Alea berdiri di depan pintu rumah, tubuhnya gemetar saat ia mencoba mencari kunci di dalam tas kecilnya. Malam itu begitu sunyi, hanya suara serangga malam yang terdengar samar. Dari kejauhan, lampu mobil Randy masih menyala, memberikan penerangan lembut di depan rumah.
Randy duduk di balik kemudi, matanya tidak lepas dari Alea. Ia memastikan perempuan itu benar-benar masuk ke rumah dengan aman. Saat pintu rumah terbuka, Alea menoleh, mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih. Randy membalas dengan senyuman tipis sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi.
Namun, hanya beberapa detik setelah Randy berlalu, suara mobil lain mendekat dengan kecepatan yang terasa mengintimidasi. Alea menoleh, dan dadanya langsung terasa berat saat melihat mobil Arka berhenti tepat di depan rumah.
Arka keluar dengan langkah cepat, membawa tas kerja di satu tangan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya … tatapan itu bukan sekadar lelah. Ada sesuatu yang mengintai di sana—amarah, kecurigaan, atau mungkin ego yang terluka.
“Mas, baru pulang?” Alea mencoba memecah keheningan, suaranya pelan tetapi sarat dengan kegugupan.
Arka hanya mengangguk singkat, melewati Alea tanpa sepatah kata. Udara dingin yang terbawa gerakannya terasa menusuk, lebih tajam dari angin malam. Alea mengikuti di belakangnya, mencoba mencari celah untuk berbicara.
“Mas,” Alea memberanikan diri memulai lagi. “Aku baru pulang dari reuni SMA.”
Langkah Arka terhenti di depan pintu ruang tamu. Ia menoleh perlahan, wajahnya datar tetapi sorot matanya tajam.
“Reuni?” ulangnya, nadanya tidak ramah. “Kamu nggak bilang.”
Alea menghela napas pelan, berusaha tetap tenang. “Aku sudah bilang kemarin, Mas. Cinta juga ikut. Aku nggak lama di sana, langsung pulang begitu selesai.”
Arka menyipitkan matanya, menatap Alea seolah mencari kebohongan di setiap kata-katanya. “Kamu pulang sendiri?”
Alea merasa napasnya tercekat, tetapi ia mencoba terlihat santai. “Nggak. Aku pulang sama teman lama.”
“Teman lama?” Arka mendekat, langkahnya berat tetapi terukur. “Siapa?”
“Itu nggak penting, Mas,” jawab Alea cepat, suaranya sedikit bergetar. “Aku sudah di rumah sekarang. Bukankah itu yang penting?”
Namun, Arka tidak puas. Ia berdiri lebih dekat, menatap Alea dengan tajam. “Aku tanya siapa teman lama itu, Alea.”
Alea merasa darahnya berdesir. Amarah dan luka yang selama ini ia pendam perlahan mendidih. “Kenapa kamu harus tahu, Mas? Aku pulang baik-baik, aku nggak ngelakuin apa-apa. Apa itu nggak cukup buat kamu?”
“Cukup?” Arka tertawa pendek, tetapi tawanya penuh sinisme. “Alea, aku punya hak buat tahu. Aku suami kamu.”
Kata-kata itu menghantam Alea seperti tamparan keras.
“Suami?” ulang Alea dengan nada getir. “Mas, aku nggak pernah bertanya kamu pulang malam kenapa, sama siapa. Aku percaya kamu. Tapi kamu? Kamu bahkan nggak pernah mengizinkan aku punya sedikit ruang untuk diriku sendiri.”
“Karena aku nggak mau orang lain berpikir yang macam-macam tentang kamu,” bentak Arka, suaranya mulai meninggi. “Kamu nggak tahu apa yang orang lain bisa pikirkan kalau kamu pulang sama pria lain!”
Alea tertawa kecil, tetapi air matanya mulai menggenang.
“Pria lain?” katanya, nadanya bergetar. “Mas, apa kamu lupa? Kamu yang selalu bilang aku harus tahu batasanku. Kamu yang bilang aku jangan ikut campur urusan kamu. Tapi kenapa, Mas? Kenapa sekarang kamu yang merasa punya hak atas semuanya?”
Arka terdiam sejenak, tetapi rahangnya mengeras. “Kalau kamu nggak suka, kita akhiri saja di sini,” katanya dingin.
Kata-kata itu seperti ledakan di kepala Alea. Ia menatap Arka, matanya penuh dengan emosi yang tidak lagi bisa ia tahan. “Akhiri? Mas, kamu selalu mengancam dengan kata-kata itu, seolah-olah aku ini bukan siapa-siapa. Apa itu cara kamu mencintaiku?”
Arka mendekatkan wajahnya sedikit, nadanya tetap dingin. “Alea, aku capek. Aku nggak mau berdebat malam ini. Kalau kamu mau marah, silahkan. Tapi aku sudah bilang, aku nggak mau ada orang lain ikut campur dalam hubungan kita.”
Alea menggigit bibirnya, menahan isak yang hampir pecah. “Hubungan kita? Mas, hubungan apa? Apa ini masih pantas disebut hubungan?”
Namun, Arka tidak menjawab. Ia hanya memalingkan wajahnya, mengambil tas kerja yang tadi ia letakkan di meja, dan melangkah ke arah kamar. Alea berdiri mematung, air mata jatuh tanpa ia sadari.
“Mas,” katanya pelan, tetapi Arka tidak berhenti. Tidak ada satu pun kata yang tersisa untuknya malam itu.
Alea berdiri di ruang tamu, tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar yang semakin menjadi. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipi yang mulai memerah karena campuran emosi—marah, terluka, dan hampa.
Ruangan itu sepi, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak pelan, seolah mengejeknya atas waktu yang terus berjalan tanpa solusi.
Alea memandang sekeliling, sofa yang dulu menjadi tempat mereka berbagi tawa, meja makan tempat mereka merencanakan masa depan, dan foto-foto keluarga yang tergantung di dinding. Semuanya tampak seperti sisa-sisa kehidupan yang pernah ada, tapi kini hanya tinggal bayangan.
Hatinya bertanya dengan getir, “Apa ini masih layak disebut rumah? Atau aku hanya bertahan demi kenangan yang sudah lama hilang?”
Ia memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang. Namun, setiap hembusan terasa berat, seperti membawa beban yang tidak lagi mampu ia pikul. Perasaan hampa itu semakin nyata, membungkus dirinya dalam kesepian yang memekakkan.
Alea duduk di sofa, tubuhnya terasa lunglai, seolah semua kekuatan telah terkuras habis. Tangannya terulur, menyentuh bingkai foto pernikahan mereka yang terletak di meja kecil di samping sofa.
Dalam gambar itu, Arka tersenyum lebar, memeluknya erat dengan cinta yang dulu terasa nyata. Alea memandangi dirinya sendiri dalam foto itu, mengenang betapa bahagianya ia saat itu. Namun kini, bayangan di cermin hanya menunjukkan sosok wanita yang lelah, penuh luka yang tidak pernah sembuh.
"Apa yang aku perjuangkan selama ini?" pikirnya, air mata kembali jatuh. Ia merasa seperti seorang pelaut yang terus mengemudikan kapal yang sudah tenggelam, berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya.
Malam itu, ruangan yang sepi menjadi saksi pergolakan batinnya. Pertanyaan itu terus menghantui, seperti bisikan yang tak pernah mereda:
"Apa aku ini cuma pilihan yang dia sesali?"
Di lorong supermarket yang lengang, Alea mendorong troli dengan langkah lambat. Ia memilih bahan makanan satu per satu, mengisi troli tanpa benar-benar memikirkan apa yang ia butuhkan. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tentang rumah yang semakin dingin, tentang Arka yang kian menjauh, dan tentang dirinya yang mulai kehilangan arah.Namun, suara yang familiar memecah lamunannya.“Alea? Kamu belanja sendirian?”Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat.“Randy? Kebetulan banget,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar—hal yang sudah lama tidak ia rasakan.“Kamu kerja di mana sekarang, Ran?” tanya Al
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tetapi dampaknya terasa seperti badai yang menghancurkan. Wajah Arka berubah, meskipun ia mencoba menutupi keterkejutannya.“Kamu bilang apa?” tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.“Aku sudah nggak bisa lagi, Mas,” jawab Alea, suaranya gemetar tetapi tegas. “Aku sudah terlalu lelah. Aku nggak mau terus hidup seperti ini, dalam hubungan yang hanya membuat aku merasa tidak berharga.”Arka tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sinis. “Jadi, kamu pikir solusi dari semuanya adalah cerai?”“Ya,” kata Alea dengan tegas, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah mencoba bertahan. Aku sudah mencoba memperbaiki. Tapi kalau cuma aku yang berjuang, itu nggak cukup.”“Alea, kamu tahu apa yang kamu minta?” Arka melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kamu siap kehilangan semuanya?”Alea mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Kalau ‘semuanya’ berarti kehilangan rasa sakit ini, ya, aku siap.”Arka tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan dan din
Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya. Mata sembabnya menjadi saksi bisu dari malam yang ia habiskan dalam tangis. Meski tubuhnya terasa berat, ia tahu ia harus tetap menjalani harinya seperti biasa—demi Raka.Ia mulai menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang dan telur goreng, menu yang selalu disukai Raka. Tapi saat ia membuka lemari es untuk mengambil susu, ia tersentak. Kotak susu itu kosong, hanya menyisakan tetes terakhir di bagian bawahnya. Ia menghela napas panjang. “Susu habis. Aku harus ke minimarket,” gumamnya pelan.Setelah memastikan semuanya rapi, Alea melangkah keluar rumah. Minimarket kecil di depan kompleks menjadi tujuannya. Udara pagi yang segar tak mampu mengusir kekacauan dalam pikirannya. Meski demikian, ia mencoba menata hatinya, memaksa dirinya untuk percaya bahwa semua ini akan berakhir dengan baik, entah bagaimana.Namun, saat ia kembali ke rumah, suasana terasa berbeda. Sepi. Tidak ada suara tawa kecil Raka, tidak ada langkah berat Arka di lantai r
Alea berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia sebut tempat tinggalnya. Tangannya menggenggam gagang pintu dengan ragu, tetapi pikirannya kembali pada suara lemah Arka di telepon malam tadi. Bayangan Raka yang sakit dan memanggilnya membuat langkah kakinya terasa lebih ringan, meski hatinya masih penuh beban.Ketika pintu terbuka, ia melihat Arka berdiri di ruang tamu, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alea menahan napas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, sorot mata Arka tampak berbeda—ada ketulusan dan penyesalan yang tergambar di sana.“Alea…” panggil Arka pelan, suaranya nyaris berbisik.“Aku mau lihat Raka dulu,” potong Alea tanpa basa-basi, melangkah melewati Arka menuju kamar anak mereka. Arka tidak mencoba menghentikannya, hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Alea yang menghilang di balik pintu.Di dalam kamar, Alea menemukan Raka terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajah kecil itu tampak pucat, tetapi ketika matanya
Arka menatap Dina dalam-dalam, napasnya memburu. Dalam kebisuannya, ia tenggelam dalam dorongan liar yang terus menguasainya. Ia menunduk lagi, mencium Dina dengan lebih liar, intensitas yang mengikis logika yang masih tersisa.Tangan kanannya menyusuri paha Dina yang terlihat jelas dari rok pensilnya yang sedikit terangkat. Dina merespons, mengangkat satu kakinya, menyandarkannya ke meja, membuka ruang yang lebih besar bagi Arka.Namun, ketika tangan Arka bergerak menuju kancing blus Dina, suara ketukan tiba-tiba terdengar dari pintu.Tok, tok, tok.Keduanya membeku. Arka langsung menarik diri dengan gerakan cepat, napasnya masih berat. Dina melirik pintu dengan ekspresi terganggu, tetapi senyumnya tetap penuh godaan.“Siapa?” tanya Arka dengan nada tajam, berusaha menyembunyikan rasa frustrasinya.Dari luar, terdengar suara Dedi, teman satu tim Arka. “Pak Arka, saya Dedi. Ada dokumen penting yang harus Anda tandatangani sekarang.”Arka mendengus kesal, menekan jembatan hidungnya deng
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya di rumah Arka dan Alea. Meski lampu-lampu menyala, suasana di ruang tamu terasa kelam.Alea duduk di sofa, menatap scarf biru yang baru ia terima. Air matanya telah kering, tetapi hatinya masih basah oleh luka yang baru saja tercipta.“Alea ...” suara Arka memecah keheningan. Ia berdiri tak jauh dari istrinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.Tatapannya bimbang, seperti orang yang tahu ia salah, tapi terlalu keras kepala untuk mengakui sepenuhnya.“Kenapa kamu harus bicara seolah aku yang salah?” tanya Alea pelan, tanpa menoleh ke arahnya. Suaranya tidak marah, hanya lelah.“Aku nggak bilang kamu salah.” Alea mendongak, matanya bertemu dengan mata Arka yang masih menyimpan sisa-sisa kecurigaan.“Tapi kamu berpikir aku menyembunyikan sesuatu kan? Itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Padahal aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim scarf ini.”Arka menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Alea, tetapi tidak
Di balik pintu kamar, Alea duduk di tepi ranjang, air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencintai Arka, tetapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap suaminya perlahan menggerogoti hatinya.“Kenapa kamu nggak bisa percaya aku, Mas?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada udara.Ia menghapus air matanya, tetapi luka itu tetap ada. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Dan ia tidak yakin apakah masih ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya.Sementara itu, Arka berdiri di depan cermin kamar, melepaskan dasi dengan gerakan cepat tapi gelisah.Alea masih diam di kamar mereka, dan keheningan itu terasa lebih memekakkan daripada suara pertengkaran mereka tadi. Ia menatap pantulan dirinya, napasnya berat.Ia tahu, meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk memikirkan solusi.Ia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tatapan penuh luka Alea.Tanpa berkata apa-apa, ia m
Ketika Dina membisikkan namanya lagi, "Arka…" suaranya serak namun penuh kendali, sesuatu dalam diri Arka retak. Napasnya memburu, nyaris tersengal. Suhu udara di kamar apartemen itu seolah meningkat drastis, meski hanya ada mereka berdua. Matanya bertemu dengan tatapan Dina yang tajam, menguasai, seolah tak memberinya ruang untuk mundur. Dina menyentuh pipinya dengan ujung jari, lalu menelusuri rahangnya, memaksa wajah Arka untuk tetap menatapnya. "Jangan berpura-pura lagi," bisiknya, kali ini lebih dalam, nyaris seperti perintah. Arka menggeram pelan, bingung antara keinginan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Tapi saat Dina mendekat, menyamarkan jarak di antara mereka, semua logika tersingkir. Ciumannya mendarat di leher Dina, penuh dorongan, seolah menyalurkan semua kekacauan batin yang selama ini ia pendam. Tangan Dina melingkar di lehernya, kuku-kukunya menggali sedikit ke kulit Arka, menariknya lebih dekat. Ia memimpin dengan gerakan yang penuh kepastian, mengen
Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak.“Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.”Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima.“Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?”Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cu
Alea menelan ludah, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar. “Aku pergi, Ran. Aku sudah memutuskan.”“Pergi?” Nada suara Randy berubah, antara terkejut dan prihatin. “Kamu sendirian dengan Raka? Mau ke mana?”“Aku belum tahu,” jawab Alea jujur, suaranya hampir pecah. “Tapi aku harus menjauh. Aku nggak bisa lagi tinggal di rumah itu.”Di ujung telepon, Randy menghela napas panjang. “Alea, aku tahu kamu merasa ini keputusan yang benar. Tapi kamu nggak harus melewati ini sendirian. Kamu selalu punya aku.”Alea tersenyum kecil meskipun air mata mulai mengalir. “Terima kasih, Ran. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri.”“Kalau begitu, kabari aku. Setiap saat,” kata Randy dengan nada tegas namun lembut. “Jangan ragu, oke? Aku akan selalu ada.”Alea mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Aku akan kabari. Terima kasih, Ran. Aku ... aku sangat menghargai kamu.”“Alea,” suara Randy berubah menjadi lebih lembut, hampir sepert
Kata itu membuat Arka seperti kehilangan keseimbangan. Ia terdiam, tubuhnya hampir lemas karena shock. Air mata mengalir di wajahnya, tetapi Alea tetap berdiri tegak, meskipun hatinya seperti dipotong-potong.Arka berkata dengan suara pelan, hampir putus asa. “Alea, jangan tinggalkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku akan berubah. Aku tidak bisa hidup tanpamu … ”Alea menutup matanya sejenak, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Ketika ia membuka matanya lagi, tatapannya penuh dengan kepastian yang tidak bisa digoyahkan.“Aku mencintaimu, Arka. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi itu tidak cukup lagi. Cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki ini.”Dengan suara yang hampir berbisik, ia mengakhiri, “Aku melepaskanmu. Untuk dia, untuk anak itu, untuk Raka dan untuk diriku sendiri.”Arka hanya bisa berdiri diam, matanya penuh penyesalan dan rasa sakit yang dalam. Ia tidak bisa mengejar, karena semuanya sudah terlambat. Keheningan menyelimuti rumah itu, s
Kalimat itu menggema di antara mereka, membekukan waktu seperti sebuah kutukan yang mengikat mereka dalam kehampaan.Arka hanya bisa menatap Alea dengan mata yang melebar, terkejut dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapannya, Alea berdiri seperti sosok yang rapuh, tetapi sorot matanya membawa luka yang membara—luka yang tak pernah sepenuhnya disembuhkan.Wajah Arka memucat. Kata-kata Alea seperti badai yang menghantam dinding pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua pembelaan diri yang ingin ia ucapkan. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Napasnya berat, seperti tertahan oleh rasa bersalah yang menyesakkan.Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka berkata, “Apa? Itu ... itu tidak mungkin …”Alea menatapnya, air mata menetes perlahan di pipinya yang memerah karena emosi. Namun, ia tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa goyah oleh kenyataan yang menghimpitnya. “Kenapa kamu terus berbohong padaku?” tanyanya, suaranya pecah tetapi penuh ketegasan. “
Randy duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir mobil dengan erat. Memutuskan untuk meninggalkan mobil Alea di kafe, karena Randy takut terjadi apa-apa kalau Alea menyetir mobil sendiri. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai diselimuti gelap malam. Di kursi penumpang, Alea duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Namun, air mata yang terus mengalir di pipinya tidak bisa disembunyikan. Tangannya memeluk tas kecil di pangkuannya, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini. Randy melirik Alea sesekali, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Alea butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi setiap isakan pelan yang terdengar darinya membuat hatinya terasa semakin berat. Randy akhirnya mengambil napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan lembut. “Alea,” panggilnya pelan, suaranya penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak boleh menyimpan semuanya sendiri. Kalau kamu mau bicara, aku di sini.” Alea tidak langsung menjawab. Matanya masih tertu
Alea menatap amplop yang diletakkan Dina di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Wajahnya memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang ia coba tahan sekuat tenaga. “Jadi, kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan memberitahuku begitu saja? Bahwa kamu hamil?” tanya Alea dengan suara rendah namun penuh ketegangan. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Dina menatapnya dengan sorot mata angkuh, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tampak penuh kepuasan. “Kenapa? Kamu merasa terancam?” tanyanya, nadanya sengaja dibuat ringan, hampir menghina. “Jangan khawatir, Alea. Aku sudah cukup mengenalmu. Aku tahu betul siapa kamu. Kamu akan menerima kenyataan ini, meskipun berat. Lagipula, ini sudah seharusnya terjadi. Kalau dia akhirnya memilihku, berarti kita memang ditakdirkan bersama.” Alea menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tersenyum pahit, meskipun matanya mulai berair. “Jadi, kamu data
Langit berwarna abu-abu, awan tebal menggantung rendah seolah menjadi cerminan kegelisahan hati Alea. Hari itu, ia memutuskan untuk bertemu Dina di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu jauh dari keramaian, memberi ruang untuk percakapan yang penuh ketegangan.Alea mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan memberikan kesan netral, tetapi sorot matanya penuh keteguhan. Ia memberitahu Randy tentang tempat dan waktu pertemuan tersebut, namun dengan tegas meminta pria itu untuk tidak datang."Aku harus menghadapi ini sendiri," kata Alea sebelumnya.Alea duduk di salah satu sudut ruangan, punggungnya tegak, matanya terus mengamati pintu masuk. Di tangannya, ponsel bergetar. Pesan dari Randy muncul di layar:Randy: "Kalau ada apa-apa, kabari aku. Aku nggak akan jauh."Alea menarik napas panjang, mengetik balasan singkat.Alea: "Aku baik-baik saja, Ran. Jangan khawatir."Ia tahu Randy tidak akan tinggal diam sepenuhnya. Pria itu memiliki
Malam setelah kejadian makan malam hari itu, Alea duduk di ruang tamu dengan buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil yang digenggamnya berhenti bergerak, garis-garis di kertas itu setengah jadi, mencerminkan pikirannya yang penuh kekacauan. Selama sebulan terakhir, ia memilih untuk menunggu. Tidak ada konfrontasi, tidak ada tuduhan hanya keheningan yang menjadi perisai sekaligus senjatanya. Ia tahu, kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, salah satu dari mereka, entah Dina atau Arka akan buka suara. Yang ia butuhkan hanyalah kesabaran, meskipun setiap harinya terasa seperti peperangan dengan dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di meja, memecah keheningan. Nama "Nomor Tidak Dikenal" muncul di layar, membuat Alea terdiam. Ia tahu siapa itu. Ia menatap layar untuk beberapa saat, mencoba menenangkan napasnya sebelum akhirnya menggeser ikon hijau. “Halo?” Alea membuka percakapan dengan nada datar, tanpa emosi. Suara di seberang terdengar lembut, seperti
Dina melangkah keluar dari ballroom hotel dengan langkah cepat, high heels hitamnya beradu dengan lantai marmer yang dingin. Setiap langkah terasa seperti tamparan bagi dirinya sendiri, menghancurkan kepercayaan yang tadi ia bawa masuk ke ruangan itu. "Dia berani menantangku," pikir Dina sambil mengatur napasnya yang mulai memburu. Tangannya mencengkeram clutch hitamnya begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Saat pintu otomatis terbuka, udara malam yang dingin menyambutnya. Dina mendongak menatap langit yang gelap, hanya dihiasi beberapa bintang samar. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Bagaimana dia bisa terlihat begitu ... sombong?” bisiknya, matanya menatap kosong ke jalan raya yang ramai. Dina memikirkan setiap detik percakapan mereka di dalam ballroom. Senyum Alea, sorot mata yang tajam, cara bicara yang tenang namun mematikan. Semuanya seperti duri yang menusuk egonya. --- Di dalam mobilnya, Dina duduk dengan tubuh tegak, tetapi hatinya masih bergolak