Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka.
Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh kebahagiaan, hatinya entah kenapa tetap terasa hampa. Hanya ada satu hal yang mengganggu pikirannya. Sesuatu yang sulit ia ungkapkan, meskipun kehadiran teman-temannya memberikan sedikit rasa nyaman. Di tengah keramaian itu, seorang pria berdiri di depannya, senyum lebar menghiasi wajahnya. Alea memandangi pria itu, dan butuh beberapa saat baginya untuk menyadari siapa dia. “Randy?” tanya Alea dengan nada terkejut, hampir tak percaya. Pria itu mengangguk, senyum hangat yang dulu pernah menjadi hal yang ia rindukan kini kembali muncul. Randy adalah mantan pacarnya semasa SMA, seseorang yang pernah begitu dekat dengannya sebelum akhirnya takdir berkata mereka harus berpisah. Kini, pria itu berdiri di hadapannya, dengan rambut hitam yang sedikit lebih panjang dari dulu, dan wajahnya yang tampak semakin dewasa. Sebuah perubahan yang membuat Alea sedikit terpesona. Randy mengenakan jas hitam dengan dasi yang pas, menambah kesan berkelas pada penampilannya. Tatapannya yang hangat membuat Alea merasa ada kenangan yang kembali hadir. “Mantan kekasih yang tak terduga,” gumam Alea dalam hati, meskipun tidak mengucapkannya. “Alea, sudah lama ya?” Randy menyapa, masih dengan senyum yang sama, penuh kehangatan dan familiar. Alea tertegun sejenak, kemudian tertawa kecil. “Iya, sudah lama banget, ya. Tidak menyangka kamu ada di sini.” Randy tersenyum lebih lebar, “Jangan-jangan kamu lari dari rumah tanggamu ya?” katanya, bercanda. Alea terkekeh, meskipun hatinya agak tergetar. “Tentu saja tidak. Aku cuma datang untuk reuni, ketemu teman-teman lama.” Mereka duduk bersebelahan, bercakap panjang lebar tentang kehidupan masing-masing. Setiap cerita yang mereka bagi membawa kembali kenangan masa lalu yang manis. Mereka berbicara tentang masa SMA, tentang perjalanan hidup yang membawa mereka ke tempat yang berbeda. Namun, ada satu hal yang masih terasa dekat di hati Alea. Perasaan yang dulu pernah ada antara dia dan Randy. “Jadi... bagaimana hidupmu sekarang?” tanya Randy, matanya tidak bisa lepas dari wajah Alea, seakan ingin mengetahui lebih dalam. Alea tersenyum, tetapi ada sedikit kepahitan yang tersembunyi di balik senyum itu. “Baik-baik saja. Aku menikah, punya anak. Kehidupan seperti biasa, kamu tahu.” Suaranya terdengar agak datar, meskipun ia berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Randy menatapnya lebih dalam, seolah bisa melihat ke dalam hati Alea. “Aku seneng kamu baik-baik aja Al. Tapi kalau kamu butuh temen cerita, kamu boleh kok cerita ke aku.” Alea terdiam. Kata-kata Randy menyentuh hati, membuka ruang kosong yang selama ini ia coba sembunyikan. Ada dorongan kuat untuk bercerita, untuk menceritakan bagaimana hidupnya yang tidak seindah yang terlihat. Namun, ia ragu. Apakah ini benar? Apakah berbicara dengan Randy adalah hal yang benar? Alea menatap meja di depannya, lalu berkata pelan, “Kami berdua sangat bahagia. Tapi… ada kalanya aku merasa seperti tidak ada yang mengerti. Hubungan kami sedang mengalami masa yang sulit.” Randy mendengarkan dengan penuh perhatian, matanya tak lepas dari Alea. “Alea, kamu bukan satu-satunya yang pernah melalui hal itu. Hubungan bisa mengalami pasang surut. Tapi itu tidak berarti kamu harus menghadapi semuanya sendirian.” Alea terdiam. Ucapan Randy begitu mengena di hati, seolah membuka jendela baru di pikirannya. Ia merasa sangat dihargai, seakan ada seseorang yang benar-benar memahami tanpa perlu banyak kata. --- Sementara itu, di tempat lain, Arka sedang duduk di ruang kerjanya. Sebuah kantor modern dengan dinding kaca besar yang memamerkan pemandangan kota di malam hari. Kertas-kertas berserakan di meja, laptop menyala menampilkan laporan yang harus ia selesaikan. Arka tampak sibuk, tetapi matanya kosong, seolah pikirannya melayang ke tempat lain. “Pak Arka,” panggil suara seorang pria dari pintu. Arka menoleh. “Iya, ada apa?” “Ini laporan bulan lalu yang Bapak minta,” ujar karyawan tersebut sambil meletakkan berkas di atas meja. “Terima kasih.” Arka membuka laporan itu, berusaha memusatkan perhatian. Tapi pikirannya terusik. Ia melirik jam di tangan kirinya. Sudah hampir jam sembilan malam. Ponselnya bergetar di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Alea. Alea : "Mas, sudah makan? Aku masih di tempat reuni." Arka menatap pesan itu sejenak, tetapi tidak segera membalas. Ia hanya menaruh ponselnya kembali di meja dan melanjutkan membaca laporan. Namun, matanya tidak benar-benar mengikuti tulisan di layar. Pintu kantor terbuka lagi. Kali ini seorang wanita masuk, mengenakan blouse biru tua dan rok pensil hitam. Rambutnya tergerai rapi, wajahnya terlihat segar meski malam sudah larut. “Masih sibuk?” tanyanya sambil menyandarkan tubuhnya di pintu. Arka mendongak, sedikit terkejut. “Oh, Dina. Ada apa?” Wanita itu berjalan mendekat, membawa dua cangkir kopi. “Aku pikir kamu butuh ini. Lembur lagi, ya?” Arka mengangguk, menerima kopi itu tanpa banyak bicara. Wanita itu duduk di kursi di depannya, menatapnya dengan ekspresi penasaran. “Kamu kelihatan capek banget,” katanya. Arka hanya mengangguk lagi. “Biasa. Banyak yang harus dibereskan.” Mereka terdiam sejenak. Suara jam dinding menjadi latar yang mengisi ruang kosong di antara mereka. Wanita itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi ia memilih untuk mengurungkan niatnya. “Kalau begitu, aku nggak ganggu lagi. Jangan lupa istirahat, ya,” katanya sambil berdiri dan berjalan keluar. Arka menatap punggungnya yang menjauh, lalu menghela napas panjang. Pikirannya kembali melayang. Alea. Reuni. Alea tidak tahu bahwa di tempat kerjanya, Arka juga sedang bergumul dengan pikiran yang sulit ia ungkapkan. Di benaknya muncul pertanyaan yang selama ini ia coba hindari. Mengapa jarak antara dia dan Alea semakin lebar? Atau, mungkin jarak itu ada karena dirinya sendiri yang memilih untuk menjauh? --- Reuni berlanjut, dan mereka menghabiskan waktu dengan tawa dan percakapan. Namun, saat acara selesai, Randy menawarkan untuk mengantar Alea pulang. Dalam perjalanan pulang, keheningan menyelimuti mereka. Tetapi keheningan ini terasa berbeda. Tidak seperti keheningan yang sering Alea rasakan di rumah, yang penuh dengan jarak dan ketidaknyamanan. Keheningan ini terasa seperti sebuah perasaan yang hangat Sesampainya di depan rumah, Randy menatap Alea dengan serius. “Alea, aku tahu mungkin aku sudah lama tidak ada dalam hidupmu, tapi jika kamu butuh seseorang untuk bicara, aku di sini. Aku akan mendengarkan.” Alea tersenyum tipis, hatinya tergerak oleh perhatian Randy. “Terima kasih, Randy. Aku benar-benar menghargainya.” Di dalam rumah, Alea merasa seperti ada beban yang sedikit terlepas setelah berbicara dengan Randy. Namun, ada juga rasa bersalah yang menggerogoti. Ia merasa seolah-olah berbagi perasaan pada Randy adalah pengkhianatan kecil terhadap pernikahannya dengan Arka. Tetapi di sisi lain, ia merasa ada sisi dirinya yang terlupakan, dan Randy hadir untuk mengingatkan bahwa ia berhak merasakan kebahagiaan itu. --- Malam itu, saat ia bersiap tidur, Alea merenung dalam diam. Ia mencoba menenangkan pikirannya, namun ada pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. “Apakah aku bisa terus bertahan seperti ini? Ataukah aku harus mencari kebahagiaanku sendiri?” Saat itu, suara langkah kaki Arka terdengar mendekat. Alea menatap pintu dengan perasaan yang campur aduk. Akankah malam ini membawa kehangatan kembali, atau hanya kebekuan yang semakin nyata?Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara