Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 25 : Dua Dunia, Satu Pilihan

Share

Bab 25 : Dua Dunia, Satu Pilihan

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-12-10 16:20:00

“Alea, bagaimana keadaan Raka? Maaf, tadi aku tidak bisa mengangkat telepon,” tanya Arka dengan suara penuh kekhawatiran.

Alea menjawab dengan nada datar, menyembunyikan kekecewaannya. “Dia sudah lebih baik sekarang. Untungnya ada yang bisa membantu.”

Arka merasakan nada dingin dari Alea dan bertanya, “Siapa yang mengantarkan kalian ke rumah sakit?”

“Temanku yang membantuku semalam,” jawab Alea. “Kamu tidak bisa dihubungi, jadi aku tidak punya pilihan lain.”

Setelah panggilan telepon dengan Alea, Arka menutup ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Wajahnya terlihat cemas, dan Dina, yang memperhatikan ekspresinya sejak tadi, akhirnya tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dina mendekat sambil bertanya dengan nada dingin, “Siapa yang kamu telepon, Arka? Jangan bilang kamu memikirkan keluargamu lagi, padahal kita sedang liburan loh.”

Arka tampak terganggu dan berbisik pelan pada Dina, “Raka sakit tadi malam, Dina. Aku hanya memastikan dia sudah baik-baik saja.”

Dina
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 26 : Mencari Jalan Pulang

    Setelah telepon dari Arka, Alea merasa hatinya semakin dingin. Perasaan kecewa yang ia pendam selama ini perlahan berubah menjadi kelelahan emosional. Ia melihat Raka yang masih tertidur dengan tenang, wajah kecilnya terlihat lebih damai setelah malam yang berat. Alea teringat pada Randy. Meski ia merasa bersyukur atas bantuan Randy, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Bagaimana pun, ia masih istri Arka, dan kehadiran Randy di saat-saat seperti ini membuat pikirannya semakin kacau. Saat matahari mulai meninggi, Alea duduk di dapur, memandangi secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia memutar ulang percakapan dengan Randy tadi malam. Kata-kata Randy yang penuh perhatian terus terngiang di benaknya, memberikan perasaan yang aneh sekaligus kenyamanan yang tidak ia dapatkan dari Arka. Alea bergumam pada dirinya sendiri, "Apakah aku terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tidak ada untukku ketika aku benar-benar membutuhkannya?" Namun, ia buru-buru menepis pikiran itu. Baginya,

    Last Updated : 2024-12-10
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 27 : Tepi Perasaan

    Pagi itu, Arka bangun lebih awal dari biasanya. Suara jam alarm yang berdenting terasa lebih keras di telinganya, mengingatkan pada semua ketegangan yang masih menggantung dalam rumahnya. Di luar, cahaya matahari pagi mulai menyelinap melalui celah-celah jendela, memancar hangat ke dalam kamar tidur, namun hatinya tetap terasa berat. Setelah beberapa menit duduk di tepi tempat tidur, Arka memutuskan untuk meninggalkan kamar dan pergi ke dapur. Ia ingin memulai hari dengan hal yang berbeda, sesuatu yang sederhana dan bisa memberinya ketenangan. Tapi yang pertama kali menyambutnya bukanlah rasa damai, melainkan suara langkah kaki kecil yang datang dari arah ruang tamu. Raka, yang baru saja bangun, tampak sedikit bingung saat melihat ayahnya yang sudah ada di dapur. "Ayah, kok udah bangun?" tanya Raka dengan suara masih serak, matanya yang mengantuk memandang Arka. Arka tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Ayah udah bangun. Kamu juga bangun pagi ya?" jawabnya sambil berjalan ke

    Last Updated : 2024-12-10
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 28 : Cinta yang Menyembuhkan

    Beberapa hari setelah peristiwa itu, Arka mulai merasa tubuhnya lelah. Pekerjaan yang menumpuk, tekanan dalam kehidupan rumah tangga, rasa bersalah yang terus menghantuinya seolah menguras semua tenaganya, dan juga Dina. Awalnya ia berusaha menepis perasaan lelah itu, menganggapnya sebagai efek dari stres yang biasa, namun ketika tubuhnya mulai merasakan demam yang tak kunjung reda, ia menyadari bahwa tubuhnya sedang memberi sinyal. Pagi itu, saat ia terbangun, rasa pusing yang luar biasa langsung menyerang. Arka berusaha bangkit dari tempat tidur, namun tubuhnya terasa begitu lemah. Langkahnya oleng, dan akhirnya ia terjatuh kembali ke tempat tidur. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Alea, yang sedang menyiapkan sarapan di dapur, mendengar suara dari kamar Arka. Ia segera berlari menuju kamar dan terkejut melihat suaminya terkulai lemas di atas tempat tidur. "Mas ?!" serunya panik, lalu mendekat dengan cepat. "Kamu kenapa?" Arka membuka matanya dan mencoba tersenyum m

    Last Updated : 2024-12-11
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 29 : Kembali

    Hujan di luar semakin deras, membuat suasana kamar terasa lebih hangat dan damai. Alea masih bersandar pada bantal disebelah Arka, sementara Arka kini berbaring lebih dekat di sisinya. Tangannya masih menggenggam tangan Alea, jari-jarinya bermain lembut di punggung tangan istrinya. “Alea,” panggil Arka pelan, nadanya penuh kelembutan. “Hm?” jawab Alea, sedikit mengalihkan pandangan ke arah suaminya. “Aku kangen sama semuanya... sama kita.” Suara Arka terdengar rendah dan penuh emosi. “Aku tahu aku banyak salah. Aku nggak pernah benar-benar ada buat kamu seperti dulu.” Alea tidak segera menjawab, tetapi tatapannya melembut. Ia tahu kata-kata Arka kali ini bukan sekadar permintaan maaf biasa. Ada kejujuran di sana, sesuatu yang selama ini tidak ia dengar dari suaminya. “Sudahlah, Mas. Kamu butuh istirahat,” Alea berusaha mengalihkan topik, meski hatinya mulai goyah. Tapi Arka tidak menyerah. Ia menarik Alea perlahan, memintanya untuk lebih dekat. “Aku nggak mau tidur sebelum

    Last Updated : 2024-12-11
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 30 : Di Antara Rasa yang Tersimpan

    Pagi keesokan harinya, Arka memasuki kantor dengan langkah ragu. Hari pertama setelah ia sembuh dari sakit, dan ia merasa ada beban berat yang harus dihadapinya. Sebisa mungkin, ia ingin menghindari Dina. Semua yang terjadi antara mereka membuat Arka merasa bahwa kedekatan itu adalah kesalahan besar. Alea telah menunjukkan perhatian yang tulus, sesuatu yang mengingatkannya kembali pada alasan ia jatuh cinta kepada istrinya. Namun, Dina tidak semudah itu dihindari. Saat Arka berjalan menuju ruangannya, Dina sudah berdiri di depan pintu, tangan terlipat di dada, wajahnya memancarkan ekspresi yang sulit ditebak. “Arka,” sapanya dengan nada dingin, “Kenapa nggak ada kabar? Kamu sakit dan nggak cerita apa-apa?” Arka berhenti, menatapnya dengan gugup. “Maaf, Dina. Aku nggak sempat kasih tahu. Lagipula, nggak perlu semua orang tahu soal itu, kan?” Dina mengerutkan kening, jelas tidak puas dengan jawabannya. “Semua orang? Aku bukan semua orang, Arka. Aku pikir, setidaknya kamu

    Last Updated : 2024-12-11
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 31 : Jejak yang Tertinggal

    Malam tiba, membawa serta angin lembut yang menyusup melalui celah-celah jendela kamar Alea. Ia duduk di sofa kecil di sudut ruangan, memandang ke luar tanpa benar-benar melihat apa pun. Cangkir teh yang sudah dingin masih tergenggam di tangannya, namun pikirannya mengembara jauh, kembali ke momen di kafe tadi siang. Semua yang terjadi masih berputar-putar dalam benaknya, seperti putaran roda yang tak pernah berhenti. Randy. Nama itu terus berputar di kepalanya, meskipun ia mencoba mengusirnya. Kata-kata Randy, tatapannya, senyumnya, semuanya terasa begitu jelas dan sulit untuk diabaikan. Bahkan setelah semua yang terjadi, pikirannya tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Alea menghela napas panjang, mencoba mengusir kekacauan yang menggerogoti pikirannya. Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menenangkan diri, tetapi semua usaha itu terasa sia-sia. Wajah Randy muncul begitu jelas dalam pikirannya, seperti bayangan yang tak bisa ia hilangkan. Rasa itu datang begitu kuat, mes

    Last Updated : 2024-12-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 32 : Antara Dua Pilihan

    Malam itu, Arka duduk di teras rumah, memandangi langit malam yang gelap tanpa bintang. Hatinya penuh sesak oleh rasa bersalah dan kebingungan. Dina masih memenuhi pikirannya, meski ia tahu tidak seharusnya begitu. Di sisi lain, ada Alea yang perlahan membuka hatinya kembali untuknya, memberikan cinta yang seharusnya ia jaga sejak awal. Langkah lembut terdengar mendekat. Alea keluar dari dalam rumah dengan membawa secangkir teh hangat. Ia duduk di samping Arka tanpa berkata apa-apa. Suasana sunyi di antara mereka, tetapi tidak canggung. Hanya ada suara angin malam yang berembus pelan. "Kamu kenapa duduk di luar? Lagi banyak pikiran, Mas?" tanya Alea akhirnya, memecah keheningan. Arka mengangguk pelan. "Iya, cuma lagi... bingung aja." Alea memandangnya, mencoba menangkap emosi di wajah suaminya. "Kalau ada yang bisa aku bantu, kamu bisa cerita." Arka menghela napas panjang. "Kadang aku merasa, aku nggak layak dapat kesempatan kedua dari kamu." Alea terdiam sejenak. Ia

    Last Updated : 2024-12-12
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 33 : Bayang-Bayang yang Tak Terjamah

    Randy menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Pesan yang ia kirim untuk Alea tadi malam masih tak berbalas. Tidak ada tanda-tanda bahwa Alea telah membacanya. Sebuah notifikasi kecil yang biasanya ia harapkan muncul kini terasa seperti siksaan, mengingatkannya bahwa ia sedang menunggu sesuatu yang mungkin tidak akan pernah ia dapatkan. Sambil menghela napas panjang, ia meletakkan ponselnya di meja, mencoba mengalihkan perhatian pada pekerjaan yang menumpuk. Namun, fokusnya terus melompat-lompat, seolah-olah seluruh pikirannya terikat pada bayangan wanita itu. Suara lembut Alea, cara ia tertawa pelan saat mendengar sesuatu yang konyol, hingga tatapan matanya yang menyiratkan kerinduan akan kebahagiaan, semua itu begitu menghantui Randy. Ia memijat pelipisnya, mencoba meredakan ketegangan yang perlahan menguasainya. Tapi ketegangan itu bukan hanya berasal dari pekerjaannya, melainkan dari pergulatan batinnya sendiri. Di satu sisi, ia tahu Alea bukan miliknya. Tidak pernah

    Last Updated : 2024-12-12

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 139: Menimbang Keputusan

    Di kamar kecilnya, Alea duduk diam, ponsel di tangannya terasa berat meskipun benda itu tidak lebih dari sekadar logam dan kaca. Sorot matanya kosong, tetapi pikirannya penuh dengan bayangan Raka yang tertidur di kamar sebelah. Napasnya perlahan menghangatkan udara dingin malam itu, seolah menguatkan dirinya sendiri.Ia memejamkan mata, membayangkan senyum Raka saat pagi tiba. Anak itu adalah satu-satunya alasan yang membuatnya tetap bertahan di tengah badai perasaan yang hampir menenggelamkannya. Dalam benaknya, senyum Raka adalah harapan kecil yang harus ia lindungi.Alea menghela napas panjang, membuka matanya kembali. Tangannya menggeser layar ponselnya hingga nama Arka muncul di layar. Jemarinya ragu-ragu menyentuh ikon pesan, sebelum akhirnya mulai mengetik. Setiap kata terasa seperti beban yang harus ia pilih dengan hati-hati.“Arka, aku melihat panggilanmu. Tapi maaf aku butuh waktu untuk sendiri. Aku harap kamu bisa menghormati keputusanku. Kita akan bertemu di sidang nanti.

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, e

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 137: Jejak Pengkhianatan

    Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak.“Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.”Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima.“Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?”Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 136: Langit yang Kacau

    Alea menelan ludah, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar. “Aku pergi, Ran. Aku sudah memutuskan.”“Pergi?” Nada suara Randy berubah, antara terkejut dan prihatin. “Kamu sendirian dengan Raka? Mau ke mana?”“Aku belum tahu,” jawab Alea jujur, suaranya hampir pecah. “Tapi aku harus menjauh. Aku nggak bisa lagi tinggal di rumah itu.”Di ujung telepon, Randy menghela napas panjang. “Alea, aku tahu kamu merasa ini keputusan yang benar. Tapi kamu nggak harus melewati ini sendirian. Kamu selalu punya aku.”Alea tersenyum kecil meskipun air mata mulai mengalir. “Terima kasih, Ran. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri.”“Kalau begitu, kabari aku. Setiap saat,” kata Randy dengan nada tegas namun lembut. “Jangan ragu, oke? Aku akan selalu ada.”Alea mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Aku akan kabari. Terima kasih, Ran. Aku ... aku sangat menghargai kamu.”“Alea,” suara Randy berubah menjadi lebih lembut, hampir seperti

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 135: Langkah Menuju Akhir

    Kata itu membuat Arka seperti kehilangan keseimbangan. Ia terdiam, tubuhnya hampir lemas karena shock. Air mata mengalir di wajahnya, tetapi Alea tetap berdiri tegak, meskipun hatinya seperti dipotong-potong.Arka berkata dengan suara pelan, hampir putus asa. “Alea, jangan tinggalkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku akan berubah. Aku tidak bisa hidup tanpamu … ”Alea menutup matanya sejenak, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Ketika ia membuka matanya lagi, tatapannya penuh dengan kepastian yang tidak bisa digoyahkan.“Aku mencintaimu, Arka. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi itu tidak cukup lagi. Cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki ini.”Dengan suara yang hampir berbisik, ia mengakhiri, “Aku melepaskanmu. Untuk dia, untuk anak itu, untuk Raka dan untuk diriku sendiri.”Arka hanya bisa berdiri diam, matanya penuh penyesalan dan rasa sakit yang dalam. Ia tidak bisa mengejar, karena semuanya sudah terlambat. Keheningan menyelimuti rumah itu, se

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 134: Akhir Sebuah Kepercayaan

    Kalimat itu menggema di antara mereka, membekukan waktu seperti sebuah kutukan yang mengikat mereka dalam kehampaan. Arka hanya bisa menatap Alea dengan mata yang melebar, terkejut dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapannya, Alea berdiri seperti sosok yang rapuh, tetapi sorot matanya membawa luka yang membara—luka yang tak pernah sepenuhnya disembuhkan. Wajah Arka memucat. Kata-kata Alea seperti badai yang menghantam dinding pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua pembelaan diri yang ingin ia ucapkan. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Napasnya berat, seperti tertahan oleh rasa bersalah yang menyesakkan. Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka berkata, “Apa? Itu ... itu tidak mungkin …” Alea menatapnya, air mata menetes perlahan di pipinya yang memerah karena emosi. Namun, ia tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa goyah oleh kenyataan yang menghimpitnya. “Kenapa kamu terus berbohong padaku?” tanyanya, suaranya pecah tetapi penuh ketegasan

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 133: Perjalanan dalam Diam

    Randy duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir mobil dengan erat. Memutuskan untuk meninggalkan mobil Alea di kafe, karena Randy takut terjadi apa-apa kalau Alea menyetir mobil sendiri. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai diselimuti gelap malam. Di kursi penumpang, Alea duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Namun, air mata yang terus mengalir di pipinya tidak bisa disembunyikan. Tangannya memeluk tas kecil di pangkuannya, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini. Randy melirik Alea sesekali, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Alea butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi setiap isakan pelan yang terdengar darinya membuat hatinya terasa semakin berat. Randy akhirnya mengambil napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan lembut. “Alea,” panggilnya pelan, suaranya penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak boleh menyimpan semuanya sendiri. Kalau kamu mau bicara, aku di sini.” Alea tidak langsung menjawab. Matanya masih tertu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 132: Rahasia

    Alea menatap amplop yang diletakkan Dina di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Wajahnya memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang ia coba tahan sekuat tenaga. “Jadi, kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan memberitahuku begitu saja? Bahwa kamu hamil?” tanya Alea dengan suara rendah namun penuh ketegangan. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Dina menatapnya dengan sorot mata angkuh, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tampak penuh kepuasan. “Kenapa? Kamu merasa terancam?” tanyanya, nadanya sengaja dibuat ringan, hampir menghina. “Jangan khawatir, Alea. Aku sudah cukup mengenalmu. Aku tahu betul siapa kamu. Kamu akan menerima kenyataan ini, meskipun berat. Lagipula, ini sudah seharusnya terjadi. Kalau dia akhirnya memilihku, berarti kita memang ditakdirkan bersama.” Alea menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tersenyum pahit, meskipun matanya mulai berair. “Jadi, kamu data

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 131: Pertemuan yang Dinantikan

    Langit berwarna abu-abu, awan tebal menggantung rendah seolah menjadi cerminan kegelisahan hati Alea. Hari itu, ia memutuskan untuk bertemu Dina di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu jauh dari keramaian, memberi ruang untuk percakapan yang penuh ketegangan.Alea mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan memberikan kesan netral, tetapi sorot matanya penuh keteguhan. Ia memberitahu Randy tentang tempat dan waktu pertemuan tersebut, namun dengan tegas meminta pria itu untuk tidak datang."Aku harus menghadapi ini sendiri," kata Alea sebelumnya.Alea duduk di salah satu sudut ruangan, punggungnya tegak, matanya terus mengamati pintu masuk. Di tangannya, ponsel bergetar. Pesan dari Randy muncul di layar:Randy: "Kalau ada apa-apa, kabari aku. Aku nggak akan jauh."Alea menarik napas panjang, mengetik balasan singkat.Alea: "Aku baik-baik saja, Ran. Jangan khawatir."Ia tahu Randy tidak akan tinggal diam sepenuhnya. Pria itu memiliki

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status