Alea berdiri di ruang tamu, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan untuk menopang. Air mata terus mengalir di pipinya, tidak peduli seberapa keras ia mencoba menghentikannya. Suara pintu kamar yang terbuka kembali membuatnya tersentak. Dengan mata yang buram oleh tangis, ia melihat Arka keluar, membawa tas besar di tangan dan beberapa pakaian tergantung di lengannya.
Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan melewatinya seperti orang asing. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan—hanya keheningan yang terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata kasar.
Langkah Arka berat, tetapi tidak ragu, seperti seseorang yang telah memutuskan untuk meninggalkan sesuatu yang tidak lagi berharga baginya.
“Mas,” suara Alea pecah, bergetar seperti daun di tengah badai. “Kamu mau ke mana?”
Nada suaranya memohon, penuh dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia tahu, pertanyaannya mungkin terdengar sia-sia, tetapi ia tidak bisa menahan diri. Ia butuh jawaban, bahkan jika jawaban itu akan menghancurkannya lebih dalam.
Arka berhenti sejenak di depan pintu, tetapi tidak menoleh. “Itu bukan urusan kamu, Alea,” katanya dengan nada yang begitu dingin, begitu asing.
Alea terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti palu yang memecahkan sisa hatinya yang sudah retak. Ia berdiri mematung, menyaksikan punggung Arka yang perlahan menjauh, melangkah keluar pintu tanpa sedikit pun keraguan.
“Mas … tunggu …” bisik Alea, hampir tidak terdengar, tetapi Arka tidak peduli. Ia bahkan tidak melirik ke belakang. Pintu tertutup dengan suara keras, seolah menegaskan batas yang tidak akan pernah lagi Alea lewati.
Kakinya bergetar, lututnya melemas hingga tubuhnya hampir jatuh. Ia meraih pinggiran sofa untuk menopang diri, tetapi rasa sakit di dadanya tidak tertahankan.
Rumah yang biasanya menjadi tempatnya merasa aman kini berubah menjadi penjara kosong, setiap sudutnya terasa dingin dan penuh bayangan kenangan yang menusuk.
Dalam hatinya, ia berteriak, "Apa aku begitu tidak berarti lagi? Apa semua ini tidak cukup baginya? Kenapa dia pergi tanpa memberi kesempatan untuk aku memperbaiki semuanya?"
Tetapi tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang terasa begitu memekakkan.
Alea meraih pegangan pintu, mencoba membukanya, tetapi tangannya bergetar hebat. Nafasnya tersengal, seolah udara di sekitarnya telah hilang.
Alea ingin mengejar Arka, ingin menahan langkahnya, tetapi ia tahu—tidak ada yang bisa ia lakukan. Pria itu sudah membuat pilihan, dan pilihan itu bukan dia.
Ia berdiri di sana, di depan pintu yang baru saja tertutup. Rumah yang tadi penuh dengan rasa sakit kini berubah menjadi kuburan bagi kenangan yang pernah membuatnya bahagia. Suara Raka tertidur di kamar menjadi satu-satunya pengingat bahwa ia tidak bisa menyerah, meskipun hatinya hancur.
“Kalau aku tahu cinta akan menghancurkan aku seperti ini, aku tidak akan pernah jatuh sedalam ini,” pikirnya, sementara air mata terus mengalir, tanpa akhir.
Pagi itu, Alea memutuskan untuk mencari jawaban. Alea tahu ia harus melawan rasa takutnya, meskipun hati kecilnya terus berbisik agar ia mundur. Dengan langkah berat, ia tiba di kantor Arka, mencoba terlihat tegar meskipun hatinya hancur berkeping-keping.
Resepsionis yang mengenalnya menyambutnya dengan senyuman kaku. “Pak Arka sedang di ruang rapat, Bu,” katanya dengan nada sopan namun terasa canggung.
Alea mengangguk, tetapi alih-alih langsung menuju ruang rapat, langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara tawa dari salah satu ruangan kecil di koridor. Tawa itu terlalu akrab, terlalu menyakitkan.
Dengan langkah perlahan, ia mendekati pintu kaca buram itu. Suara Arka terdengar jelas dari dalam.
“Kamu cantik hari ini,” ujar Arka dengan nada lembut yang sudah lama tidak Alea dengar.
Lalu terdengar suara wanita yang menjawab dengan nada manja, “Kalau aku cantik, itu karena kamu yang bikin aku tersenyum hari ini.”
Tubuh Alea membeku. Jari-jarinya yang bergetar mencoba meraih gagang pintu, tetapi ia terlalu takut untuk membuka. Ia mengintip dari celah pintu kaca, dan pemandangan di dalam membuat hatinya terasa seperti dihancurkan berkali-kali.
Arka duduk di sofa, wanita itu di sampingnya—wanita yang sama dengan yang Alea lihat kemarin pagi, meskipun wajahnya tak terlihat jelas. Tapi Alea tahu.
Rambut panjangnya yang terurai sempurna, blus hitam elegan yang membalut tubuhnya, semuanya terlalu mudah diingat.
Wanita itu tertawa kecil, suaranya lembut tapi menusuk, seperti mengukir luka baru di hati Alea.
Wanita itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke Arka, tangannya menyentuh lengan Arka dengan cara yang seolah menyatakan kedekatan yang tak perlu dijelaskan lagi. Dan Arka … pria yang dulu menjadi dunianya, tersenyum. Senyuman itu. Senyuman yang dulu hanya menjadi milik Alea, kini dengan mudah diberikan kepada orang lain tanpa ragu.
Alea berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku seperti dihantam badai. Pandangannya terpaku pada pemandangan itu, dada terasa sesak seolah udara di sekitarnya menghilang.
Tangannya bergetar, menahan dorongan untuk melangkah masuk dan bertanya. Tetapi kakinya seperti tertanam di lantai. Napasnya tersengal saat hatinya berbisik, “Kenapa? Kenapa senyuman itu bukan lagi untukku?”
Alea mundur beberapa langkah, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya terasa seperti beban berat yang sulit digerakkan. Ia ingin masuk, ingin meminta penjelasan dari pria yang dulu berjanji untuk selalu menjaganya. Tapi kakinya terpaku di tempat, seolah ketakutan pada kenyataan yang mungkin akan ia dengar.
Namun, sebelum ia sempat menjauh, pintu ruangan terbuka. Arka keluar dengan langkah mantap, tetapi wajahnya berubah seketika saat melihat Alea berdiri di sana. Ekspresi terkejutnya hanya bertahan sedetik, digantikan dengan raut dingin yang sudah terlalu sering Alea lihat akhir-akhir ini.
‘Jadi, memang ada wanita lain yang membuatmu berubah, ya?’
“Alea?” panggil Arka, nada suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Suara itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan, seperti pisau yang mengiris keheningan di koridor kantor. “Ngapain kamu di sini?”Nada itu tidak ramah, bahkan cenderung menegur, seolah kehadiran Alea adalah sebuah gangguan yang tidak diinginkan.Alea mencoba mengumpulkan kekuatan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku mau bicara sama kamu, Mas,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar. Matanya mencoba mencari sesuatu di balik tubuh Arka, berharap bisa melihat wanita yang tadi bersamanya.Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, Arka bergerak cepat, tubuhnya dengan sengaja menghalangi pandangan Alea.“Di luar aja,” katanya tegas, wajahnya tanpa ekspresi. “Jangan bikin ribut di kantor.”Alea terdiam, tetapi ia tahu ini bukan saatnya mundur. Dengan langkah lamban, ia mengikuti Arka keluar gedung. Angin dingin menyambut mereka di parkiran yang sepi, menciptakan suasana yang lebih mencekam.Arka berhenti di sudut yang ja
Alea menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari grup alumni SMA.“Reuni akbar! Jangan sampai nggak datang, ya. Kangen kalian semua!”Kata-kata itu sederhana, namun menggema dalam pikirannya. Pesan itu seperti pintu menuju masa lalu, masa di mana dirinya masih penuh tawa dan mimpi. Jauh sebelum semua ini, sebelum ia tenggelam dalam pernikahan yang hanya menyisakan luka.Ia duduk di sofa, menggenggam ponselnya erat. Pikiran-pikirannya berputar, menciptakan dialog dalam kepalanya. “Apa aku akan terlihat lemah? Apa mereka akan melihat semua retakan dalam hidupku?”Hatinya memanas dengan rasa takut, tetapi juga rindu. Reuni ini mungkin menjadi pelarian kecil, pikirnya, atau mungkin hanya pengingat betapa ia telah berubah—betapa dunianya kini jauh dari bahagia.Ponselnya kembali bergetar, pesan dari Cinta masuk. “Al, aku udah bilang ya, kamu nggak boleh nolak! Kamu harus datang. Nanti kita ketemu disana, oke?” Kalimat itu terdengar seperti tuntutan lembut yang membuat Alea tersenyum
Langkah Randy mendekat perlahan, setiap langkahnya seolah menggema dalam kepala Alea. Ia ingin berpaling, menghindar dari tatapan itu, tetapi tubuhnya seperti membeku. Rasa cemas, gugup, dan emosi lain yang tak bisa ia pahami bercampur menjadi satu.Cinta, yang masih berdiri di sampingnya, tampak bingung melihat perubahan ekspresi Alea. “Alea, itu Randy ‘kan?” tanya Cinta dengan suara pelan, tetapi tidak mendapatkan jawaban.Ketika Randy akhirnya berhenti di depan mereka, Alea menahan napas. Mata coklat pria itu menatap langsung ke dalam matanya, seolah mencari sesuatu yang hilang.“Alea,” panggil Randy, suaranya lembut, sedikit ragu. Senyuman kecil masih menghiasi wajahnya, tetapi ada keraguan yang tersirat di balik tatapannya. “Lama nggak ketemu.”Hati Alea terasa seperti diremas. Suara itu, meskipun sederhana, membawa ia kembali ke masa lalu. Ke masa di mana Randy adalah pusat dunianya. Dengan susah payah, ia mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Iya, lama nggak ketemu.”Randy me
Alea berdiri di depan pintu rumah, tubuhnya gemetar saat ia mencoba mencari kunci di dalam tas kecilnya. Malam itu begitu sunyi, hanya suara serangga malam yang terdengar samar. Dari kejauhan, lampu mobil Randy masih menyala, memberikan penerangan lembut di depan rumah.Randy duduk di balik kemudi, matanya tidak lepas dari Alea. Ia memastikan perempuan itu benar-benar masuk ke rumah dengan aman. Saat pintu rumah terbuka, Alea menoleh, mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih. Randy membalas dengan senyuman tipis sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi.Namun, hanya beberapa detik setelah Randy berlalu, suara mobil lain mendekat dengan kecepatan yang terasa mengintimidasi. Alea menoleh, dan dadanya langsung terasa berat saat melihat mobil Arka berhenti tepat di depan rumah.Arka keluar dengan langkah cepat, membawa tas kerja di satu tangan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya … tatapan itu bukan sekadar lelah. Ada sesuatu yang mengintai di sana—amarah, kecurigaan, atau
Di lorong supermarket yang lengang, Alea mendorong troli dengan langkah lambat. Ia memilih bahan makanan satu per satu, mengisi troli tanpa benar-benar memikirkan apa yang ia butuhkan. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tentang rumah yang semakin dingin, tentang Arka yang kian menjauh, dan tentang dirinya yang mulai kehilangan arah.Namun, suara yang familiar memecah lamunannya.“Alea? Kamu belanja sendirian?”Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat.“Randy? Kebetulan banget,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar—hal yang sudah lama tidak ia rasakan.“Kamu kerja di mana sekarang, Ran?” tanya Al
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tetapi dampaknya terasa seperti badai yang menghancurkan. Wajah Arka berubah, meskipun ia mencoba menutupi keterkejutannya.“Kamu bilang apa?” tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.“Aku sudah nggak bisa lagi, Mas,” jawab Alea, suaranya gemetar tetapi tegas. “Aku sudah terlalu lelah. Aku nggak mau terus hidup seperti ini, dalam hubungan yang hanya membuat aku merasa tidak berharga.”Arka tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sinis. “Jadi, kamu pikir solusi dari semuanya adalah cerai?”“Ya,” kata Alea dengan tegas, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah mencoba bertahan. Aku sudah mencoba memperbaiki. Tapi kalau cuma aku yang berjuang, itu nggak cukup.”“Alea, kamu tahu apa yang kamu minta?” Arka melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kamu siap kehilangan semuanya?”Alea mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Kalau ‘semuanya’ berarti kehilangan rasa sakit ini, ya, aku siap.”Arka tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan dan din
Pagi itu, Alea bangun lebih awal dari biasanya. Mata sembabnya menjadi saksi bisu dari malam yang ia habiskan dalam tangis. Meski tubuhnya terasa berat, ia tahu ia harus tetap menjalani harinya seperti biasa—demi Raka.Ia mulai menyiapkan sarapan sederhana, roti panggang dan telur goreng, menu yang selalu disukai Raka. Tapi saat ia membuka lemari es untuk mengambil susu, ia tersentak. Kotak susu itu kosong, hanya menyisakan tetes terakhir di bagian bawahnya. Ia menghela napas panjang. “Susu habis. Aku harus ke minimarket,” gumamnya pelan.Setelah memastikan semuanya rapi, Alea melangkah keluar rumah. Minimarket kecil di depan kompleks menjadi tujuannya. Udara pagi yang segar tak mampu mengusir kekacauan dalam pikirannya. Meski demikian, ia mencoba menata hatinya, memaksa dirinya untuk percaya bahwa semua ini akan berakhir dengan baik, entah bagaimana.Namun, saat ia kembali ke rumah, suasana terasa berbeda. Sepi. Tidak ada suara tawa kecil Raka, tidak ada langkah berat Arka di lantai r
Alea berdiri di depan pintu rumah yang dulu ia sebut tempat tinggalnya. Tangannya menggenggam gagang pintu dengan ragu, tetapi pikirannya kembali pada suara lemah Arka di telepon malam tadi. Bayangan Raka yang sakit dan memanggilnya membuat langkah kakinya terasa lebih ringan, meski hatinya masih penuh beban.Ketika pintu terbuka, ia melihat Arka berdiri di ruang tamu, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Mata mereka bertemu sejenak, dan Alea menahan napas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, sorot mata Arka tampak berbeda—ada ketulusan dan penyesalan yang tergambar di sana.“Alea…” panggil Arka pelan, suaranya nyaris berbisik.“Aku mau lihat Raka dulu,” potong Alea tanpa basa-basi, melangkah melewati Arka menuju kamar anak mereka. Arka tidak mencoba menghentikannya, hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Alea yang menghilang di balik pintu.Di dalam kamar, Alea menemukan Raka terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajah kecil itu tampak pucat, tetapi ketika matanya
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam