Beberapa hari setelah peristiwa itu, Arka mulai merasa tubuhnya lelah. Pekerjaan yang menumpuk, tekanan dalam kehidupan rumah tangga, rasa bersalah yang terus menghantuinya seolah menguras semua tenaganya, dan juga Dina. Awalnya ia berusaha menepis perasaan lelah itu, menganggapnya sebagai efek dari stres yang biasa, namun ketika tubuhnya mulai merasakan demam yang tak kunjung reda, ia menyadari bahwa tubuhnya sedang memberi sinyal. Pagi itu, saat ia terbangun, rasa pusing yang luar biasa langsung menyerang. Arka berusaha bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Langkahnya oleng, dan akhirnya ia terjatuh kembali ke tempat tidur. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Alea, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mendengar suara dari kamar Arka. Ia segera berlari menuju kamar dan terkejut melihat suaminya terkulai lemas di atas tempat tidur. "Mas ?!" serunya panik, lalu mendekat dengan cepat. "Kamu kenapa?" Arka membuka matanya dan mencoba tersenyum m
Hujan di luar semakin deras, membuat suasana kamar terasa lebih hangat dan damai. Alea masih bersandar pada bantal disebelah Arka, sementara Arka kini berbaring lebih dekat di sisinya. Tangannya masih menggenggam tangan Alea, jari-jarinya bermain lembut di punggung tangan istrinya. “Alea,” panggil Arka pelan, nadanya penuh kelembutan. “Hm?” jawab Alea, sedikit mengalihkan pandangan ke arah suaminya. “Aku kangen sama semuanya... sama kita.” Suara Arka terdengar rendah dan penuh emosi. “Aku tahu aku banyak salah. Aku nggak pernah benar-benar ada buat kamu seperti dulu.” Alea tidak segera menjawab, tetapi tatapannya melembut. Ia tahu kata-kata Arka kali ini bukan sekadar permintaan maaf biasa. Ada kejujuran di sana, sesuatu yang selama ini tidak ia dengar dari suaminya. “Sudahlah, Mas. Kamu butuh istirahat,” Alea berusaha mengalihkan topik, meski hatinya mulai goyah. Tapi Arka tidak menyerah. Ia menarik Alea perlahan, memintanya untuk lebih dekat. “Aku nggak mau tidur sebelum
Pagi keesokan harinya, Arka memasuki kantor dengan langkah ragu. Hari pertama setelah ia sembuh dari sakit, dan ia merasa ada beban berat yang harus dihadapinya. Sebisa mungkin, ia ingin menghindari Dina. Semua yang terjadi antara mereka membuat Arka merasa bahwa kedekatan itu adalah kesalahan besar. Alea telah menunjukkan perhatian yang tulus, sesuatu yang mengingatkannya kembali pada alasan ia jatuh cinta kepada istrinya. Namun, Dina tidak semudah itu dihindari. Saat Arka berjalan menuju ruangannya, Dina sudah berdiri di depan pintu, tangan terlipat di dada, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit ditebak. “Arka,” sapanya dengan nada dingin, “Kenapa nggak ada kabar? Kamu sakit dan nggak cerita apa-apa?” Arka berhenti, menatapnya dengan gugup. “Maaf, Dina. Aku nggak sempat kasih tahu. Lagipula, nggak perlu semua orang tahu soal itu, kan?” Dina mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawabannya. “Semua orang? Aku bukan semua orang, Arka. Aku pikir, setidaknya kamu
Malam tiba, membawa serta angin lembut yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar Alea. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Cangkir teh yang sudah dingin masih tergenggam di tangannya, namun pikirannya mengembara jauh, kembali ke momen di kafe tadi siang. Semua yang terjadi masih berputar-putar dalam benaknya, seperti putaran roda yang tak pernah berhenti. Randy. Nama itu terus berputar di kepalanya, meskipun ia mencoba mengusirnya. Kata-kata Randy, tatapannya, senyumnya, semuanya terasa begitu jelas dan sulit untuk diabaikan. Bahkan setelah semua yang terjadi, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Alea menghela napas panjang, mencoba mengusir kekacauan yang menggerogoti pikirannya. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri, tetapi semua usaha itu terasa sia-sia. Wajah Randy muncul begitu jelas dalam pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa ia hilangkan. Rasa itu datang begitu kuat, mes
Malam itu, Arka duduk di teras rumah, memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh sesak oleh rasa bersalah dan kebingungan. Dina masih memenuhi pikirannya, meski ia tahu tidak seharusnya begitu. Di sisi lain, ada Alea yang perlahan membuka hatinya kembali untuknya, memberikan cinta yang seharusnya ia jaga sejak awal. Langkah lembut terdengar mendekat. Alea keluar dari dalam rumah dengan membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arka tanpa berkata apa-apa. Suasana sunyi di antara mereka, tetapi tidak canggung. Hanya ada suara angin malam yang berembus pelan. "Kamu kenapa duduk di luar? Lagi banyak pikiran, Mas?" tanya Alea akhirnya, memecah keheningan. Arka mengangguk pelan. "Iya, cuma lagi... bingung aja." Alea memandangnya, mencoba menangkap emosi di wajah suaminya. "Kalau ada yang bisa aku bantu, kamu bisa cerita." Arka menghela napas panjang. "Kadang aku merasa, aku nggak layak dapat kesempatan kedua dari kamu." Alea terdiam sejenak. Ia
Randy menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan yang ia kirim untuk Alea tadi malam masih tak berbalas. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alea telah membacanya. Sebuah notifikasi kecil yang biasanya ia harapkan muncul kini terasa seperti siksaan, mengingatkannya bahwa ia sedang menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan. Sambil menghela napas panjang, ia meletakkan ponselnya di meja, mencoba mengalihkan perhatian pada pekerjaan yang menumpuk. Namun, fokusnya terus melompat-lompat, seolah-olah seluruh pikirannya terikat pada bayangan wanita itu. Suara lembut Alea, cara ia tertawa pelan saat mendengar sesuatu yang konyol, hingga tatapan matanya yang menyiratkan kerinduan akan kebahagiaan, semua itu begitu menghantui Randy. Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang perlahan menguasainya. Tapi ketegangan itu bukan hanya berasal dari pekerjaannya, melainkan dari pergulatan batinnya sendiri. Di satu sisi, ia tahu Alea bukan miliknya. Tidak pernah
Pagi itu, sinar mentari lembut menyelinap melalui tirai jendela dapur, memantulkan cahaya ke permukaan meja makan yang telah tertata rapi. Aroma sup ayam yang mengepul dari panci memenuhi ruangan, menciptakan suasana hangat yang mengusir sisa dingin malam. Alea berdiri di depan kompor, tangannya dengan cekatan mengaduk kuah sambil tersenyum kecil. Dari arah ruang tengah, langkah kaki kecil terdengar mendekat, disusul suara lembut yang memecah keheningan. "Selamat pagi, Bunda," ucap Raka, suaranya masih serak khas anak yang baru bangun tidur. Rambutnya kusut, matanya sedikit sembab, tetapi senyumnya yang manis tidak pernah gagal membuat Alea merasa damai. "Selamat pagi, Sayang. Tidurnya nyenyak?" Alea menyambutnya dengan senyum hangat, sambil mengusap kepala Raka yang penuh kasih. Raka mengangguk polos. "Iya, tapi aku lapar," katanya dengan nada menggemaskan. Alea tertawa kecil. "Sebentar lagi supnya jadi, ya. Sudah Bunda siapkan mangkuknya di meja," ujarnya, menunjuk ke arah
Arka duduk di depan komputernya dan mulai mengetik, namun tangannya tak terasa lambat. Pikirannya masih dipenuhi bayangan tentang Raka, tentang Alea, dan tentang masa depan mereka. Meski langkahnya penuh keraguan, ada secercah harapan yang mulai tumbuh. Arka tahu bahwa jalan mereka masih panjang, dan banyak hal yang harus diputuskan. Namun, dengan langkah perlahan, mereka mungkin bisa kembali menemukan kebahagiaan yang mereka miliki dulu. Di luar jendela kantornya, langit tampak cerah. Meskipun hari baru saja dimulai, Arka merasa sedikit lebih optimis. Dia tahu bahwa tidak ada jalan yang mudah untuk mencapai kebahagiaan, namun jika mereka bisa melalui hari-hari ini bersama, mungkin masa depan mereka bisa lebih baik. Dan dengan langkah kecil itu, Arka mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, semua yang mereka butuhkan adalah sedikit waktu, sedikit harapan, dan usaha yang terus menerus. Namun tiba-tiba Dina muncul dengan senyum yang sudah sangat familiar bagi Arka, tetapi kali
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam