Arka terdiam sejenak, mencoba mengontrol diri. "Dina, ini bukan waktunya untuk membahas itu." Dina tersenyum miring, senyum yang lebih mirip senyum penuh dendam. "Oh, jadi ini caramu memperbaiki semuanya? Membeli bunga untuk istrimu, setelah semua yang kamu katakan padaku? Kamu kira ini akan menyelesaikan masalah?" Suasana semakin tegang. Arka merasa hatinya berat, namun ia mencoba untuk tetap tenang. "Dina, aku sudah membuat keputusan. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Alea. Kita sudah bicara tentang ini. Aku lelah, Dina!!" Namun, Dina tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut. Ia melangkah lebih dekat lagi, hampir tidak memberi ruang bagi Arka untuk bernafas. "Kamu pikir aku bodoh?" Dina berteriak, suara hatinya terpecah. "Kamu pikir kamu bisa membeli dirimu keluar dari masalah ini dengan sekuntum bunga? Kamu pikir kamu bisa melupakan semua yang kita lalui begitu saja? Kamu dan Alea memang seharusnya bahagia, tapi jangan harap aku akan tinggal diam!" Arka merasa hati
Keesokan harinya dikantor. Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Dina, Arka merasa dadanya semakin sesak. Ia telah mengorbankan banyak waktu dan energi untuk memperbaiki hubungan dengan Alea, berharap bahwa sedikit perhatian yang dia tunjukkan akan dapat menyembuhkan luka-luka lama. Namun, Dina ternyata bukan ancaman yang bisa ia hindari begitu saja. Arka duduk di kursi kantornya, merasa berat. Proyek besar yang dikelola oleh dua tim berbeda, timnya yang dipimpin oleh Arka dan tim Dina yang kini juga terlibat, semakin rumit. Keterlambatan proyek sudah menjadi masalah besar, tetapi masalah yang lebih mengkhawatirkan adalah persaingan di dalam tim-tim itu sendiri, yang semakin terasa. Arka berusaha fokus pada laporan-laporan yang ada di meja kerjanya, tapi pikirannya terus teralihkan ke berbagai percakapan yang terjadi di antara para anggota tim. Beberapa minggu terakhir, hubungan antara dua tim ini terasa semakin renggang, terutama setelah Dina secara terang-terangan men
Arka menghela napas panjang ketika dia melewati pintu depan rumah, merasakan seluruh kelelahan dan tekanan hari itu menggerogoti tubuhnya. Pekerjaan yang belum selesai, masalah yang terus mengendap di benaknya, dan ketidakpastian yang melingkupi hubungan mereka semua menambah beban di pundaknya. Meskipun ia mencoba tetap tegar di luar, di dalam, ia merasa semakin terperangkap oleh tanggung jawab yang tak kunjung berakhir. Ruangan rumah yang gelap terasa seperti tempat perlindungan bagi Arka. Tanpa suara kecuali detak jam dinding, ruang tamu yang sunyi itu memberikan kedamaian yang sangat dibutuhkannya. Pintu yang baru saja dia tutup memberikan sensasi seakan menghalangi dunia luar sejenak, memisahkannya dari hiruk-pikuk yang terus berputar di luar sana. Ketika Arka melangkah ke ruang tengah, dia melihat Alea duduk di depan kanvas besar yang terletak di sudut ruangan. Dengan kuas di tangan, Alea tampak sangat tenggelam dalam dunianya sendiri. Setiap goresan di kanvas seakan men
Pagi itu, Arka berangkat ke kantor lebih awal dari biasanya. Langit masih mendung, mencerminkan suasana hatinya yang berat. Meski percakapan semalam dengan Alea sempat membuatnya merasa lebih tenang, bayang-bayang masa lalu terus mengusik pikirannya. Dina, wanita yang pernah menjadi kelemahannya, masih ada di sekitar, seperti bayangan yang sulit ia singkirkan. Begitu memasuki ruang kantor, Arka langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Beberapa kolega yang biasanya ramah hanya melempar senyum tipis, lalu buru-buru kembali ke pekerjaan mereka. Arka menatap mereka satu per satu, mencoba mencari tahu penyebab ketegangan yang samar itu. “Pak Arka,” sapa Dedi, dengan nada hati-hati. Arka menoleh, matanya menyipit curiga. “Ada apa?” Dedi tampak ragu sejenak sebelum akhirnya memberanikan diri berbicara. “Tadi pagi, Bu Dina masuk ke ruang rapat tanpa pemberitahuan. Beliau mengubah beberapa bagian proyek tanpa koordinasi dengan tim.” Arka mendengus kesal. Dina lagi. Setelah semua
Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Alea melanjutkan langkahnya menuju toko roti kecil yang terletak tak jauh dari rumahnya. Hujan mulai turun dengan lebat, membuat suasana sekitar tampak suram. Di tengah hujan yang mengguyur, Alea memutuskan untuk berhenti sejenak dan membeli roti kesukaannya untuk dibawa pulang. Ia baru saja keluar dari toko, membawa kantong roti hangat di tangannya, ketika mendengar suara langkah sepatu yang mendekat. Dari kejauhan, ia melihat sosok yang ia kenal. Randy, yang sedang berjalan menuju toko roti, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan melambaikan tangan. “Alea! Gak nyangka ketemu di sini!” Randy menyapa dengan suara riang, meski hujan mulai turun lebih deras. Alea mengangkat alis, sedikit terkejut, tapi segera tersenyum. “Randy? Kok bisa ada di sini?” Randy tertawa, memperlihatkan senyuman lebar. “Aku juga kaget, tadi mau beli roti, eh ketemu kamu. Bisa jadi pertanda, nih!” Ia mengangkat payung besar yang ada di tangannya dan langsung men
Alea merasakan ada yang janggal. Kenapa Dina bisa ada di sini, bersama anaknya? Apakah ada yang tidak ia ketahui? Raka tampak ceria, menggenggam kantong plastik berisi makanan ringan, sementara Dina terlihat sedang berbicara dengan santai, seakan tidak ada yang aneh. Tapi wajah Alea mulai terasa cemas. Apa yang sedang terjadi? Dengan hati-hati, Alea melangkah lebih dekat, mencoba tetap tenang meski ada seribu pertanyaan yang berputar di kepalanya. Ketika Dina melihatnya, senyuman di wajahnya terlihat sangat berbeda, lebih misterius, lebih tajam. Alea menghela napas, langkahnya semakin mendekat, namun ada perasaan tidak nyaman yang mengendap di dada. Begitu sampai di depan mereka, Alea memanggil Raka. "Sayang, ayo pulang." Raka menoleh, senyum lebar menghiasi wajahnya. "Bunda, ini Tante Dina, teman baru Raka. Tadi dia ngajak Raka ngobrol." Alea menatap Dina dengan tatapan tajam. "Dina?" suaranya lebih dingin daripada yang ia harapkan. Dina tersenyum tipis, seolah tidak ad
Pagi itu, setelah mengantar Raka ke sekolah, Alea merasa ada yang perlu dia selesaikan. Kepalanya penuh dengan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Dina. Kenapa wanita itu bisa tahu begitu banyak tentang Raka? Bagaimana mungkin ia berada di sekolah yang sama dengan anaknya, di saat yang tidak tepat? Alea berjalan menuju ruang tamu, matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 pagi. Dia menghela napas panjang, meraih ponselnya, dan mencari nomor Cinta. Teman SMA Alea dan Randy, yang sekarang bekerja di kantor yang sama dengan Arka. Sepertinya, Cinta bisa memberikan sedikit pencerahan, setidaknya untuk membantu Alea memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dengan sedikit ragu, Alea mengetik pesan singkat, mengajak Cinta untuk bertemu. Beberapa detik kemudian, pesan itu dibaca, dan balasan pun datang. Cinta: "Hai Al! Lagi sibuk banget nih, tapi makan siang bisa, deh. Tumben, mau ngomongin apa?" Alea tersenyum, merasa sedikit lega. "Makasih Cinta! Aku butuh ngobrol. Ketemu d
Alea merasakan jantungnya berdegup kencang. Rasa cemas yang semula dia coba buang kini kembali muncul dengan kuat. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Apakah Arka sengaja berpapasan dengan Dina? Atau ada hal lain yang lebih dalam di balik pertemuan mereka? Dengan tubuh yang tiba-tiba terasa lemas, Alea menarik napas dalam-dalam. Ia berbalik perlahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian. Rasanya, seolah-olah dunia mulai berputar begitu cepat, dan dia tidak bisa lagi mengendalikan semuanya. Namun, sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, Alea berhenti. Matanya kembali memandang Arka dan Dina dari kejauhan, seakan-akan sedang menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya penuh dengan pertanyaan yang semakin menumpuk, dan dia tahu, untuk mendapatkan jawaban, dia harus berani mengambil langkah selanjutnya. Meskipun itu berarti menghadapi kenyataan yang mungkin jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. Dengan langkah mantap, Alea melangka
Waktu berjalan begitu lambat dan terasa menyesakkan. Di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, hanya ada suara desah napas yang berat antara Arka dan Randy. Keduanya duduk di kursi yang terpisah, saling menjaga jarak meskipun di dalam hati mereka, perasaan cemas tak terpisahkan. Arka menggenggam ponselnya dengan erat. Tangan yang biasanya begitu kuat, kini terasa gemetar. Ia ingin memberi pesan pada Alea, memberi tahu dia bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi kata-kata itu terhenti di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Semua terasa begitu tidak pasti. Di sebelahnya, Randy tampak tak kalah gelisah. Matanya kosong, pandangannya kosong ke depan, namun pikirannya berputar cepat, berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, mengapa semuanya bisa berputar seperti ini. Kenapa Alea bisa terlibat dalam kecelakaan ini? Apa sebenarnya yang ingin Alea bicarakan? Arka melirik Randy sesekali, merasa tidak nyaman dengan kehadirannya di sana. Memang, Randy bukan siapa-siapa sekarang
Waktu seolah berjalan sangat lambat di ruang tunggu rumah sakit itu. Arka duduk dengan gelisah, tangannya menggenggam erat ponsel di saku jaketnya. Di sebelahnya, Randy juga tak bisa duduk tenang. Keduanya hanya bisa saling menatap sesekali, namun tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Pikiran mereka terjebak dalam kegelisahan yang tak terkatakan. Alea, perempuan yang begitu berarti bagi Arka, kini terbaring tak berdaya di ruang operasi. Bagaimana bisa ini terjadi? Mengapa? Apa yang salah dengan hidup mereka? Arka berpikir dalam kebingungannya. Ia tahu, semestinya ia harus merasa khawatir tentang Alea, tetapi perasaan yang lebih besar justru menggelayuti dirinya. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama pada waktu yang sama? Arka merasa ada yang ganjil. Bagaimana mungkin Randy, yang tak pernah ia tahu lebih banyak tentang masa lalu Alea, berada di sana, mendampinginya dalam situasi ini? Sesekali Arka melirik Randy. Pria itu tampak sangat cemas, tidak berbeda
Suara sirene ambulans menggema di sepanjang jalan yang sepi, mengiringi perjalanan Alea yang terbaring tak berdaya di atas tempat tidur darurat. Randy duduk di sampingnya, menggenggam tangan Alea yang terasa dingin, mencoba memberikan kenyamanan dalam ketidakpastian yang mengerikan ini. Setiap detik terasa panjang, seperti beban berat yang terus menekan jantungnya. Rasa cemas dan takut menghantui pikirannya. "Alea ... ayo, bertahanlah," bisiknya pelan, meskipun ia tahu bahwa Alea tidak dapat mendengarnya. Wajah Alea tampak pucat, dan napasnya sesekali terengah-engah. Randy merasa seperti dunia runtuh di sekelilingnya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan selain tetap berada di sisinya, menunggu pertolongan datang. Kecelakaan itu begitu mendalam menggores hati Randy. Semua itu terjadi begitu cepat. Bahkan sebelum ia sempat berbicara lebih banyak dengan Alea, kejadian itu datang begitu mendadak dan menghantam mereka berdua. Randy menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang ing
Alea berjalan pelan menuju gedung tempat seminar berlangsung, meskipun pikirannya masih terjerat oleh pesan misterius yang diterimanya. Setiap langkah terasa begitu berat, seperti ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Seminar yang seharusnya menjadi tempat untuk mengisi jiwa dan pikiran, kini terasa seperti hal yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan apa yang sedang mengganggu hatinya. Di dalam ruangan seminar, Alea mencoba untuk fokus. Ia duduk di kursi paling belakang, berusaha untuk menyerap materi yang disampaikan oleh pembicara. Namun, matanya hanya terarah pada papan tulis, sementara pikirannya berlarian jauh, melayang ke pesan yang baru saja ia terima. "Kamu telah mengkhianati suamimu," kalimat itu terus berputar di kepalanya, dan bayangan wajah Randy yang tersenyum kepadanya di kafe tadi semakin jelas. “Siapa yang mengirimkan pesan itu?” tanya Alea dalam hati. Kenapa mereka tahu? Apa yang mereka inginkan dariku? Pikirannya terus berputar-putar. Ia mencoba berkon
Pagi itu, Alea merasa sedikit lebih ringan. Setelah beberapa hari penuh dengan rutinitas yang melelahkan, ia akhirnya bisa menyempatkan diri untuk mengikuti seminar terapi seni yang sudah ia rencanakan. Seminar itu sudah lama ia nantikan, sebuah kesempatan untuk kembali menghubungkan dirinya dengan dunia seni yang sangat ia cintai. Meskipun perasaan cemas tetap ada, ia merasa ini adalah langkah kecil yang tepat untuk dirinya sendiri. Setelah sarapan bersama Arka dan Raka, Alea bersiap untuk pergi. Ia mengenakan pakaian yang nyaman, siap menyerap ilmu baru dan meresapi ketenangan yang datang bersama seni. Sambil berjalan keluar rumah, ia mengecek ponselnya sejenak untuk memastikan tidak ada pesan penting yang tertinggal. Di jalan menuju seminar, ia merasa lapar dan memutuskan untuk berhenti sejenak di sebuah kafe yang terletak di sepanjang jalan. Kafe itu kecil dan nyaman, dengan suasana yang tenang, sempurna untuk menikmati waktu sambil menenangkan pikiran. Begitu masuk, Alea lang
Setelah pertemuan yang melelahkan dengan Risa, Arka merasa kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar. Keputusan untuk bergabung dengan perusahaan keluarga yang akhirnya ia ambil terasa berat, namun juga sebuah langkah besar yang harus dilakukan. Dalam keheningan malam yang mencekam, ia tahu ia harus segera pulang, meskipun banyak pekerjaan yang masih menunggu di kantornya. Sesampainya di rumah, suasana yang sederhana namun hangat menyambutnya. Raka, sedang asyik bermain dengan mainan kereta api di ruang tamu. Alea, duduk di dekat jendela besar dengan kanvas di depannya, tengah fokus pada lukisannya. Alea, dengan tangan yang sedikit berlumuran cat, memandangi lukisannya dengan penuh perhatian. Di lantai, Raka tersenyum riang setiap kali keretanya melaju cepat di atas rel kecil. Melihat pemandangan itu, Arka merasa hatinya sedikit lebih tenang, meskipun pekerjaan yang belum selesai masih menghantui pikirannya. Raka yang melihatnya langsung berlari kecil menghampiri, memangg
Sore itu, Arka merasa seolah dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat dari biasanya. Dengan tumpukan tugas yang terus menumpuk di mejanya, proyek Tech Hub yang hampir tak ada ujungnya, dan tekanan dari setiap arah yang datang, terutama dari Dina yang semakin menguasai kendali di dalam proyek Arka merasa hampir tenggelam. Setiap detik di kantor terasa semakin panjang, dan setiap keputusan yang ia buat seperti bertaruh pada masa depan yang belum pasti. Pekerjaan ini, yang dulunya penuh dengan semangat dan visi, kini terasa seperti beban yang tak bisa ia lepaskan. Sejak ia mengambil keputusan untuk tetap berada di perusahaan ini, setiap langkah terasa semakin rumit. Ada begitu banyak hal yang harus ia tangani, dari eksekusi proyek hingga menjaga hubungan dengan tim, klien, bahkan dirinya sendiri. Semua itu menggerogoti energi dan waktu yang ada, dan semakin lama, semakin membuatnya merasa terpecah. Di satu sisi, Arka merasa memiliki kewajiban untuk membawa perusahaan keluarga ke l
Pagi itu, Arka kembali ke kantor dengan pikiran yang penuh. Proyek Tech Hub terus berkembang, namun bukan tanpa tantangan. Sejak Dina mengambil lebih banyak alih kendali, setiap keputusan yang diambil terasa semakin berat. Arka tahu, di balik layar, Dina sedang menjalankan rencananya sendiri, dan ia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam permainan yang lebih besar. Tapi itu tidak mudah. Proyek ini, yang semula berjalan lancar, kini menuntut seluruh perhatian dan energi Arka.Hari itu, ia duduk di meja kerjanya, memeriksa tumpukan laporan dan email yang masuk. Setiap menit terasa berharga, setiap keputusan harus dipikirkan matang-matang. Arka merasakan tekanan yang luar biasa. Keputusan yang salah bisa berarti kegagalan besar, dan dia tidak bisa membiarkan itu terjadi.Tapi meskipun ia berusaha sekeras mungkin, pikirannya tak bisa lepas dari apa yang sedang terjadi di rumah. Alea, istrinya, telah merencanakan untuk pergi ke rumah sakit untuk kontrol rutin. Selama beberapa minggu
Arka duduk di ruang kerjanya, menatap tumpukan dokumen yang menunggu untuk diproses. Meski fisiknya ada di kantor, pikirannya tidak tenang. Dia tahu, apa yang terjadi di balik layar proyek ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.Dina tidak hanya bermain dengan pekerjaan, tapi juga dengan ambisinya sendiri dan Arka mulai merasakannya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya sejak ia kembali ke kantor terasa semakin berat, seperti beban yang semakin menumpuk di pundaknya.Selama beberapa hari terakhir, meskipun tampaknya segalanya berjalan normal, Arka tahu ada yang salah. Dina semakin sering berinisiatif, mengambil peran lebih besar dalam pengambilan keputusan, meskipun proyek ini seharusnya ia yang memimpin. Ketika Arka bertanya, selalu ada alasan yang rasional, jawaban yang terdengar logis, namun selalu ada celah di dalamnya.Hari itu, saat rapat berlangsung, Dina mengajukan sebuah revisi desain besar yang langsung mengubah alur proyek. Padahal, revisi tersebut sangat mendalam dan bi