Perjalanan pulang dari liburan yang menyenangkan terasa berbeda malam itu. Suasana di dalam mobil masih hangat meski angin malam sudah mulai menusuk. Raka tertidur pulas di kursi belakang, kepalanya bersandar di jendela, dengan tubuh kecilnya yang tampak nyaman dalam selimut tebal yang dipersiapkan Arka. Alea duduk di samping Arka, memandangi pemandangan yang semakin gelap di luar jendela, namun hatinya terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Arka, yang tengah menyetir, sesekali melirik ke arah Alea, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit kecemasan yang masih tampak di matanya. Ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya bisa melupakan semua masalah yang ada, tetapi saat ini, mereka sedang berada di momen yang penuh dengan kehangatan. "Capek, ya?" tanya Arka dengan lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kebisuan malam. Alea menoleh, memberikan senyuman tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku seneng bisa liburan kayak gini." Arka mengangguk, senyumannya mela
Alea menatap sejenak, terdiam, mencoba meresapi kenyataan bahwa pria itu sedang berada di restoran yang sama. Arka, yang merasakan perubahan sikap Alea, mengikuti pandangan matanya. Begitu melihat siapa yang dimaksud Alea, ia langsung bisa menebak siapa sosok itu. Sesaat, suasana menjadi sedikit tegang. Randy, yang terlihat sedang berbicara dengan pelayan, akhirnya mengalihkan pandangan dan melihat Alea. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut, namun dengan cepat ia menyapa mereka. "Alea?" Randy menyapa, dengan nada yang cukup ramah, namun ada kesan canggung yang tak bisa disembunyikan. Alea tersenyum, meskipun sedikit kikuk. "Randy, lagi apa di sini?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap santai. Randy kemudian berjalan mendekat, lalu menjawab, “Aku habis ada janji sama klien, Al.” Lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Arka. "Halo, Arka, kan?" kata Randy, mencoba bersikap sopan. "Senang akhirnya bisa ketemu." Arka mengangguk dan berjabat tangan dengan Randy. "Iya,
Setelah makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Suasana di dalam mobil terasa lebih santai sekarang, jauh dari kecanggungan yang sempat terjadi saat bertemu Randy. Namun, di balik ketenangan itu, ada sebuah pertanyaan yang menggelayuti hati Alea. Alea duduk di samping Arka, matanya memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai pudar satu per satu. Meski hatinya terasa lebih ringan setelah beberapa hari bersama, ada perasaan yang tak terungkapkan, sebuah keraguan yang belum sepenuhnya hilang. Arka menyetir dengan tenang, namun ia bisa merasakan adanya ketegangan di udara. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Al?" tanya Arka, suaranya lembut, mencoba membuka percakapan. Alea terdiam sejenak. Ia menatap tangan Arka yang memegang setir dengan mantap, merasakan kenyamanan yang datang dari sentuhan halus itu. Namun, perasaan cemas tentang Dina yang belum sepenuhnya hilang membuat hatinya masih bertanya-tanya. "Mas, maaf aku mau tanya
Malam itu terasa berbeda, udara di kamar mereka terasa lebih hangat, meski di luar angin malam bertiup pelan. Alea duduk di tepi tempat tidur, matanya sedikit letih setelah seharian, namun ada kilauan yang tak bisa disembunyikan di wajahnya. Arka memperhatikannya dengan seksama, matanya yang penuh dengan kasih sayang, seolah ingin menyelami setiap detail tentang wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya ini. Alea mengenakan gaun tidur tipis berwarna lembut yang membalut tubuhnya dengan sempurna, mengalir ringan di kulitnya yang halus. Kain itu begitu sederhana, tapi Arka merasa itu lebih indah dari apa pun yang pernah ia lihat. Setiap lekuk tubuh Alea seolah memanggilnya, menimbulkan rasa ingin yang menggelora dalam dirinya. Arka duduk di hadapannya, menatap Alea dengan tatapan yang begitu intens hingga membuat Alea merasa seperti satu-satunya hal yang ada di dunia ini. Semua kata-kata dan kekhawatirannya menguap begitu saja, tergantikan dengan perasaan yang lebih dalam, lebih kua
Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Arka dan Alea semakin terasa kuat, seperti dua jiwa yang semakin menyatu dalam ikatan tak terpisahkan. Setiap hari, mereka semakin terbuka satu sama lain, berbicara tentang hal-hal kecil yang mungkin sebelumnya tidak mereka bicarakan. Percakapan yang ringan, tawa bersama, hingga sentuhan kecil yang mengingatkan mereka akan kedekatan yang semakin tumbuh. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Alea bangun lebih awal dari Arka. Di dapur, ia menyiapkan sarapan sambil mendengarkan suara langkah kaki Arka yang baru saja terbangun. Tanpa berkata apa-apa, Arka datang mendekat, melingkarkan tangannya di pinggang Alea dari belakang, dan membelai rambutnya yang panjang. “Selamat pagi, sayang,” Arka berbisik, suaranya dalam dan hangat. Rasanya, setiap kata yang keluar dari bibirnya seolah menyatu dengan udara pagi yang lembut, membawa kenyamanan yang hanya bisa mereka rasakan berdua. Alea tersenyum dan menoleh, merasakan hatinya berbunga-bunga
Malam harinya, setelah Raka tidur, Arka mengajak Alea untuk berjalan-jalan di sekitar taman rumah mereka. Udara malam yang sejuk dan bintang yang bersinar menambah suasana romantis. Mereka berjalan berdampingan, tangan mereka sering bersentuhan, hingga akhirnya Arka dengan lembut meraih tangan Alea dan menggenggamnya. “Alea,” suara Arka terdengar lembut, penuh perasaan, “Aku merasa sangat bahagia setiap kali aku bersama kamu. Bahkan ketika kita nggak banyak bicara, aku merasa tenang.” Alea memandang Arka, mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu, ada begitu banyak yang tak perlu diucapkan. “Aku juga merasa begitu, Arka. Rasanya seperti kita mulai menemukan kembali kebahagiaan yang pernah hilang.” Arka tersenyum, memperlambat langkah mereka, membiarkan malam itu menjadi milik mereka berdua. “Aku akan terus berusaha, Alea. Agar kamu tahu betapa berharganya kamu bagi aku. Kamu sudah sangat sabar dengan aku, dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Alea merasa matanya
Sore itu, sebelum pulang, Arka mengirim pesan singkat kepada Alea. Arka: “Sayang, malam ini aku akan pulang tepat waktu. Aku kangen Raka, dan aku kangen kamu.” Pesan itu dibalas dengan cepat oleh Alea: Alea: “Kami juga kangen kamu, Mas. Hati-hati nyetirnya ya Mas. Dalam perjalanan pulang, meskipun lelah, Arka merasa lebih tenang. Ia tahu bahwa di rumah, ada dua orang yang selalu menunggunya dengan cinta dan kehangatan yang tulus. Di tengah semua kerumitan hidupnya, keluarga adalah alasan yang membuatnya terus bertahan. Sore itu, Arka menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari biasanya. Hatinya ringan membayangkan waktu yang akan dihabiskan bersama Alea dan Raka malam ini. Ia bahkan sempat mampir ke toko roti di dekat kantor untuk membeli kue kesukaan Raka, sebagai kejutan kecil. Namun, saat ia berjalan menuju mobilnya di area parkir, langkahnya terhenti ketika seseorang berdiri di depannya. Dina. --- “Arka, aku butuh bicara,” ucap Dina dengan nada yang terdengar putus
Arka menutup pintu mobil dengan pelan, berusaha menenangkan dirinya setelah percakapan yang berat dengan Dina. Jantungnya masih berdetak kencang, pikirannya terasa penuh dengan tumpukan kekhawatiran dan penyesalan. Tetapi ketika ia melihat rumah kecilnya yang penuh dengan kenangan, segala kecemasan itu sedikit mereda. Ia tahu, apa yang telah dilakukannya, walaupun sulit, adalah langkah yang benar untuk keluarganya. Langkahnya terasa lebih ringan ketika ia mendekati pintu rumah. Sebelum mengetuk pintu, ia mengirim pesan singkat kepada Alea. Arka: “Aku sudah sampai di depan, Sayang. Cuma butuh beberapa menit lagi.” Pesan itu langsung dibalas dengan cepat. Alea: “Aku dan Raka udah nunggu. Mas cepat masuk ya.” Tersenyum melihat balasan itu, Arka membuka pintu dan memasuki rumah. Wangi masakan dan kebersihan rumah langsung menyambutnya. Di ruang tamu, Alea sedang duduk di sofa, dengan Raka yang sedang bermain mobil-mobilan di lantai. Melihat mereka, hati Arka langsung terasa lebi
Siang itu, keadaan Alea perlahan mulai stabil. Setelah berhari-hari berada dalam ketidakpastian, akhirnya ia dipindahkan ke ruang perawatan.Meski tubuhnya masih lemah, monitor yang ada di sampingnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang menggembirakan. Suara detak jantungnya terdengar teratur, memberi sedikit harapan bagi Arka yang tidak henti-hentinya menjaga di sisinya. Ruangan rumah sakit itu sunyi, kecuali suara monoton monitor yang setia memantau kondisi Alea. Lampu yang menyinari ruangan terasa dingin, memberikan kesan semakin mencekam.Arka duduk di kursi dekat ranjang Alea, menggenggam tangan istrinya dengan erat. Wajahnya yang tampak lelah, dengan mata merah dan bengkak karena kurang tidur, menunjukkan bahwa ia belum bisa lepas dari kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Ia menatap wajah Alea yang masih tampak tenang meski tertidur, seakan tak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang ia rasakan.Perlahan, Arka membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan Alea yang ia
Pagi itu, ketika matahari sudah cukup tinggi, Randy duduk termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia tak memiliki niat untuk meminumnya. Pikiran-pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sulit ia ungkapkan. Semua yang terjadi kemarin.Semuanya saling berputar dalam benaknya, membingungkan dan menyakitkan. Ia merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan entah mengapa, ia merasa semakin terjebak dalam misteri ini. Tiba-tiba, ingatannya melayang. Cinta, teman baiknya waktu SMA yang juga sangat dekat dengan Alea. Arka dan Cinta bekerja di kantor yang sama. Randy merasa, jika ada orang yang bisa memberi pencerahan tentang hal-hal yang menyelubungi Dina, itu adalah Cinta. Jadi, dengan penuh pertimbangan, ia meraih ponselnya dan mulai mengetik nomor Cinta.Ia menekan tombol panggil, dan menunggu dengan perasaan gelisah. Deringan telepon terdengar lama, seolah-olah memperlambat detak jantungnya, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu berat.
Dunia Arka seperti runtuh seketika. Bibirnya terkatup rapat, matanya terbelalak, dan ia merasa seolah-olah semuanya melambat. Jantungnya berdebar keras, namun tak ada suara yang keluar. Seperti ada kekosongan yang merenggut setiap harapan yang ia miliki. “Tidak ... ” Arka berbisik, suaranya terputus-putus, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya berubah pucat, dan tubuhnya merasa semakin berat. Ia merasa seperti tidak bisa bernafas, seolah-olah ada beban yang tak terbayangkan menghempas dirinya. “Dok, Anda pasti salah. Anak kami ... dia masih di sana, kan? Dia pasti selamat, kan?” Tanya Arka dengan suara bergetar, seakan mencoba menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini semua adalah salah paham. Namun, dokter itu hanya menundukkan kepalanya, merasakan kepedihan yang sama, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lembut, namun penuh penyesalan. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan. Namun, trauma yang dialami istri Anda terlalu pa
Randy tiba di apartemennya dengan langkah berat. Suasana di dalam unit yang biasanya terasa nyaman kini terasa hampa. Ia melemparkan kunci ke meja kecil dekat pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan helaan napas panjang.Pikirannya terus berputar, tak bisa lepas dari kejadian di rumah sakit. Bayangan Alea yang terbaring di ICU, kondisi Arka yang tampak begitu terpukul, dan terutama Dina. Semuanya memenuhi benaknya.Randy mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. “Kenapa semuanya jadi serumit ini?” gumamnya pada dirinya sendiri.Ia teringat percakapannya dengan Dina di lorong rumah sakit. Jawaban-jawaban Dina terdengar masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam tatapan dan nada bicaranya yang membuat Randy tak percaya. Wanita itu terlalu tenang, terlalu terencana.Randy berdiri, berjalan menuju jendela besar di ruang tamunya, menatap kerlip lampu kota yang tidak memberikan ketenangan apa pun.“Dina,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan bayang
Randy kembali ke ruang tunggu rumah sakit dengan langkah yang terasa berat, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menambah beban di pundaknya. Ia memandang sekeliling dengan pandangan kosong, lalu berhenti sejenak di depan pintu ruang tunggu.Wajahnya lelah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Ia tidak bisa mengerti mengapa situasi ini begitu rumit, mengapa segalanya harus berputar begitu cepat tanpa pemberitahuan. Sejenak, ia merasakan sesuatu yang ganjil, ada rasa cemas yang semakin menyelip di dalam hatinya, jauh lebih dalam daripada kecemasan terhadap kondisi Alea.Di dalam ruang tunggu yang sunyi itu, Dina masih duduk di sebelah Arka, berbicara dengan suara pelan. Wajahnya tampak penuh simpati, namun Randy bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak terasa tulus.Setiap kali Dina melirik Arka, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat hati Randy semakin waspada. Bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di tengah ketegangan yang meliputi seluruh ruangan? Apa yang seb
Dina menghampiri mereka dengan senyuman lebar, membawa dua kantong plastik berisi makanan dan minuman. Wajahnya terlihat hangat, seolah-olah ia benar-benar peduli dengan situasi yang sedang terjadi. Tapi Randy, yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya, tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang merayap di benaknya.“Aku tahu kalian pasti belum makan,” kata Dina, meletakkan kantong di meja kecil di depan mereka. “Ini, aku bawakan sesuatu untuk kalian. Arka, aku tahu kamu pasti lelah.”Arka mengangkat kepalanya perlahan, menatap Dina dengan tatapan kosong. “Terima kasih, Dina. Tapi aku nggak lapar.” Suaranya terdengar lemah, mencerminkan perasaan yang menguasai dirinya.“Kamu harus makan sesuatu,” desak Dina lembut. “Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Alea nanti?”Randy, yang berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan di dadanya.“Dina,” katanya tiba-tiba, nadanya datar. “Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu sedang sibuk dengan proyek?”Dina menoleh padanya dengan senyuman ya
Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang
Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda
Suara sirene ambulans menggema di sepanjang jalan yang sepi, mengiringi perjalanan Alea yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur darurat. Randy duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alea yang terasa dingin, mencoba memberikan kenyamanan dalam ketidakpastian yang mengerikan ini. Setiap detik terasa panjang, seperti beban berat yang terus menekan jantungnya. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya. "Alea ... ayo, bertahanlah," bisiknya pelan, meskipun ia tahu bahwa Alea tidak dapat mendengarnya. Wajah Alea tampak pucat, dan napasnya sesekali terengah-engah. Randy merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sisinya, menunggu pertolongan datang. Kecelakaan itu begitu mendalam menggores hati Randy. Semua itu terjadi begitu cepat. Bahkan sebelum ia sempat berbicara lebih banyak dengan Alea, kejadian itu datang begitu mendadak dan menghantam mereka berdua. Randy menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ing