Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya di rumah Arka dan Alea. Meski lampu-lampu menyala, suasana di ruang tamu terasa kelam.Alea duduk di sofa, menatap scarf biru di tangannya. Air matanya telah kering, tetapi hatinya masih basah oleh luka yang baru saja tercipta.“Alea...” suara Arka memecah keheningan. Ia berdiri tak jauh dari istrinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.Tatapannya bimbang, seperti orang yang tahu ia salah, tapi terlalu keras kepala untuk mengakui sepenuhnya.“Kenapa kamu harus bicara seolah aku yang salah?” tanya Alea pelan, tanpa menoleh ke arahnya. Suaranya tidak marah, hanya lelah.“Aku nggak bilang kamu salah.”Alea mendongak, matanya bertemu dengan mata Arka yang masih menyimpan sisa-sisa kecurigaan. “Tapi kamu berpikir aku menyembunyikan sesuatu kan? Itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Padahal aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim scarf ini.”Arka menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Alea, tetapi tidak cukup
Di balik pintu kamar, Alea duduk di tepi ranjang, air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencintai Arka, tetapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap suaminya perlahan menggerogoti hatinya. “Kenapa kamu nggak bisa percaya aku, Mas?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada udara. Ia menghapus air matanya, tetapi luka itu tetap ada. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Dan ia tidak yakin apakah masih ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya. --- Arka berdiri di depan cermin kamar, melepaskan dasi dengan gerakan cepat tapi gelisah. Alea masih diam di kamar mereka, dan keheningan itu terasa lebih memekakkan daripada suara pertengkaran mereka tadi. Ia menatap pantulan dirinya, napasnya berat. Ia tahu, meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk memikirkan solusi. Ia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tatapan penuh luka Alea. Tanpa berkata apa-apa
Ketika Dina membisikkan namanya lagi, "Arka…" suaranya serak namun penuh kendali, sesuatu dalam diri Arka retak. Napasnya memburu, nyaris tersengal.Suhu udara di kamar apartemen itu seolah meningkat drastis, meski hanya ada mereka berdua. Matanya bertemu dengan tatapan Dina yang tajam, menguasai, seolah tak memberinya ruang untuk mundur.Dina menyentuh pipinya dengan ujung jari, lalu menelusuri rahangnya, memaksa wajah Arka untuk tetap menatapnya. "Jangan berpura-pura lagi," bisiknya, kali ini lebih dalam, nyaris seperti perintah.Arka menggeram pelan, bingung antara keinginan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Tapi saat Dina mendekat, menyamarkan jarak di antara mereka, semua logika tersingkir.Ciumannya mendarat di leher Dina, penuh dorongan, seolah menyalurkan semua kekacauan batin yang selama ini ia pendam.Tangan Dina melingkar di lehernya, kuku-kukunya menggali sedikit ke kulit Arka, menariknya lebih dekat. Ia memimpin dengan gerakan yang penuh kepastian, mengendalikan s
Pagi hampir menjelang, waktu menunjukan pukul 4 dini hari. Arka terbaring di sofa apartemen Dina, napasnya berat setelah apa yang baru saja terjadi.Dina masih terkulai di sampingnya, tubuhnya yang terbungkus piyama merah satin itu tampak terbaring dengan puas. Namun, di dalam benaknya, sesuatu yang lebih gelap dan berat mulai tumbuh.Ketika Arka melirik ke samping, matanya tertumpu pada sebuah benda yang tak seharusnya ada di sana. Sebuah liontin perak kecil yang ia beli untuk Alea.Ia mengenali liontin itu dengan jelas, perhiasan itu baru saja ia beli di toko perhiasan. Sebuah hadiah kecil untuk istrinya.Rasa terkejut yang menyusup ke dalam dirinya segera berganti dengan perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.Dengan hati-hati, Arka bangkit dari sofa, menghindari gerakan yang dapat membangunkan Dina. Ia mendekati meja kecil tempat liontin itu terletak dan memegangnya dengan tangan yang gemetar.Ini bukan hanya soal perhiasan. Ini soal semuanya. Tentang kebohongan yang tak pern
Hari Minggu itu dimulai dengan udara pagi yang cerah, meskipun di dalam hati Alea masih ada awan gelap yang menggelayuti.Subuh tadi, setelah percakapan penuh ketegangan dengan Arka, ia merasa ada jurang yang semakin lebar di antara mereka. Arka berusaha membujuknya untuk pergi berlibur bersama Raka, mencoba mengalihkan perhatian dari masalah yang sedang mereka hadapi."Alea, aku cuma ingin kita mencoba ... menghabiskan waktu bersama. Demi Raka, juga kita," ujar Arka dengan nada pelan, hampir seperti memohon.Alea menatap suaminya. Ada harapan di sana, tetapi sekaligus rasa ragu. "Aku nggak yakin, Mas. Tapi kalau itu bisa membantu, aku akan ikut."Pagi itu, mereka pergi berenang bersama. Arka memilih kolam renang kecil di dekat rumah, berharap suasana sederhana ini bisa memberi sedikit kedamaian.Raka terlihat sangat gembira. "Ayah, Bunda, lihat nih! Aku bisa berenang lebih cepat sekarang!" serunya, tubuh mungilnya meluncur ke dalam air dengan antusias.Arka tersenyum kecil, mencoba t
Pagi itu, suasana kantor terasa berbeda. Arka yang biasanya santai dan ceria, kini tampak lebih serius dari biasanya. Langkahnya yang cepat dan tegas menuju ruang kerja Dina sudah cukup untuk membuat seluruh staf merasa ada yang tak biasa.Dina yang sedang mengetik di komputernya, sejenak menoleh dan melihat Arka berjalan menuju mejanya. Wajahnya terlihat gelisah, namun dia berusaha untuk tetap tenang."Din, ada waktu?" suara Arka terdengar datar, tapi penuh dengan ketegasan.Dina menatap Arka dengan senyuman tipis, berusaha tidak menunjukkan kecemasan. "Iya," ia berusaha terdengar santai, meski di dalam dirinya, sebuah rasa was-was mulai tumbuh.Arka tidak menjawab, hanya melangkah lebih dekat dan berdiri di samping meja Dina. "Bisa kita bicara sebentar? Di ruang rapat." Suaranya tidak memberi ruang untuk penolakan.Dina menghela napas pelan, kemudian berdiri dari kursinya. "Oke kamu duluan kesana. Nanti aku nyusul."Di ruang rapat yang sunyi, hanya ada mereka berdua. Arka duduk di m
Entah kenapa malam ini kamar itu terasa lebih gelap dari biasanya.Dua hati yang terbiasa berbagi tempat kini terasa asing, seolah mereka hanya sekadar bayang-bayang yang berbaring di sisi lain ranjang yang sama.Dingin. Begitu membeku, sampai tak ada lagi celah untuk mencairkan es yang mereka bangun perlahan dalam diam.Sepi. Begitu menggema, sampai suara mereka sendiri pun kehilangan nyali untuk memenuhi ruang kosong itu.Mereka tersesat, berputar-putar dalam labirin perasaan yang tak lagi mereka kenali. Saling menyalahkan, saling menjauh, tanpa tahu cara untuk menemukan jalan pulang ke tempat yang mereka sebut rumah.Rumah. Sebuah kata yang dulu terasa hangat, kini hanya tinggal nama tanpa makna.Alea duduk di tepi ranjang, tubuhnya tegak seolah menahan sesuatu yang nyaris pecah di dalam dirinya. Jemarinya mencengkeram ujung selimut dengan kuat, seakan itu satu-satunya yang menahan kemarahan dan rasa sakit di hatinya agar tidak meluap.Matanya terarah ke lantai, tapi pikirannya mel
Pagi itu, suasana di rumah terasa berbeda. Arka bangun seperti biasanya, dengan langkah pelan menuju ruang makan. Biasanya, aroma sarapan yang hangat menyambutnya. Alea akan sudah di meja, menunggu dengan senyum tipis yang terkadang disertai tawa ringan, sementara Raka akan sibuk dengan mainannya di sudut meja. Tapi pagi ini, yang menyambutnya hanya keheningan.Meja makan yang biasanya penuh dengan piring, mangkuk, dan gelas, yang kadang ia tolak. Kini hanya ada secangkir kopi yang belum tersentuh, dibiarkan mendingin oleh waktu.Arka berdiri di pintu ruang makan, memandang meja itu kosong, seolah ada bagian dari dirinya yang hilang. Ia merasa ada yang hilang, sesuatu yang tak bisa ia sebutkan. Sebuah kekosongan yang begitu dalam, menggerogoti hatinya tanpa bisa ia hindari.Dia melangkah masuk, duduk di kursi yang biasa ia duduki. Tangannya menyentuh cangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat. Rasanya pahit, lebih dari sekadar kopi yang kurang manis. Rasa pahit itu menusuk, membuat dad
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”
Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru
Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p
Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega
Beberapa saat kemudian, Nyonya Mirna ibunya Arka tiba. Nyonya Mirna datang dengan wajah ramah, membawa makanan ringan dan beberapa barang kebutuhan Alea. Segera, ia duduk di samping tempat tidur Alea dan menyentuh tangan putrinya dengan lembut. “Alea, nak, kamu sudah lebih baik? Bagaimana perasaanmu?” Alea tersenyum lemah. "Lebih baik, Bu. Hanya butuh waktu untuk pulih." Ia mengangkat pandangannya ke arah ibu Arka. "Arka pasti cemas, ya?" Nyonya Mirna mengangguk dengan penuh perhatian. "Dia pasti sangat khawatir. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Alea. Arka sudah menghubungi ibu untuk menjaga kamu hari ini. Dia akan kembali lebih cepat setelah pekerjaan selesai. Maaf kalau ibu jarang datang berkunjung, ya." Alea mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega dengan kehadiran ibu Arka. "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok, rumah ibu kan jauh. Terima kasih ya, Bu, sudah menyempatkan datang dan menjaga aku di sini. Kadang aku khawatir, Bu. Tapi aku tahu aku harus kuat, untuk keluarga k
Arka merasa hatinya terombang-ambing ketika ia meninggalkan rumah sakit pagi itu. Setelah memastikan Alea tertidur dan dalam keadaan stabil, ia harus kembali bekerja. Meskipun perasaannya enggan, Arka tahu, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dalam waktu yang lama. Namun, ia berjanji akan segera kembali, tepat waktu. Ia mengirim pesan singkat kepada ibunya untuk memberitahukan bahwa ia akan menggantikan posisinya menjaga Alea di rumah sakit sore nanti. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Arka juga memberi tahu ibunya bahwa ia perlu datang untuk menemani Alea, karena kondisi Alea yang masih lemah dan membutuhkan perhatian penuh. Ibu Arka segera menyanggupi untuk datang ke rumah sakit dan menjaganya. Walaupun jarak rumah dan rumah sakit lumayan jauh. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Arka akhirnya melangkah keluar menuju mobilnya. --- Di ruang perawatan rumah sakit, Alea terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lelah setelah istirahat semalaman. Ruangan rumah
Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai