Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 43 : Bayangan yang Mengancam

Share

Bab 43 : Bayangan yang Mengancam

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-12-16 19:56:02

Alea merasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa cemas yang semula dia coba buang kini kembali muncul dengan kuat. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Apakah Arka sengaja berpapasan dengan Dina? Atau ada hal lain yang lebih dalam di balik pertemuan mereka?

Dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lemas, Alea menarik napas dalam-dalam. Ia berbalik perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Rasanya, seolah-olah dunia mulai berputar begitu cepat, dan dia tidak bisa lagi mengendalikan semuanya.

Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Alea berhenti. Matanya kembali memandang Arka dan Dina dari kejauhan, seakan-akan sedang menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya penuh dengan pertanyaan yang semakin menumpuk, dan dia tahu, untuk mendapatkan jawaban, dia harus berani mengambil langkah selanjutnya. Meskipun itu berarti menghadapi kenyataan yang mungkin jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan.

Dengan langkah mantap, Alea melangka
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 44 : Mengukir Sunyi

    Malampun tiba, Arka kembali ke rumah. Lalu Arka mengunci pintu dan melepaskan sepatu kerjanya. Dia menoleh ke ruang tamu, tempat di mana Alea biasanya berada. Namun, hari ini berbeda. Alea tidak terlihat seperti biasanya. Tidak ada suara tawa atau obrolan ringan seperti yang biasa mereka lakukan setelah Arka pulang kerja. Alea sedang duduk di sudut ruang tamu, di depan kanvas besar yang terletak di atas meja. Tangannya bergerak dengan pelan, menorehkan kuas di atas kanvas, membuat goresan-goresan warna yang terlihat indah, namun terkesan penuh ketegangan. Setiap gerakan terlihat lebih terfokus daripada biasanya, seolah dia sedang berusaha menenangkan sesuatu dalam dirinya yang mungkin tak terlihat. Arka berhenti sejenak di ambang pintu, mengamati. Tanpa berkata-kata, ia melepas jasnya dan mendekati Alea, berdiri di belakangnya. Meski terdengar biasa saja, langkah Arka terdengar lebih berat, seperti ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. "Alea," suara Arka terdengar lembut, namu

    Last Updated : 2024-12-16
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 45 : Bayangan di Antara Proyek

    Randy duduk di depan layar komputer, matanya bergerak cepat menggeser dokumen-dokumen yang tampak tak ada habisnya. Sebagai seorang yang baru dipindahkan ke cabang ini sebulan yang lalu, banyak hal yang masih harus ia pelajari. Meski begitu, ia tak bisa mengeluh. Ini adalah kesempatan yang tak datang dua kali, dan ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. Pagi itu, proyek yang sedang dikerjakan oleh timnya terasa semakin menantang. Proyek besar yang melibatkan teknologi untuk memperbarui sistem dan platform digital yang digunakan oleh banyak klien mereka. Randy tahu ini adalah salah satu ujian besar untuk membuktikan kemampuannya di dunia teknologi. Namun, masih banyak hal yang belum bisa ia kendalikan. Ia belum pernah bertemu langsung dengan banyak klien besar, dan itu menjadi beban tambahan di kepalanya. Sementara itu, para seniornya di kantor tampaknya sudah sangat sibuk dengan proyek-proyek mereka masing-masing. Randy sering mendapati dirinya duduk lama di depan komputer,

    Last Updated : 2024-12-16
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 46 : Momen yang Mengubah Segalanya

    Siang itu, Alea duduk di meja makan, secangkir kopi hangat di depan matanya. Hujan di luar belum berhenti sejak semalam, tapi kali ini tidak ada perasaan yang mengikutinya. Udara di dalam rumah terasa lebih sepi, meskipun Arka sudah pergi ke kantor. Raka pun sudah berangkat sekolah, dan suasana di rumah terasa lebih tenang daripada biasanya. Ponsel Alea bergetar, memecah keheningan. Ia mengambil ponsel itu dengan sedikit enggan, melihat nama yang muncul di layar: Arka. Ia menghela napas pelan sebelum membuka pesan tersebut. Arka: “Sayang, akhir pekan ini aku sudah atur semuanya. Kita pergi liburan, ya. Aku dan kamu. Raka akan senang. Ini waktunya buat kita berdua. Aku butuh refreshing kayaknya, aku sudah atur semuanya.” Pesan yang singkat itu tiba-tiba mengaduk-aduk pikirannya. Alea terdiam sejenak, matanya terfokus pada kata-kata yang ada. Liburan? Menghabiskan waktu bersama keluarga? Itu memang terdengar seperti sesuatu yang ia butuhkan, meskipun perasaannya masih campur aduk.

    Last Updated : 2024-12-17
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 47 : Rencana Liburan yang Makin Serius

    Setelah memastikan Raka tertidur, Alea dan Arka duduk di ruang tengah. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat. Alea membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. “Jadi,” Alea memulai dengan nada ringan sambil duduk di samping Arka, “kamu beneran udah cari penginapan, Mas?” Arka mengangguk sambil meraih cangkir tehnya. “Iya, aku lihat-lihat tadi siang. Ada beberapa pilihan, tapi aku pengen tanya kamu dulu. Kamu lebih suka tempat yang dekat dengan pusat kota atau yang agak sepi?” Alea berpikir sejenak. “Aku lebih suka yang sepi sih, Mas. Kalau bisa yang bener-bener dekat sama pantai, jadi Raka bisa main pasir sepuasnya.” Arka tersenyum kecil, seolah sudah tahu jawabannya. “Aku juga mikir gitu. Aku nemu satu penginapan, kamarnya ada balkon yang langsung menghadap laut. Kayaknya cocok buat kita.” Mata Alea berbinar. “Wah, sounds perfect! Berapa hari kita di sana, Mas?” “Tiga hari, gimana? Cukup nggak menurut kamu?” tanya Arka sambil menyesap tehnya. Alea men

    Last Updated : 2024-12-17
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 48 : Liburan yang Memiliki Makna Tersembunyi

    Pagi itu, rumah Arka dan Alea terasa lebih sibuk dari biasanya. Di dapur, Alea dengan cekatan menyiapkan bekal makanan ringan yang sudah direncanakannya sejak malam sebelumnya. Dengan tangannya yang cekatan, ia memasukkan beberapa buah, roti lapis, dan snack ke dalam wadah, memastikan semuanya cukup untuk perjalanan. Di ruang tamu, Raka dengan penuh semangat memeriksa ranselnya, tak sabar ingin tahu mainan apa saja yang akan dibawa. “Bunda! Aku bawa truk pasir ini ya?” teriak Raka dari ruang tamu, wajahnya penuh semangat saat mengangkat mainan besar itu. Alea tertawa kecil. “Bawa aja, Nak. Tapi jangan lupa bawa topi pantainya juga, biar nggak kepanasan nanti,” jawabnya, sambil menata barang di meja dapur. “Iyaaa!” jawab Raka, lalu berlari ke kamarnya dengan riang untuk mengambil barang lainnya. Alea menatapnya, senyum tulus melengkung di wajahnya. Kebahagiaan Raka adalah kebahagiaan mereka semua. Meskipun hatinya sedikit terasa berat dengan berbagai pikiran yang mengganggu, ia

    Last Updated : 2024-12-17
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 49 : Hanya Kita Berdua

    Malam itu, setelah seharian menikmati pantai, Arka dan Alea duduk di teras penginapan yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang sejuk membelai kulit mereka, sementara lilin-lilin kecil yang menyala memberi sentuhan hangat pada suasana. Di meja depan mereka, seafood yang sudah lama mereka tunggu akhirnya datang: udang rebus, cumi bakar, kepiting saus tiram, semuanya mengundang selera. Alea menyendokkan satu piring udang besar dan menatapnya dengan mata berbinar. “Mas, ini udangnya enak banget sih! Kamu selalu bisa pilih makanan yang nggak pernah gagal, deh,” katanya sambil tersenyum penuh syukur. Arka tertawa kecil, meletakkan piringnya di meja. “Aku kan tahu kesukaan kamu, Alea. Makanan enak buat orang yang spesial.” Alea pura-pura menggulirkan matanya dengan gemas. “Aduh, kamu nih. Selalu aja gitu, sih. Nanti aku jadi malu!” “Tapi kan emang kamu yang spesial,” jawab Arka, tetap dengan senyum nakal di wajahnya. Alea terkekeh, lalu mengambil udang rebus yang sudah dise

    Last Updated : 2024-12-18
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 50 : Perjalanan “Pulang”

    Perjalanan pulang dari liburan yang menyenangkan terasa berbeda malam itu. Suasana di dalam mobil masih hangat meski angin malam sudah mulai menusuk. Raka tertidur pulas di kursi belakang, kepalanya bersandar di jendela, dengan tubuh kecilnya yang tampak nyaman dalam selimut tebal yang dipersiapkan Arka. Alea duduk di samping Arka, memandangi pemandangan yang semakin gelap di luar jendela, namun hatinya terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Arka, yang tengah menyetir, sesekali melirik ke arah Alea, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit kecemasan yang masih tampak di matanya. Ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya bisa melupakan semua masalah yang ada, tetapi saat ini, mereka sedang berada di momen yang penuh dengan kehangatan. "Capek, ya?" tanya Arka dengan lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kebisuan malam. Alea menoleh, memberikan senyuman tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku seneng bisa liburan kayak gini." Arka mengangguk, senyumannya mela

    Last Updated : 2024-12-18
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 51: Kenangan yang Tertinggal

    Alea menatap sejenak, terdiam, mencoba meresapi kenyataan bahwa pria itu sedang berada di restoran yang sama. Arka, yang merasakan perubahan sikap Alea, mengikuti pandangan matanya. Begitu melihat siapa yang dimaksud Alea, ia langsung bisa menebak siapa sosok itu. Sesaat, suasana menjadi sedikit tegang. Randy, yang terlihat sedang berbicara dengan pelayan, akhirnya mengalihkan pandangan dan melihat Alea. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut, namun dengan cepat ia menyapa mereka. "Alea?" Randy menyapa, dengan nada yang cukup ramah, namun ada kesan canggung yang tak bisa disembunyikan. Alea tersenyum, meskipun sedikit kikuk. "Randy, lagi apa di sini?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap santai. Randy kemudian berjalan mendekat, lalu menjawab, “Aku habis ada janji sama klien, Al.” Lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Arka. "Halo, Arka, kan?" kata Randy, mencoba bersikap sopan. "Senang akhirnya bisa ketemu." Arka mengangguk dan berjabat tangan dengan Randy. "Iya,

    Last Updated : 2024-12-18

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 146: Titik Akhir Proyek

    Ruang rapat di lantai tertinggi gedung itu dipenuhi dengan udara yang berbeda dari biasanya. Semua anggota tim hadir, termasuk Arka, Dina, dan Randy. Proyek besar yang telah mereka kerjakan selama berbulan-bulan akhirnya mencapai titik akhir. Di meja rapat yang panjang, berbagai dokumen dan gambar desain tersebar, menjadi bukti dari kerja keras dan ketegangan yang telah mereka lalui bersama.Arka duduk dengan tangan bersilang di dada, matanya memandangi gambar desain terakhir yang terpampang di layar presentasi. Suasana hatinya tetap berat, meskipun proyek ini akhirnya rampung. Randy, sebagai klien utama, menatap desain itu dengan ekspresi puas. Ia mengangguk, menandatangani dokumen terakhir yang diberikan oleh manajer proyek.“Desainnya luar biasa, Arka,” kata Randy sambil meletakkan pena di atas meja. “Kamu dan tim berhasil mewujudkan sesuatu yang lebih dari yang saya bayangkan.”Arka hanya mengangguk kecil. “Terima kasih. Aku harap hasilnya sesuai dengan harapan perusahaan.”Dina ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 145: Awal yang Baru

    Rumah keluarga Alea dipenuhi suasana haru di pagi yang tenang. Udara dingin menyusup masuk melalui celah-celah jendela, seolah ingin menambah beban yang sudah berat di hati. Di ruang tamu, koper-koper tertata rapi, menjadi saksi diam keputusan besar yang akan membawa Alea dan Raka ke kehidupan baru di Singapura.Nyonya Kartika duduk di sofa, menggenggam tangan Alea dengan erat, seolah-olah ingin mencegah putrinya pergi. Matanya berkaca-kaca meskipun ia berusaha tersenyum.“Kamu yakin ini yang terbaik, Nak?” tanyanya, suaranya lirih tetapi penuh perhatian.Alea mengangguk perlahan, mencoba menyembunyikan keraguan yang terus menghantui pikirannya. “Bu, aku harus melakukannya. Ini bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk Raka. Aku ingin memberikan dia kehidupan yang lebih baik. Dan aku… aku butuh memulai sesuatu yang baru.”Tuan Darmawan berdiri di dekat jendela, memandang ke arah taman yang pernah menjadi tempat bermain Raka. Wajahnya tegas, tetapi suaranya terdengar berat ketika ia akhirn

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 144: Luka yang Masih Terbuka

    Sebuah kafe kecil di sudut kota itu terasa hangat, dengan aroma kopi yang memenuhi udara. Alea duduk di salah satu meja dekat jendela, menatap keluar ke jalanan yang sibuk. Di luar, kehidupan berjalan seperti biasa, tetapi di dalam dirinya, rasa sakit masih mengendap. Ia merapikan syal di lehernya, berusaha mengalihkan perasaan yang tiba-tiba menyelimutinya.“Alea,” suara Randy memecah lamunannya.Ia menoleh, tersenyum kecil ketika Randy mendekat dengan langkah tenang. “Hai, Randy. Lama nggak ketemu,” sapanya, mencoba terdengar santai.Randy duduk di depannya, menatap Alea dengan perhatian yang khas. Ia memesan secangkir kopi lalu menatapnya, matanya membaca sesuatu di balik senyuman Alea yang tipis.“Kamu terlihat … berbeda,” kata Randy, memulai percakapan.Alea mengangkat bahu, mencoba tersenyum lebih lebar. “Aku baik-baik saja. Sudah sebulan, dan aku mulai terbiasa. Semua ini hanya … fase, kan?”Randy memiringkan kepalanya sedikit, tatapannya tajam tetapi lembut. “Kamu selalu menco

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 143: Akhir yang Tidak Pernah Diinginkan

    Hari itu akhirnya tiba. Matahari pagi menyinari gedung pengadilan yang megah, memantulkan cahayanya ke dinding-dinding kaca. Namun, bagi Alea, sinar itu terasa dingin, tidak membawa kehangatan. Ia melangkah masuk ke dalam gedung dengan langkah mantap, meskipun hatinya terasa berat, seolah-olah setiap langkah adalah perjuangan melawan beban yang tak terlihat.Begitu memasuki ruang sidang, suasana hening langsung menyelimuti. Udara terasa kaku, hampir seperti menyulitkan setiap tarikan napas. Hanya ada suara langkah kaki dan bisikan pelan dari pengacara yang terdengar samar di ruangan yang luas tetapi dingin itu.Alea berjalan menuju kursinya, matanya lurus ke depan, fokus pada meja hakim yang berdiri di depannya. Hari ini adalah hari putusan, hari di mana segala sesuatu yang pernah ia perjuangkan akan berakhir secara resmi. Ia duduk perlahan, melipat tangannya di pangkuan, berusaha mengendalikan perasaan yang bergemuruh di dadanya.Matanya melirik ke kursi kosong di sebelahnya, kursi ya

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 142: Melepasmu

    Di kamar, Alea menutup telepon dengan tangan yang gemetar. Ia menatap ponselnya, mencoba memahami apa yang baru saja ia lakukan. Ia tahu bahwa pertemuan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa sudah waktunya untuk menghadapi semuanya, untuk benar-benar melepaskan.Ia berjalan ke kamar Raka, melihat anaknya yang tertidur pulas. Dalam keheningan malam, ia membisikkan sesuatu kepada dirinya sendiri. “Ini demi kita, Nak. Apa pun yang terjadi, aku harus melakukannya.”Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tatapannya tertuju pada liontin kecil di lehernya, hadiah pernikahan dari Arka. Dengan hati-hati, ia membuka liontin itu, memperlihatkan foto kecil mereka berdua di dalamnya. Foto yang dulu membawa senyum hangat kini hanya membuat air matanya mengalir.“Aku mencintaimu, Arka,” bisiknya pelan. “Tapi aku harus mencintai diriku sendiri lebih dulu.”---Senja mulai turun, mewarnai langit dengan cahaya jingga yang indah namun menyimpan kesedihan. Di taman yang sepi, Arka du

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 141: Surat dari Pengadilan

    Pagi itu, rumah Arka terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela, membentuk pola bayangan di lantai, tetapi kehangatannya seakan tidak mampu menembus udara dingin yang menyelimuti ruangan. Di meja makan, sebuah amplop cokelat besar tergeletak, mencuri perhatian dengan cap pengadilan yang tercetak jelas di atasnya.Arka memandangi amplop itu dengan jantung yang berdegup kencang. Tangannya gemetar saat meraihnya, seolah-olah benda itu lebih dari sekadar dokumen.Itu adalah vonis atas hidupnya.Dengan gerakan pelan, ia membuka amplop itu, bunyi sobekannya terasa nyaring di tengah keheningan.Matanya bergerak cepat membaca isi surat itu. Setiap kata di sana seperti menambah beban di pundaknya. Surat panggilan pengadilan itu adalah hal yang paling ia takutkan selama ini, tetapi kini telah menjadi kenyataan yang tak terhindarkan. Alea telah mengambil langkahnya.Perceraian itu benar-benar akan dimulai.“Tidak, ini tidak boleh terjadi,” gumamnya, nyaris seperti bisikan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 140: Ultimatum

    Ketukan keras di pintu terus menggema, memecah keheningan malam. Arka berdiri diam di ambang pintu, punggungnya menegang saat ia menatap siluet di depannya. Cahaya lampu jalan memperlihatkan wajah Dina yang berdiri dengan ekspresi penuh emosi.“Dina?” gumam Arka, suaranya rendah dan penuh kebingungan. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah malam.”Dina tidak menjawab langsung. Ia melangkah masuk tanpa menunggu izin, membuat Arka terpaksa mundur untuk memberinya ruang. Pintu ditutup pelan di belakangnya, tetapi suasana di antara mereka terasa seperti badai yang siap meledak kapan saja.“Kita harus bicara, sekarang juga,” kata Dina dengan nada tajam. Sorot matanya menusuk, meskipun ada kilatan emosi yang sulit dijelaskan di dalamnya, amarah, ketakutan, dan rasa putus asa bercampur menjadi satu.Arka menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dina, ini bukan waktu yang tepat. Besok saja … ”“Tidak ada besok, Arka!” potong Dina dengan suara yang meninggi. “Aku sudah cukup menung

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti. A

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, ek

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status