Beranda / Rumah Tangga / Terpenjara Dalam Kesetiaan / Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga

Share

Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga

Penulis: Duvessa
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-25 15:47:25

Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka.

Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah.

Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman.

Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar.

Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai.

Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan.

Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh kebahagiaan, hatinya entah kenapa tetap terasa hampa.

Hanya ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang sulit ia ungkapkan, meskipun kehadiran teman-temannya memberikan sedikit rasa nyaman.

Di tengah keramaian itu, seorang pria berdiri di depannya, senyum lebar menghiasi wajahnya. Alea memandangi pria itu, dan butuh beberapa saat baginya untuk menyadari siapa dia.

“Randy?” tanya Alea dengan nada terkejut, hampir tak percaya.

Pria itu mengangguk, senyum hangat yang dulu pernah menjadi hal yang ia rindukan kini kembali muncul.

Randy adalah mantan pacarnya semasa SMA, seseorang yang pernah begitu dekat dengannya sebelum akhirnya takdir berkata mereka harus berpisah.

Kini, pria itu berdiri di hadapannya, dengan rambut hitam yang sedikit lebih panjang dari dulu, dan wajahnya yang tampak semakin dewasa.

Sebuah perubahan yang membuat Alea sedikit terpesona.

Randy mengenakan jas hitam dengan dasi yang pas, menambah kesan berkelas pada penampilannya. Tatapannya yang hangat membuat Alea merasa ada kenangan yang kembali hadir.

“Mantan kekasih yang tak terduga,” gumam Alea dalam hati, meskipun tidak mengucapkannya.

“Alea, sudah lama ya?” Randy menyapa, masih dengan senyum yang sama, penuh kehangatan dan familiar.

Alea tertegun sejenak, kemudian tertawa kecil. “Iya, sudah lama banget, ya. Tidak menyangka kamu ada di sini.”

Randy tersenyum lebih lebar, “Jangan-jangan kamu lari dari rumah tanggamu ya?” katanya, bercanda.

Alea terkekeh, meskipun hatinya agak tergetar. “Tentu saja tidak. Aku cuma datang untuk reuni, ketemu teman-teman lama.”

Mereka duduk bersebelahan, bercakap panjang lebar tentang kehidupan masing-masing. Setiap cerita yang mereka bagi membawa kembali kenangan masa lalu yang manis.

Mereka berbicara tentang masa SMA, tentang perjalanan hidup yang membawa mereka ke tempat yang berbeda. Namun, ada satu hal yang masih terasa dekat di hati Alea. Perasaan yang dulu pernah ada antara dia dan Randy.

“Jadi... bagaimana hidupmu sekarang?” tanya Randy, matanya tidak bisa lepas dari wajah Alea, seakan ingin mengetahui lebih dalam.

Alea tersenyum, tetapi ada sedikit kepahitan yang tersembunyi di balik senyum itu. “Baik-baik saja. Aku menikah, punya anak. Kehidupan seperti biasa, kamu tahu.” Suaranya terdengar agak datar, meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

Randy menatapnya lebih dalam, seolah bisa melihat ke dalam hati Alea. “Aku seneng kamu baik-baik aja Al. Tapi kalau kamu butuh temen cerita, kamu boleh kok cerita ke aku.”

Alea terdiam. Kata-kata Randy menyentuh hati, membuka ruang kosong yang selama ini ia coba sembunyikan.

Ada dorongan kuat untuk bercerita, untuk menceritakan bagaimana hidupnya yang tidak seindah yang terlihat.

Namun, ia ragu. Apakah ini benar? Apakah berbicara dengan Randy adalah hal yang benar?

Alea menatap meja di depannya, lalu berkata pelan, “Kami berdua sangat bahagia. Tapi… ada kalanya aku merasa seperti tidak ada yang mengerti. Hubungan kami sedang mengalami masa yang sulit.”

Randy mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya tak lepas dari Alea. “Alea, kamu bukan satu-satunya yang pernah melalui hal itu. Hubungan bisa mengalami pasang surut. Tapi itu tidak berarti kamu harus menghadapi semuanya sendirian.”

Alea terdiam. Ucapan Randy begitu mengena di hati, seolah membuka jendela baru di pikirannya. Ia merasa sangat dihargai, seakan ada seseorang yang benar-benar memahami tanpa perlu banyak kata.

---

Sementara itu, di tempat lain, Arka sedang duduk di ruang kerjanya. Sebuah kantor modern dengan dinding kaca besar yang memamerkan pemandangan kota di malam hari.

Kertas-kertas berserakan di meja, laptop menyala menampilkan laporan yang harus ia selesaikan. Arka tampak sibuk, tetapi matanya kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat lain.

“Pak Arka,” panggil suara seorang pria dari pintu.

Arka menoleh. “Iya, ada apa?”

“Ini laporan bulan lalu yang Bapak minta,” ujar karyawan tersebut sambil meletakkan berkas di atas meja.

“Terima kasih.” Arka membuka laporan itu, berusaha memusatkan perhatian. Tapi pikirannya terusik. Ia melirik jam di tangan kirinya. Sudah hampir jam sembilan malam.

Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Alea.

Alea : "Mas, sudah makan? Aku masih di tempat reuni."

Arka menatap pesan itu sejenak, tetapi tidak segera membalas. Ia hanya menaruh ponselnya kembali di meja dan melanjutkan membaca laporan.

Namun, matanya tidak benar-benar mengikuti tulisan di layar.

Pintu kantor terbuka lagi. Kali ini seorang wanita masuk, mengenakan blouse biru tua dan rok pensil hitam. Rambutnya tergerai rapi, wajahnya terlihat segar meski malam sudah larut.

“Masih sibuk?” tanyanya sambil menyandarkan tubuhnya di pintu.

Arka mendongak, sedikit terkejut. “Oh, Dina. Ada apa?”

Wanita itu berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi. “Aku pikir kamu butuh ini. Lembur lagi, ya?”

Arka mengangguk, menerima kopi itu tanpa banyak bicara. Wanita itu duduk di kursi di depannya, menatapnya dengan ekspresi penasaran.

“Kamu kelihatan capek banget,” katanya.

Arka hanya mengangguk lagi. “Biasa. Banyak yang harus dibereskan.”

Mereka terdiam sejenak. Suara jam dinding menjadi latar yang mengisi ruang kosong di antara mereka.

Wanita itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk mengurungkan niatnya.

“Kalau begitu, aku nggak ganggu lagi. Jangan lupa istirahat, ya,” katanya sambil berdiri dan berjalan keluar.

Arka menatap punggungnya yang menjauh, lalu menghela napas panjang. Pikirannya kembali melayang. Alea. Reuni.

Alea tidak tahu bahwa di tempat kerjanya, Arka juga sedang bergumul dengan pikiran yang sulit ia ungkapkan.

Di benaknya muncul pertanyaan yang selama ini ia coba hindari. Mengapa jarak antara dia dan Alea semakin lebar? Atau, mungkin jarak itu ada karena dirinya sendiri yang memilih untuk menjauh?

---

Reuni berlanjut, dan mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan percakapan. Namun, saat acara selesai, Randy menawarkan untuk mengantar Alea pulang.

Dalam perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka. Tetapi keheningan ini terasa berbeda.

Tidak seperti keheningan yang sering Alea rasakan di rumah, yang penuh dengan jarak dan ketidaknyamanan. Keheningan ini terasa seperti sebuah perasaan yang hangat

Sesampainya di depan rumah, Randy menatap Alea dengan serius. “Alea, aku tahu mungkin aku sudah lama tidak ada dalam hidupmu, tapi jika kamu butuh seseorang untuk bicara, aku di sini. Aku akan mendengarkan.”

Alea tersenyum tipis, hatinya tergerak oleh perhatian Randy. “Terima kasih, Randy. Aku benar-benar menghargainya.”

Di dalam rumah, Alea merasa seperti ada beban yang sedikit terlepas setelah berbicara dengan Randy. Namun, ada juga rasa bersalah yang menggerogoti.

Ia merasa seolah-olah berbagi perasaan pada Randy adalah pengkhianatan kecil terhadap pernikahannya dengan Arka.

Tetapi di sisi lain, ia merasa ada sisi dirinya yang terlupakan, dan Randy hadir untuk mengingatkan bahwa ia berhak merasakan kebahagiaan itu.

---

Malam itu, saat ia bersiap tidur, Alea merenung dalam diam. Ia mencoba menenangkan pikirannya, namun ada pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. “Apakah aku bisa terus bertahan seperti ini? Ataukah aku harus mencari kebahagiaanku sendiri?”

Saat itu, suara langkah kaki Arka terdengar mendekat. Alea menatap pintu dengan perasaan yang campur aduk. Akankah malam ini membawa kehangatan kembali, atau hanya kebekuan yang semakin nyata?

Bab terkait

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 4: Mencari Arti yang Hilang

    Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 5: Pecahan yang Belum Tersusun

    Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-25
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 6 : Yang Tertinggal

    Pagi itu, Arka merasa lebih lelah dari biasanya. Meskipun semalam mereka sudah berbicara dengan cukup terbuka, hatinya tetap terasa berat.Percakapan itu memberikan secercah harapan, tapi juga menambah keraguan yang sulit diungkapkan. Arka merasa bingung, apakah dia benar-benar bisa memperbaiki semuanya dengan Alea, atau apakah kata-kata itu hanya sekedar pelipur lara sementara.Setelah sarapan, Arka berangkat ke kantor. Sepanjang perjalanan, pikirannya terus berputar. Ada banyak hal yang masih belum terselesaikan, banyak pertanyaan yang belum terjawab.Apakah dia bisa kembali membuka hatinya untuk Alea? Apakah mereka bisa menemukan kembali kebahagiaan yang dulu mereka miliki, atau perasaan itu sudah terlalu jauh menghilang?Setibanya di kantor, Arka berusaha untuk fokus pada pekerjaan, tetapi pikirannya tetap mengembara. Setiap kali matanya melintas pada layar komputer, dia merasakan ketegangan yang sama.Dia ingin memperbaiki hubungan mereka, tapi perasaan itu sulit untuk diungkapka

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 7: Persimpangan Jalan

    Alea memandang layar ponselnya dengan tatapan kosong.Pesan dari Arka yang baru saja masuk terasa berat, namun juga memberikan secercah harapan. "Jangan pergi terlalu jauh ya, Al? Agar ketika kamu pergi, aku bisa dengan mudah menemukan kamu."Pesan itu sederhana, namun penuh makna. Alea merasa jantungnya berdetak lebih cepat saat membaca kalimat itu.Ada kehangatan yang terasa, namun di sisi lain, keraguan tetap membayangi dirinya. Mereka sudah berbicara panjang lebar semalam, mencoba merajut kembali hubungan yang terkoyak. Tetapi apakah kata-kata Arka itu cukup untuk memulai semuanya lagi?Alea menggigit bibir bawahnya, memikirkan setiap kalimat yang akan ia balas. “Mas, aku juga ingin kita memperbaiki semuanya. Tapi aku juga takut kalau aku terlalu berharap, nanti malah kecewa lagi.”Namun, saat jemarinya mulai mengetik balasan, ia terhenti sejenak. Hatinya diliputi perasaan campur aduk, antara ingin percaya dan takut terluka lagi. Akhirnya, ia hanya mengirimkan satu kalimat singkat

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 8 : Tak Ada Ruang

    Seminggu berlalu, dan kesibukan Arka semakin menyita waktu. Pagi-pagi sekali, ia sudah berangkat, bahkan sebelum matahari terbit, dan sering kali baru pulang larut malam. Alea terbiasa dengan kesibukannya, tetapi kali ini terasa lebih berat.Raka sering bertanya, “Bunda, Ayah kenapa nggak pulang-pulang lagi? Aku kangen main sama Ayah.” Pertanyaan itu membuat hati Alea terasa nyeri, tetapi ia tetap mencoba tersenyum.“Ayah lagi sibuk kerja, Sayang. Tapi Ayah pasti ingat sama Raka,” jawab Alea, meski kata-kata itu terasa getir di bibirnya.Namun, Alea sendiri merasakan jarak yang kian lebar. Pesan-pesan dari Arka semakin singkat. Sapaan lembut dan perhatian yang mulai terasa kembali minggu lalu kini berganti menjadi balasan dingin seperti, “Iya, Al,” atau “Nanti aku kabarin.”Malam itu, setelah memastikan Raka tertidur, Alea duduk di meja makan dengan secangkir teh yang sudah mulai dingin. Pikirannya melayang. Ia memandang layar ponselnya, berharap ada pesan dari Arka, tetapi mungkin ia

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 9 : Pertemuan yang Mengusik

    Malam selanjutnya, Alea sedang duduk di meja makan, mencoba untuk menyibukkan diri dengan kegiatan sehari-hari, meski hatinya terasa kacau.Dia berharap waktu bisa berhenti sejenak untuk memberi ruang pada pikirannya yang penuh tanda tanya. Perasaannya terhadap Arka masih tak jelas, meski pesan-pesan manis yang dikirimkan Arka selalu membuat hatinya sedikit lebih hangat.Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. Ketika Arka pulang, langkahnya terdengar lebih berat daripada biasanya. Meskipun wajahnya tersenyum, ada sesuatu yang terasa tidak sama.Ada kilatan kebahagiaan di matanya, namun juga aura yang tampak agak berbeda. Arka tampak terfokus pada sesuatu, dan Alea merasakannya.“Mas, kita makan dulu, ya? Aku masak, kok,” kata Alea mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan aneh yang menggelayuti dirinya.Arka mengangguk tanpa banyak bicara. "Aku masih banyak kerjaan, Al. Tapi boleh deh kita makan dulu yuk."Alea menatapnya, ada keheningan yang terbentuk di antara mereka. Sejak keda

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 10 : Di Balik Pintu yang Terbuka

    Keesokan harinya, Arka tiba di kantor lebih awal. Ia ingin menyelesaikan beberapa laporan yang mendesak sebelum rapat siang nanti.Pikiran tentang Dina dan percakapan mereka kemarin masih mengganggunya, meskipun ia tidak bisa mengabaikan rasa nyaman yang Dina berikan.Tak lama setelah Arka duduk, Dina muncul di pintu ruangannya, membawa dua cangkir kopi. “Pagi, Arka. Semangat banget pagi-pagi udah sibuk,” sapa Dina dengan senyum hangat.“Harus, Din. Kalau nggak begini, kerjaan nggak akan selesai,” balas Arka sambil mengangkat pandangan dari laptopnya.“Makanya aku bawain kopi, biar energimu nggak habis sebelum tengah hari.” Dina menaruh salah satu cangkir di meja Arka dan duduk di kursi seberang tanpa menunggu undangan.“Makasih Din,” ujar Arka singkat.Ia menatap Arka dengan senyuman kecil yang penuh arti. “Kamu masih kepikiran obrolan kita kemarin?”Arka diam sejenak, lalu mengangguk. “Ya, sedikit.”“Kalau kamu mau, aku masih di sini buat dengar,” kata Dina sambil menyandarkan tubuh

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 11: Batas yang Tak Terlihat

    Di ruang tamu, Arka masih diam di sofa setelah Alea masuk ke kamar. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar tanpa arah.Ia memijat pelipisnya, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya Alea inginkan darinya. Pertanyaan Alea tadi terus menggema di benaknya: ” Apa aku masih jadi bagian dari kebahagiaan kamu?”Namun, sebelum ia bisa menemukan jawabannya, ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan dari Dina.Dina: “Sudah selesai dengan deadline laporan? Aku mau diskusi soal proyek kita besok. Tapi kalau sibuk, nggak apa-apa. Have a good night, ya.”Arka membaca pesan itu dengan napas berat.Dina, seperti biasa, selalu menyelipkan nada santai tapi perhatian dalam setiap pesannya. Terlalu perhatian, pikirnya. Ada yang aneh dengan cara Dina selalu tahu kapan harus memberi perhatian, kapan harus mundur.Terkadang, itu membuat Arka merasa nyaman, terlalu nyaman. Seperti tempat berlindung yang tidak ia temukan di rumah, terutama setelah suasana yang semakin terasa asing dengan Alea.Din

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-28

Bab terbaru

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 81 : Lukisan di Antara Rahasia

    Matahari telah terbenam ketika Arka tiba di rumah. Langit yang menggelap memberi kesan bahwa hari itu telah berakhir, namun ketegangan dalam hatinya terasa masih mengendap. Rumah itu terasa tenang, seperti biasa, dengan hanya terdengar suara lembut alunan musik klasik dari ruang tamu. Suasana yang menenangkan, namun bagi Arka, ada sesuatu yang membekas dalam pikiran, sesuatu yang membuat perasaan itu tak bisa begitu saja diabaikan. Dengan langkah yang sedikit lelah namun hati-hati, Arka menggantung jas kerjanya di dekat pintu. Ia melepas sepatu dan melangkah masuk menuju ruang tengah. Di sana, Alea sedang duduk di depan kanvas besar. Sinar lampu hangat memantulkan bayangan lembut pada wajahnya yang tampak serius. Alea menggerakkan kuas dengan hati-hati, menciptakan pola-pola abstrak yang memancarkan emosi. Ada ketenangan dalam gerakan tangannya, namun Arka bisa melihat sesuatu yang berbeda di balik itu. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks, yang mungkin hanya bisa dipahami o

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 80 : Ketegangan Lainnya Muncul

    Setelah rapat selesai dan semua peserta mulai membubarkan diri, Randy merasa tubuhnya sedikit lelah. Namun, yang lebih terasa adalah kegelisahan yang menggerogoti pikirannya. Sesampainya di ruang kerja, Randy duduk di kursi kulit hitam yang biasa ia gunakan, meletakkan jasnya di sandaran kursi, dan menatap kosong keluar jendela. Langit kota yang mendung, penuh awan gelap, tampak serupa dengan pikirannya yang kini berantakan. "Alea," gumamnya pelan, menyebut nama wanita yang masih menghantui pikiran dan perasaannya, meskipun mereka tidak lagi saling berhubungan erat. Randy merasa ada ketegangan yang masih tersisa di dalam dirinya, seperti ada pertanyaan yang belum terjawab dan tidak bisa ia hilangkan begitu saja. Pikirannya kembali melayang ke makan malam itu, ketika mereka bertiga. Randy, Alea, dan Arka makan bersama. Saat itu, Randy hanya menganggap Arka sebagai pasangan Alea yang tenang, tidak banyak bicara, dan tidak terlalu mencuri perhatian. Namun, pertemuan hari ini telah

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 79 : Pagi yang Dimulai dengan Cinta

    Pagi itu, Arka bangun lebih pagi dari biasanya. Suasana rumah yang tenang terasa berbeda, ada rasa tanggung jawab dan perhatian yang menggerakkan setiap langkahnya. Pikirannya terfokus pada dua hal penting: memastikan Raka siap untuk sekolah dan memberi perhatian penuh pada Alea, yang masih lemah setelah peristiwa beberapa hari lalu. Dengan langkah cepat, Arka menuju dapur. Meskipun lelah dan kekurangan waktu, ia merasa puas bisa meluangkan waktu untuk menyiapkan sarapan sederhana. Ia memutuskan untuk membuatkan bubur ayam hangat. Sambil memasak, Arka sesekali memeriksa Raka yang sedang bersiap di ruang tengah, memastikan tas sekolah dan perlengkapan lainnya sudah siap. Ia ingin memastikan hari ini berjalan dengan lancar, meskipun hatinya terasa penuh dengan kekhawatiran terhadap Alea. Alea masih terbaring di tempat tidur, wajahnya tampak lebih cerah meskipun lelah. Arka tak bisa menahan senyum kecil saat melihat istrinya yang terlihat semakin membaik. “Alea, kamu sudah bangun?”

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 78 : Kembali

    Hari itu terasa seperti angin segar yang membawa harapan baru bagi Alea. Setelah beberapa hari terbaring di rumah sakit, akhirnya ia diperbolehkan pulang. Meskipun tubuhnya masih terasa lelah dan ada sedikit rasa khawatir, rasa bahagia yang menyelimuti dirinya tak bisa disembunyikan. Rumah yang lama ia rindukan akhirnya menyambutnya kembali. Arka yang sejak pagi sibuk menyiapkan segala keperluan untuk pulang, kini berdiri di sampingnya, siap membantu saat Alea keluar dari ruang rumah sakit. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh perhatian saat menatap istrinya yang akhirnya bisa pulang. "Siap, sayang?" tanya Arka lembut, memastikan kalau Alea merasa cukup kuat untuk perjalanan pulang. Alea mengangguk, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Ayo, aku sudah sangat rindu rumah," jawabnya dengan suara pelan, namun ada kebahagiaan yang tak terbantahkan dalam nada itu. Mereka berjalan keluar bersama, dan Arka dengan penuh perhatian mengantarkan Alea ke mobil. Perjalanan menuju ru

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 77 : Keinginan yang Terluka

    Dina duduk termenung di sofa apartemennya, matanya kosong menatap layar ponsel yang sudah dimatikan sejak beberapa menit lalu. Panggilan terakhir dari Arka masih terngiang di telinganya, seperti dentuman keras yang menggetarkan hatinya. "Aku sudah memilih Alea, dan aku akan terus memilih dia." Kata-kata itu menyayat, seolah-olah Arka sedang menutup pintu di hadapannya untuk selamanya. Dina merasakan hatinya hancur perlahan, namun dia tidak bisa menangis. Tidak lagi. Ia sudah terlalu sering menangis karena Arka, terlalu lama berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak pernah menjadi miliknya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, merasakan air mata yang ingin jatuh, tapi dia menahannya. Menangis akan membuatnya merasa lebih lemah, dan Dina tidak bisa lagi memberi Arka alasan untuk merasa kasihan padanya. Sudah terlalu lama ia bertahan dalam bayang-bayang hubungan yang tidak pernah jelas ini. Sekarang, setelah semua yang terjadi, ia merasa ditinggalkan. Seperti sebuah kenyataan p

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 76 : Mempertahankan Prioritas

    Arka tiba di rumah menjelang sore. Udara dingin mulai menyelimuti jalanan saat ia memasukkan mobil ke garasi. Tubuhnya terasa lelah, namun pikirannya lebih lelah lagi. Pikiran tentang Alea yang terbaring di rumah sakit membuatnya tidak ingin membuang waktu lama di rumah. Ia harus segera menyiapkan perlengkapan yang akan ia bawa untuk menemani istrinya. Begitu masuk ke dalam rumah, Arka langsung menuju kamar. Ia membuka lemari dan mulai memilih pakaian yang nyaman untuk Alea. Ia juga memastikan membawa kebutuhan kecil lain seperti selimut tambahan, buku bacaan, dan beberapa camilan yang mungkin bisa membuat Alea merasa lebih baik. Ketika semuanya sudah terkemas rapi dalam tas, Arka berhenti sejenak, berdiri di tengah kamar dengan pandangan kosong. Perasaannya berat. Ia tahu, apa yang terjadi pada Alea adalah tanggung jawabnya juga. Ia tidak bisa lagi membiarkan pekerjaannya atau hal lain mengganggu apa yang seharusnya menjadi prioritas utamanya. Dengan tas di tangan, Arka bergega

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 75 : Terguncang oleh Ketidakpastian

    Beberapa saat kemudian, Nyonya Mirna ibunya Arka tiba. Nyonya Mirna datang dengan wajah ramah, membawa makanan ringan dan beberapa barang kebutuhan Alea. Segera, ia duduk di samping tempat tidur Alea dan menyentuh tangan putrinya dengan lembut. “Alea, nak, kamu sudah lebih baik? Bagaimana perasaanmu?” Alea tersenyum lemah. "Lebih baik, Bu. Hanya butuh waktu untuk pulih." Ia mengangkat pandangannya ke arah ibu Arka. "Arka pasti cemas, ya?" Nyonya Mirna mengangguk dengan penuh perhatian. "Dia pasti sangat khawatir. Tapi kamu nggak perlu khawatir, Alea. Arka sudah menghubungi ibu untuk menjaga kamu hari ini. Dia akan kembali lebih cepat setelah pekerjaan selesai. Maaf kalau ibu jarang datang berkunjung, ya." Alea mengangguk pelan, merasa sedikit lebih lega dengan kehadiran ibu Arka. "Nggak apa-apa, Bu. Aku ngerti kok, rumah ibu kan jauh. Terima kasih ya, Bu, sudah menyempatkan datang dan menjaga aku di sini. Kadang aku khawatir, Bu. Tapi aku tahu aku harus kuat, untuk keluarga k

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 74 : Pertemuan Tak Terduga

    Arka merasa hatinya terombang-ambing ketika ia meninggalkan rumah sakit pagi itu. Setelah memastikan Alea tertidur dan dalam keadaan stabil, ia harus kembali bekerja. Meskipun perasaannya enggan, Arka tahu, ia tidak bisa meninggalkan pekerjaan dalam waktu yang lama. Namun, ia berjanji akan segera kembali, tepat waktu. Ia mengirim pesan singkat kepada ibunya untuk memberitahukan bahwa ia akan menggantikan posisinya menjaga Alea di rumah sakit sore nanti. Sebelum meninggalkan rumah sakit, Arka juga memberi tahu ibunya bahwa ia perlu datang untuk menemani Alea, karena kondisi Alea yang masih lemah dan membutuhkan perhatian penuh. Ibu Arka segera menyanggupi untuk datang ke rumah sakit dan menjaganya. Walaupun jarak rumah dan rumah sakit lumayan jauh. Dengan perasaan sedikit lebih tenang, Arka akhirnya melangkah keluar menuju mobilnya. --- Di ruang perawatan rumah sakit, Alea terbangun perlahan. Kepalanya terasa berat, dan tubuhnya lelah setelah istirahat semalaman. Ruangan rumah

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 73 : Kabar dan Keputusan Besar

    Arka mondar-mandir di kamar, ponselnya terus digenggam erat di tangan. Ia sudah mencoba menghubungi dokter berkali-kali, namun tak ada yang mengangkat. Suara detak jantungnya terasa menggema di telinga. Peluh dingin mengalir di pelipisnya, sementara Alea masih terbaring tak sadarkan diri di tempat tidur, wajahnya pucat dan tubuhnya lemas. Arka merasa seolah ada lubang hitam yang menghisap seluruh keberaniannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, hanya bisa menunggu, meskipun waktu terasa sangat berat. "Kenapa nggak ada yang angkat sih?" gumamnya frustrasi, sambil melirik ke arah Alea yang tetap terbaring dengan tak bergerak. Rasa cemas terus menghantuinya, dan ia mulai meragukan dirinya sendiri. Mungkin ia terlalu terburu-buru membawa Alea pulang, mungkin seharusnya ia menunggu lebih lama di rumah ibu Alea. Tetapi, satu hal yang ia tahu dengan pasti adalah bahwa ia tidak bisa membiarkan Alea dalam keadaan seperti ini lebih lama lagi. Di ruang sebelah, Raka duduk di lantai

DMCA.com Protection Status