Bab 12: Hari yang Terlupakan

Ciuman itu bukanlah sekadar ciuman biasa. Itu adalah ciuman yang penuh dengan kebingungan, kerinduan, dan pencarian.

Alea terdiam, tubuhnya terasa kaku sejenak. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Semua perasaan yang terpendam di dalam dirinya mendesak untuk keluar, tetapi ia juga terjebak dalam ketidakpastian.

Setelah beberapa detik, Arka melepaskan ciuman itu dan menatap Alea dengan mata yang terlihat penuh konflik.

"Aku nggak tahu apakah aku masih bisa mencintaimu seperti dulu," ucapnya dengan suara pelan, hampir seperti gumaman, tapi setiap kata terasa menusuk. "Tapi aku tahu satu hal… aku nggak mau menyerah begitu saja."

Kata-kata itu menggantung di udara, bergaung di dalam pikiran Alea. Sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Arka berbalik dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Alea yang masih duduk di tempat tidur dengan pikiran yang berkecamuk.

Hatinya terasa begitu berat, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.

Alea menatap pintu yang telah tertutup. Perlahan, ia berdiri dan melangkah menuju pintu kamar. Dalam hati, ada kata-kata yang ingin ia ucapkan, kata-kata yang sudah lama terpendam.

Ia menatap bayangan Arka yang semakin menjauh, dan akhirnya, dengan suara pelan, ia berkata, “Mas, maaf ya kalau aku terlalu egois.”

Kalimat itu seakan menggantung, meskipun Arka sudah tidak ada di sana untuk mendengarnya. Alea tahu, kata-kata itu tidak akan cukup untuk memperbaiki semuanya, tapi setidaknya ia mencoba.

Di luar, hujan makin deras, menjadi latar suara yang menambah suasana tegang di kamar. Alea menatap pintu yang tertutup, bertanya-tanya apa yang sebenarnya dirasakan Arka dan apa yang seharusnya ia lakukan setelah ini.

“Apa yang sebenarnya aku inginkan? Kenapa rasanya begitu sulit untuk memahami diri sendiri?” gumamnya di dalam hati.

Di luar sana, hujan semakin deras, dan angin berhembus semakin kencang. Arka tetap berdiri di sana, menunggu sesuatu yang tak terungkapkan, menunggu jawaban yang mungkin tidak akan datang dalam waktu dekat.

---

Pagi itu, Alea duduk di tepi tempat tidur setelah membenahi selimut. Ia menatap kalender kecil di ponselnya. 24 November. Hari yang seharusnya membuatnya merasa istimewa, tetapi ia sudah belajar untuk tidak terlalu berharap.

Hari ulang tahunnya ini hanya terasa seperti hari-hari biasa lainnya, penuh dengan kebingungan dan ketidakpastian.

Saat Alea turun ke dapur, aroma kopi yang ia siapkan memenuhi ruangan. Tak lama, Raka berlari ke arahnya dengan tawa ceria. “Bunda! Selamat ulang tahun!” seru bocah kecil itu, memeluk pinggangnya erat.

Alea tertawa kecil sambil mengusap rambut anaknya. “Terima kasih, Sayang.”

“Bunda mau kado apa? Aku bisa bikin gambar buat Bunda!” tawar Raka dengan polos.

“Apa saja dari kamu selalu istimewa,” jawab Alea sambil mencium kening anaknya.

Di tengah momen hangat itu, suara langkah Arka terdengar. Ia muncul dari kamar dengan kemeja rapi, dasi tergantung longgar di lehernya.

Rambut cokelatnya sedikit berantakan, tapi tetap terlihat menarik. Alea ingat betapa ia dulu menyukai gaya Arka yang santai tapi tetap berwibawa seperti ini.

“Pagi,” sapa Arka singkat. Ia mengambil gelas kopi dari meja dan menyeruputnya tanpa menatap Alea.

“Mas, sarapan sudah siap,” ucap Alea, mencoba terdengar biasa saja.

Arka melirik jam tangannya. “Aku makan di kantor aja ya, udah telat.”

Hati Alea mencelos, tapi ia menahan diri. “Ok Mas, hati-hati di jalan ya,” katanya sambil tersenyum tipis.

Arka mengangguk. Ia sempat mencium kepala Raka sebelum melangkah keluar rumah tanpa sepatah kata pun untuk Alea.

Pintu tertutup pelan, tetapi suara itu terasa seperti dinding yang semakin menebal di antara mereka.

---

Alea sedang merapikan ruang tamu ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan muncul di layar.

Randy: “Happy birthday, Alea. Aku harap hari kamu menyenangkan. Kalau kamu punya waktu, aku pengen traktir kamu makan siang. Let me know, ya.”

Alea terdiam. Pesan itu sederhana, tapi terasa hangat. Randy, pria yang pernah menjadi bagian dari hidupnya sebelum ia bertemu Arka, selalu tahu bagaimana membuatnya merasa diperhatikan.

Namun, ada konflik dalam hatinya. Ia tahu tidak seharusnya ia membalas pesan itu, tetapi rasa sepi yang menghantuinya membuat ia ingin berbicara dengan seseorang.

Setelah beberapa saat, ia mengetik balasan singkat.

Alea: “Makasih, Ran. Tapi aku nggak bisa keluar hari ini. Aku cuma pengen di rumah.”

Hampir seketika, balasan dari Randy muncul.

Randy: “Oke nggak apa-apa Al. Nanti aku kirim kado aja ke rumah ya. Hehe.”

Alea menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Perhatian kecil seperti ini adalah hal yang ia rindukan dari Arka. Tapi sekarang, perhatian itu datang dari orang lain, dan itu membuatnya merasa bersalah.

---

Di sebuah cafe kecil, Randy menatap layar ponselnya dengan senyum tipis. Balasan singkat Alea membuat hatinya hangat.

Ia teringat gadis ceria yang selalu membawa energi positif ke mana pun ia pergi. Tapi Alea yang sekarang tampak berbeda, lebih sunyi, lebih jauh.

“Alea,” gumam Randy sambil mengetuk meja dengan jarinya. Rasa rindu itu ada, tetapi ia tidak ingin memaksa.

“Kalau aku nggak bisa jadi orang yang membuatnya bahagia, setidaknya aku mau jadi seseorang yang selalu ada.”

Randy menatap ponselnya sejenak, merasa tidak tahu harus melakukan apa lagi. Namun, satu hal yang pasti. Ia ingin tetap menjadi bagian dari hidup Alea, meskipun hanya sebagai teman.

---

Hari itu terasa melelahkan bagi Arka. Ia baru saja selesai memimpin rapat panjang yang menyita energinya. Kakinya melangkah ke ruang kerja dengan kepala penuh pikiran.

Ketika ia masuk, Dina sudah ada di sana, berdiri di dekat mejanya sambil membawa dua cangkir kopi.

“Kayaknya ada yang butuh ini,” katanya sambil menyodorkan salah satu cangkir ke arah Arka, senyumnya tipis namun penuh arti.

Arka menerima kopi itu tanpa ragu. “Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan,” gumamnya sambil duduk di kursinya. Ia menyesap kopi itu, membiarkan rasa pahitnya sedikit menyegarkan pikirannya yang kacau.

Dina mengambil tempat duduk di sisi meja, bukan di kursi tamu yang biasanya. Posisinya lebih dekat dari seharusnya, seolah jarak itu sudah biasa di antara mereka. “Capek ya? Aku bisa lihat dari cara kamu jalan tadi.”

“Pekerjaan nggak ada habisnya,” jawab Arka singkat, mencoba terdengar ringan, tapi Dina tidak teralihkan.

“Kamu nggak perlu pura-pura sama aku, Arka,” ucap Dina pelan, matanya menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Aku tahu kapan kamu nggak baik-baik aja.”

Arka terdiam, menyesap kopinya lagi. “Aku nggak pura-pura,” jawabnya akhirnya, meskipun ia tahu kata-katanya terdengar lemah.

Dina mengangguk kecil, seolah memahami apa yang tidak diucapkan. “Ayo makan siang bareng. Kamu butuh istirahat,” katanya sambil berdiri.

“Aku nggak lapar,” tolak Arka, tapi suaranya tidak cukup meyakinkan.

Dina tersenyum kecil, sedikit menggoda. “Kalau aku bilang ini bukan permintaan, gimana?”

Arka akhirnya menyerah dan mengikuti Dina ke cafe kecil di dekat kantor. Suasana di sana cukup tenang, cocok untuk sekedar melepas lelah.

Mereka memesan makanan, dan Dina seperti biasa mulai berbicara ringan.

“Jadi, gimana dengan proyek di cabang baru? Mereka masih bikin masalah?” tanya Dina sambil menyuap saladnya.

“Masih. Mereka nggak pernah benar-benar siap dengan perubahan,” jawab Arka sambil memainkan garpu di tangannya.

Dina menatapnya tajam. “Kamu terlalu baik. Kalau aku jadi kamu, mereka udah kena semprot.”

Arka tertawa kecil. “Kamu kan emang lebih tegas dari aku.”

“Tegas itu perlu, Arka,” Dina menjawab dengan nada lembut tapi tegas.

Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, memutar gelas minumannya di tangan. “Kadang kita nggak bisa terus-menerus ngasih orang kesempatan kedua.”

Arka terdiam, mencoba mencerna kata-kata Dina. Namun, pikirannya masih sibuk dengan perasaannya terhadap Alea.

“Aku tahu, Dina. Tapi ini bukan hal yang mudah,” jawab Arka dengan suara pelan.

Dina menatap Arka dengan tatapan yang dalam dan penuh arti. “Kadang, kita harus memilih apa yang benar-benar membuat kita bahagia, meskipun itu sulit,” ucapnya sambil menaruh tangannya di atas tangan Arka, memberikan tekanan lembut namun tegas.

Arka merasakan dorongan dari kata-kata Dina. Ia tahu ada keputusan besar yang harus diambil, tetapi ia masih belum siap untuk menentukan jalannya.

Di saat yang sama, Dina semakin mendekat, merapatkan jarak di antara mereka. Senyumnya semakin dalam, penuh dengan maksud tersembunyi. "Arka, aku tahu ini sulit. Tapi kamu berhak untuk bahagia."

Arka merasakan hawa dingin di punggungnya saat Dina memperpendek jarak. Perasaannya bercampur aduk antara kebingungan dan dorongan.

Namun, sebelum ia bisa menjawab, Dina tiba-tiba menariknya dalam pelukan erat. "Kamu nggak sendirian, Arka," bisiknya di telinganya. "Aku di sini untuk kamu, selalu."

Arka terdiam, merasakan denyut nadinya yang semakin cepat. Di dalam pikirannya, berputar-putar pertanyaan yang tak kunjung terjawab, sementara pelukan Dina semakin erat, membungkusnya dalam kebingungan dan godaan yang tak terhindarkan.