Malam selanjutnya, Alea sedang duduk di meja makan, mencoba untuk menyibukkan diri dengan kegiatan sehari-hari, meski hatinya terasa kacau.
Dia berharap waktu bisa berhenti sejenak untuk memberi ruang pada pikirannya yang penuh tanda tanya. Perasaannya terhadap Arka masih tak jelas, meski pesan-pesan manis yang dikirimkan Arka selalu membuat hatinya sedikit lebih hangat. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Ketika Arka pulang, langkahnya terdengar lebih berat daripada biasanya. Meskipun wajahnya tersenyum, ada sesuatu yang terasa tidak sama. Ada kilatan kebahagiaan di matanya, namun juga aura yang tampak agak berbeda. Arka tampak terfokus pada sesuatu, dan Alea merasakannya. “Mas, kita makan dulu, ya? Aku masak, kok,” kata Alea mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan aneh yang menggelayuti dirinya. Arka mengangguk tanpa banyak bicara. "Aku masih banyak kerjaan, Al. Tapi boleh deh kita makan dulu yuk." Alea menatapnya, ada keheningan yang terbentuk di antara mereka. Sejak kedatangan proyek besar ini, Arka semakin sibuk. Bukan hanya sibuk dengan pekerjaan, tapi ada perubahan dalam sikapnya. Dulu, dia sering mengajak Alea berbicara tentang banyak hal. Tapi sekarang, seperti ada jarak yang tak bisa dijelaskan, walaupun Arka tetap meluangkan waktu untuk berbicara soal pekerjaan. "Mas, kamu capek banget ya," Alea akhirnya berkata pelan. "Aku ngerti kok kalau kamu lagi banyak hal yang harus dikerjain." Arka menatapnya dengan tatapan yang seolah kosong. "Iya, Al. Proyek ini nggak bisa ditunda-tunda. Kalau semuanya lancar, kita bisa lebih banyak waktu bareng, kok." "Jadi, gimana hari kamu?" Arka akhirnya bertanya, suaranya terdengar datar, berbeda dari biasanya yang selalu penuh perhatian. Alea melirik ke Arka, dan seketika itu, dia merasakan ada sesuatu yang berubah. “Baik-baik aja, Mas. Cuma hm… kamu sendiri gimana? Kayak ada yang beda aja.” Arka terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis, senyum yang terasa agak dipaksakan. "Aku cuma capek, Al. Proyek ini bikin kepala pusing. Jadi, aku butuh fokus." Alea menunduk, mencoba untuk tidak membiarkan keraguan di dalam dirinya terlihat. "Aku ngerti kok, Mas." Setelah makan malam yang berlangsung hening, Arka hanya menyelesaikan makanannya dengan cepat, lalu menghilang ke ruang kerjanya tanpa banyak bicara. Alea yang masih duduk di meja makan, hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasa seperti sebuah dinding yang semakin tinggi dibangun antara mereka. Sebelum menutup pintu ruang kerja, Arka menoleh sebentar, mengingatkan satu hal yang membuat Alea terdiam. “Al,” Arka memanggilnya, “besok aku ada meeting dari pagi sampai malam. Kalau ada yang perlu dibicarakan, aku bisa dihubungi lewat telepon.” Alea hanya mengangguk, mencoba mengerti. "Iya, Mas. Jangan terlalu capek, ya." Dengan itu, Arka kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan Alea di ruang makan. Dalam hati, Alea tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi. Arka tidak pernah berbicara seperti itu sebelumnya. Ada sesuatu yang membuat dirinya merasa seperti kehilangan pegangan, seperti hubungan mereka perlahan-lahan hilang tanpa bisa dicegah. --- Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang monoton. Alea mencoba menemukan kembali kebahagiaan kecil dalam hidupnya. Ia menghabiskan waktu dengan Raka, tertawa melihat tingkah lucu putranya, dan menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah yang seolah tak pernah selesai. Sampai suatu hari, saat Alea sedang berdiri di depan rak supermarket, memilih jenis pasta untuk makan malam, suara yang sangat familiar terdengar dari sebelahnya. "Alea? Kamu belanja sendirian?" Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat. "Randy? Kebetulan banget," jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, tapi suaranya terdengar sedikit tergetar. "Kalau nggak keberatan, aku bisa bantu bawain belanjaanmu," tawar Randy sambil menunjuk keranjang belanja yang sudah hampir penuh. Alea mengangguk. "Boleh, kalau nggak ngerepotin." Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar. Hal yang sudah lama ia rindukan, meski suara hatinya masih mempertanyakan apakah perasaan ini benar. Troli belanja mereka semakin penuh, tetapi hati Alea justru terasa kosong, seperti lorong-lorong di swalayan yang sedang sepi pengunjung. Randy terus mengajaknya berbicara dengan nada santai namun penuh perhatian, membuat setiap kata terasa lebih berat, lebih berarti. “Kamu kapan balik ke luar kota Ran?” tanya Alea, mencoba mengalihkan pikirannya. “Masih betah sih disini, tapi seminggu lagi kayaknya aku ke luar kota lagi deh. Kayaknya aku cuma butuh waktu buat diri sendiri. Butuh istirahat dan jadi diri sendiri, hehe.” Alea mengangguk pelan. "Iya... Kadang aku merasa seperti itu juga. Semua terasa begitu monoton. Kadang aku lupa apa yang sebenarnya aku inginkan." “Alea, kadang kita terlalu fokus pada peran kita sebagai istri atau ibu sampai lupa dengan siapa diri kita sebenarnya. Kamu berhak untuk merasa bahagia, untuk mencari apa yang kamu butuhkan,” ujar Randy, sambil menatapnya dengan penuh perhatian. Kalimat itu membuat hati Alea tersentak. Ada sesuatu yang menyentuhnya dengan begitu dalam. Namun, ia berusaha menepis perasaan itu. "Bener sih, Ran," jawabnya, suaranya agak tercekat. “Eh, Al, Kamu suka coba resep baru?” tanya Randy, mencoba mengalihkan pembicaraan yang semakin berat ini. Alea tersenyum samar. “Raka suka eksperimenku di dapur, meski kadang hasilnya aneh. Kalau aku gagal, dia tetap bilang enak.” Tatapannya sejenak melamun, membayangkan tawa anaknya saat memakan kue bantet yang pernah ia buat. “Beruntung banget dia punya ibu seperti kamu,” puji Randy tulus. “Kamu selalu bisa bikin orang-orang di sekitarmu merasa diperhatikan, Al.” Alea menunduk. Pujian itu terasa menyenangkan, tapi juga membuat dadanya sesak. Sudah lama Arka tidak memberinya komentar seperti itu. Ia rindu diperhatikan sebagai dirinya sendiri, bukan sekadar sebagai ibu atau istri. “Kadang, aku merasa kehilangan arah, Randy,” gumamnya akhirnya, suaranya pelan. “Banyak hal yang berubah... dan... sulit untuk menghadapinya.” Randy berhenti mendorong troli, memandang Alea dengan sorot mata yang lembut. “Kamu nggak sendiri, Al. Aku tahu, kadang peran kita bikin kita lupa sama diri sendiri. Tapi kamu harus ingat, kamu juga berhak bahagia.” Mata Alea berkaca-kaca. Ia berusaha menutupi perasaannya dengan tersenyum tipis. “Selalu deh kamu tuh, punya aja kata-kata yang bikin aku tenang.” “Cuma kebetulan aja,” Randy menjawab, sedikit bercanda. “Kalau kamu butuh teman bicara, aku ada. Kapan aja kamu butuh.” Alea mengangguk pelan, meski dalam hatinya ada perasaan bersalah yang menggerogoti. Ia tahu, ia tidak seharusnya merasa senyaman ini dengan Randy. Tetapi entah mengapa, percakapan ini seperti sebuah ruang bernafas di tengah kesehariannya yang penuh tekanan.Keesokan harinya, Arka tiba di kantor lebih awal. Ia ingin menyelesaikan beberapa laporan yang mendesak sebelum rapat siang nanti.Pikiran tentang Dina dan percakapan mereka kemarin masih mengganggunya, meskipun ia tidak bisa mengabaikan rasa nyaman yang Dina berikan.Tak lama setelah Arka duduk, Dina muncul di pintu ruangannya, membawa dua cangkir kopi. “Pagi, Arka. Semangat banget pagi-pagi udah sibuk,” sapa Dina dengan senyum hangat.“Harus, Din. Kalau nggak begini, kerjaan nggak akan selesai,” balas Arka sambil mengangkat pandangan dari laptopnya.“Makanya aku bawain kopi, biar energimu nggak habis sebelum tengah hari.” Dina menaruh salah satu cangkir di meja Arka dan duduk di kursi seberang tanpa menunggu undangan.“Makasih Din,” ujar Arka singkat.Ia menatap Arka dengan senyuman kecil yang penuh arti. “Kamu masih kepikiran obrolan kita kemarin?”Arka diam sejenak, lalu mengangguk. “Ya, sedikit.”“Kalau kamu mau, aku masih di sini buat dengar,” kata Dina sambil menyandarkan tubuh
Di ruang tamu, Arka masih diam di sofa setelah Alea masuk ke kamar. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar tanpa arah.Ia memijat pelipisnya, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya Alea inginkan darinya. Pertanyaan Alea tadi terus menggema di benaknya: ” Apa aku masih jadi bagian dari kebahagiaan kamu?”Namun, sebelum ia bisa menemukan jawabannya, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Dina.Dina: “Sudah selesai dengan deadline laporan? Aku mau diskusi soal proyek kita besok. Tapi kalau sibuk, nggak apa-apa. Have a good night, ya.”Arka membaca pesan itu dengan napas berat.Dina, seperti biasa, selalu menyelipkan nada santai tapi perhatian dalam setiap pesannya. Terlalu perhatian, pikirnya. Ada yang aneh dengan cara Dina selalu tahu kapan harus memberi perhatian, kapan harus mundur.Terkadang, itu membuat Arka merasa nyaman, terlalu nyaman. Seperti tempat berlindung yang tidak ia temukan di rumah, terutama setelah suasana yang semakin terasa asing dengan Alea.Din
Ciuman itu bukanlah sekadar ciuman biasa. Itu adalah ciuman yang penuh dengan kebingungan, kerinduan, dan pencarian. Alea terdiam, tubuhnya terasa kaku sejenak. Ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Semua perasaan yang terpendam di dalam dirinya mendesak untuk keluar, tetapi ia juga terjebak dalam ketidakpastian. Setelah beberapa detik, Arka melepaskan ciuman itu dan menatap Alea dengan mata yang terlihat penuh konflik. "Aku nggak tahu apakah aku masih bisa mencintaimu seperti dulu," ucapnya dengan suara pelan, hampir seperti gumaman, tapi setiap kata terasa menusuk. "Tapi aku tahu satu hal… aku nggak mau menyerah begitu saja." Kata-kata itu menggantung di udara, bergaung di dalam pikiran Alea. Sebelum ia sempat mengatakan apa pun, Arka berbalik dan melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Alea yang masih duduk di tempat tidur dengan pikiran yang berkecamuk. Hatinya terasa begitu berat, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Alea menatap pintu yang telah tertutup. Perlahan
Malam pun tiba. Di rumah, Alea menatap jam di dinding ruang tamu. Hampir pukul delapan malam, tetapi Arka belum juga pulang. Ia sudah menyiapkan makan malam sederhana, tetapi makanan itu mulai dingin.Ketika akhirnya pintu depan terbuka, Alea bergegas menyambut, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. “Mas, kamu baru pulang?”“Maaf, tadi ada kerjaan tambahan,” jawab Arka tanpa menatap Alea. Ia meletakkan tas kerjanya di sofa, lalu duduk sambil memeriksa ponselnya.“Mas, makan malam sudah siap. Aku bikin sup kesukaanmu,” ujar Alea pelan.“Aku udah makan di luar tadi,” jawab Arka, membuat hati Alea semakin hancur.Raka, yang duduk di lantai sambil bermain, tiba-tiba mendongak. “Ayah lupa bilang selamat ulang tahun ke Bunda?”Ruangan langsung hening. Arka menatap anaknya dengan bingung. “Ulang tahun?” tanyanya dengan alis terangkat.Alea memaksakan senyum. “Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok kamu lagi sibuk banget belakangan ini.”Namun, senyum itu tidak bisa menutupi luka di hatinya. Ia m
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya di rumah Arka dan Alea. Meski lampu-lampu menyala, suasana di ruang tamu terasa kelam.Alea duduk di sofa, menatap scarf biru di tangannya. Air matanya telah kering, tetapi hatinya masih basah oleh luka yang baru saja tercipta.“Alea...” suara Arka memecah keheningan. Ia berdiri tak jauh dari istrinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.Tatapannya bimbang, seperti orang yang tahu ia salah, tapi terlalu keras kepala untuk mengakui sepenuhnya.“Kenapa kamu harus bicara seolah aku yang salah?” tanya Alea pelan, tanpa menoleh ke arahnya. Suaranya tidak marah, hanya lelah.“Aku nggak bilang kamu salah.”Alea mendongak, matanya bertemu dengan mata Arka yang masih menyimpan sisa-sisa kecurigaan. “Tapi kamu berpikir aku menyembunyikan sesuatu kan? Itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Padahal aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim scarf ini.”Arka menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Alea, tetapi tidak cukup
Di balik pintu kamar, Alea duduk di tepi ranjang, air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencintai Arka, tetapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap suaminya perlahan menggerogoti hatinya. “Kenapa kamu nggak bisa percaya aku, Mas?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada udara. Ia menghapus air matanya, tetapi luka itu tetap ada. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Dan ia tidak yakin apakah masih ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya. --- Arka berdiri di depan cermin kamar, melepaskan dasi dengan gerakan cepat tapi gelisah. Alea masih diam di kamar mereka, dan keheningan itu terasa lebih memekakkan daripada suara pertengkaran mereka tadi. Ia menatap pantulan dirinya, napasnya berat. Ia tahu, meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk memikirkan solusi. Ia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tatapan penuh luka Alea. Tanpa berkata apa-apa
Ketika Dina membisikkan namanya lagi, "Arka…" suaranya serak namun penuh kendali, sesuatu dalam diri Arka retak. Napasnya memburu, nyaris tersengal.Suhu udara di kamar apartemen itu seolah meningkat drastis, meski hanya ada mereka berdua. Matanya bertemu dengan tatapan Dina yang tajam, menguasai, seolah tak memberinya ruang untuk mundur.Dina menyentuh pipinya dengan ujung jari, lalu menelusuri rahangnya, memaksa wajah Arka untuk tetap menatapnya. "Jangan berpura-pura lagi," bisiknya, kali ini lebih dalam, nyaris seperti perintah.Arka menggeram pelan, bingung antara keinginan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Tapi saat Dina mendekat, menyamarkan jarak di antara mereka, semua logika tersingkir.Ciumannya mendarat di leher Dina, penuh dorongan, seolah menyalurkan semua kekacauan batin yang selama ini ia pendam.Tangan Dina melingkar di lehernya, kuku-kukunya menggali sedikit ke kulit Arka, menariknya lebih dekat. Ia memimpin dengan gerakan yang penuh kepastian, mengendalikan s
Pagi hampir menjelang, waktu menunjukan pukul 4 dini hari. Arka terbaring di sofa apartemen Dina, napasnya berat setelah apa yang baru saja terjadi.Dina masih terkulai di sampingnya, tubuhnya yang terbungkus piyama merah satin itu tampak terbaring dengan puas. Namun, di dalam benaknya, sesuatu yang lebih gelap dan berat mulai tumbuh.Ketika Arka melirik ke samping, matanya tertumpu pada sebuah benda yang tak seharusnya ada di sana. Sebuah liontin perak kecil yang ia beli untuk Alea.Ia mengenali liontin itu dengan jelas, perhiasan itu baru saja ia beli di toko perhiasan. Sebuah hadiah kecil untuk istrinya.Rasa terkejut yang menyusup ke dalam dirinya segera berganti dengan perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.Dengan hati-hati, Arka bangkit dari sofa, menghindari gerakan yang dapat membangunkan Dina. Ia mendekati meja kecil tempat liontin itu terletak dan memegangnya dengan tangan yang gemetar.Ini bukan hanya soal perhiasan. Ini soal semuanya. Tentang kebohongan yang tak pern
Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o
Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah
Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”
Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru
Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p
Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega
Beberapa saat kemudian, Nyonya Mirna ibunya Arka tiba. Nyonya Mirna datang dengan wajah ramah, membawa makanan ringan dan beberapa barang kebutuhan Alea. Segera, ia duduk di samping tempat tidur Alea dan menyentuh tangan putrinya dengan lembut. “Alea, nak, kamu sudah lebih baik? Bagaimana perasaanmu?” Alea tersenyum lemah. "Lebih baik, Bu. Hanya butuh waktu untuk pulih." Ia mengangkat pandangannya ke arah ibu Arka. "Arka pasti cemas, ya?" Nyonya Mirna mengangguk dengan penuh perhatian. "Dia pasti sangat khawatir. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Alea. Arka sudah menghubungi ibu untuk menjaga kamu hari ini. Dia akan kembali lebih cepat setelah pekerjaan selesai. Maaf kalau ibu jarang datang berkunjung, ya." Alea mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega dengan kehadiran ibu Arka. "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok, rumah ibu kan jauh. Terima kasih ya, Bu, sudah menyempatkan datang dan menjaga aku di sini. Kadang aku khawatir, Bu. Tapi aku tahu aku harus kuat, untuk keluarga k
Arka merasa hatinya terombang-ambing ketika ia meninggalkan rumah sakit pagi itu. Setelah memastikan Alea tertidur dan dalam keadaan stabil, ia harus kembali bekerja. Meskipun perasaannya enggan, Arka tahu, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dalam waktu yang lama. Namun, ia berjanji akan segera kembali, tepat waktu. Ia mengirim pesan singkat kepada ibunya untuk memberitahukan bahwa ia akan menggantikan posisinya menjaga Alea di rumah sakit sore nanti. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Arka juga memberi tahu ibunya bahwa ia perlu datang untuk menemani Alea, karena kondisi Alea yang masih lemah dan membutuhkan perhatian penuh. Ibu Arka segera menyanggupi untuk datang ke rumah sakit dan menjaganya. Walaupun jarak rumah dan rumah sakit lumayan jauh. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Arka akhirnya melangkah keluar menuju mobilnya. --- Di ruang perawatan rumah sakit, Alea terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lelah setelah istirahat semalaman. Ruangan rumah
Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai