Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya.
"Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Randy masuk. Randy: "Alea, kamu lagi apa? Apa kamu baik-baik saja kan? Setelah kita ngobrol kemarin aku jadi kefikiran kamu terus. Aku tahu ini sulit, Alea. Kalau ada yang bisa kubantu, kamu ga perlu sungkan ya buat bicara sama aku." Alea menatap pesan itu lama. Ada perasaan yang tumpang tindih dalam dirinya. Di satu sisi, ia merasa bersyukur ada seseorang yang peduli, tapi di sisi lain, rasa bersalah tak terhindarkan. Apa yang sebenarnya ia cari? Apa yang sebenarnya ia inginkan? Dalam kesunyian malam, Alea sadar bahwa ia sedang berada di persimpangan besar dalam hidupnya. Ia harus membuat keputusan, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk anaknya dan keluarganya. Bagaimanapun, ia tahu, apa pun yang ia pilih akan memiliki konsekuensi besar. Dengan perasaan yang campur aduk, Alea membalas pesan itu singkat. Alea : "Terima kasih, Randy. Aku akan baik-baik saja." Namun, di dalam hatinya, ia masih merasakan kekosongan yang belum terjawab. “Apakah selama ini aku hanya cangkang kosong?” --- Setelah mengirim pesan, Alea menghela napas panjang. Tapi napas itu tidak membawa ketenangan. Sebaliknya, ada kekosongan yang semakin menganga, seperti lubang besar yang tidak bisa ia tutup. Ia meletakkan ponsel di meja dan menunduk, memegangi dahinya. "Apa yang sebenarnya aku cari? Apa yang aku harapkan?" tanyanya pada dirinya sendiri, suara dalam hatinya seakan menjadi gema yang semakin memekakkan telinga. Langkah kaki dari arah kamar mandi membuatnya mendongak. Arka keluar, rambutnya masih basah, mengenakan piyama lusuh yang sudah mulai memudar warnanya. Ia berjalan melewatinya tanpa satu pun kata, hanya terdengar derit ringan lantai kayu setiap langkahnya. Alea hanya menatapnya, perasaan kosong menyelimuti dirinya, tak tahu lagi harus berharap pada siapa. "Apa aku hanya cangkang kosong sekarang?" gumam Alea pelan, nyaris seperti bisikan kepada dirinya sendiri, seakan-akan mencari jawaban di dalam dirinya yang semakin rapuh. Namun, seperti biasa, tidak ada jawaban. Tidak dari Arka, tidak dari keheningan di sekitarnya, bahkan tidak dari hatinya sendiri. Malam itu, ia tahu bahwa keputusan yang harus ia ambil tidak akan mudah. Apakah ia akan terus bertahan dalam rutinitas yang membelenggu ini, atau mencari jalan lain untuk menemukan dirinya kembali? --- Langit malam semakin gelap, dan hati Alea semakin penuh dengan tanya yang belum terjawab. Namun, kenangan manis itu terasa seperti cerita yang ditulis oleh orang lain sekarang. Semuanya berubah begitu cepat setelah pernikahan mereka. Tuntutan pekerjaan, tekanan hidup, dan kesibukan sehari-hari mengikis semua kehangatan yang dulu mereka miliki. Arka yang dulu selalu peduli kini lebih sering larut dalam ponselnya daripada menatap Alea. Malam itu, suasana di rumah Alea tetap hening setelah percakapan singkatnya dengan Arka. Ia duduk di sofa ruang tamu dengan pikiran melayang, tatapannya kosong menembus tembok putih di depannya. Pikiran tentang ajakan liburan yang dengan mudah ditolak Arka membuat hatinya semakin perih. “Apa benar semua ini sudah tidak ada artinya lagi?” gumamnya lirih, suara hatinya seperti terjebak di dalam labirin yang semakin gelap. Alea mendesah pelan, kembali pada realitas di depannya. Waktu telah mengubah banyak hal, termasuk mereka berdua. Apakah cinta yang mereka miliki masih cukup untuk mengembalikan segalanya? Ataukah itu hanya tinggal kenangan yang perlahan memudar, seperti kabut yang menghilang di pagi hari? --- Keheninganpun semakin menyesakkan dadanya, Alea teringat momen-momen indah yang dulu pernah menjadi dunianya bersama Arka. Kilasan masa lalu melintas di pikirannya, seolah menariknya kembali ke masa di mana cinta mereka masih menghangatkan setiap detik kehidupan. “Alea, kamu serius mau nikah sama aku?” tanya Arka saat mereka sedang duduk di taman kecil belakang rumahnya. Alea menatap pria di depannya, senyumnya merekah seperti bunga yang mekar di musim semi. “Kenapa nggak? Aku tahu kamu bukan yang paling sempurna, tapi kamu yang aku pilih,” jawabnya yakin, suaranya terdengar lembut dan penuh harapan. Arka tertawa kecil, mengacak rambut Alea dengan penuh sayang. “Kamu itu aneh. Aku nggak kaya, nggak ganteng-ganteng amat, tapi kok kamu mau?” “Karena aku lihat hati kamu, Mas,” kata Alea sambil menunjuk dadanya. “Dan aku tahu kamu akan jadi suami yang hebat. Kita berdua nggak sempurna, tapi kalau kita bareng, kita bisa saling melengkapi.” Arka terdiam, wajahnya terlihat serius. “Kalau suatu hari aku nggak bisa bahagiain kamu, kamu akan tetap bertahan?” Alea mendekat, menggenggam tangan Arka dengan erat. “Kita nggak butuh bahagia terus-terusan. Tapi aku yakin, kita bisa cari kebahagiaan itu sama-sama. Kamu percaya sama aku, kan?” Arka tersenyum, lalu menarik Alea ke dalam pelukannya. “Aku janji, aku nggak akan pernah buat kamu ngerasa sendirian.” Itu dulu, kini mengapa semuanya terasa berbeda ? Ia menatap ponsel di meja. Pesan dari Randy masih ada di layar, mengingatkan bahwa kehidupan mungkin memberinya pilihan lain. Tapi ia tahu, hatinya tidak akan membiarkannya bergerak tanpa memastikan segalanya dengan Arka terlebih dahulu. Alea ingin percaya bahwa di balik dinding dingin Arka, ada cinta yang dulu pernah ia kenal. Tapi... apakah Arka masih mengingatnya? Alea menatap bayangannya sendiri di cermin di sudut ruang tamu, berbisik pada dirinya sendiri, "Apa yang harus kulakukan agar kita bisa kembali seperti dulu?"Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara