Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 18: Kebingungan yang Semakin Dalam

Share

Bab 18: Kebingungan yang Semakin Dalam

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-12-05 18:47:45

Hari Minggu itu dimulai dengan udara pagi yang cerah, meskipun di dalam hati Alea masih ada awan gelap yang menggelayuti.

Subuh tadi, setelah percakapan penuh ketegangan dengan Arka, ia merasa ada jurang yang semakin lebar di antara mereka. Arka berusaha membujuknya untuk pergi berlibur bersama Raka, mencoba mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang mereka hadapi.

"Alea, aku cuma ingin kita mencoba ... menghabiskan waktu bersama. Demi Raka, juga kita," ujar Arka dengan nada pelan, hampir seperti memohon.

Alea menatap suaminya. Ada harapan di sana, tetapi sekaligus rasa ragu. "Aku nggak yakin, Mas. Tapi kalau itu bisa membantu, aku akan ikut."

Pagi itu, mereka pergi berenang bersama. Arka memilih kolam renang kecil di dekat rumah, berharap suasana sederhana ini bisa memberi sedikit kedamaian.

Raka terlihat sangat gembira. "Ayah, Bunda, lihat nih! Aku bisa berenang lebih cepat sekarang!" serunya, tubuh mungilnya meluncur ke dalam air dengan antusias.

Arka tersenyum kecil, mencoba t
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 19: Ketegangan di Kantor

    Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda. Arka yang biasanya santai dan ceria, kini tampak lebih serius dari biasanya. Langkahnya yang cepat dan tegas menuju ruang kerja Dina sudah cukup untuk membuat seluruh staf merasa ada yang tak biasa.Dina yang sedang mengetik di komputernya, sejenak menoleh dan melihat Arka berjalan menuju mejanya. Wajahnya terlihat gelisah, namun dia berusaha untuk tetap tenang."Din, ada waktu?" suara Arka terdengar datar, tapi penuh dengan ketegasan.Dina menatap Arka dengan senyuman tipis, berusaha tidak menunjukkan kecemasan. "Iya," ia berusaha terdengar santai, meski di dalam dirinya, sebuah rasa was-was mulai tumbuh.Arka tidak menjawab, hanya melangkah lebih dekat dan berdiri di samping meja Dina. "Bisa kita bicara sebentar? Di ruang rapat." Suaranya tidak memberi ruang untuk penolakan.Dina menghela napas pelan, kemudian berdiri dari kursinya. "Oke kamu duluan kesana. Nanti aku nyusul."Di ruang rapat yang sunyi, hanya ada mereka berdua. Arka duduk di m

    Last Updated : 2024-12-06
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 20: Di Ujung Titik Temu

    Entah kenapa malam ini kamar itu terasa lebih gelap dari biasanya.Dua hati yang terbiasa berbagi tempat kini terasa asing, seolah mereka hanya sekadar bayang-bayang yang berbaring di sisi lain ranjang yang sama.Dingin. Begitu membeku, sampai tak ada lagi celah untuk mencairkan es yang mereka bangun perlahan dalam diam.Sepi. Begitu menggema, sampai suara mereka sendiri pun kehilangan nyali untuk memenuhi ruang kosong itu.Mereka tersesat, berputar-putar dalam labirin perasaan yang tak lagi mereka kenali. Saling menyalahkan, saling menjauh, tanpa tahu cara untuk menemukan jalan pulang ke tempat yang mereka sebut rumah.Rumah. Sebuah kata yang dulu terasa hangat, kini hanya tinggal nama tanpa makna.Alea duduk di tepi ranjang, tubuhnya tegak seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah di dalam dirinya. Jemarinya mencengkeram ujung selimut dengan kuat, seakan itu satu-satunya yang menahan kemarahan dan rasa sakit di hatinya agar tidak meluap.Matanya terarah ke lantai, tapi pikirannya mel

    Last Updated : 2024-12-07
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 21: Kekosongan yang Menghantui

    Pagi itu, suasana di rumah terasa berbeda. Arka bangun seperti biasanya, dengan langkah pelan menuju ruang makan. Biasanya, aroma sarapan yang hangat menyambutnya. Alea akan sudah di meja, menunggu dengan senyum tipis yang terkadang disertai tawa ringan, sementara Raka akan sibuk dengan mainannya di sudut meja. Tapi pagi ini, yang menyambutnya hanya keheningan.Meja makan yang biasanya penuh dengan piring, mangkuk, dan gelas, yang kadang ia tolak. Kini hanya ada secangkir kopi yang belum tersentuh, dibiarkan mendingin oleh waktu.Arka berdiri di pintu ruang makan, memandang meja itu kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia merasa ada yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. Sebuah kekosongan yang begitu dalam, menggerogoti hatinya tanpa bisa ia hindari.Dia melangkah masuk, duduk di kursi yang biasa ia duduki. Tangannya menyentuh cangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Rasanya pahit, lebih dari sekadar kopi yang kurang manis. Rasa pahit itu menusuk, membuat dad

    Last Updated : 2024-12-08
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 22: Rahasia yang Tersembunyi

    Setelah sepanjang hari yang panjang di kantor, Arka akhirnya pulang ke rumah sekitar pukul tujuh malam. Udara malam yang agak sejuk menyambutnya saat ia memasuki rumah. Suasana rumah yang semula tampak biasa, kini terasa berbeda. Suasana hati antara dirinya dan Alea, istrinya, semakin terasa tegang, seolah setiap sudut rumah menyimpan ketegangan yang belum terucapkan. Alea sedang berada di dapur, menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Suara panci dan wajan yang beradu terdengar pelan, memberi tanda bahwa ia sedang sibuk menyiapkan hidangan. Arka menanggalkan jas kerjanya, kemudian melangkah masuk ke ruang makan dengan langkah pelan. Ia mencoba untuk tampak tenang, tetapi ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Alea menoleh saat mendengar langkah Arka mendekat, memberikan senyum tipis sebagai sapaan, meskipun di dalam hatinya, ada pertanyaan yang menggantung tentang keadaan rumah tangga mereka yang semakin jauh. “Mas, makan malam sudah siap,” ujar Alea,

    Last Updated : 2024-12-09
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 23 : Bayangan di Antara Mereka

    Arka membalas senyumnya, namun tak ada kehangatan yang sejati dalam ekspresinya. Senyum itu lebih terlihat seperti basa basi daripada kebahagiaan yang tulus. “Akhirnya aku bisa sedikit bernafas dengan lega, Din,” ujarnya dengan nada yang terdengar lebih datar, meski mencoba terdengar antusias. Suaranya tidak seterang atau sehangat saat ia berbicara dengan Alea, bahkan lebih terdengar seolah sebuah pengalihan dari perasaan yang mulai mengganggu pikirannya. Dina, yang tak melihat keraguan sedikit pun di wajah Arka, langsung memeluknya dengan erat, penuh keceriaan. “Aku senang banget bisa menghabiskan waktu sama kamu, Arka,” kata Dina, wajahnya bersinar dengan kebahagiaan yang tak terbendung.Dina merasa dunia ini milik mereka berdua, dan Arka adalah satu-satunya orang yang bisa memberinya kebahagiaan yang ia impikan selama ini. Namun, Arka hanya merespon pelukan itu dengan tangan yang agak kaku. Ia menggenggam tangan Dina, meski seolah tidak sepenuhnya merasakannya. Ada perasa

    Last Updated : 2024-12-09
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 24 : Badai Malam Itu

    Malam-malam berlalu dengan kegelisahan yang semakin menguasai hati Alea. Setiap detik seakan terasa lebih berat dari sebelumnya, menyusul kejadian demi kejadian yang tak kunjung menyelesaikan permasalahan yang membelenggu pernikahannya. Namun, satu hal yang selalu menguatkan adalah sosok Raka, anak mereka yang masih kecil, yang seolah menjadi pengingat bagi Alea untuk tetap bertahan. Ia berusaha memendam rasa kecewa terhadap Arka yang semakin menjauh, berusaha memberi Raka perhatian yang lebih. Tapi, kali ini, malam itu, keadaan berubah drastis. Sekitar pukul 1 pagi, Alea terbangun dari tiduran yang gelisah. Ia mendengar suara tangisan Raka yang tak biasanya, begitu keras dan penuh kesakitan. Biasanya, Raka jarang sekali menangis di malam hari. Kecemasannya langsung memuncak. Tanpa pikir panjang, Alea berlari ke kamar anaknya, dan betapa terkejutnya ia melihat Raka terbaring dengan wajah pucat, tubuhnya terasa panas, dan napasnya tersengal-sengal. Anak kecil itu menggigil, matan

    Last Updated : 2024-12-09
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 25 : Dua Dunia, Satu Pilihan

    “Alea, bagaimana keadaan Raka? Maaf, tadi aku tidak bisa mengangkat telepon,” tanya Arka dengan suara penuh kekhawatiran. Alea menjawab dengan nada datar, menyembunyikan kekecewaannya. “Dia sudah lebih baik sekarang. Untungnya ada yang bisa membantu.” Arka merasakan nada dingin dari Alea dan bertanya, “Siapa yang mengantarkan kalian ke rumah sakit?” “Temanku yang membantuku semalam,” jawab Alea. “Kamu tidak bisa dihubungi, jadi aku tidak punya pilihan lain.” Setelah panggilan telepon dengan Alea, Arka menutup ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Wajahnya terlihat cemas, dan Dina, yang memperhatikan ekspresinya sejak tadi, akhirnya tidak bisa lagi menahan perasaannya. Dina mendekat sambil bertanya dengan nada dingin, “Siapa yang kamu telepon, Arka? Jangan bilang kamu memikirkan keluargamu lagi, padahal kita sedang liburan loh.” Arka tampak terganggu dan berbisik pelan pada Dina, “Raka sakit tadi malam, Dina. Aku hanya memastikan dia sudah baik-baik saja.” Dina

    Last Updated : 2024-12-10
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 26 : Mencari Jalan Pulang

    Setelah telepon dari Arka, Alea merasa hatinya semakin dingin. Perasaan kecewa yang ia pendam selama ini perlahan berubah menjadi kelelahan emosional. Ia melihat Raka yang masih tertidur dengan tenang, wajah kecilnya terlihat lebih damai setelah malam yang berat. Alea teringat pada Randy. Meski ia merasa bersyukur atas bantuan Randy, ada rasa bersalah yang menghantuinya. Bagaimana pun, ia masih istri Arka, dan kehadiran Randy di saat-saat seperti ini membuat pikirannya semakin kacau. Saat matahari mulai meninggi, Alea duduk di dapur, memandangi secangkir kopi yang mulai mendingin. Ia memutar ulang percakapan dengan Randy tadi malam. Kata-kata Randy yang penuh perhatian terus terngiang di benaknya, memberikan perasaan yang aneh sekaligus kenyamanan yang tidak ia dapatkan dari Arka. Alea bergumam pada dirinya sendiri, "Apakah aku terlalu berharap pada seseorang yang bahkan tidak ada untukku ketika aku benar-benar membutuhkannya?" Namun, ia buru-buru menepis pikiran itu. Baginya,

    Last Updated : 2024-12-10

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 138: Keputusan

    Matahari sore menerobos tirai ruang tamu, menciptakan pola bayangan lembut di dinding rumah. Alea duduk di sofa dengan tangan yang menggenggam cangkir teh hangat.Wajahnya terlihat tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan kesedihan yang mendalam. Di depannya, Ibu Alea, Nyonya Kartika, duduk dengan tatapan penuh perhatian, menunggu putrinya berbicara. Tuan Darmawan berdiri di ambang pintu, diam mendengarkan percakapan yang mulai terasa berat.Hening di antara mereka seperti udara yang penuh dengan ketegangan. Akhirnya, Alea menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan apa yang telah ia pendam selama ini.“Bu, aku sudah memutuskan,” kata Alea pelan, suaranya bergetar. “Aku akan bercerai dengan Arka.”Nyonya Kartika membeku di tempatnya, cangkir teh yang ia pegang hampir terjatuh dari tangannya. Matanya melebar, menatap putrinya dengan campuran keterkejutan dan kepedihan. Tuan Darmawan, yang semula diam, melangkah masuk dan duduk di sofa di sebelah istrinya, e

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 137: Jejak Pengkhianatan

    Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak.“Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.”Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima.“Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?”Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 136: Langit yang Kacau

    Alea menelan ludah, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar. “Aku pergi, Ran. Aku sudah memutuskan.”“Pergi?” Nada suara Randy berubah, antara terkejut dan prihatin. “Kamu sendirian dengan Raka? Mau ke mana?”“Aku belum tahu,” jawab Alea jujur, suaranya hampir pecah. “Tapi aku harus menjauh. Aku nggak bisa lagi tinggal di rumah itu.”Di ujung telepon, Randy menghela napas panjang. “Alea, aku tahu kamu merasa ini keputusan yang benar. Tapi kamu nggak harus melewati ini sendirian. Kamu selalu punya aku.”Alea tersenyum kecil meskipun air mata mulai mengalir. “Terima kasih, Ran. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri.”“Kalau begitu, kabari aku. Setiap saat,” kata Randy dengan nada tegas namun lembut. “Jangan ragu, oke? Aku akan selalu ada.”Alea mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Aku akan kabari. Terima kasih, Ran. Aku ... aku sangat menghargai kamu.”“Alea,” suara Randy berubah menjadi lebih lembut, hampir sepert

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 135: Langkah Menuju Akhir

    Kata itu membuat Arka seperti kehilangan keseimbangan. Ia terdiam, tubuhnya hampir lemas karena shock. Air mata mengalir di wajahnya, tetapi Alea tetap berdiri tegak, meskipun hatinya seperti dipotong-potong.Arka berkata dengan suara pelan, hampir putus asa. “Alea, jangan tinggalkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku akan berubah. Aku tidak bisa hidup tanpamu … ”Alea menutup matanya sejenak, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Ketika ia membuka matanya lagi, tatapannya penuh dengan kepastian yang tidak bisa digoyahkan.“Aku mencintaimu, Arka. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi itu tidak cukup lagi. Cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki ini.”Dengan suara yang hampir berbisik, ia mengakhiri, “Aku melepaskanmu. Untuk dia, untuk anak itu, untuk Raka dan untuk diriku sendiri.”Arka hanya bisa berdiri diam, matanya penuh penyesalan dan rasa sakit yang dalam. Ia tidak bisa mengejar, karena semuanya sudah terlambat. Keheningan menyelimuti rumah itu, s

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 134: Akhir Sebuah Kepercayaan

    Kalimat itu menggema di antara mereka, membekukan waktu seperti sebuah kutukan yang mengikat mereka dalam kehampaan.Arka hanya bisa menatap Alea dengan mata yang melebar, terkejut dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapannya, Alea berdiri seperti sosok yang rapuh, tetapi sorot matanya membawa luka yang membara—luka yang tak pernah sepenuhnya disembuhkan.Wajah Arka memucat. Kata-kata Alea seperti badai yang menghantam dinding pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua pembelaan diri yang ingin ia ucapkan. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Napasnya berat, seperti tertahan oleh rasa bersalah yang menyesakkan.Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka berkata, “Apa? Itu ... itu tidak mungkin …”Alea menatapnya, air mata menetes perlahan di pipinya yang memerah karena emosi. Namun, ia tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa goyah oleh kenyataan yang menghimpitnya. “Kenapa kamu terus berbohong padaku?” tanyanya, suaranya pecah tetapi penuh ketegasan. “

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 133: Perjalanan dalam Diam

    Randy duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir mobil dengan erat. Memutuskan untuk meninggalkan mobil Alea di kafe, karena Randy takut terjadi apa-apa kalau Alea menyetir mobil sendiri. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai diselimuti gelap malam. Di kursi penumpang, Alea duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Namun, air mata yang terus mengalir di pipinya tidak bisa disembunyikan. Tangannya memeluk tas kecil di pangkuannya, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini. Randy melirik Alea sesekali, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Alea butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi setiap isakan pelan yang terdengar darinya membuat hatinya terasa semakin berat. Randy akhirnya mengambil napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan lembut. “Alea,” panggilnya pelan, suaranya penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak boleh menyimpan semuanya sendiri. Kalau kamu mau bicara, aku di sini.” Alea tidak langsung menjawab. Matanya masih tertu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 132: Rahasia

    Alea menatap amplop yang diletakkan Dina di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Wajahnya memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang ia coba tahan sekuat tenaga. “Jadi, kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan memberitahuku begitu saja? Bahwa kamu hamil?” tanya Alea dengan suara rendah namun penuh ketegangan. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Dina menatapnya dengan sorot mata angkuh, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tampak penuh kepuasan. “Kenapa? Kamu merasa terancam?” tanyanya, nadanya sengaja dibuat ringan, hampir menghina. “Jangan khawatir, Alea. Aku sudah cukup mengenalmu. Aku tahu betul siapa kamu. Kamu akan menerima kenyataan ini, meskipun berat. Lagipula, ini sudah seharusnya terjadi. Kalau dia akhirnya memilihku, berarti kita memang ditakdirkan bersama.” Alea menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tersenyum pahit, meskipun matanya mulai berair. “Jadi, kamu data

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 131: Pertemuan yang Dinantikan

    Langit berwarna abu-abu, awan tebal menggantung rendah seolah menjadi cerminan kegelisahan hati Alea. Hari itu, ia memutuskan untuk bertemu Dina di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu jauh dari keramaian, memberi ruang untuk percakapan yang penuh ketegangan.Alea mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan memberikan kesan netral, tetapi sorot matanya penuh keteguhan. Ia memberitahu Randy tentang tempat dan waktu pertemuan tersebut, namun dengan tegas meminta pria itu untuk tidak datang."Aku harus menghadapi ini sendiri," kata Alea sebelumnya.Alea duduk di salah satu sudut ruangan, punggungnya tegak, matanya terus mengamati pintu masuk. Di tangannya, ponsel bergetar. Pesan dari Randy muncul di layar:Randy: "Kalau ada apa-apa, kabari aku. Aku nggak akan jauh."Alea menarik napas panjang, mengetik balasan singkat.Alea: "Aku baik-baik saja, Ran. Jangan khawatir."Ia tahu Randy tidak akan tinggal diam sepenuhnya. Pria itu memiliki

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 130: Panggilan yang Mengguncang

    Malam setelah kejadian makan malam hari itu, Alea duduk di ruang tamu dengan buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil yang digenggamnya berhenti bergerak, garis-garis di kertas itu setengah jadi, mencerminkan pikirannya yang penuh kekacauan. Selama sebulan terakhir, ia memilih untuk menunggu. Tidak ada konfrontasi, tidak ada tuduhan hanya keheningan yang menjadi perisai sekaligus senjatanya. Ia tahu, kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, salah satu dari mereka, entah Dina atau Arka akan buka suara. Yang ia butuhkan hanyalah kesabaran, meskipun setiap harinya terasa seperti peperangan dengan dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di meja, memecah keheningan. Nama "Nomor Tidak Dikenal" muncul di layar, membuat Alea terdiam. Ia tahu siapa itu. Ia menatap layar untuk beberapa saat, mencoba menenangkan napasnya sebelum akhirnya menggeser ikon hijau. “Halo?” Alea membuka percakapan dengan nada datar, tanpa emosi. Suara di seberang terdengar lembut, seperti

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status