Malampun tiba, Arka kembali ke rumah. Lalu Arka mengunci pintu dan melepaskan sepatu kerjanya. Dia menoleh ke ruang tamu, tempat di mana Alea biasanya berada. Namun, hari ini berbeda. Alea tidak terlihat seperti biasanya. Tidak ada suara tawa atau obrolan ringan seperti yang biasa mereka lakukan setelah Arka pulang kerja. Alea sedang duduk di sudut ruang tamu, di depan kanvas besar yang terletak di atas meja. Tangannya bergerak dengan pelan, menorehkan kuas di atas kanvas, membuat goresan-goresan warna yang terlihat indah, namun terkesan penuh ketegangan. Setiap gerakan terlihat lebih terfokus daripada biasanya, seolah dia sedang berusaha menenangkan sesuatu dalam dirinya yang mungkin tak terlihat. Arka berhenti sejenak di ambang pintu, mengamati. Tanpa berkata-kata, ia melepas jasnya dan mendekati Alea, berdiri di belakangnya. Meski terdengar biasa saja, langkah Arka terdengar lebih berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. "Alea," suara Arka terdengar lembut, namu
Randy duduk di depan layar komputer, matanya bergerak cepat menggeser dokumen-dokumen yang tampak tak ada habisnya. Sebagai seorang yang baru dipindahkan ke cabang ini sebulan yang lalu, banyak hal yang masih harus ia pelajari. Meski begitu, ia tak bisa mengeluh. Ini adalah kesempatan yang tak datang dua kali, dan ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. Pagi itu, proyek yang sedang dikerjakan oleh timnya terasa semakin menantang. Proyek besar yang melibatkan teknologi untuk memperbarui sistem dan platform digital yang digunakan oleh banyak klien mereka. Randy tahu ini adalah salah satu ujian besar untuk membuktikan kemampuannya di dunia teknologi. Namun, masih banyak hal yang belum bisa ia kendalikan. Ia belum pernah bertemu langsung dengan banyak klien besar, dan itu menjadi beban tambahan di kepalanya. Sementara itu, para seniornya di kantor tampaknya sudah sangat sibuk dengan proyek-proyek mereka masing-masing. Randy sering mendapati dirinya duduk lama di depan komputer,
Siang itu, Alea duduk di meja makan, secangkir kopi hangat di depan matanya. Hujan di luar belum berhenti sejak semalam, tapi kali ini tidak ada perasaan yang mengikutinya. Udara di dalam rumah terasa lebih sepi, meskipun Arka sudah pergi ke kantor. Raka pun sudah berangkat sekolah, dan suasana di rumah terasa lebih tenang daripada biasanya. Ponsel Alea bergetar, memecah keheningan. Ia mengambil ponsel itu dengan sedikit enggan, melihat nama yang muncul di layar: Arka. Ia menghela napas pelan sebelum membuka pesan tersebut. Arka: “Sayang, akhir pekan ini aku sudah atur semuanya. Kita pergi liburan, ya. Aku dan kamu. Raka akan senang. Ini waktunya buat kita berdua. Aku butuh refreshing kayaknya, aku sudah atur semuanya.” Pesan yang singkat itu tiba-tiba mengaduk-aduk pikirannya. Alea terdiam sejenak, matanya terfokus pada kata-kata yang ada. Liburan? Menghabiskan waktu bersama keluarga? Itu memang terdengar seperti sesuatu yang ia butuhkan, meskipun perasaannya masih campur aduk.
Setelah memastikan Raka tertidur, Alea dan Arka duduk di ruang tengah. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat. Alea membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. “Jadi,” Alea memulai dengan nada ringan sambil duduk di samping Arka, “kamu beneran udah cari penginapan, Mas?” Arka mengangguk sambil meraih cangkir tehnya. “Iya, aku lihat-lihat tadi siang. Ada beberapa pilihan, tapi aku pengen tanya kamu dulu. Kamu lebih suka tempat yang dekat dengan pusat kota atau yang agak sepi?” Alea berpikir sejenak. “Aku lebih suka yang sepi sih, Mas. Kalau bisa yang bener-bener dekat sama pantai, jadi Raka bisa main pasir sepuasnya.” Arka tersenyum kecil, seolah sudah tahu jawabannya. “Aku juga mikir gitu. Aku nemu satu penginapan, kamarnya ada balkon yang langsung menghadap laut. Kayaknya cocok buat kita.” Mata Alea berbinar. “Wah, sounds perfect! Berapa hari kita di sana, Mas?” “Tiga hari, gimana? Cukup nggak menurut kamu?” tanya Arka sambil menyesap tehnya. Alea men
Pagi itu, rumah Arka dan Alea terasa lebih sibuk dari biasanya. Di dapur, Alea dengan cekatan menyiapkan bekal makanan ringan yang sudah direncanakannya sejak malam sebelumnya. Dengan tangannya yang cekatan, ia memasukkan beberapa buah, roti lapis, dan snack ke dalam wadah, memastikan semuanya cukup untuk perjalanan. Di ruang tamu, Raka dengan penuh semangat memeriksa ranselnya, tak sabar ingin tahu mainan apa saja yang akan dibawa. “Bunda! Aku bawa truk pasir ini ya?” teriak Raka dari ruang tamu, wajahnya penuh semangat saat mengangkat mainan besar itu. Alea tertawa kecil. “Bawa aja, Nak. Tapi jangan lupa bawa topi pantainya juga, biar nggak kepanasan nanti,” jawabnya, sambil menata barang di meja dapur. “Iyaaa!” jawab Raka, lalu berlari ke kamarnya dengan riang untuk mengambil barang lainnya. Alea menatapnya, senyum tulus melengkung di wajahnya. Kebahagiaan Raka adalah kebahagiaan mereka semua. Meskipun hatinya sedikit terasa berat dengan berbagai pikiran yang mengganggu, ia
Malam itu, setelah seharian menikmati pantai, Arka dan Alea duduk di teras penginapan yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang sejuk membelai kulit mereka, sementara lilin-lilin kecil yang menyala memberi sentuhan hangat pada suasana. Di meja depan mereka, seafood yang sudah lama mereka tunggu akhirnya datang: udang rebus, cumi bakar, kepiting saus tiram, semuanya mengundang selera. Alea menyendokkan satu piring udang besar dan menatapnya dengan mata berbinar. “Mas, ini udangnya enak banget sih! Kamu selalu bisa pilih makanan yang nggak pernah gagal, deh,” katanya sambil tersenyum penuh syukur. Arka tertawa kecil, meletakkan piringnya di meja. “Aku kan tahu kesukaan kamu, Alea. Makanan enak buat orang yang spesial.” Alea pura-pura menggulirkan matanya dengan gemas. “Aduh, kamu nih. Selalu aja gitu, sih. Nanti aku jadi malu!” “Tapi kan emang kamu yang spesial,” jawab Arka, tetap dengan senyum nakal di wajahnya. Alea terkekeh, lalu mengambil udang rebus yang sudah dise
Perjalanan pulang dari liburan yang menyenangkan terasa berbeda malam itu. Suasana di dalam mobil masih hangat meski angin malam sudah mulai menusuk. Raka tertidur pulas di kursi belakang, kepalanya bersandar di jendela, dengan tubuh kecilnya yang tampak nyaman dalam selimut tebal yang dipersiapkan Arka. Alea duduk di samping Arka, memandangi pemandangan yang semakin gelap di luar jendela, namun hatinya terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Arka, yang tengah menyetir, sesekali melirik ke arah Alea, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit kecemasan yang masih tampak di matanya. Ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya bisa melupakan semua masalah yang ada, tetapi saat ini, mereka sedang berada di momen yang penuh dengan kehangatan. "Capek, ya?" tanya Arka dengan lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kebisuan malam. Alea menoleh, memberikan senyuman tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku seneng bisa liburan kayak gini." Arka mengangguk, senyumannya mela
Alea menatap sejenak, terdiam, mencoba meresapi kenyataan bahwa pria itu sedang berada di restoran yang sama. Arka, yang merasakan perubahan sikap Alea, mengikuti pandangan matanya. Begitu melihat siapa yang dimaksud Alea, ia langsung bisa menebak siapa sosok itu. Sesaat, suasana menjadi sedikit tegang. Randy, yang terlihat sedang berbicara dengan pelayan, akhirnya mengalihkan pandangan dan melihat Alea. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut, namun dengan cepat ia menyapa mereka. "Alea?" Randy menyapa, dengan nada yang cukup ramah, namun ada kesan canggung yang tak bisa disembunyikan. Alea tersenyum, meskipun sedikit kikuk. "Randy, lagi apa di sini?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap santai. Randy kemudian berjalan mendekat, lalu menjawab, “Aku habis ada janji sama klien, Al.” Lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Arka. "Halo, Arka, kan?" kata Randy, mencoba bersikap sopan. "Senang akhirnya bisa ketemu." Arka mengangguk dan berjabat tangan dengan Randy. "Iya,
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam