Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka.
Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti orang asing di rumahnya sendiri. Dengan langkah pelan, Alea masuk ke kamar. Dalam keremangan cahaya lampu meja, ia memandangi Arka yang tampak sudah tertidur. Ada raut lelah di wajah pria itu, tapi tidak ada sisa kelembutan yang dulu ia kenal. Dalam diam, Alea mengingat pertemuan pertama mereka. Saat itu, ia adalah sosok perempuan yang memancarkan keceriaan alami. Rambut panjang ikalnya yang berwarna cokelat selalu tergerai indah, wajahnya yang cantik dan lembut memberikan kesan hangat pada siapa pun yang melihatnya. Matanya, sewarna cokelat pekat seperti madu, selalu berbinar penuh harapan. Namun, cerminan Alea saat ini sudah jauh berbeda. Kulitnya yang dahulu bercahaya kini tampak kusam. Lingkaran hitam di bawah matanya menjadi saksi bisu malam-malam tanpa tidur. Tubuhnya yang mungil dan dulu begitu menarik perhatian Arka kini terlihat kurus, tanda kelelahan yang tak pernah ia ungkapkan. “Kenapa kita jadi begini, Mas?” gumamnya, meskipun ia tahu Arka tak akan menjawab. Tangannya hampir terulur untuk menyentuh bahu pria itu, tapi ia mengurungkan niatnya. Malam itu, Alea nyaris tak bisa memejamkan mata. Ia merasa terjebak dalam ingatan akan masa lalu yang terus menghantuinya. Arka yang dulu begitu ia cintai kini seperti bayangan yang semakin memudar. --- Keesokan paginya, seperti biasa, Alea bangun lebih awal. Ia menyiapkan sarapan untuk Arka dan Raka. Aroma roti panggang memenuhi dapur kecil mereka, tapi suasana hatinya tetap terasa kosong. Arka keluar dari kamar, mengenakan kemeja kerja yang belum disetrika sempurna. Dengan wajah tampan dan tubuh tegapnya, ia masih terlihat seperti pria yang diidamkan banyak wanita. Rambut cokelat yang rapi dan dada bidangnya memperlihatkan sosok pria dewasa yang mapan. Tapi bagi Alea, semua itu hanyalah penampilan luar. Pria di depannya ini mungkin terlihat sempurna di mata orang lain, tapi baginya, Arka hanya menjadi seseorang yang sulit ia kenali. Arka duduk di meja makan tanpa berkata sepatah kata, hanya sibuk memeriksa ponselnya. “Mas, mau kopi? Aku sudah buatkan,” Alea mencoba mencairkan suasana. Arka meliriknya sekilas. “Hm,” gumamnya, sambil terus memeriksa ponselnya. Alea menelan rasa kecewa yang mengganjal di tenggorokannya. Ia menguatkan diri untuk berkata, “Mas, aku mau bicara.” Arka meletakkan ponselnya, mengangkat wajahnya dengan tatapan datar. “Apa lagi?” “Aku merasa kita semakin jauh...” suara Alea hampir bergetar, tapi ia mencoba tetap tegar. “Aku cuma mau kita bicara, kayak dulu. Apa yang sebenarnya terjadi sama kita?” Arka menatapnya beberapa detik, lalu mendengus pelan. “Alea, aku sibuk kerja buat kamu dan anak kita. Kalau kamu nggak puas, apa lagi yang kamu mau?” “Mas, ini bukan soal uang. Aku cuma butuh kamu di sini. Aku butuh kita...” Arka tiba-tiba berdiri, mendorong kursinya ke belakang dengan suara kasar. “Alea, aku nggak punya waktu buat omong kosong kayak gini. Aku capek. Kalau kamu nggak puas, ya terserah.” Tanpa menunggu jawaban, ia meraih tas kerjanya dan berjalan keluar. --- Alea terdiam di tempat, rasa sakit menghantam hatinya. Punggung Arka yang menjauh seolah menjadi simbol semua yang hilang di antara mereka. Air mata yang ia tahan akhirnya mengalir tanpa bisa dibendung lagi. Raka masuk ke ruang makan, memandangi ibunya dengan bingung. “Bunda, kenapa?” tanyanya polos. Alea segera menyeka air matanya. “Nggak apa-apa, Nak. Bunda cuma capek.” Raka mengangguk kecil, meski matanya yang besar dan cokelat memancarkan rasa ingin tahu. Alea mencoba tersenyum untuk menenangkan anaknya, meski hatinya terasa hancur. Hari itu, Alea menyibukkan diri dengan rutinitas rumah tangga. Tapi pikirannya terus melayang. Ketika ponselnya berbunyi, ia mendapati sebuah pesan dari grup alumni SMA. “Reuni akbar minggu depan! Jangan sampai nggak datang, ya. Kangen kalian semua!” Alea membaca pesan itu berulang kali. Membayangkan bertemu teman-teman lama membuat hatinya campur aduk. Di satu sisi, ia ragu apakah ia ingin mengingat masa lalu yang kini terasa begitu jauh dari kehidupannya sekarang. Tapi di sisi lain, ia merasa mungkin ini adalah satu-satunya cara untuk melupakan sejenak rasa sepi yang terus membayanginya. Ia menarik napas panjang, menatap cermin di ruang tamu. Refleksi dirinya memperlihatkan wanita yang nyaris tak ia kenali. Apakah ia bisa menemukan kembali dirinya sendiri di tengah kehampaan ini?Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara
Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b
Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand
Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke
Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or
Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara