Pagi keesokan harinya, Arka memasuki kantor dengan langkah ragu. Hari pertama setelah ia sembuh dari sakit, dan ia merasa ada beban berat yang harus dihadapinya. Sebisa mungkin, ia ingin menghindari Dina. Semua yang terjadi antara mereka membuat Arka merasa bahwa kedekatan itu adalah kesalahan besar. Alea telah menunjukkan perhatian yang tulus, sesuatu yang mengingatkannya kembali pada alasan ia jatuh cinta kepada istrinya. Namun, Dina tidak semudah itu dihindari. Saat Arka berjalan menuju ruangannya, Dina sudah berdiri di depan pintu, tangan terlipat di dada, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit ditebak. “Arka,” sapanya dengan nada dingin, “Kenapa nggak ada kabar? Kamu sakit dan nggak cerita apa-apa?” Arka berhenti, menatapnya dengan gugup. “Maaf, Dina. Aku nggak sempat kasih tahu. Lagipula, nggak perlu semua orang tahu soal itu, kan?” Dina mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawabannya. “Semua orang? Aku bukan semua orang, Arka. Aku pikir, setidaknya kamu
Malam tiba, membawa serta angin lembut yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar Alea. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Cangkir teh yang sudah dingin masih tergenggam di tangannya, namun pikirannya mengembara jauh, kembali ke momen di kafe tadi siang. Semua yang terjadi masih berputar-putar dalam benaknya, seperti putaran roda yang tak pernah berhenti. Randy. Nama itu terus berputar di kepalanya, meskipun ia mencoba mengusirnya. Kata-kata Randy, tatapannya, senyumnya, semuanya terasa begitu jelas dan sulit untuk diabaikan. Bahkan setelah semua yang terjadi, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Alea menghela napas panjang, mencoba mengusir kekacauan yang menggerogoti pikirannya. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri, tetapi semua usaha itu terasa sia-sia. Wajah Randy muncul begitu jelas dalam pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa ia hilangkan. Rasa itu datang begitu kuat, mes
Malam itu, Arka duduk di teras rumah, memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh sesak oleh rasa bersalah dan kebingungan. Dina masih memenuhi pikirannya, meski ia tahu tidak seharusnya begitu. Di sisi lain, ada Alea yang perlahan membuka hatinya kembali untuknya, memberikan cinta yang seharusnya ia jaga sejak awal. Langkah lembut terdengar mendekat. Alea keluar dari dalam rumah dengan membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arka tanpa berkata apa-apa. Suasana sunyi di antara mereka, tetapi tidak canggung. Hanya ada suara angin malam yang berembus pelan. "Kamu kenapa duduk di luar? Lagi banyak pikiran, Mas?" tanya Alea akhirnya, memecah keheningan. Arka mengangguk pelan. "Iya, cuma lagi... bingung aja." Alea memandangnya, mencoba menangkap emosi di wajah suaminya. "Kalau ada yang bisa aku bantu, kamu bisa cerita." Arka menghela napas panjang. "Kadang aku merasa, aku nggak layak dapat kesempatan kedua dari kamu." Alea terdiam sejenak. Ia
Randy menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan yang ia kirim untuk Alea tadi malam masih tak berbalas. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alea telah membacanya. Sebuah notifikasi kecil yang biasanya ia harapkan muncul kini terasa seperti siksaan, mengingatkannya bahwa ia sedang menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan. Sambil menghela napas panjang, ia meletakkan ponselnya di meja, mencoba mengalihkan perhatian pada pekerjaan yang menumpuk. Namun, fokusnya terus melompat-lompat, seolah-olah seluruh pikirannya terikat pada bayangan wanita itu. Suara lembut Alea, cara ia tertawa pelan saat mendengar sesuatu yang konyol, hingga tatapan matanya yang menyiratkan kerinduan akan kebahagiaan, semua itu begitu menghantui Randy. Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang perlahan menguasainya. Tapi ketegangan itu bukan hanya berasal dari pekerjaannya, melainkan dari pergulatan batinnya sendiri. Di satu sisi, ia tahu Alea bukan miliknya. Tidak pernah
Pagi itu, sinar mentari lembut menyelinap melalui tirai jendela dapur, memantulkan cahaya ke permukaan meja makan yang telah tertata rapi. Aroma sup ayam yang mengepul dari panci memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang mengusir sisa dingin malam. Alea berdiri di depan kompor, tangannya dengan cekatan mengaduk kuah sambil tersenyum kecil. Dari arah ruang tengah, langkah kaki kecil terdengar mendekat, disusul suara lembut yang memecah keheningan. "Selamat pagi, Bunda," ucap Raka, suaranya masih serak khas anak yang baru bangun tidur. Rambutnya kusut, matanya sedikit sembab, tetapi senyumnya yang manis tidak pernah gagal membuat Alea merasa damai. "Selamat pagi, Sayang. Tidurnya nyenyak?" Alea menyambutnya dengan senyum hangat, sambil mengusap kepala Raka yang penuh kasih. Raka mengangguk polos. "Iya, tapi aku lapar," katanya dengan nada menggemaskan. Alea tertawa kecil. "Sebentar lagi supnya jadi, ya. Sudah Bunda siapkan mangkuknya di meja," ujarnya, menunjuk ke arah
Arka duduk di depan komputernya dan mulai mengetik, namun tangannya tak terasa lambat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Raka, tentang Alea, dan tentang masa depan mereka. Meski langkahnya penuh keraguan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Arka tahu bahwa jalan mereka masih panjang, dan banyak hal yang harus diputuskan. Namun, dengan langkah perlahan, mereka mungkin bisa kembali menemukan kebahagiaan yang mereka miliki dulu. Di luar jendela kantornya, langit tampak cerah. Meskipun hari baru saja dimulai, Arka merasa sedikit lebih optimis. Dia tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapai kebahagiaan, namun jika mereka bisa melalui hari-hari ini bersama, mungkin masa depan mereka bisa lebih baik. Dan dengan langkah kecil itu, Arka mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semua yang mereka butuhkan adalah sedikit waktu, sedikit harapan, dan usaha yang terus menerus. Namun tiba-tiba Dina muncul dengan senyum yang sudah sangat familiar bagi Arka, tetapi kali
Arka terdiam sejenak, mencoba mengontrol diri. "Dina, ini bukan waktunya untuk membahas itu." Dina tersenyum miring, senyum yang lebih mirip senyum penuh dendam. "Oh, jadi ini caramu memperbaiki semuanya? Membeli bunga untuk istrimu, setelah semua yang kamu katakan padaku? Kamu kira ini akan menyelesaikan masalah?" Suasana semakin tegang. Arka merasa hatinya berat, namun ia mencoba untuk tetap tenang. "Dina, aku sudah membuat keputusan. Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Alea. Kita sudah bicara tentang ini. Aku lelah, Dina!!" Namun, Dina tidak mau mendengar penjelasan lebih lanjut. Ia melangkah lebih dekat lagi, hampir tidak memberi ruang bagi Arka untuk bernafas. "Kamu pikir aku bodoh?" Dina berteriak, suara hatinya terpecah. "Kamu pikir kamu bisa membeli dirimu keluar dari masalah ini dengan sekuntum bunga? Kamu pikir kamu bisa melupakan semua yang kita lalui begitu saja? Kamu dan Alea memang seharusnya bahagia, tapi jangan harap aku akan tinggal diam!" Arka merasa hati
Keesokan harinya dikantor. Setelah pertemuan yang penuh ketegangan dengan Dina, Arka merasa dadanya semakin sesak. Ia telah mengorbankan banyak waktu dan energi untuk memperbaiki hubungan dengan Alea, berharap bahwa sedikit perhatian yang dia tunjukkan akan dapat menyembuhkan luka-luka lama. Namun, Dina ternyata bukan ancaman yang bisa ia hindari begitu saja. Arka duduk di kursi kantornya, merasa berat. Proyek besar yang dikelola oleh dua tim berbeda, timnya yang dipimpin oleh Arka dan tim Dina yang kini juga terlibat, semakin rumit. Keterlambatan proyek sudah menjadi masalah besar, tetapi masalah yang lebih mengkhawatirkan adalah persaingan di dalam tim-tim itu sendiri, yang semakin terasa. Arka berusaha fokus pada laporan-laporan yang ada di meja kerjanya, tapi pikirannya terus teralihkan ke berbagai percakapan yang terjadi di antara para anggota tim. Beberapa minggu terakhir, hubungan antara dua tim ini terasa semakin renggang, terutama setelah Dina secara terang-terangan men
Randy duduk tertekan di kursi kantornya, pandangannya kosong menatap layar komputernya yang sudah minim aktivitas. Meskipun rapat sudah berakhir dan kerjaan menumpuk, pikirannya masih terpaut pada percakapan dengan Dina beberapa hari yang lalu. Ada sesuatu yang ganjil dalam pembicaraan mereka, sesuatu yang tak bisa ia abaikan begitu saja. Dina, yang dulu selalu tampak profesional dan tegas, kini mulai menunjukkan sisi lain, sesuatu yang lebih halus, namun penuh dengan perhitungan. Niatnya, meskipun tersembunyi, begitu jelas terasa. Ia tahu, dia tak bisa hanya diam. Kejadian itu harus dibicarakan dengan Arka. Tapi ia juga merasa perlu untuk lebih berhati-hati. Tidak hanya karena hubungan mereka yang kian rumit, tetapi juga karena Arka sedang berada dalam situasi yang sangat rapuh. Dengan ragu, Randy meraih ponselnya dan menekan nomor Arka. Telepon berdering beberapa kali, dan di ujung sana, terdengar suara Arka yang lelah namun tetap penuh perhatian. “Randy,” suara Arka terdeng
Hari-hari setelah makan siang Randy dan Dina berjalan dengan biasa. Rapat-rapat rutin dilanjutkan, dan meskipun Arka masih tidak sepenuhnya kembali ke kantor, tim terus bekerja di bawah arahan Dina. Namun, meskipun pekerjaan berjalan dengan lancar, ada ketegangan yang terus muncul, terutama antara Dina dan Randy. Dina lebih sering menghubungi Randy untuk mendiskusikan detail teknis proyek, sesuatu yang sebelumnya tidak begitu sering terjadi. Randy mulai merasa bahwa Dina sedang mencoba untuk mendekatinya dengan cara yang halus, namun tetap terkesan profesional. Terkadang, saat percakapan mereka berlanjut lebih lama dari yang seharusnya, Randy merasa seolah-olah Dina menguji sesuatu. Suatu hari, setelah jam kantor berakhir, Randy kembali ke mejanya dan menemukan sebuah email dari Dina. Judulnya hanya satu kata: "Revisi". Di dalam email itu, Dina meminta agar Randy menyelesaikan beberapa revisi pada aplikasi yang sedang mereka kembangkan untuk proyek Tech Hub. Namun, ada catatan t
Suasana di rumah Arka dan Alea terasa lebih hening dari biasanya. Meski keluarga mereka kembali berkumpul, ada ketegangan yang menyelimuti, terutama bagi Arka yang tengah dihantui oleh pilihan besar yang harus ia buat. Di satu sisi, ada perusahaan keluarga yang membutuhkan perhatian, dan di sisi lain, proyek besar yang tak bisa begitu saja ditinggalkan. Ia tahu, keputusan ini akan mengubah banyak hal. Di ruang tamu, Raka bermain dengan mainan kecil, sementara Alea duduk di sofa dengan ekspresi wajah yang tak jauh berbeda dari suaminya, kebingungan dan cemas. Arka duduk di ruang kerjanya, menatap berkas-berkas di meja, namun pikirannya melayang jauh. “Alea,” Arka akhirnya memutuskan untuk berbicara setelah beberapa saat hening, “kamu tahu aku nggak bisa memilih antara proyek ini dan perusahaan, kan?” Alea mendekat dan duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk meraih tangannya. “Aku tahu, Mas. Aku tahu ini bukan keputusan yang mudah. Tapi kamu harus memikirkannya. Kalau kamu l
Setelah rapat, Dina mengajak Randy untuk makan siang. Randy dan Dina pertama kali bertemu saat mereka masih kuliah di universitas yang sama, meskipun mereka mengambil jurusan yang berbeda. Dina mengambil jurusan Arsitektur, sementara Randy memilih untuk mendalami jurusan Teknologi Informasi (IT). Meskipun keduanya berada di dunia yang sangat berbeda, mereka bertemu melalui beberapa proyek kampus yang melibatkan kerjasama antar jurusan, terutama di bidang desain dan teknologi.Mereka pernah bekerja sama pada sebuah kompetisi desain dan teknologi yang diadakan oleh fakultas. Dina, sebagai mahasiswa Arsitektur yang lebih senior, terlibat dalam merancang desain dan konsep untuk proyek tersebut, sementara Randy, yang masih di tahun kedua, berperan dalam pengembangan sistem teknologi untuk mendukung proyek desain tersebut. Di sinilah mereka pertama kali bertemu dan mulai saling mengenal.Dina yang lebih berpengalaman di dunia profesional, dengan mudah menjadi panutan bagi Randy. Mereka seri
Pagi itu, suasana di kantor terasa berbeda. Di ruang rapat yang biasanya dipenuhi dengan diskusi produktif dan perencanaan strategis, kini ada keheningan yang meliputi. Para karyawan duduk dengan rapi di meja besar, namun energi yang biasanya mengalir melalui ruangan itu tampak hilang.Arka, sang ketua tim, tidak hadir, dan suasana itu tidak bisa disembunyikan. Meskipun Dina, yang kini memimpin rapat sementara, berusaha menjaga agar segala sesuatunya tetap berjalan lancar, atmosfernya tetap terasa hampa.Dina berdiri di depan layar besar, mempresentasikan data dan grafik yang diperlukan untuk rapat, namun tidak ada semangat atau kegembiraan dalam suaranya. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba untuk fokus pada presentasi, namun pikirannya terus melayang kepada situasi yang sedang dialami oleh Arka. Kehilangan orang tua adalah hal yang sangat berat, dan Dina tahu bahwa meskipun Arka tidak menunjukkannya, hatinya pasti tengah hancur.“Baiklah, mari kita lanjutkan dengan pembahasan angg
Keheningan yang menyelimuti rumah orangtua Arka begitu pekat, seperti udara yang semakin berat untuk dihirup. Setelah pemakaman, rumah itu tampak sepi, seakan tak ada lagi yang bisa dipertahankan.Semua pelayat sudah pulang, dan yang tersisa hanyalah keluarga yang kini terperangkap dalam kesedihan mereka sendiri. Arka, yang biasanya tampak kuat, kini hanya duduk terdiam di kursi ruang tamu, matanya kosong menatap jauh ke depan. Alea bisa merasakan betapa dalam perasaan yang sedang melanda suaminya, meskipun Arka berusaha keras untuk menahannya.Alea duduk di samping Arka, menggenggam tangannya dengan lembut, berusaha memberikan ketenangan yang sangat dibutuhkannya. Namun, keheningan itu tetap menguasai, dan setiap kali Alea berusaha berbicara, seolah kata-katanya tidak cukup untuk meruntuhkan tembok kesedihan yang dibangun Arka.“Mas,” Alea mencoba memulai, suaranya lembut, penuh pengertian, “aku di sini, jangan terlalu sedih ya.”Arka hanya menggelengkan kepala pelan, matanya tak ber
Rumah orangtua Arka tampak begitu sepi, seakan-akan seluruh kehidupan yang pernah mengisi rumah itu menghilang bersama prosesi pemakaman yang baru saja selesai. Suara angin yang berdesir di luar jendela hanya menambah kesunyian yang mencekam.Tidak ada lagi tawa riang, tidak ada obrolan hangat di ruang tamu yang dulunya selalu penuh dengan cerita. Semua pelayat telah pulang, membawa serta sebagian dari rasa haru yang menggelayuti keluarga Arka.Di tengah keheningan itu, Arka duduk di kursi ruang tamu yang dingin, menatap kosong ke depan. Wajahnya tampak letih, pucat, dan tak terurus. Tubuhnya kaku, seakan-akan dia telah kehilangan semua kekuatan untuk bergerak.Matanya yang biasanya tajam, kini tampak kosong, tidak mampu menatap dunia di sekitarnya. Pikirannya hanyut dalam kenangan yang datang bertubi-tubi, membawa serta penyesalan yang tak bisa dihindari. Ia merasa terjebak dalam ruang waktu yang memisahkannya dari ayahnya, yang kini sudah tak lagi ada.Alea berdiri di ambang pintu,
Dina berdiri di kejauhan, mengenakan pakaian hitam sederhana. Wajahnya tampak sendu, tetapi kehadirannya di sana seperti petir di siang bolong bagi Alea."Dina?" bisik Alea, hampir tak percaya.Dina berjalan mendekat, dengan langkah pelan namun penuh percaya diri. Ia menundukkan kepala sedikit saat melewati beberapa pelayat, kemudian berhenti tepat di depan Arka dan Alea."Alea, Arka ... aku turut berduka," ucap Dina dengan nada pelan, namun setiap kata terasa menusuk.Alea memandang Dina dengan sorot mata yang campur aduk antara kaget dan tak percaya. "Kenapa kamu ada di sini?" tanyanya, suaranya lebih tajam dari yang ia inginkan.Dina tersenyum kecil, senyum yang sulit diartikan. "Ayah Arka adalah sosok yang aku hormati. Aku merasa perlu datang."Arka yang sejak tadi hanya diam kini menatap Dina dengan ekspresi sulit ditebak. Ia tidak menyangka Dina akan muncul di saat seperti ini. Keberadaan Dina menambah kerumitan yang selama ini ia coba hindari.Alea merasakan dadanya sesak. Di t
Pagi itu, mentari baru saja muncul di ufuk timur, memancarkan sinar lembut ke dalam rumah Arka dan Alea. Arka duduk di meja makan, menyelesaikan sarapan sederhana yang disiapkan Alea. Ia mengenakan kemeja kerja yang rapi, bersiap untuk hari yang penuh rapat dan tanggung jawab di kantor. Alea, dengan rambut yang disanggul seadanya, sedang membereskan dapur sambil sesekali mencuri pandang ke arah suaminya. Ada sesuatu di wajah Arka yang membuatnya sedikit gelisah, seperti ada beban yang tak ia ungkapkan. "Mas, kamu yakin nggak mau bawa bekal? Aku bisa bungkusin," tawar Alea sambil menyeka tangannya dengan kain lap. Arka tersenyum tipis, menggeleng. "Nggak usah, Sayang. Aku mungkin nggak sempat makan di kantor, banyak agenda hari ini." Belum sempat Alea membalas, ponsel Arka yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering. Nama Nyonya Mirna tertera di layar. Arka meliriknya sebentar sebelum mengangkat panggilan itu. "Ibu?" Suara di seberang terdengar tergesa-gesa dan penuh kepanika