Pagi itu terasa seperti rutinitas yang sama, tetapi Alea tahu ada sesuatu yang berubah. Atau lebih tepatnya, sesuatu yang telah lama hilang. Ia berdiri di dapur, mengaduk kopi dengan tangan yang sedikit gemetar. Pintu kamar terbuka, suara langkah tegas yang ia kenal baik terdengar mendekat.
Arka muncul dengan setelan kemeja biru dan dasi abu-abu, rapi seperti biasa. Wajahnya tetap dingin, seperti patung yang tak bernyawa. Ia tidak menatap Alea. Bahkan keberadaannya di ruangan itu terasa seperti angin yang lewat—ada, tetapi tidak menyentuh.
"Mas, aku udah bikin sarapan. Makan dulu ya sebelum berangkat," ujar Alea, mencoba menghangatkan suasana dengan suara selembut mungkin.
Tanpa menoleh, Arka mengambil cangkir kopi yang ia tahu sudah disiapkan Alea. "Nggak usah. Aku makan di luar aja," katanya singkat, suaranya dingin seperti pagi yang beku.
Alea terdiam. Napasnya tertahan sejenak, tetapi ia mencoba tersenyum kecil. "Oh ... oke. Tapi, jangan lupa makan ya, Mas. Kamu sering banget lupa kalau sibuk."
"Aku nggak lupa," potong Arka tajam, menyesap kopi tanpa mengangkat pandangannya dari ponsel. "Nggak perlu khawatir soal aku. Kamu urus Raka aja."
Alea tersentak. Kata-kata itu seperti tembok yang ia coba panjat tetapi selalu jatuh kembali.
"Aku tahu," katanya pelan, hampir berbisik. "Tapi aku cuma ingin ... "
"Ingin apa, Alea?" Arka akhirnya menatapnya, tatapannya tajam dan dingin, membuat Alea kehilangan kata-kata. "Kamu selalu ingin ini, ingin itu. Apa aku nggak cukup jelas kalau aku nggak punya waktu untuk semua drama ini?"
"Mas ... aku cuma khawatir sama kamu," balas Alea, suaranya mulai bergetar. "Aku cuma ingin kita seperti dulu."
Arka mendengus kecil, meletakkan cangkirnya di meja dengan keras. "Seperti dulu? Alea, dunia nggak berhenti untuk menunggu kita. Aku nggak punya waktu untuk omong kosong kayak gini."
"Omong kosong?" ulang Alea dengan suara yang lebih keras dari yang ia maksudkan. Matanya mulai memanas, tetapi ia menahan air matanya agar tidak jatuh. "Kamu pikir aku nggak tahu kamu berubah? Kamu pikir aku nggak lihat semuanya, Mas?"
Arka mendekatinya, menatap tepat ke matanya. "Aku berubah? Atau kamu yang terlalu sibuk mengurusi hal-hal kecil sampai lupa kalau hidup ini terus berjalan?"
Alea terdiam. Kata-kata Arka seperti pukulan telak yang menghancurkan pertahanannya. Ia ingin membalas, tetapi lidahnya terasa kelu. Sementara itu, Arka sudah mengambil tas kerjanya dan menuju pintu.
Sebelum keluar, ia menoleh sekilas, tetapi bukan dengan tatapan peduli. "Jangan lupa jemput Raka tepat waktu. Aku nggak mau mendengar keluhan lagi soal itu."
Lalu pintu tertutup. Arka pergi, meninggalkan Alea yang berdiri terpaku di dapur. Cangkir kopinya masih mengepulkan uap, tetapi rasanya sudah terlalu dingin untuk disentuh.
Malam yang sama, Alea duduk di ruang tamu, tubuhnya terasa berat seperti sedang membawa seluruh beban dunia. Raka tertidur di pelukannya, napas kecil anak itu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan malam.
Hatinya terasa seperti dihujani ribuan pisau kecil yang menancap semakin dalam dengan setiap detik yang berlalu.
Arka mengabarkan bahwa ia tidak akan pulang malam ini. Alasan itu datang dengan nada yang begitu dingin, seperti instruksi yang diberikan tanpa emosi. Tidak ada penjelasan, tidak ada usaha untuk menenangkan.
Alea tidak berani bertanya, takut jawaban yang ia dapatkan akan menghancurkannya lebih dalam lagi.
Matanya menatap ke arah jam dinding yang terus berdetak, seolah mengejek betapa lambatnya malam ini berlalu. Ia mencoba mencari alasan, mencoba memahami bagaimana pria yang dulu memeluknya erat di malam-malam dingin kini berubah menjadi sosok yang bahkan sulit ia kenali.
Ponselnya bergetar di meja kecil di samping sofa. Dengan hati-hati agar tidak membangunkan Raka, ia meraihnya. Sebuah pesan dari temannya, Cinta, muncul di layar:
"Al, aku nggak tahu kamu mau tahu atau nggak, tapi aku lihat Arka sama perempuan lain tadi. Mereka kelihatan ... dekat."
Jemarinya gemetar saat ia mencoba mengetik balasan, tetapi kemudian ia berhenti. Apa yang bisa ia tanyakan? Apa yang ingin ia tahu? Ia tidak yakin apakah dirinya sanggup mendengar lebih dari ini.
Namun, sebelum ia memutuskan, pesan lain dari Cinta masuk.
"Aku nggak bisa lihat jelas siapa perempuan itu, muka mereka nggak terlalu kelihatan karena aku buru-buru keluar lift. Tapi, Al ... mereka kelihatan akrab. Maaf banget harus bilang ini."
Ponsel itu terasa berat di tangannya, seolah-olah membawa seluruh beban dari kecurigaan yang selama ini ia pendam. Alea memeluk Raka yang masih tertidur lebih erat, mencoba menahan gemuruh di dadanya. Napasnya terasa pendek, hampir tersendat.
Matanya terpejam, berusaha melawan bayangan yang mulai memenuhi pikirannya—bayangan Arka bersama seseorang yang bukan dirinya. Ia ingin membuang pikiran itu, tetapi kata-kata Cinta terus berulang-ulang di benaknya, seperti rekaman yang tidak bisa dimatikan.
"Mereka kelihatan dekat ... "
Pesan itu sederhana, tetapi membawa beban yang luar biasa. Ia tidak bisa menyangkal bahwa sesuatu di dalam dirinya sudah lama mencurigai, tetapi mendengar kenyataan itu langsung seperti pukulan keras di dadanya.
Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh. Satu tetes, lalu menyusul tetesan lain. Ia menatap layar ponselnya yang kini gelap, seolah gelap itu mencerminkan hatinya. Tangannya gemetar, tetapi ia tidak ingin membangunkan Raka. Ia memeluk anak itu lebih erat, mencari kekuatan dari satu-satunya alasan ia tetap bertahan.
“Masihkah aku berarti baginya?” pikir Alea, meskipun ia tahu jawabannya mungkin terlalu menyakitkan untuk diterima.
Raka bergerak sedikit dalam tidurnya, wajah kecilnya yang polos membuat Alea semakin hancur. Ia menyentuh rambut anaknya dengan lembut, menahan isakan yang ingin meledak. "Bunda di sini, Nak. Bunda selalu di sini," bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar.
Dalam hati, ia bertanya pada dirinya sendiri, "Kalau cinta itu seharusnya indah, kenapa aku merasa lebih kesepian daripada sendirian?"
Pagi itu, langit Bandung kelabu, seperti menggambarkan suasana hati Alea yang tak pernah cerah. Setelah semalaman menunggu tanpa kepastian, Arka tak kunjung pulang.Hatinya terasa hampa, tetapi ia tetap bangkit, menyiapkan sarapan sederhana untuk Raka. Senyum kecil anaknya saat melahap roti bakar adalah satu-satunya yang masih membuat Alea merasa hidup.Seusai mengantar Raka ke sekolah, Alea mencoba menenangkan dirinya dengan berjalan-jalan di sekitar pusat kota. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya gemetar.Arka.Ia berdiri di depan sebuah kafe bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan dress hitam sederhana yang membalut tubuhnya dengan anggun. Rambut hitamnya panjang tergerai, berkilau diterpa sinar matahari pagi. Alea tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi tubuhnya terasa kaku saat Arka tertawa kecil dan memegang bahu wanita itu dengan santai.Tangan Alea bergetar. Ia mencoba meraih ponselnya, tetapi jari-jarinya terasa lem
Alea berdiri di ruang tamu, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan untuk menopang. Air mata terus mengalir di pipinya, tidak peduli seberapa keras ia mencoba menghentikannya. Suara pintu kamar yang terbuka kembali membuatnya tersentak. Dengan mata yang buram oleh tangis, ia melihat Arka keluar, membawa tas besar di tangan dan beberapa pakaian tergantung di lengannya.Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan melewatinya seperti orang asing. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan—hanya keheningan yang terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata kasar.Langkah Arka berat, tetapi tidak ragu, seperti seseorang yang telah memutuskan untuk meninggalkan sesuatu yang tidak lagi berharga baginya.“Mas,” suara Alea pecah, bergetar seperti daun di tengah badai. “Kamu mau ke mana?”Nada suaranya memohon, penuh dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia tahu, pertanyaannya mungkin terdengar sia-sia, tetapi ia tidak bisa menahan diri. Ia butuh jawaban, bahkan jika jawaban it
“Alea?” panggil Arka, nada suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Suara itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan, seperti pisau yang mengiris keheningan di koridor kantor. “Ngapain kamu di sini?”Nada itu tidak ramah, bahkan cenderung menegur, seolah kehadiran Alea adalah sebuah gangguan yang tidak diinginkan.Alea mencoba mengumpulkan kekuatan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku mau bicara sama kamu, Mas,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar. Matanya mencoba mencari sesuatu di balik tubuh Arka, berharap bisa melihat wanita yang tadi bersamanya.Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, Arka bergerak cepat, tubuhnya dengan sengaja menghalangi pandangan Alea.“Di luar aja,” katanya tegas, wajahnya tanpa ekspresi. “Jangan bikin ribut di kantor.”Alea terdiam, tetapi ia tahu ini bukan saatnya mundur. Dengan langkah lamban, ia mengikuti Arka keluar gedung. Angin dingin menyambut mereka di parkiran yang sepi, menciptakan suasana yang lebih mencekam.Arka berhenti di sudut yang ja
Alea menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari grup alumni SMA.“Reuni akbar! Jangan sampai nggak datang, ya. Kangen kalian semua!”Kata-kata itu sederhana, namun menggema dalam pikirannya. Pesan itu seperti pintu menuju masa lalu, masa di mana dirinya masih penuh tawa dan mimpi. Jauh sebelum semua ini, sebelum ia tenggelam dalam pernikahan yang hanya menyisakan luka.Ia duduk di sofa, menggenggam ponselnya erat. Pikiran-pikirannya berputar, menciptakan dialog dalam kepalanya. “Apa aku akan terlihat lemah? Apa mereka akan melihat semua retakan dalam hidupku?”Hatinya memanas dengan rasa takut, tetapi juga rindu. Reuni ini mungkin menjadi pelarian kecil, pikirnya, atau mungkin hanya pengingat betapa ia telah berubah—betapa dunianya kini jauh dari bahagia.Ponselnya kembali bergetar, pesan dari Cinta masuk. “Al, aku udah bilang ya, kamu nggak boleh nolak! Kamu harus datang. Nanti kita ketemu disana, oke?” Kalimat itu terdengar seperti tuntutan lembut yang membuat Alea tersenyum
Langkah Randy mendekat perlahan, setiap langkahnya seolah menggema dalam kepala Alea. Ia ingin berpaling, menghindar dari tatapan itu, tetapi tubuhnya seperti membeku. Rasa cemas, gugup, dan emosi lain yang tak bisa ia pahami bercampur menjadi satu.Cinta, yang masih berdiri di sampingnya, tampak bingung melihat perubahan ekspresi Alea. “Alea, itu Randy ‘kan?” tanya Cinta dengan suara pelan, tetapi tidak mendapatkan jawaban.Ketika Randy akhirnya berhenti di depan mereka, Alea menahan napas. Mata coklat pria itu menatap langsung ke dalam matanya, seolah mencari sesuatu yang hilang.“Alea,” panggil Randy, suaranya lembut, sedikit ragu. Senyuman kecil masih menghiasi wajahnya, tetapi ada keraguan yang tersirat di balik tatapannya. “Lama nggak ketemu.”Hati Alea terasa seperti diremas. Suara itu, meskipun sederhana, membawa ia kembali ke masa lalu. Ke masa di mana Randy adalah pusat dunianya. Dengan susah payah, ia mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Iya, lama nggak ketemu.”Randy me
Alea berdiri di depan pintu rumah, tubuhnya gemetar saat ia mencoba mencari kunci di dalam tas kecilnya. Malam itu begitu sunyi, hanya suara serangga malam yang terdengar samar. Dari kejauhan, lampu mobil Randy masih menyala, memberikan penerangan lembut di depan rumah.Randy duduk di balik kemudi, matanya tidak lepas dari Alea. Ia memastikan perempuan itu benar-benar masuk ke rumah dengan aman. Saat pintu rumah terbuka, Alea menoleh, mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih. Randy membalas dengan senyuman tipis sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi.Namun, hanya beberapa detik setelah Randy berlalu, suara mobil lain mendekat dengan kecepatan yang terasa mengintimidasi. Alea menoleh, dan dadanya langsung terasa berat saat melihat mobil Arka berhenti tepat di depan rumah.Arka keluar dengan langkah cepat, membawa tas kerja di satu tangan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya … tatapan itu bukan sekadar lelah. Ada sesuatu yang mengintai di sana—amarah, kecurigaan, atau
Di lorong supermarket yang lengang, Alea mendorong troli dengan langkah lambat. Ia memilih bahan makanan satu per satu, mengisi troli tanpa benar-benar memikirkan apa yang ia butuhkan. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tentang rumah yang semakin dingin, tentang Arka yang kian menjauh, dan tentang dirinya yang mulai kehilangan arah.Namun, suara yang familiar memecah lamunannya.“Alea? Kamu belanja sendirian?”Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat.“Randy? Kebetulan banget,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar—hal yang sudah lama tidak ia rasakan.“Kamu kerja di mana sekarang, Ran?” tanya Al
Kata-kata itu meluncur begitu saja, tetapi dampaknya terasa seperti badai yang menghancurkan. Wajah Arka berubah, meskipun ia mencoba menutupi keterkejutannya.“Kamu bilang apa?” tanyanya, suaranya rendah tetapi penuh ancaman.“Aku sudah nggak bisa lagi, Mas,” jawab Alea, suaranya gemetar tetapi tegas. “Aku sudah terlalu lelah. Aku nggak mau terus hidup seperti ini, dalam hubungan yang hanya membuat aku merasa tidak berharga.”Arka tertawa kecil, tetapi tawanya penuh sinis. “Jadi, kamu pikir solusi dari semuanya adalah cerai?”“Ya,” kata Alea dengan tegas, meskipun air mata mulai menggenang di matanya. “Aku sudah mencoba bertahan. Aku sudah mencoba memperbaiki. Tapi kalau cuma aku yang berjuang, itu nggak cukup.”“Alea, kamu tahu apa yang kamu minta?” Arka melangkah mendekat, tatapannya tajam. “Kamu siap kehilangan semuanya?”Alea mengangguk, meskipun tubuhnya gemetar. “Kalau ‘semuanya’ berarti kehilangan rasa sakit ini, ya, aku siap.”Arka tertawa kecil, tawa yang penuh ejekan dan din
Arka menatap Dina, mencoba berbicara dengan nada tenang meskipun ia tahu emosinya sendiri sedang kacau. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi kegelisahan di dalam dadanya semakin mendesak.“Dina, aku tidak akan meninggalkan anak itu. Aku akan bertanggung jawab untuk anak ini. Tapi aku tidak bisa … aku tidak bisa menikah denganmu.”Suasana ruangan menjadi tegang. Dina menatap Arka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Antara marah, terluka, dan kecewa. Tetapi kemudian ia tertawa. Tawa itu terdengar sinis, bahkan sedikit menyeramkan, seolah ia tidak lagi memedulikan bagaimana kata-katanya akan diterima.“Oh, tentu saja. Kamu tidak bisa menikah denganku, tapi kamu bisa tidur denganku. Kamu bisa memanfaatkan perasaan ini dan kemudian berlari kembali ke Alea? Itu yang kamu sebut tanggung jawab?”Arka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, merasa seluruh dunia di sekitarnya runtuh. Ia ingin menjelaskan, tetapi ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan tidak akan cu
Alea menelan ludah, mencoba menahan tangis yang mendesak keluar. “Aku pergi, Ran. Aku sudah memutuskan.”“Pergi?” Nada suara Randy berubah, antara terkejut dan prihatin. “Kamu sendirian dengan Raka? Mau ke mana?”“Aku belum tahu,” jawab Alea jujur, suaranya hampir pecah. “Tapi aku harus menjauh. Aku nggak bisa lagi tinggal di rumah itu.”Di ujung telepon, Randy menghela napas panjang. “Alea, aku tahu kamu merasa ini keputusan yang benar. Tapi kamu nggak harus melewati ini sendirian. Kamu selalu punya aku.”Alea tersenyum kecil meskipun air mata mulai mengalir. “Terima kasih, Ran. Tapi aku nggak mau merepotkanmu. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir, untuk menenangkan diri.”“Kalau begitu, kabari aku. Setiap saat,” kata Randy dengan nada tegas namun lembut. “Jangan ragu, oke? Aku akan selalu ada.”Alea mengangguk meskipun Randy tidak bisa melihatnya. “Aku akan kabari. Terima kasih, Ran. Aku ... aku sangat menghargai kamu.”“Alea,” suara Randy berubah menjadi lebih lembut, hampir sepert
Kata itu membuat Arka seperti kehilangan keseimbangan. Ia terdiam, tubuhnya hampir lemas karena shock. Air mata mengalir di wajahnya, tetapi Alea tetap berdiri tegak, meskipun hatinya seperti dipotong-potong.Arka berkata dengan suara pelan, hampir putus asa. “Alea, jangan tinggalkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku akan berubah. Aku tidak bisa hidup tanpamu … ”Alea menutup matanya sejenak, membiarkan air mata yang ia tahan akhirnya jatuh. Ketika ia membuka matanya lagi, tatapannya penuh dengan kepastian yang tidak bisa digoyahkan.“Aku mencintaimu, Arka. Aku mencintaimu lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Tapi itu tidak cukup lagi. Cinta saja tidak cukup untuk memperbaiki ini.”Dengan suara yang hampir berbisik, ia mengakhiri, “Aku melepaskanmu. Untuk dia, untuk anak itu, untuk Raka dan untuk diriku sendiri.”Arka hanya bisa berdiri diam, matanya penuh penyesalan dan rasa sakit yang dalam. Ia tidak bisa mengejar, karena semuanya sudah terlambat. Keheningan menyelimuti rumah itu, s
Kalimat itu menggema di antara mereka, membekukan waktu seperti sebuah kutukan yang mengikat mereka dalam kehampaan.Arka hanya bisa menatap Alea dengan mata yang melebar, terkejut dan tak mampu berkata apa-apa. Di hadapannya, Alea berdiri seperti sosok yang rapuh, tetapi sorot matanya membawa luka yang membara—luka yang tak pernah sepenuhnya disembuhkan.Wajah Arka memucat. Kata-kata Alea seperti badai yang menghantam dinding pertahanan terakhirnya, menghancurkan semua pembelaan diri yang ingin ia ucapkan. Ia mencoba membuka mulut, tetapi tidak ada suara yang keluar. Napasnya berat, seperti tertahan oleh rasa bersalah yang menyesakkan.Akhirnya, dengan suara bergetar, Arka berkata, “Apa? Itu ... itu tidak mungkin …”Alea menatapnya, air mata menetes perlahan di pipinya yang memerah karena emosi. Namun, ia tetap berdiri tegak, meskipun tubuhnya terasa goyah oleh kenyataan yang menghimpitnya. “Kenapa kamu terus berbohong padaku?” tanyanya, suaranya pecah tetapi penuh ketegasan. “
Randy duduk di kursi pengemudi, menggenggam setir mobil dengan erat. Memutuskan untuk meninggalkan mobil Alea di kafe, karena Randy takut terjadi apa-apa kalau Alea menyetir mobil sendiri. Mobil melaju perlahan di jalanan kota yang mulai diselimuti gelap malam. Di kursi penumpang, Alea duduk diam sambil menatap ke luar jendela. Namun, air mata yang terus mengalir di pipinya tidak bisa disembunyikan. Tangannya memeluk tas kecil di pangkuannya, seolah itu satu-satunya pegangan yang ia miliki saat ini. Randy melirik Alea sesekali, tetapi tidak berkata apa-apa. Ia tahu Alea butuh waktu untuk menenangkan diri, tetapi setiap isakan pelan yang terdengar darinya membuat hatinya terasa semakin berat. Randy akhirnya mengambil napas panjang, mencoba membuka percakapan dengan lembut. “Alea,” panggilnya pelan, suaranya penuh perhatian. “Aku tahu ini berat, tapi kamu nggak boleh menyimpan semuanya sendiri. Kalau kamu mau bicara, aku di sini.” Alea tidak langsung menjawab. Matanya masih tertu
Alea menatap amplop yang diletakkan Dina di atas meja. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya. Wajahnya memerah, tetapi bukan karena malu, melainkan karena kemarahan yang ia coba tahan sekuat tenaga. “Jadi, kamu pikir kamu bisa datang ke sini dan memberitahuku begitu saja? Bahwa kamu hamil?” tanya Alea dengan suara rendah namun penuh ketegangan. “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan?” Dina menatapnya dengan sorot mata angkuh, bibirnya melengkung membentuk senyum yang tampak penuh kepuasan. “Kenapa? Kamu merasa terancam?” tanyanya, nadanya sengaja dibuat ringan, hampir menghina. “Jangan khawatir, Alea. Aku sudah cukup mengenalmu. Aku tahu betul siapa kamu. Kamu akan menerima kenyataan ini, meskipun berat. Lagipula, ini sudah seharusnya terjadi. Kalau dia akhirnya memilihku, berarti kita memang ditakdirkan bersama.” Alea menelan ludah, mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh. Ia tersenyum pahit, meskipun matanya mulai berair. “Jadi, kamu data
Langit berwarna abu-abu, awan tebal menggantung rendah seolah menjadi cerminan kegelisahan hati Alea. Hari itu, ia memutuskan untuk bertemu Dina di sebuah kafe kecil yang terletak di pinggir kota. Tempat itu jauh dari keramaian, memberi ruang untuk percakapan yang penuh ketegangan.Alea mempersiapkan dirinya dengan hati-hati. Pakaian sederhana yang ia kenakan memberikan kesan netral, tetapi sorot matanya penuh keteguhan. Ia memberitahu Randy tentang tempat dan waktu pertemuan tersebut, namun dengan tegas meminta pria itu untuk tidak datang."Aku harus menghadapi ini sendiri," kata Alea sebelumnya.Alea duduk di salah satu sudut ruangan, punggungnya tegak, matanya terus mengamati pintu masuk. Di tangannya, ponsel bergetar. Pesan dari Randy muncul di layar:Randy: "Kalau ada apa-apa, kabari aku. Aku nggak akan jauh."Alea menarik napas panjang, mengetik balasan singkat.Alea: "Aku baik-baik saja, Ran. Jangan khawatir."Ia tahu Randy tidak akan tinggal diam sepenuhnya. Pria itu memiliki
Malam setelah kejadian makan malam hari itu, Alea duduk di ruang tamu dengan buku sketsa terbuka di pangkuannya. Pensil yang digenggamnya berhenti bergerak, garis-garis di kertas itu setengah jadi, mencerminkan pikirannya yang penuh kekacauan. Selama sebulan terakhir, ia memilih untuk menunggu. Tidak ada konfrontasi, tidak ada tuduhan hanya keheningan yang menjadi perisai sekaligus senjatanya. Ia tahu, kebenaran tidak bisa disembunyikan selamanya. Cepat atau lambat, salah satu dari mereka, entah Dina atau Arka akan buka suara. Yang ia butuhkan hanyalah kesabaran, meskipun setiap harinya terasa seperti peperangan dengan dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di meja, memecah keheningan. Nama "Nomor Tidak Dikenal" muncul di layar, membuat Alea terdiam. Ia tahu siapa itu. Ia menatap layar untuk beberapa saat, mencoba menenangkan napasnya sebelum akhirnya menggeser ikon hijau. “Halo?” Alea membuka percakapan dengan nada datar, tanpa emosi. Suara di seberang terdengar lembut, seperti
Dina melangkah keluar dari ballroom hotel dengan langkah cepat, high heels hitamnya beradu dengan lantai marmer yang dingin. Setiap langkah terasa seperti tamparan bagi dirinya sendiri, menghancurkan kepercayaan yang tadi ia bawa masuk ke ruangan itu. "Dia berani menantangku," pikir Dina sambil mengatur napasnya yang mulai memburu. Tangannya mencengkeram clutch hitamnya begitu erat hingga buku-bukunya memutih. Saat pintu otomatis terbuka, udara malam yang dingin menyambutnya. Dina mendongak menatap langit yang gelap, hanya dihiasi beberapa bintang samar. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Bagaimana dia bisa terlihat begitu ... sombong?” bisiknya, matanya menatap kosong ke jalan raya yang ramai. Dina memikirkan setiap detik percakapan mereka di dalam ballroom. Senyum Alea, sorot mata yang tajam, cara bicara yang tenang namun mematikan. Semuanya seperti duri yang menusuk egonya. --- Di dalam mobilnya, Dina duduk dengan tubuh tegak, tetapi hatinya masih bergolak