Home / Rumah Tangga / Ranjang yang Bukan Milikku / Bab 9: Pertemuan Tak Terduga

Share

Bab 9: Pertemuan Tak Terduga

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-11-27 22:57:20

Di lorong supermarket yang lengang, Alea mendorong troli dengan langkah lambat. Ia memilih bahan makanan satu per satu, mengisi troli tanpa benar-benar memikirkan apa yang ia butuhkan. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tentang rumah yang semakin dingin, tentang Arka yang kian menjauh, dan tentang dirinya yang mulai kehilangan arah.

Namun, suara yang familiar memecah lamunannya.

“Alea? Kamu belanja sendirian?”

Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat.

“Randy? Kebetulan banget,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.

Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar—hal yang sudah lama tidak ia rasakan.

“Kamu kerja di mana sekarang, Ran?” tanya Alea, mencoba mengalihkan pikirannya.

“Aku kerja di luar kota. Lagi cuti aja sekarang,” jawab Randy sambil tersenyum. “Kadang kita butuh istirahat, buat ngingetin diri sendiri siapa kita sebenarnya.”

Alea mengangguk pelan, matanya menatap troli yang mulai penuh. “Iya ... kadang aku merasa seperti itu juga. Semua terasa begitu monoton. Aku lupa apa yang sebenarnya aku inginkan.”

Randy menoleh, tatapannya penuh perhatian. “Alea, kadang kita terlalu sibuk jadi orang lain. Jadi istri, jadi ibu, sampai kita lupa jadi diri kita sendiri. Kamu berhak bahagia, Al. Jangan pernah lupa itu.”

Kata-kata Randy menghantam hati Alea seperti gelombang besar. Ada sesuatu dalam cara Randy berbicara yang membuatnya merasa dilihat, diakui. Namun, ia mencoba menepis perasaan itu. “Bener sih, Ran,” katanya pelan, hampir seperti gumaman.

Mereka melanjutkan percakapan sambil memilih bahan makanan. Ketika mereka mencapai kasir, Randy menawarkan tumpangan, tetapi Alea menggeleng pelan sambil tersenyum.

“Terima kasih, Randy, tapi aku bawa mobil sendiri,” jawabnya sambil menunjukkan kunci mobil di tangannya.

Randy mengangguk. “Baiklah, tapi hati-hati di jalan ya.”

Setelah selesai membayar, Alea berjalan ke arah parkiran dengan troli penuh belanjaan. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil dengan cepat. Namun, ketika ia masuk ke dalam mobil dan mencoba menyalakan mesin, mobil itu hanya mengeluarkan bunyi tersendat. Alea mencoba lagi, tetapi hasilnya tetap sama.

“Ya Tuhan, apa lagi sekarang?” gumamnya sambil menekan dahinya dengan tangan.

Alea mencoba menghubungi bengkel, tetapi teknisi mengatakan akan memakan waktu beberapa jam untuk sampai. Waktu terus berjalan, dan Alea mulai merasa panik. Ia melihat jam di ponselnya—sudah hampir waktunya menjemput Raka di sekolah.

“Ya Tuhan, aku nggak mungkin sempat,” gumamnya dengan cemas. Ia mencoba menelpon guru Raka, tetapi ponselnya tiba-tiba mati. Baterainya habis.

Alea duduk di kursi mobil, menggigit bibirnya dengan cemas. Ia merasa seperti di tengah pusaran badai tanpa jalan keluar. Ia tidak punya pilihan lain selain menunggu teknisi datang.

Sementara itu, di sekolah, Raka menunggu di gerbang, matanya terus mencari-cari mobil ibunya. Waktu berlalu, dan anak-anak lain sudah pulang satu per satu. Guru Raka, yang mulai khawatir, mencoba menghubungi Alea. Namun, panggilan itu tidak tersambung.

Akhirnya, guru itu menghubungi kontak darurat yang tercatat di formulir pendaftaran—Arka.

Di kantor, Arka baru saja selesai rapat ketika teleponnya berbunyi. Ia mengangkatnya dengan nada formal, tetapi ekspresinya berubah saat mendengar kabar bahwa Raka belum dijemput.

“Kenapa Alea nggak bisa dihubungi?” tanyanya dengan nada tajam.

Guru di seberang telepon menjelaskan bahwa ponsel Alea tidak aktif. Dengan kesal, Arka segera meninggalkan kantor, melaju kencang menuju sekolah Raka.

Ketika Arka sampai di sekolah, ia melihat Raka duduk di bangku kecil dekat gerbang. Anak itu terlihat lesu, tetapi segera berdiri saat melihat ayahnya datang.

“Ayah!” seru Raka, berlari ke arahnya.

Arka membungkuk sedikit, memeluk Raka sambil menatap gurunya.

“Terima kasih sudah menjaga Raka,” ucapnya dingin, tetapi sopan. Ia membawa Raka masuk ke mobil dan melaju pulang dengan wajah yang menunjukkan kemarahan yang ia tahan.

Ketika Alea akhirnya tiba di rumah dengan mobil yang diantar teknisi, ia mendapati Arka sudah menunggu di ruang tamu. Ekspresi pria itu dingin seperti es.

“Alea,” panggil Arka dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kamu tahu apa yang barusan terjadi?”

Alea menelan ludah, tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan membantu. “Aku minta maaf, Mas. Mobilku mogok, dan—”

“Mogok?!” potong Arka, suaranya tiba-tiba naik. “Itu alasan kamu nggak jemput anak kita? Kamu pikir itu cukup buat ngebuat aku nggak marah?”

“Mas, aku sudah coba semua cara. Aku telepon bengkel, tapi—”

“Dan kenapa ponsel kamu mati? Apa kamu tahu Raka nunggu lama di sekolah? Kamu itu nggak pernah becus jadi istri, Alea! Apalagi ibu!” bentak Arka, membuat tubuh Alea terasa membeku.

Air mata menggenang di mata Alea, tetapi ia mencoba menahannya. “Mas, aku nggak sengaja. Aku benar-benar nggak tahu mobil ini bakal mogok.”

“Selalu ada alasan, Alea,” kata Arka sinis. “Selalu ada sesuatu yang bikin kamu gagal. Apa kamu nggak capek terus-terusan bikin kesalahan?”

Alea mencoba berbicara, tetapi kata-kata itu tidak keluar. Ia hanya berdiri di sana, menunduk, sementara air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan.

“Kalau kamu nggak bisa ngurus anak kita, apa gunanya kamu di sini?” kata Arka dingin sebelum berjalan meninggalkan Alea.

Malam itu, Alea duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Di luar, bulan bersinar redup, tapi sinarnya terasa jauh. Ia menggenggam cangkir teh di tangannya, tetapi minuman itu sudah lama dingin—seperti pernikahannya.

Pikiran-pikirannya berputar, mengulang kembali kata-kata Arka yang masih terasa menyakitkan. Alea mencoba meyakinkan dirinya selama ini bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa ia bisa memperbaiki semuanya, tetapi malam ini… ia tahu, ia sudah lelah.

Air mata mulai mengalir di pipinya. Rasa sakit, rasa marah, rasa kecewa—semua bercampur menjadi satu. Ia menatap ke arah ruang makan yang kosong, tempat di mana dulu mereka pernah tertawa bersama. Kini meja itu hanya menyimpan kenangan yang terasa semakin jauh.

“Cukup,” gumam Alea pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak ingin terus bertahan dalam hubungan yang hanya memberikan luka. Cinta yang pernah ia banggakan kini hanya menjadi beban yang mengikat dirinya.

Ia tahu, untuk dirinya sendiri, untuk Raka, ia harus melepaskan.

Ketika Arka pulang malam itu, Alea sudah menunggunya di ruang tamu. Ia duduk dengan tenang, tetapi sorot matanya berbeda—tidak lagi dipenuhi oleh harapan atau permohonan. Ada ketegasan di sana, sesuatu yang membuat Arka menghentikan langkahnya.

“Ada apa?” tanya Arka, suaranya terdengar datar seperti biasa.

Alea menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadanya. “Kita perlu bicara, Mas.”

“Kalau soal kejadian kemarin, aku nggak punya waktu untuk bahas itu lagi,” kata Arka sambil berjalan menuju kamar.

“Mas,” panggil Alea, suaranya lebih tegas. “Aku serius. Ini penting.”

Arka berhenti, menatap Alea dengan tatapan tidak sabar. “Apa lagi sekarang, Alea?”

Alea berdiri, menatap langsung ke mata Arka. “Aku mau kita bercerai.”

Related chapters

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 10: Bercerai

    Kata-kata itu meluncur begitu saja, tetapi dampaknya terasa seperti badai yang menghancurkan. Wajah Arka berubah, meskipun ia mencoba menutupi keterkejutannya.“Kamu bilang apa?” tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.“Aku sudah nggak bisa lagi, Mas,” jawab Alea, suaranya gemetar tetapi tegas. “Aku sudah terlalu lelah. Aku nggak mau terus hidup seperti ini, dalam hubungan yang hanya membuat aku merasa tidak berharga.”Arka tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sinis. “Jadi, kamu pikir solusi dari semuanya adalah cerai?”“Ya,” kata Alea dengan tegas, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah mencoba bertahan. Aku sudah mencoba memperbaiki. Tapi kalau cuma aku yang berjuang, itu nggak cukup.”“Alea, kamu tahu apa yang kamu minta?” Arka melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kamu siap kehilangan semuanya?”Alea mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Kalau ‘semuanya’ berarti kehilangan rasa sakit ini, ya, aku siap.”Arka tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan dan din

    Last Updated : 2024-11-27
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 11: Rumah

    Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya. Mata sembabnya menjadi saksi bisu dari malam yang ia habiskan dalam tangis. Meski tubuhnya terasa berat, ia tahu ia harus tetap menjalani harinya seperti biasa—demi Raka.Ia mulai menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang dan telur goreng, menu yang selalu disukai Raka. Tapi saat ia membuka lemari es untuk mengambil susu, ia tersentak. Kotak susu itu kosong, hanya menyisakan tetes terakhir di bagian bawahnya. Ia menghela napas panjang. “Susu habis. Aku harus ke minimarket,” gumamnya pelan.Setelah memastikan semuanya rapi, Alea melangkah keluar rumah. Minimarket kecil di depan kompleks menjadi tujuannya. Udara pagi yang segar tak mampu mengusir kekacauan dalam pikirannya. Meski demikian, ia mencoba menata hatinya, memaksa dirinya untuk percaya bahwa semua ini akan berakhir dengan baik, entah bagaimana.Namun, saat ia kembali ke rumah, suasana terasa berbeda. Sepi. Tidak ada suara tawa kecil Raka, tidak ada langkah berat Arka di lantai r

    Last Updated : 2024-11-28
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 12: Kesempatan yang Tersisa

    Alea berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia sebut tempat tinggalnya. Tangannya menggenggam gagang pintu dengan ragu, tetapi pikirannya kembali pada suara lemah Arka di telepon malam tadi. Bayangan Raka yang sakit dan memanggilnya membuat langkah kakinya terasa lebih ringan, meski hatinya masih penuh beban.Ketika pintu terbuka, ia melihat Arka berdiri di ruang tamu, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alea menahan napas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, sorot mata Arka tampak berbeda—ada ketulusan dan penyesalan yang tergambar di sana.“Alea…” panggil Arka pelan, suaranya nyaris berbisik.“Aku mau lihat Raka dulu,” potong Alea tanpa basa-basi, melangkah melewati Arka menuju kamar anak mereka. Arka tidak mencoba menghentikannya, hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Alea yang menghilang di balik pintu.Di dalam kamar, Alea menemukan Raka terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajah kecil itu tampak pucat, tetapi ketika matanya

    Last Updated : 2024-11-29
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 13: Bayangan di Balik Hadiah

    Arka menatap Dina dalam-dalam, napasnya memburu. Dalam kebisuannya, ia tenggelam dalam dorongan liar yang terus menguasainya. Ia menunduk lagi, mencium Dina dengan lebih liar, intensitas yang mengikis logika yang masih tersisa.Tangan kanannya menyusuri paha Dina yang terlihat jelas dari rok pensilnya yang sedikit terangkat. Dina merespons, mengangkat satu kakinya, menyandarkannya ke meja, membuka ruang yang lebih besar bagi Arka.Namun, ketika tangan Arka bergerak menuju kancing blus Dina, suara ketukan tiba-tiba terdengar dari pintu.Tok, tok, tok.Keduanya membeku. Arka langsung menarik diri dengan gerakan cepat, napasnya masih berat. Dina melirik pintu dengan ekspresi terganggu, tetapi senyumnya tetap penuh godaan.“Siapa?” tanya Arka dengan nada tajam, berusaha menyembunyikan rasa frustrasinya.Dari luar, terdengar suara Dedi, teman satu tim Arka. “Pak Arka, saya Dedi. Ada dokumen penting yang harus Anda tandatangani sekarang.”Arka mendengus kesal, menekan jembatan hidungnya deng

    Last Updated : 2024-11-30
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 14: Retakan di Tengah Kebisuan

    Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya di rumah Arka dan Alea. Meski lampu-lampu menyala, suasana di ruang tamu terasa kelam.Alea duduk di sofa, menatap scarf biru yang baru ia terima. Air matanya telah kering, tetapi hatinya masih basah oleh luka yang baru saja tercipta.“Alea ...” suara Arka memecah keheningan. Ia berdiri tak jauh dari istrinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.Tatapannya bimbang, seperti orang yang tahu ia salah, tapi terlalu keras kepala untuk mengakui sepenuhnya.“Kenapa kamu harus bicara seolah aku yang salah?” tanya Alea pelan, tanpa menoleh ke arahnya. Suaranya tidak marah, hanya lelah.“Aku nggak bilang kamu salah.” Alea mendongak, matanya bertemu dengan mata Arka yang masih menyimpan sisa-sisa kecurigaan.“Tapi kamu berpikir aku menyembunyikan sesuatu kan? Itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Padahal aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim scarf ini.”Arka menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Alea, tetapi tidak

    Last Updated : 2024-12-01
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 15: Jejak yang Tertinggal

    Di balik pintu kamar, Alea duduk di tepi ranjang, air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencintai Arka, tetapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap suaminya perlahan menggerogoti hatinya.“Kenapa kamu nggak bisa percaya aku, Mas?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada udara.Ia menghapus air matanya, tetapi luka itu tetap ada. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Dan ia tidak yakin apakah masih ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya.Sementara itu, Arka berdiri di depan cermin kamar, melepaskan dasi dengan gerakan cepat tapi gelisah.Alea masih diam di kamar mereka, dan keheningan itu terasa lebih memekakkan daripada suara pertengkaran mereka tadi. Ia menatap pantulan dirinya, napasnya berat.Ia tahu, meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk memikirkan solusi.Ia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tatapan penuh luka Alea.Tanpa berkata apa-apa, ia m

    Last Updated : 2024-12-02
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 16 : Batas yang Dilanggar

    Ketika Dina membisikkan namanya lagi, "Arka…" suaranya serak namun penuh kendali, sesuatu dalam diri Arka retak. Napasnya memburu, nyaris tersengal. Suhu udara di kamar apartemen itu seolah meningkat drastis, meski hanya ada mereka berdua. Matanya bertemu dengan tatapan Dina yang tajam, menguasai, seolah tak memberinya ruang untuk mundur. Dina menyentuh pipinya dengan ujung jari, lalu menelusuri rahangnya, memaksa wajah Arka untuk tetap menatapnya. "Jangan berpura-pura lagi," bisiknya, kali ini lebih dalam, nyaris seperti perintah. Arka menggeram pelan, bingung antara keinginan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Tapi saat Dina mendekat, menyamarkan jarak di antara mereka, semua logika tersingkir. Ciumannya mendarat di leher Dina, penuh dorongan, seolah menyalurkan semua kekacauan batin yang selama ini ia pendam. Tangan Dina melingkar di lehernya, kuku-kukunya menggali sedikit ke kulit Arka, menariknya lebih dekat. Ia memimpin dengan gerakan yang penuh kepastian, mengen

    Last Updated : 2024-12-03
  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 17: Pertemuan yang Membuat Ragu

    Pagi hampir menjelang, waktu menunjukan pukul 4 dini hari. Arka terbaring di sofa apartemen Dina, napasnya berat setelah apa yang baru saja terjadi.Dina masih terkulai di sampingnya, tubuhnya yang terbungkus piyama merah satin itu tampak terbaring dengan puas. Namun, di dalam benaknya, sesuatu yang lebih gelap dan berat mulai tumbuh.Ketika Arka melirik ke samping, matanya tertumpu pada sebuah benda yang tak seharusnya ada di sana. Sebuah liontin perak kecil yang ia beli untuk Alea.Ia mengenali liontin itu dengan jelas, perhiasan itu baru saja ia beli di toko perhiasan. Sebuah hadiah kecil untuk istrinya.Rasa terkejut yang menyusup ke dalam dirinya segera berganti dengan perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.Dengan hati-hati, Arka bangkit dari sofa, menghindari gerakan yang dapat membangunkan Dina. Ia mendekati meja kecil tempat liontin itu terletak dan memegangnya dengan tangan yang gemetar.Ini bukan hanya soal perhiasan. Ini soal semuanya. Tentang kebohongan yang tak pern

    Last Updated : 2024-12-04

Latest chapter

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 137: Jejak Pengkhianatan

    Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak.“Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.”Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima.“Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?”Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 136: Langit yang Kacau

    Alea menelan ludah, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar. “Aku pergi, Ran. Aku sudah memutuskan.”“Pergi?” Nada suara Randy berubah, antara terkejut dan prihatin. “Kamu sendirian dengan Raka? Mau ke mana?”“Aku belum tahu,” jawab Alea jujur, suaranya hampir pecah. “Tapi aku harus menjauh. Aku nggak bisa lagi tinggal di rumah itu.”Di ujung telepon, Randy menghela napas panjang. “Alea, aku tahu kamu merasa ini keputusan yang benar. Tapi kamu nggak harus melewati ini sendirian. Kamu selalu punya aku.”Alea tersenyum kecil meskipun air mata mulai mengalir. “Terima kasih, Ran. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri.”“Kalau begitu, kabari aku. Setiap saat,” kata Randy dengan nada tegas namun lembut. “Jangan ragu, oke? Aku akan selalu ada.”Alea mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Aku akan kabari. Terima kasih, Ran. Aku ... aku sangat menghargai kamu.”“Alea,” suara Randy berubah menjadi lebih lembut, hampir sepert

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 135: Langkah Menuju Akhir

    Kata itu membuat Arka seperti kehilangan keseimbangan. Ia terdiam, tubuhnya hampir lemas karena shock. Air mata mengalir di wajahnya, tetapi Alea tetap berdiri tegak, meskipun hatinya seperti dipotong-potong.Arka berkata dengan suara pelan, hampir putus asa. “Alea, jangan tinggalkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku akan berubah. Aku tidak bisa hidup tanpamu … ”Alea menutup matanya sejenak, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Ketika ia membuka matanya lagi, tatapannya penuh dengan kepastian yang tidak bisa digoyahkan.“Aku mencintaimu, Arka. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi itu tidak cukup lagi. Cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki ini.”Dengan suara yang hampir berbisik, ia mengakhiri, “Aku melepaskanmu. Untuk dia, untuk anak itu, untuk Raka dan untuk diriku sendiri.”Arka hanya bisa berdiri diam, matanya penuh penyesalan dan rasa sakit yang dalam. Ia tidak bisa mengejar, karena semuanya sudah terlambat. Keheningan menyelimuti rumah itu, s

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 134: Akhir Sebuah Kepercayaan

    Kalimat itu menggema di antara mereka, membekukan waktu seperti sebuah kutukan yang mengikat mereka dalam kehampaan.Arka hanya bisa menatap Alea dengan mata yang melebar, terkejut dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapannya, Alea berdiri seperti sosok yang rapuh, tetapi sorot matanya membawa luka yang membara—luka yang tak pernah sepenuhnya disembuhkan.Wajah Arka memucat. Kata-kata Alea seperti badai yang menghantam dinding pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua pembelaan diri yang ingin ia ucapkan. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Napasnya berat, seperti tertahan oleh rasa bersalah yang menyesakkan.Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka berkata, “Apa? Itu ... itu tidak mungkin …”Alea menatapnya, air mata menetes perlahan di pipinya yang memerah karena emosi. Namun, ia tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa goyah oleh kenyataan yang menghimpitnya. “Kenapa kamu terus berbohong padaku?” tanyanya, suaranya pecah tetapi penuh ketegasan. “

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 133: Perjalanan dalam Diam

    Randy duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir mobil dengan erat. Memutuskan untuk meninggalkan mobil Alea di kafe, karena Randy takut terjadi apa-apa kalau Alea menyetir mobil sendiri. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai diselimuti gelap malam. Di kursi penumpang, Alea duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Namun, air mata yang terus mengalir di pipinya tidak bisa disembunyikan. Tangannya memeluk tas kecil di pangkuannya, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini. Randy melirik Alea sesekali, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Alea butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi setiap isakan pelan yang terdengar darinya membuat hatinya terasa semakin berat. Randy akhirnya mengambil napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan lembut. “Alea,” panggilnya pelan, suaranya penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak boleh menyimpan semuanya sendiri. Kalau kamu mau bicara, aku di sini.” Alea tidak langsung menjawab. Matanya masih tertu

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 132: Rahasia

    Alea menatap amplop yang diletakkan Dina di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Wajahnya memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang ia coba tahan sekuat tenaga. “Jadi, kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan memberitahuku begitu saja? Bahwa kamu hamil?” tanya Alea dengan suara rendah namun penuh ketegangan. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Dina menatapnya dengan sorot mata angkuh, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tampak penuh kepuasan. “Kenapa? Kamu merasa terancam?” tanyanya, nadanya sengaja dibuat ringan, hampir menghina. “Jangan khawatir, Alea. Aku sudah cukup mengenalmu. Aku tahu betul siapa kamu. Kamu akan menerima kenyataan ini, meskipun berat. Lagipula, ini sudah seharusnya terjadi. Kalau dia akhirnya memilihku, berarti kita memang ditakdirkan bersama.” Alea menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tersenyum pahit, meskipun matanya mulai berair. “Jadi, kamu data

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 131: Pertemuan yang Dinantikan

    Langit berwarna abu-abu, awan tebal menggantung rendah seolah menjadi cerminan kegelisahan hati Alea. Hari itu, ia memutuskan untuk bertemu Dina di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu jauh dari keramaian, memberi ruang untuk percakapan yang penuh ketegangan.Alea mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan memberikan kesan netral, tetapi sorot matanya penuh keteguhan. Ia memberitahu Randy tentang tempat dan waktu pertemuan tersebut, namun dengan tegas meminta pria itu untuk tidak datang."Aku harus menghadapi ini sendiri," kata Alea sebelumnya.Alea duduk di salah satu sudut ruangan, punggungnya tegak, matanya terus mengamati pintu masuk. Di tangannya, ponsel bergetar. Pesan dari Randy muncul di layar:Randy: "Kalau ada apa-apa, kabari aku. Aku nggak akan jauh."Alea menarik napas panjang, mengetik balasan singkat.Alea: "Aku baik-baik saja, Ran. Jangan khawatir."Ia tahu Randy tidak akan tinggal diam sepenuhnya. Pria itu memiliki

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 130: Panggilan yang Mengguncang

    Malam setelah kejadian makan malam hari itu, Alea duduk di ruang tamu dengan buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil yang digenggamnya berhenti bergerak, garis-garis di kertas itu setengah jadi, mencerminkan pikirannya yang penuh kekacauan. Selama sebulan terakhir, ia memilih untuk menunggu. Tidak ada konfrontasi, tidak ada tuduhan hanya keheningan yang menjadi perisai sekaligus senjatanya. Ia tahu, kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, salah satu dari mereka, entah Dina atau Arka akan buka suara. Yang ia butuhkan hanyalah kesabaran, meskipun setiap harinya terasa seperti peperangan dengan dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di meja, memecah keheningan. Nama "Nomor Tidak Dikenal" muncul di layar, membuat Alea terdiam. Ia tahu siapa itu. Ia menatap layar untuk beberapa saat, mencoba menenangkan napasnya sebelum akhirnya menggeser ikon hijau. “Halo?” Alea membuka percakapan dengan nada datar, tanpa emosi. Suara di seberang terdengar lembut, seperti

  • Ranjang yang Bukan Milikku   Bab 129: Kepulangan yang Membingungkan

    Dina melangkah keluar dari ballroom hotel dengan langkah cepat, high heels hitamnya beradu dengan lantai marmer yang dingin. Setiap langkah terasa seperti tamparan bagi dirinya sendiri, menghancurkan kepercayaan yang tadi ia bawa masuk ke ruangan itu. "Dia berani menantangku," pikir Dina sambil mengatur napasnya yang mulai memburu. Tangannya mencengkeram clutch hitamnya begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Saat pintu otomatis terbuka, udara malam yang dingin menyambutnya. Dina mendongak menatap langit yang gelap, hanya dihiasi beberapa bintang samar. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Bagaimana dia bisa terlihat begitu ... sombong?” bisiknya, matanya menatap kosong ke jalan raya yang ramai. Dina memikirkan setiap detik percakapan mereka di dalam ballroom. Senyum Alea, sorot mata yang tajam, cara bicara yang tenang namun mematikan. Semuanya seperti duri yang menusuk egonya. --- Di dalam mobilnya, Dina duduk dengan tubuh tegak, tetapi hatinya masih bergolak

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status