Randy duduk di depan layar komputer, matanya bergerak cepat menggeser dokumen-dokumen yang tampak tak ada habisnya. Sebagai seorang yang baru dipindahkan ke cabang ini sebulan yang lalu, banyak hal yang masih harus ia pelajari. Meski begitu, ia tak bisa mengeluh. Ini adalah kesempatan yang tak datang dua kali, dan ia bertekad untuk memberikan yang terbaik. Pagi itu, proyek yang sedang dikerjakan oleh timnya terasa semakin menantang. Proyek besar yang melibatkan teknologi untuk memperbarui sistem dan platform digital yang digunakan oleh banyak klien mereka. Randy tahu ini adalah salah satu ujian besar untuk membuktikan kemampuannya di dunia teknologi. Namun, masih banyak hal yang belum bisa ia kendalikan. Ia belum pernah bertemu langsung dengan banyak klien besar, dan itu menjadi beban tambahan di kepalanya. Sementara itu, para seniornya di kantor tampaknya sudah sangat sibuk dengan proyek-proyek mereka masing-masing. Randy sering mendapati dirinya duduk lama di depan komputer,
Siang itu, Alea duduk di meja makan, secangkir kopi hangat di depan matanya. Hujan di luar belum berhenti sejak semalam, tapi kali ini tidak ada perasaan yang mengikutinya. Udara di dalam rumah terasa lebih sepi, meskipun Arka sudah pergi ke kantor. Raka pun sudah berangkat sekolah, dan suasana di rumah terasa lebih tenang daripada biasanya. Ponsel Alea bergetar, memecah keheningan. Ia mengambil ponsel itu dengan sedikit enggan, melihat nama yang muncul di layar: Arka. Ia menghela napas pelan sebelum membuka pesan tersebut. Arka: “Sayang, akhir pekan ini aku sudah atur semuanya. Kita pergi liburan, ya. Aku dan kamu. Raka akan senang. Ini waktunya buat kita berdua. Aku butuh refreshing kayaknya, aku sudah atur semuanya.” Pesan yang singkat itu tiba-tiba mengaduk-aduk pikirannya. Alea terdiam sejenak, matanya terfokus pada kata-kata yang ada. Liburan? Menghabiskan waktu bersama keluarga? Itu memang terdengar seperti sesuatu yang ia butuhkan, meskipun perasaannya masih campur aduk.
Setelah memastikan Raka tertidur, Alea dan Arka duduk di ruang tengah. Lampu temaram membuat suasana terasa hangat. Alea membawa dua cangkir teh hangat dan meletakkannya di meja. “Jadi,” Alea memulai dengan nada ringan sambil duduk di samping Arka, “kamu beneran udah cari penginapan, Mas?” Arka mengangguk sambil meraih cangkir tehnya. “Iya, aku lihat-lihat tadi siang. Ada beberapa pilihan, tapi aku pengen tanya kamu dulu. Kamu lebih suka tempat yang dekat dengan pusat kota atau yang agak sepi?” Alea berpikir sejenak. “Aku lebih suka yang sepi sih, Mas. Kalau bisa yang bener-bener dekat sama pantai, jadi Raka bisa main pasir sepuasnya.” Arka tersenyum kecil, seolah sudah tahu jawabannya. “Aku juga mikir gitu. Aku nemu satu penginapan, kamarnya ada balkon yang langsung menghadap laut. Kayaknya cocok buat kita.” Mata Alea berbinar. “Wah, sounds perfect! Berapa hari kita di sana, Mas?” “Tiga hari, gimana? Cukup nggak menurut kamu?” tanya Arka sambil menyesap tehnya. Alea men
Pagi itu, rumah Arka dan Alea terasa lebih sibuk dari biasanya. Di dapur, Alea dengan cekatan menyiapkan bekal makanan ringan yang sudah direncanakannya sejak malam sebelumnya. Dengan tangannya yang cekatan, ia memasukkan beberapa buah, roti lapis, dan snack ke dalam wadah, memastikan semuanya cukup untuk perjalanan. Di ruang tamu, Raka dengan penuh semangat memeriksa ranselnya, tak sabar ingin tahu mainan apa saja yang akan dibawa. “Bunda! Aku bawa truk pasir ini ya?” teriak Raka dari ruang tamu, wajahnya penuh semangat saat mengangkat mainan besar itu. Alea tertawa kecil. “Bawa aja, Nak. Tapi jangan lupa bawa topi pantainya juga, biar nggak kepanasan nanti,” jawabnya, sambil menata barang di meja dapur. “Iyaaa!” jawab Raka, lalu berlari ke kamarnya dengan riang untuk mengambil barang lainnya. Alea menatapnya, senyum tulus melengkung di wajahnya. Kebahagiaan Raka adalah kebahagiaan mereka semua. Meskipun hatinya sedikit terasa berat dengan berbagai pikiran yang mengganggu, ia
Malam itu, setelah seharian menikmati pantai, Arka dan Alea duduk di teras penginapan yang menghadap langsung ke laut. Angin laut yang sejuk membelai kulit mereka, sementara lilin-lilin kecil yang menyala memberi sentuhan hangat pada suasana. Di meja depan mereka, seafood yang sudah lama mereka tunggu akhirnya datang: udang rebus, cumi bakar, kepiting saus tiram, semuanya mengundang selera. Alea menyendokkan satu piring udang besar dan menatapnya dengan mata berbinar. “Mas, ini udangnya enak banget sih! Kamu selalu bisa pilih makanan yang nggak pernah gagal, deh,” katanya sambil tersenyum penuh syukur. Arka tertawa kecil, meletakkan piringnya di meja. “Aku kan tahu kesukaan kamu, Alea. Makanan enak buat orang yang spesial.” Alea pura-pura menggulirkan matanya dengan gemas. “Aduh, kamu nih. Selalu aja gitu, sih. Nanti aku jadi malu!” “Tapi kan emang kamu yang spesial,” jawab Arka, tetap dengan senyum nakal di wajahnya. Alea terkekeh, lalu mengambil udang rebus yang sudah dise
Perjalanan pulang dari liburan yang menyenangkan terasa berbeda malam itu. Suasana di dalam mobil masih hangat meski angin malam sudah mulai menusuk. Raka tertidur pulas di kursi belakang, kepalanya bersandar di jendela, dengan tubuh kecilnya yang tampak nyaman dalam selimut tebal yang dipersiapkan Arka. Alea duduk di samping Arka, memandangi pemandangan yang semakin gelap di luar jendela, namun hatinya terasa lebih ringan daripada sebelumnya. Arka, yang tengah menyetir, sesekali melirik ke arah Alea, memperhatikan wajahnya yang tampak lebih tenang, meskipun ada sedikit kecemasan yang masih tampak di matanya. Ia tahu bahwa mereka belum sepenuhnya bisa melupakan semua masalah yang ada, tetapi saat ini, mereka sedang berada di momen yang penuh dengan kehangatan. "Capek, ya?" tanya Arka dengan lembut, suaranya hampir tenggelam dalam kebisuan malam. Alea menoleh, memberikan senyuman tipis. "Iya, sedikit. Tapi aku seneng bisa liburan kayak gini." Arka mengangguk, senyumannya mela
Alea menatap sejenak, terdiam, mencoba meresapi kenyataan bahwa pria itu sedang berada di restoran yang sama. Arka, yang merasakan perubahan sikap Alea, mengikuti pandangan matanya. Begitu melihat siapa yang dimaksud Alea, ia langsung bisa menebak siapa sosok itu. Sesaat, suasana menjadi sedikit tegang. Randy, yang terlihat sedang berbicara dengan pelayan, akhirnya mengalihkan pandangan dan melihat Alea. Wajahnya menampilkan ekspresi terkejut, namun dengan cepat ia menyapa mereka. "Alea?" Randy menyapa, dengan nada yang cukup ramah, namun ada kesan canggung yang tak bisa disembunyikan. Alea tersenyum, meskipun sedikit kikuk. "Randy, lagi apa di sini?" tanyanya, berusaha menjaga suasana tetap santai. Randy kemudian berjalan mendekat, lalu menjawab, “Aku habis ada janji sama klien, Al.” Lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Arka. "Halo, Arka, kan?" kata Randy, mencoba bersikap sopan. "Senang akhirnya bisa ketemu." Arka mengangguk dan berjabat tangan dengan Randy. "Iya,
Setelah makan malam yang hangat dan penuh tawa, mereka melanjutkan perjalanan pulang. Suasana di dalam mobil terasa lebih santai sekarang, jauh dari kecanggungan yang sempat terjadi saat bertemu Randy. Namun, di balik ketenangan itu, ada sebuah pertanyaan yang menggelayuti hati Alea. Alea duduk di samping Arka, matanya memandang ke luar jendela, melihat lampu-lampu kota yang mulai pudar satu per satu. Meski hatinya terasa lebih ringan setelah beberapa hari bersama, ada perasaan yang tak terungkapkan, sebuah keraguan yang belum sepenuhnya hilang. Arka menyetir dengan tenang, namun ia bisa merasakan adanya ketegangan di udara. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Al?" tanya Arka, suaranya lembut, mencoba membuka percakapan. Alea terdiam sejenak. Ia menatap tangan Arka yang memegang setir dengan mantap, merasakan kenyamanan yang datang dari sentuhan halus itu. Namun, perasaan cemas tentang Dina yang belum sepenuhnya hilang membuat hatinya masih bertanya-tanya. "Mas, maaf aku mau tanya
Siang itu, keadaan Alea perlahan mulai stabil. Setelah berhari-hari berada dalam ketidakpastian, akhirnya ia dipindahkan ke ruang perawatan.Meski tubuhnya masih lemah, monitor yang ada di sampingnya menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang menggembirakan. Suara detak jantungnya terdengar teratur, memberi sedikit harapan bagi Arka yang tidak henti-hentinya menjaga di sisinya. Ruangan rumah sakit itu sunyi, kecuali suara monoton monitor yang setia memantau kondisi Alea. Lampu yang menyinari ruangan terasa dingin, memberikan kesan semakin mencekam.Arka duduk di kursi dekat ranjang Alea, menggenggam tangan istrinya dengan erat. Wajahnya yang tampak lelah, dengan mata merah dan bengkak karena kurang tidur, menunjukkan bahwa ia belum bisa lepas dari kecemasan yang terus mengganggu pikirannya. Ia menatap wajah Alea yang masih tampak tenang meski tertidur, seakan tak ada yang bisa mengganggu kedamaian yang ia rasakan.Perlahan, Arka membungkuk, mendekatkan wajahnya ke tangan Alea yang ia
Pagi itu, ketika matahari sudah cukup tinggi, Randy duduk termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya sudah mulai dingin, tetapi ia tak memiliki niat untuk meminumnya. Pikiran-pikirannya terjebak dalam kekacauan yang sulit ia ungkapkan. Semua yang terjadi kemarin.Semuanya saling berputar dalam benaknya, membingungkan dan menyakitkan. Ia merasa ada sesuatu yang sangat tidak beres, dan entah mengapa, ia merasa semakin terjebak dalam misteri ini. Tiba-tiba, ingatannya melayang. Cinta, teman baiknya waktu SMA yang juga sangat dekat dengan Alea. Arka dan Cinta bekerja di kantor yang sama. Randy merasa, jika ada orang yang bisa memberi pencerahan tentang hal-hal yang menyelubungi Dina, itu adalah Cinta. Jadi, dengan penuh pertimbangan, ia meraih ponselnya dan mulai mengetik nomor Cinta.Ia menekan tombol panggil, dan menunggu dengan perasaan gelisah. Deringan telepon terdengar lama, seolah-olah memperlambat detak jantungnya, dan setiap detik yang berlalu terasa begitu berat.
Dunia Arka seperti runtuh seketika. Bibirnya terkatup rapat, matanya terbelalak, dan ia merasa seolah-olah semuanya melambat. Jantungnya berdebar keras, namun tak ada suara yang keluar. Seperti ada kekosongan yang merenggut setiap harapan yang ia miliki. “Tidak ... ” Arka berbisik, suaranya terputus-putus, seolah-olah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Wajahnya berubah pucat, dan tubuhnya merasa semakin berat. Ia merasa seperti tidak bisa bernafas, seolah-olah ada beban yang tak terbayangkan menghempas dirinya. “Dok, Anda pasti salah. Anak kami ... dia masih di sana, kan? Dia pasti selamat, kan?” Tanya Arka dengan suara bergetar, seakan mencoba menegaskan pada dirinya sendiri bahwa ini semua adalah salah paham. Namun, dokter itu hanya menundukkan kepalanya, merasakan kepedihan yang sama, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang lembut, namun penuh penyesalan. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, Tuan. Namun, trauma yang dialami istri Anda terlalu pa
Randy tiba di apartemennya dengan langkah berat. Suasana di dalam unit yang biasanya terasa nyaman kini terasa hampa. Ia melemparkan kunci ke meja kecil dekat pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa dengan helaan napas panjang.Pikirannya terus berputar, tak bisa lepas dari kejadian di rumah sakit. Bayangan Alea yang terbaring di ICU, kondisi Arka yang tampak begitu terpukul, dan terutama Dina. Semuanya memenuhi benaknya.Randy mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir kekacauan di kepalanya. “Kenapa semuanya jadi serumit ini?” gumamnya pada dirinya sendiri.Ia teringat percakapannya dengan Dina di lorong rumah sakit. Jawaban-jawaban Dina terdengar masuk akal, tetapi ada sesuatu dalam tatapan dan nada bicaranya yang membuat Randy tak percaya. Wanita itu terlalu tenang, terlalu terencana.Randy berdiri, berjalan menuju jendela besar di ruang tamunya, menatap kerlip lampu kota yang tidak memberikan ketenangan apa pun.“Dina,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan bayang
Randy kembali ke ruang tunggu rumah sakit dengan langkah yang terasa berat, seolah-olah setiap langkah yang ia ambil menambah beban di pundaknya. Ia memandang sekeliling dengan pandangan kosong, lalu berhenti sejenak di depan pintu ruang tunggu.Wajahnya lelah, pikirannya penuh dengan kekhawatiran. Ia tidak bisa mengerti mengapa situasi ini begitu rumit, mengapa segalanya harus berputar begitu cepat tanpa pemberitahuan. Sejenak, ia merasakan sesuatu yang ganjil, ada rasa cemas yang semakin menyelip di dalam hatinya, jauh lebih dalam daripada kecemasan terhadap kondisi Alea.Di dalam ruang tunggu yang sunyi itu, Dina masih duduk di sebelah Arka, berbicara dengan suara pelan. Wajahnya tampak penuh simpati, namun Randy bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak terasa tulus.Setiap kali Dina melirik Arka, ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat hati Randy semakin waspada. Bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di tengah ketegangan yang meliputi seluruh ruangan? Apa yang seb
Dina menghampiri mereka dengan senyuman lebar, membawa dua kantong plastik berisi makanan dan minuman. Wajahnya terlihat hangat, seolah-olah ia benar-benar peduli dengan situasi yang sedang terjadi. Tapi Randy, yang sejak tadi mengamati gerak-geriknya, tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang merayap di benaknya.“Aku tahu kalian pasti belum makan,” kata Dina, meletakkan kantong di meja kecil di depan mereka. “Ini, aku bawakan sesuatu untuk kalian. Arka, aku tahu kamu pasti lelah.”Arka mengangkat kepalanya perlahan, menatap Dina dengan tatapan kosong. “Terima kasih, Dina. Tapi aku nggak lapar.” Suaranya terdengar lemah, mencerminkan perasaan yang menguasai dirinya.“Kamu harus makan sesuatu,” desak Dina lembut. “Kalau kamu sakit, siapa yang akan menjaga Alea nanti?”Randy, yang berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan di dadanya.“Dina,” katanya tiba-tiba, nadanya datar. “Kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu sedang sibuk dengan proyek?”Dina menoleh padanya dengan senyuman ya
Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang
Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda
Suara sirene ambulans menggema di sepanjang jalan yang sepi, mengiringi perjalanan Alea yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur darurat. Randy duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alea yang terasa dingin, mencoba memberikan kenyamanan dalam ketidakpastian yang mengerikan ini. Setiap detik terasa panjang, seperti beban berat yang terus menekan jantungnya. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya. "Alea ... ayo, bertahanlah," bisiknya pelan, meskipun ia tahu bahwa Alea tidak dapat mendengarnya. Wajah Alea tampak pucat, dan napasnya sesekali terengah-engah. Randy merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sisinya, menunggu pertolongan datang. Kecelakaan itu begitu mendalam menggores hati Randy. Semua itu terjadi begitu cepat. Bahkan sebelum ia sempat berbicara lebih banyak dengan Alea, kejadian itu datang begitu mendadak dan menghantam mereka berdua. Randy menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ing