ia masih pantas menerima perhatian seperti itu."Randy?" Suaranya terdengar seperti bisikan, seolah takut membuyarkan sesuatu yang rapuh. "Kenapa kamu ada di sini?"Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum, senyum yang tidak berubah sejak dulu, lalu mengulurkan mawar putih yang tampak kontras di jemarinya yang kokoh. "Aku janji mau ketemu kamu, kan? Dan aku penasaran sama tempat kerja kamu. Jadi, aku pikir, kenapa nggak sekalian bawa ini?"Alea menerima bunga itu dengan gerakan ragu, seolah takut sentuhan pada kelopaknya akan mengungkap sesuatu yang tak ingin ia sadari. Senyum samar terbentuk di bibirnya. "Terima kasih... tapi ini mendadak sekali.""Aku memang nggak suka menunda-nunda, Alea." Randy menatapnya lembut, tetapi di
Pagi di Singapura membawa kehangatan yang lembut, meskipun di hati Alea, kehangatan itu belum sepenuhnya terasa. Sinar matahari menembus tirai jendela apartemennya, membangunkannya perlahan. Ia membuka mata, menoleh ke arah Raka yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Wajah kecil anak itu begitu damai, seperti kanvas kosong yang belum tergores oleh kerasnya dunia.Alea tersenyum tipis, mendekat untuk mengecup kening Raka. “Selamat pagi, Nak,” bisiknya pelan meskipun ia tahu anaknya masih terlelap.Dengan langkah pelan, ia bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya, dan mulai mempersiapkan diri untuk hari yang sibuk. Rutinitas pagi di apartemennya yang kecil tapi nyaman kini menjadi penghibur dalam kehidupan barunya.Hari itu, Alea kembali bekerja di pusat komunitas seni yang menjadi tempatnya berlabuh sejak pindah ke Singapura. Ruangan itu terasa hidup dengan warna-warna cerah yang menghiasi dinding dan meja-meja yang dipenuhi perlengkapan seni. Bau cat dan pastel memenuhi udara,