Di lorong supermarket yang lengang, Alea mendorong troli dengan langkah lambat. Ia memilih bahan makanan satu per satu, mengisi troli tanpa benar-benar memikirkan apa yang ia butuhkan. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tentang rumah yang semakin dingin, tentang Arka yang kian menjauh, dan tentang dirinya yang mulai kehilangan arah.
Namun, suara yang familiar memecah lamunannya.
“Alea? Kamu belanja sendirian?”
Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat.
“Randy? Kebetulan banget,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.
Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar—hal yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Kamu kerja di mana sekarang, Ran?” tanya Alea, mencoba mengalihkan pikirannya.
“Aku kerja di luar kota. Lagi cuti aja sekarang,” jawab Randy sambil tersenyum. “Kadang kita butuh istirahat, buat ngingetin diri sendiri siapa kita sebenarnya.”
Alea mengangguk pelan, matanya menatap troli yang mulai penuh. “Iya ... kadang aku merasa seperti itu juga. Semua terasa begitu monoton. Aku lupa apa yang sebenarnya aku inginkan.”
Randy menoleh, tatapannya penuh perhatian. “Alea, kadang kita terlalu sibuk jadi orang lain. Jadi istri, jadi ibu, sampai kita lupa jadi diri kita sendiri. Kamu berhak bahagia, Al. Jangan pernah lupa itu.”
Kata-kata Randy menghantam hati Alea seperti gelombang besar. Ada sesuatu dalam cara Randy berbicara yang membuatnya merasa dilihat, diakui. Namun, ia mencoba menepis perasaan itu. “Bener sih, Ran,” katanya pelan, hampir seperti gumaman.
Mereka melanjutkan percakapan sambil memilih bahan makanan. Ketika mereka mencapai kasir, Randy menawarkan tumpangan, tetapi Alea menggeleng pelan sambil tersenyum.
“Terima kasih, Randy, tapi aku bawa mobil sendiri,” jawabnya sambil menunjukkan kunci mobil di tangannya.
Randy mengangguk. “Baiklah, tapi hati-hati di jalan ya.”
Setelah selesai membayar, Alea berjalan ke arah parkiran dengan troli penuh belanjaan. Ia memasukkan barang-barangnya ke dalam bagasi mobil dengan cepat. Namun, ketika ia masuk ke dalam mobil dan mencoba menyalakan mesin, mobil itu hanya mengeluarkan bunyi tersendat. Alea mencoba lagi, tetapi hasilnya tetap sama.
“Ya Tuhan, apa lagi sekarang?” gumamnya sambil menekan dahinya dengan tangan.
Alea mencoba menghubungi bengkel, tetapi teknisi mengatakan akan memakan waktu beberapa jam untuk sampai. Waktu terus berjalan, dan Alea mulai merasa panik. Ia melihat jam di ponselnya—sudah hampir waktunya menjemput Raka di sekolah.
“Ya Tuhan, aku nggak mungkin sempat,” gumamnya dengan cemas. Ia mencoba menelpon guru Raka, tetapi ponselnya tiba-tiba mati. Baterainya habis.
Alea duduk di kursi mobil, menggigit bibirnya dengan cemas. Ia merasa seperti di tengah pusaran badai tanpa jalan keluar. Ia tidak punya pilihan lain selain menunggu teknisi datang.
Sementara itu, di sekolah, Raka menunggu di gerbang, matanya terus mencari-cari mobil ibunya. Waktu berlalu, dan anak-anak lain sudah pulang satu per satu. Guru Raka, yang mulai khawatir, mencoba menghubungi Alea. Namun, panggilan itu tidak tersambung.
Akhirnya, guru itu menghubungi kontak darurat yang tercatat di formulir pendaftaran—Arka.
Di kantor, Arka baru saja selesai rapat ketika teleponnya berbunyi. Ia mengangkatnya dengan nada formal, tetapi ekspresinya berubah saat mendengar kabar bahwa Raka belum dijemput.
“Kenapa Alea nggak bisa dihubungi?” tanyanya dengan nada tajam.
Guru di seberang telepon menjelaskan bahwa ponsel Alea tidak aktif. Dengan kesal, Arka segera meninggalkan kantor, melaju kencang menuju sekolah Raka.
Ketika Arka sampai di sekolah, ia melihat Raka duduk di bangku kecil dekat gerbang. Anak itu terlihat lesu, tetapi segera berdiri saat melihat ayahnya datang.
“Ayah!” seru Raka, berlari ke arahnya.
Arka membungkuk sedikit, memeluk Raka sambil menatap gurunya.
“Terima kasih sudah menjaga Raka,” ucapnya dingin, tetapi sopan. Ia membawa Raka masuk ke mobil dan melaju pulang dengan wajah yang menunjukkan kemarahan yang ia tahan.
Ketika Alea akhirnya tiba di rumah dengan mobil yang diantar teknisi, ia mendapati Arka sudah menunggu di ruang tamu. Ekspresi pria itu dingin seperti es.
“Alea,” panggil Arka dengan nada rendah, tetapi penuh ancaman. “Kamu tahu apa yang barusan terjadi?”
Alea menelan ludah, tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan membantu. “Aku minta maaf, Mas. Mobilku mogok, dan—”
“Mogok?!” potong Arka, suaranya tiba-tiba naik. “Itu alasan kamu nggak jemput anak kita? Kamu pikir itu cukup buat ngebuat aku nggak marah?”
“Mas, aku sudah coba semua cara. Aku telepon bengkel, tapi—”
“Dan kenapa ponsel kamu mati? Apa kamu tahu Raka nunggu lama di sekolah? Kamu itu nggak pernah becus jadi istri, Alea! Apalagi ibu!” bentak Arka, membuat tubuh Alea terasa membeku.
Air mata menggenang di mata Alea, tetapi ia mencoba menahannya. “Mas, aku nggak sengaja. Aku benar-benar nggak tahu mobil ini bakal mogok.”
“Selalu ada alasan, Alea,” kata Arka sinis. “Selalu ada sesuatu yang bikin kamu gagal. Apa kamu nggak capek terus-terusan bikin kesalahan?”
Alea mencoba berbicara, tetapi kata-kata itu tidak keluar. Ia hanya berdiri di sana, menunduk, sementara air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan.
“Kalau kamu nggak bisa ngurus anak kita, apa gunanya kamu di sini?” kata Arka dingin sebelum berjalan meninggalkan Alea.
Malam itu, Alea duduk sendirian di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela. Di luar, bulan bersinar redup, tapi sinarnya terasa jauh. Ia menggenggam cangkir teh di tangannya, tetapi minuman itu sudah lama dingin—seperti pernikahannya.
Pikiran-pikirannya berputar, mengulang kembali kata-kata Arka yang masih terasa menyakitkan. Alea mencoba meyakinkan dirinya selama ini bahwa semua akan baik-baik saja, bahwa ia bisa memperbaiki semuanya, tetapi malam ini… ia tahu, ia sudah lelah.
Air mata mulai mengalir di pipinya. Rasa sakit, rasa marah, rasa kecewa—semua bercampur menjadi satu. Ia menatap ke arah ruang makan yang kosong, tempat di mana dulu mereka pernah tertawa bersama. Kini meja itu hanya menyimpan kenangan yang terasa semakin jauh.
“Cukup,” gumam Alea pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar. Ia tidak ingin terus bertahan dalam hubungan yang hanya memberikan luka. Cinta yang pernah ia banggakan kini hanya menjadi beban yang mengikat dirinya.
Ia tahu, untuk dirinya sendiri, untuk Raka, ia harus melepaskan.
Ketika Arka pulang malam itu, Alea sudah menunggunya di ruang tamu. Ia duduk dengan tenang, tetapi sorot matanya berbeda—tidak lagi dipenuhi oleh harapan atau permohonan. Ada ketegasan di sana, sesuatu yang membuat Arka menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” tanya Arka, suaranya terdengar datar seperti biasa.
Alea menarik napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadanya. “Kita perlu bicara, Mas.”
“Kalau soal kejadian kemarin, aku nggak punya waktu untuk bahas itu lagi,” kata Arka sambil berjalan menuju kamar.
“Mas,” panggil Alea, suaranya lebih tegas. “Aku serius. Ini penting.”
Arka berhenti, menatap Alea dengan tatapan tidak sabar. “Apa lagi sekarang, Alea?”
Alea berdiri, menatap langsung ke mata Arka. “Aku mau kita bercerai.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tetapi dampaknya terasa seperti badai yang menghancurkan. Wajah Arka berubah, meskipun ia mencoba menutupi keterkejutannya.“Kamu bilang apa?” tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.“Aku sudah nggak bisa lagi, Mas,” jawab Alea, suaranya gemetar tetapi tegas. “Aku sudah terlalu lelah. Aku nggak mau terus hidup seperti ini, dalam hubungan yang hanya membuat aku merasa tidak berharga.”Arka tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sinis. “Jadi, kamu pikir solusi dari semuanya adalah cerai?”“Ya,” kata Alea dengan tegas, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah mencoba bertahan. Aku sudah mencoba memperbaiki. Tapi kalau cuma aku yang berjuang, itu nggak cukup.”“Alea, kamu tahu apa yang kamu minta?” Arka melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kamu siap kehilangan semuanya?”Alea mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Kalau ‘semuanya’ berarti kehilangan rasa sakit ini, ya, aku siap.”Arka tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan dan din
Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya. Mata sembabnya menjadi saksi bisu dari malam yang ia habiskan dalam tangis. Meski tubuhnya terasa berat, ia tahu ia harus tetap menjalani harinya seperti biasa—demi Raka.Ia mulai menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang dan telur goreng, menu yang selalu disukai Raka. Tapi saat ia membuka lemari es untuk mengambil susu, ia tersentak. Kotak susu itu kosong, hanya menyisakan tetes terakhir di bagian bawahnya. Ia menghela napas panjang. “Susu habis. Aku harus ke minimarket,” gumamnya pelan.Setelah memastikan semuanya rapi, Alea melangkah keluar rumah. Minimarket kecil di depan kompleks menjadi tujuannya. Udara pagi yang segar tak mampu mengusir kekacauan dalam pikirannya. Meski demikian, ia mencoba menata hatinya, memaksa dirinya untuk percaya bahwa semua ini akan berakhir dengan baik, entah bagaimana.Namun, saat ia kembali ke rumah, suasana terasa berbeda. Sepi. Tidak ada suara tawa kecil Raka, tidak ada langkah berat Arka di lantai r
Alea berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia sebut tempat tinggalnya. Tangannya menggenggam gagang pintu dengan ragu, tetapi pikirannya kembali pada suara lemah Arka di telepon malam tadi. Bayangan Raka yang sakit dan memanggilnya membuat langkah kakinya terasa lebih ringan, meski hatinya masih penuh beban.Ketika pintu terbuka, ia melihat Arka berdiri di ruang tamu, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alea menahan napas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, sorot mata Arka tampak berbeda—ada ketulusan dan penyesalan yang tergambar di sana.“Alea…” panggil Arka pelan, suaranya nyaris berbisik.“Aku mau lihat Raka dulu,” potong Alea tanpa basa-basi, melangkah melewati Arka menuju kamar anak mereka. Arka tidak mencoba menghentikannya, hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Alea yang menghilang di balik pintu.Di dalam kamar, Alea menemukan Raka terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajah kecil itu tampak pucat, tetapi ketika matanya
Arka menatap Dina dalam-dalam, napasnya memburu. Dalam kebisuannya, ia tenggelam dalam dorongan liar yang terus menguasainya. Ia menunduk lagi, mencium Dina dengan lebih liar, intensitas yang mengikis logika yang masih tersisa.Tangan kanannya menyusuri paha Dina yang terlihat jelas dari rok pensilnya yang sedikit terangkat. Dina merespons, mengangkat satu kakinya, menyandarkannya ke meja, membuka ruang yang lebih besar bagi Arka.Namun, ketika tangan Arka bergerak menuju kancing blus Dina, suara ketukan tiba-tiba terdengar dari pintu.Tok, tok, tok.Keduanya membeku. Arka langsung menarik diri dengan gerakan cepat, napasnya masih berat. Dina melirik pintu dengan ekspresi terganggu, tetapi senyumnya tetap penuh godaan.“Siapa?” tanya Arka dengan nada tajam, berusaha menyembunyikan rasa frustrasinya.Dari luar, terdengar suara Dedi, teman satu tim Arka. “Pak Arka, saya Dedi. Ada dokumen penting yang harus Anda tandatangani sekarang.”Arka mendengus kesal, menekan jembatan hidungnya deng
Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya di rumah Arka dan Alea. Meski lampu-lampu menyala, suasana di ruang tamu terasa kelam.Alea duduk di sofa, menatap scarf biru yang baru ia terima. Air matanya telah kering, tetapi hatinya masih basah oleh luka yang baru saja tercipta.“Alea ...” suara Arka memecah keheningan. Ia berdiri tak jauh dari istrinya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.Tatapannya bimbang, seperti orang yang tahu ia salah, tapi terlalu keras kepala untuk mengakui sepenuhnya.“Kenapa kamu harus bicara seolah aku yang salah?” tanya Alea pelan, tanpa menoleh ke arahnya. Suaranya tidak marah, hanya lelah.“Aku nggak bilang kamu salah.” Alea mendongak, matanya bertemu dengan mata Arka yang masih menyimpan sisa-sisa kecurigaan.“Tapi kamu berpikir aku menyembunyikan sesuatu kan? Itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Padahal aku bahkan nggak tahu siapa yang mengirim scarf ini.”Arka menghela napas panjang. Ia melangkah mendekat, duduk di sebelah Alea, tetapi tidak
Di balik pintu kamar, Alea duduk di tepi ranjang, air matanya mengalir tanpa henti. Ia mencintai Arka, tetapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh sikap suaminya perlahan menggerogoti hatinya.“Kenapa kamu nggak bisa percaya aku, Mas?” gumamnya pelan, seolah berbicara kepada udara.Ia menghapus air matanya, tetapi luka itu tetap ada. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di ujung tanduk. Dan ia tidak yakin apakah masih ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkannya.Sementara itu, Arka berdiri di depan cermin kamar, melepaskan dasi dengan gerakan cepat tapi gelisah.Alea masih diam di kamar mereka, dan keheningan itu terasa lebih memekakkan daripada suara pertengkaran mereka tadi. Ia menatap pantulan dirinya, napasnya berat.Ia tahu, meninggalkan rumah dalam situasi seperti ini hanya akan memperburuk keadaan. Tapi pikirannya sudah terlalu kusut untuk memikirkan solusi.Ia butuh ruang untuk bernapas, jauh dari tatapan penuh luka Alea.Tanpa berkata apa-apa, ia m
Ketika Dina membisikkan namanya lagi, "Arka…" suaranya serak namun penuh kendali, sesuatu dalam diri Arka retak. Napasnya memburu, nyaris tersengal. Suhu udara di kamar apartemen itu seolah meningkat drastis, meski hanya ada mereka berdua. Matanya bertemu dengan tatapan Dina yang tajam, menguasai, seolah tak memberinya ruang untuk mundur. Dina menyentuh pipinya dengan ujung jari, lalu menelusuri rahangnya, memaksa wajah Arka untuk tetap menatapnya. "Jangan berpura-pura lagi," bisiknya, kali ini lebih dalam, nyaris seperti perintah. Arka menggeram pelan, bingung antara keinginan dan perasaan bersalah yang menghantuinya. Tapi saat Dina mendekat, menyamarkan jarak di antara mereka, semua logika tersingkir. Ciumannya mendarat di leher Dina, penuh dorongan, seolah menyalurkan semua kekacauan batin yang selama ini ia pendam. Tangan Dina melingkar di lehernya, kuku-kukunya menggali sedikit ke kulit Arka, menariknya lebih dekat. Ia memimpin dengan gerakan yang penuh kepastian, mengen
Pagi hampir menjelang, waktu menunjukan pukul 4 dini hari. Arka terbaring di sofa apartemen Dina, napasnya berat setelah apa yang baru saja terjadi.Dina masih terkulai di sampingnya, tubuhnya yang terbungkus piyama merah satin itu tampak terbaring dengan puas. Namun, di dalam benaknya, sesuatu yang lebih gelap dan berat mulai tumbuh.Ketika Arka melirik ke samping, matanya tertumpu pada sebuah benda yang tak seharusnya ada di sana. Sebuah liontin perak kecil yang ia beli untuk Alea.Ia mengenali liontin itu dengan jelas, perhiasan itu baru saja ia beli di toko perhiasan. Sebuah hadiah kecil untuk istrinya.Rasa terkejut yang menyusup ke dalam dirinya segera berganti dengan perasaan tidak nyaman yang sulit dijelaskan.Dengan hati-hati, Arka bangkit dari sofa, menghindari gerakan yang dapat membangunkan Dina. Ia mendekati meja kecil tempat liontin itu terletak dan memegangnya dengan tangan yang gemetar.Ini bukan hanya soal perhiasan. Ini soal semuanya. Tentang kebohongan yang tak pern
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam