"Urusanku bukan cuma soal kamu Alea."
Kalimat itu keluar dari bibir Arka seperti pisau tajam, dingin dan tanpa emosi. Kata-kata itu terus menggema di kepala Alea, bahkan bertahun-tahun setelah ia mendengarnya.
Sekarang hatinya seperti kaca yang retak—tidak pernah benar-benar utuh lagi.
Dulu, Arka adalah segalanya. Sosok pria yang setiap malam memastikan pintu terkunci, memeluknya erat saat ia bermimpi buruk, dan selalu mengirim pesan, "Aku akan terlambat pulang, jangan tunggu aku, ya."
Sekarang? Arka adalah pria yang bahkan tak pernah benar-benar pulang, meski tubuhnya ada di rumah. Kehangatan itu lenyap, seperti mimpi yang menguap sebelum sempat ia genggam.
Alea mengingat masa-masa indah mereka, pernikahan yang penuh tawa dan janji. Saat ia mengabarkan bahwa dirinya hamil, Arka memeluknya begitu erat, mencium perutnya yang masih datar, lalu berkata dengan mata berbinar, "Aku akan jadi ayah yang terbaik untuk anak kita." Saat itu, Alea percaya bahwa bahagianya akan abadi.
Tapi semuanya berubah setelah Raka lahir. Pelukan itu perlahan menghilang. Kata-kata penuh cinta digantikan dengan keheningan yang memekakkan.
Arka mulai pulang larut tanpa kabar, mengunci diri di ruang kerja, dan setiap kali mereka bicara, nada suaranya terdengar seperti berbicara dengan orang asing.
Malam ini, Alea duduk sendirian di ruang tamu, menatap cangkir teh yang sudah dingin. Pikirannya berkelana ke hari-hari ketika cinta mereka masih utuh, ketika Arka masih pria yang membuatnya merasa seperti satu-satunya wanita di dunia ini.
Sekarang, ia hanyalah seorang istri yang dilupakan, seorang wanita yang mencoba bertahan dengan sisa-sisa cinta yang hampir habis.
"Apa aku salah?" pikir Alea, membiarkan air mata yang tertahan akhirnya jatuh. Ia tidak tahu apa yang salah. Tetapi ia tahu satu hal, Arka yang dulu, pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, telah menghilang.
Dan yang tersisa hanyalah bayangannya.
Alea masih membuka matanya malam itu, terjaga dalam kegelapan kamar yang sunyi. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari.
Di sampingnya, Arka berbaring dengan posisi membelakangi, napasnya teratur, tanda ia sudah lama tenggelam dalam mimpi.
Alea menatap siluet suaminya yang terasa asing. Dulu, saat mereka baru menikah, posisi ini sering jadi candaan kecil di antara mereka. “Aku nggak bisa tidur kalau membelakangi kamu, Alea,” katanya sambil tersenyum, lalu memeluknya erat. Tapi kini, itu hanya tinggal memori yang terasa jauh.
Alea menghela napas panjang, merasakan dingin yang menyusup hingga ke tulang. “Masihkah aku ada di hatimu, Mas?” gumamnya lirih.
Ia tidak berani berkata lebih keras, takut keheningan malam akan mengungkap semua luka yang selama ini coba ia pendam. Tangannya terulur, ingin menyentuh bahu Arka, namun ia urungkan niat itu.
Di luar, suara hujan mulai terdengar, mengetuk perlahan di kaca jendela kamar. Alea memejamkan mata, berharap hujan bisa menenangkan hatinya yang kacau.
Tapi justru memori lama mulai mengalir, membawa ia kembali pada saat segalanya terasa sempurna.
Hujan semakin deras, membawa Alea kembali ke kenyataan. Janji itu ... janji yang dulu diucapkan dengan penuh keyakinan kini terasa kosong.
Ia menarik napas dalam-dalam, menatap langit-langit kamar. Mungkin, cinta mereka dulu terlalu indah untuk bertahan menghadapi kenyataan hidup.
Alea meraih ponselnya, membuka galeri foto. Foto pernikahan mereka masih ada di sana.
Dalam gambar itu, Arka tersenyum lebar, memandang Alea dengan tatapan penuh cinta. Alea memandang dirinya sendiri di foto itu, mengingat betapa bahagianya ia saat itu.
Tapi sekarang, bayangan di cermin hanya menunjukkan seorang perempuan yang lelah, dengan mata sembab dan senyum yang sulit ditemukan.
Pagi itu, seperti biasa, Alea bangun lebih awal. Langkahnya pelan menuju dapur, untuk menyiapkan kopi dan sarapan. Di ruang tengah, Raka asyik menonton kartun, tawanya sesekali terdengar, menjadi satu-satunya suara yang mengisi rumah yang sunyi.
Saat ia mengaduk kopi, pintu kamar terbuka. Arka muncul dengan langkah tegas, mengenakan setelan rapi seperti biasa. Wajahnya tampan, tapi kosong—tanpa senyum, tanpa kehangatan.
Matanya bertemu dengan Alea sejenak, tapi hanya lewat seperti angin, tak ada sorot yang menunjukkan cinta atau perhatian. Ia berjalan menuju meja, mengambil cangkir kopi yang sudah disiapkan Alea. Gerakannya sederhana, tetapi terasa dingin, seolah ini hanya rutinitas tanpa arti.
“Pagi,” katanya singkat, mengambil kopi yang sudah Alea siapkan.
Alea mencoba tersenyum. “Mas, aku udah bikin sarapan. Makan dulu ya, sebelum ke kantor.”
Arka tidak menoleh. “Nggak usah. Aku sarapan di kantor aja.” Suaranya datar, tanpa sedikit pun perhatian.
Alea terdiam. “Oke, hati-hati ya, Mas,” katanya pelan, menahan rasa yang menghantam dadanya.
Arka hanya mengangguk kecil sebelum melangkah keluar, seolah keberadaan Alea hanyalah bayang-bayang yang tak layak diperhatikan.Sebelum pergi, ia membungkuk untuk mencium kening Raka dengan lembut—satu-satunya momen hangat yang masih tersisa darinya.
Tetapi kepada Alea? Tidak ada. Bahkan tidak sepatah kata atau tatapan singkat.
Pintu tertutup, dan keheningan yang menyakitkan kembali mengisi rumah. Alea berdiri di dapur, tubuhnya terasa seperti batu yang berat. Ia menatap cangkir kopi di tangannya, yang dinginnya mulai menyusup hingga ke hatinya.
Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh, satu per satu, membasahi pipinya. Suara hatinya berbisik dengan getir, “Masihkah aku ada di hatinya? Atau aku sudah benar-benar hilang dari dunianya?”
Di dalam dirinya, cinta yang dulu terasa kokoh kini seperti reruntuhan yang hanya menyisakan debu dan luka. Luka yang terus berdarah setiap kali Arka berlalu tanpa melihatnya.
Namun, tawa kecil Raka yang sedang menonton serial kartun kesukaannya seolah menjadi pengingat bagi Alea. Ia mengusap wajahnya dengan cepat, mencoba menghapus jejak air mata yang tidak akan hilang begitu saja dari hatinya. Ia tahu, meski hatinya runtuh, ia harus tetap berdiri untuk Raka!
Pagi itu terasa seperti rutinitas yang sama, tetapi Alea tahu ada sesuatu yang berubah. Atau lebih tepatnya, sesuatu yang telah lama hilang. Ia berdiri di dapur, mengaduk kopi dengan tangan yang sedikit gemetar. Pintu kamar terbuka, suara langkah tegas yang ia kenal baik terdengar mendekat.Arka muncul dengan setelan kemeja biru dan dasi abu-abu, rapi seperti biasa. Wajahnya tetap dingin, seperti patung yang tak bernyawa. Ia tidak menatap Alea. Bahkan keberadaannya di ruangan itu terasa seperti angin yang lewat—ada, tetapi tidak menyentuh."Mas, aku udah bikin sarapan. Makan dulu ya sebelum berangkat," ujar Alea, mencoba menghangatkan suasana dengan suara selembut mungkin.Tanpa menoleh, Arka mengambil cangkir kopi yang ia tahu sudah disiapkan Alea. "Nggak usah. Aku makan di luar aja," katanya singkat, suaranya dingin seperti pagi yang beku.Alea terdiam. Napasnya tertahan sejenak, tetapi ia mencoba tersenyum kecil. "Oh ... oke. Tapi, jangan lupa makan ya, Mas. Kamu sering banget lupa
Pagi itu, langit Bandung kelabu, seperti menggambarkan suasana hati Alea yang tak pernah cerah. Setelah semalaman menunggu tanpa kepastian, Arka tak kunjung pulang.Hatinya terasa hampa, tetapi ia tetap bangkit, menyiapkan sarapan sederhana untuk Raka. Senyum kecil anaknya saat melahap roti bakar adalah satu-satunya yang masih membuat Alea merasa hidup.Seusai mengantar Raka ke sekolah, Alea mencoba menenangkan dirinya dengan berjalan-jalan di sekitar pusat kota. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat sesuatu yang membuat seluruh tubuhnya gemetar.Arka.Ia berdiri di depan sebuah kafe bersama seorang wanita. Wanita itu mengenakan dress hitam sederhana yang membalut tubuhnya dengan anggun. Rambut hitamnya panjang tergerai, berkilau diterpa sinar matahari pagi. Alea tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, tetapi tubuhnya terasa kaku saat Arka tertawa kecil dan memegang bahu wanita itu dengan santai.Tangan Alea bergetar. Ia mencoba meraih ponselnya, tetapi jari-jarinya terasa lem
Alea berdiri di ruang tamu, tubuhnya seperti kehilangan kekuatan untuk menopang. Air mata terus mengalir di pipinya, tidak peduli seberapa keras ia mencoba menghentikannya. Suara pintu kamar yang terbuka kembali membuatnya tersentak. Dengan mata yang buram oleh tangis, ia melihat Arka keluar, membawa tas besar di tangan dan beberapa pakaian tergantung di lengannya.Pria itu tidak mengatakan apa-apa, hanya berjalan melewatinya seperti orang asing. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan—hanya keheningan yang terasa lebih menyakitkan daripada ribuan kata kasar.Langkah Arka berat, tetapi tidak ragu, seperti seseorang yang telah memutuskan untuk meninggalkan sesuatu yang tidak lagi berharga baginya.“Mas,” suara Alea pecah, bergetar seperti daun di tengah badai. “Kamu mau ke mana?”Nada suaranya memohon, penuh dengan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. Ia tahu, pertanyaannya mungkin terdengar sia-sia, tetapi ia tidak bisa menahan diri. Ia butuh jawaban, bahkan jika jawaban it
“Alea?” panggil Arka, nada suaranya rendah tetapi penuh ketegasan. Suara itu dingin, tanpa sedikit pun kehangatan, seperti pisau yang mengiris keheningan di koridor kantor. “Ngapain kamu di sini?”Nada itu tidak ramah, bahkan cenderung menegur, seolah kehadiran Alea adalah sebuah gangguan yang tidak diinginkan.Alea mencoba mengumpulkan kekuatan, meskipun hatinya terasa berat. “Aku mau bicara sama kamu, Mas,” katanya pelan, suaranya hampir bergetar. Matanya mencoba mencari sesuatu di balik tubuh Arka, berharap bisa melihat wanita yang tadi bersamanya.Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, Arka bergerak cepat, tubuhnya dengan sengaja menghalangi pandangan Alea.“Di luar aja,” katanya tegas, wajahnya tanpa ekspresi. “Jangan bikin ribut di kantor.”Alea terdiam, tetapi ia tahu ini bukan saatnya mundur. Dengan langkah lamban, ia mengikuti Arka keluar gedung. Angin dingin menyambut mereka di parkiran yang sepi, menciptakan suasana yang lebih mencekam.Arka berhenti di sudut yang ja
Alea menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan dari grup alumni SMA.“Reuni akbar! Jangan sampai nggak datang, ya. Kangen kalian semua!”Kata-kata itu sederhana, namun menggema dalam pikirannya. Pesan itu seperti pintu menuju masa lalu, masa di mana dirinya masih penuh tawa dan mimpi. Jauh sebelum semua ini, sebelum ia tenggelam dalam pernikahan yang hanya menyisakan luka.Ia duduk di sofa, menggenggam ponselnya erat. Pikiran-pikirannya berputar, menciptakan dialog dalam kepalanya. “Apa aku akan terlihat lemah? Apa mereka akan melihat semua retakan dalam hidupku?”Hatinya memanas dengan rasa takut, tetapi juga rindu. Reuni ini mungkin menjadi pelarian kecil, pikirnya, atau mungkin hanya pengingat betapa ia telah berubah—betapa dunianya kini jauh dari bahagia.Ponselnya kembali bergetar, pesan dari Cinta masuk. “Al, aku udah bilang ya, kamu nggak boleh nolak! Kamu harus datang. Nanti kita ketemu disana, oke?” Kalimat itu terdengar seperti tuntutan lembut yang membuat Alea tersenyum
Langkah Randy mendekat perlahan, setiap langkahnya seolah menggema dalam kepala Alea. Ia ingin berpaling, menghindar dari tatapan itu, tetapi tubuhnya seperti membeku. Rasa cemas, gugup, dan emosi lain yang tak bisa ia pahami bercampur menjadi satu.Cinta, yang masih berdiri di sampingnya, tampak bingung melihat perubahan ekspresi Alea. “Alea, itu Randy ‘kan?” tanya Cinta dengan suara pelan, tetapi tidak mendapatkan jawaban.Ketika Randy akhirnya berhenti di depan mereka, Alea menahan napas. Mata coklat pria itu menatap langsung ke dalam matanya, seolah mencari sesuatu yang hilang.“Alea,” panggil Randy, suaranya lembut, sedikit ragu. Senyuman kecil masih menghiasi wajahnya, tetapi ada keraguan yang tersirat di balik tatapannya. “Lama nggak ketemu.”Hati Alea terasa seperti diremas. Suara itu, meskipun sederhana, membawa ia kembali ke masa lalu. Ke masa di mana Randy adalah pusat dunianya. Dengan susah payah, ia mengumpulkan keberanian untuk menjawab. “Iya, lama nggak ketemu.”Randy me
Alea berdiri di depan pintu rumah, tubuhnya gemetar saat ia mencoba mencari kunci di dalam tas kecilnya. Malam itu begitu sunyi, hanya suara serangga malam yang terdengar samar. Dari kejauhan, lampu mobil Randy masih menyala, memberikan penerangan lembut di depan rumah.Randy duduk di balik kemudi, matanya tidak lepas dari Alea. Ia memastikan perempuan itu benar-benar masuk ke rumah dengan aman. Saat pintu rumah terbuka, Alea menoleh, mengangguk kecil sebagai tanda terima kasih. Randy membalas dengan senyuman tipis sebelum menghidupkan mesin mobil dan pergi.Namun, hanya beberapa detik setelah Randy berlalu, suara mobil lain mendekat dengan kecepatan yang terasa mengintimidasi. Alea menoleh, dan dadanya langsung terasa berat saat melihat mobil Arka berhenti tepat di depan rumah.Arka keluar dengan langkah cepat, membawa tas kerja di satu tangan. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi matanya … tatapan itu bukan sekadar lelah. Ada sesuatu yang mengintai di sana—amarah, kecurigaan, atau
Di lorong supermarket yang lengang, Alea mendorong troli dengan langkah lambat. Ia memilih bahan makanan satu per satu, mengisi troli tanpa benar-benar memikirkan apa yang ia butuhkan. Kepalanya penuh dengan berbagai pikiran, tentang rumah yang semakin dingin, tentang Arka yang kian menjauh, dan tentang dirinya yang mulai kehilangan arah.Namun, suara yang familiar memecah lamunannya.“Alea? Kamu belanja sendirian?”Alea menoleh, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Di sana, berdiri Randy dengan senyum khasnya, mengenakan pakaian kasual yang terlihat rapi. Kehadirannya yang tiba-tiba membuat Alea tertegun, seolah waktu di sekitarnya melambat.“Randy? Kebetulan banget,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa canggung, meskipun suaranya terdengar sedikit bergetar.Mereka berjalan menyusuri lorong demi lorong, berbincang ringan. Ada kenyamanan dalam percakapan itu, sesuatu yang membuat Alea merasa didengar—hal yang sudah lama tidak ia rasakan.“Kamu kerja di mana sekarang, Ran?” tanya Al
Arka baru saja keluar dari ruang pemeriksaan, berdiri hanya beberapa langkah dari Alea. Mata hitamnya tajam, menusuk tanpa perlu banyak kata. Sorotnya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehadiran, sebuah peringatan yang tak perlu diucapkan.Randy mengerti pesan itu. Ia bisa merasakannya, bisa melihatnya dalam ekspresi Arka yang dingin dan penuh penguasaan.Dan entah kenapa, hal itu menusuknya lebih dalam daripada yang seharusnya.Di hadapannya, ada Alea, wanita yang ia cintai dengan sepenuh hati. Tetapi di sampingnya, berdiri pria yang memiliki ikatan lebih kuat dengannya. Ikatan yang tak bisa ia lawan, tak peduli seberapa besar keinginannya untuk tetap berada di sisi Alea.Ada perbedaan mendasar di antara mereka.Jika Alea terluka, Randy akan selalu datang untuknya. Tetapi Arka? Arka adalah luka itu sendiri. Luka yang menyakitkan, yang merobek, tetapi pada akhirnya, luka itu juga yang mengajarkan Alea cara untuk bertahan.Randy menelan ludah, lalu perlahan menundukkan k
Hari-hari berlalu, tetapi keheningan yang mencekik sejak perpisahannya dengan Randy masih mengurung Alea dalam kesedihan yang tak berujung. Ia meyakinkan dirinya bahwa ini adalah keputusan terbaik, tetapi hatinya tetap terasa hampa. Luka yang tak terlihat itu tetap ada, menyelimuti dadanya dengan perasaan kehilangan yang sulit diungkapkan.Namun, di tengah kekalutan itu, hidup kembali memberinya ujian yang lebih besar.Saat sedang berada di pusat terapi seni, ia merasakan ponselnya bergetar di atas meja. Awalnya, ia enggan mengangkatnya, tetapi ketika melihat nama sebuah rumah sakit yang muncul di layar, detak jantungnya langsung berdebar keras.Dengan tangan sedikit gemetar, ia menekan tombol jawab."Halo?""Apakah ini ibu dari Raka Wicaksana?" Suara seorang perawat terdengar di seberang sana.Jantung Alea mencelos. "Iya, saya ibunya. Ada apa dengan Raka?""Putra Anda mengalami kecelakaan. Kami membawanya ke rumah sakit dalam kondisi kritis. Anda harus segera datang."Dunia Alea seke
Alea berdiri di depan cermin panjang di sudut galeri, menatap bayangannya sendiri seperti melihat seseorang yang tak lagi ia kenali.Cahaya lampu galeri yang temaram membentuk siluetnya, tubuh yang dulu ia banggakan kini tampak begitu rapuh. Matanya sembab, kelopak merah, jejak tangis yang terlalu lama ditahan membuat wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Ia menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara memenuhi paru-parunya, seolah itu bisa menguatkannya.‘Ini yang terbaik,’ ia berbisik dalam hati. Ini yang seharusnya terjadi.Suara-suara itu masih menggema di telinganya."Dia janda, Randy. Dan dia punya anak. Apa kamu benar-benar sudah memikirkan ini?""Cinta saja tidak cukup."Alea menggigit bibir, mencoba menghalau perih yang tiba-tiba menyusup ke dadanya. Ia tahu sejak awal bahwa menjalin hubungan dengan Randy tidak akan mudah. Ia sadar ada batas yang mungkin tidak bisa mereka langkahi. Namun tetap saja, kata-kata itu terasa seperti palu yang menghantam hatinya berkali-kali.L
Di tengah keramaian pameran, Alea sibuk menjelaskan sebuah lukisan kepada beberapa pengunjung. Cahaya hangat dari lampu-lampu galeri memantulkan bayangan samar di lantai marmer, menciptakan atmosfer elegan yang kontras dengan kegelisahan yang perlahan menyusup ke dalam dirinya.Di sudut ruangan, Randy berdiri diam, memperhatikan Alea dengan senyum bangga. Ia kagum melihat bagaimana perempuan itu mampu menguasai ruangan, berbicara dengan percaya diri, dan membuat orang-orang terpukau dengan caranya bercerita tentang seni.Namun, suasana yang tenang itu berubah seketika saat dari arah pintu masuk, sepasang suami istri berpenampilan elegan melangkah masuk. Mereka tampak mencari seseorang, tatapan mereka menyapu ruangan dengan penuh tujuan.“Randy!” panggil wanita itu dengan nada ramah tetapi tegas.Randy menoleh. Wajahnya seketika berubah. Ada keterkejutan dalam matanya, diikuti dengan ketegangan halus yang sulit disembunyikan.“Ma, Pa?”Alea yang baru saja menyelesaikan penjelasannya ke
Arka menatapnya, matanya tajam seperti biasanya. “Perusahaan kami adalah salah satu sponsor acara ini,” jawabnya singkat, nada dinginnya terasa menusuk.“Dan kamu? Apa alasanmu ada di sini?”Randy mengangguk ringan, berusaha menjaga ketenangannya. “Aku datang untuk mendukung Alea,” jawabnya jujur, meskipun ia bisa merasakan atmosfir di antara mereka berubah tegang.Arka mengangkat alisnya sedikit, sebuah gerakan kecil yang menunjukkan ketidakpuasannya.“Mendukung Alea?” tanyanya, meskipun sebenarnya ia sudah tahu jawabannya. “Kamu sepertinya cukup sering ada di dekatnya akhir-akhir ini.”Randy tersenyum kecil, meskipun ia tahu ada pertanyaan terselubung di balik kata-kata itu. “Iya, aku memang sering di dekatnya. Karena aku peduli sama dia. Sama Raka juga.”Arka mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha mengendalikan emosi yang mulai muncul.“Raka?” ulangnya, nada suaranya semakin rendah. “Jadi, kamu pikir kamu cukup peduli untuk ada di kehidupan mereka?”Randy menatap Arka dengan
Alea menggeleng sambil tertawa kecil. “Jangan lebay.”“Tapi itu kenyataannya,” Randy bersikeras dengan senyum lebar. “Aku nggak bakal melewatkan momen penting dalam hidup kamu.”“Dan aku juga berharap dapat panduan khusus dari kamu. Siapa tahu ada cerita menarik di balik karya-karya itu.”Alea tertawa kecil. “Aku nggak bisa janji cerita semuanya. Banyak yang terlalu pribadi.”“Fair enough,” Randy mengangkat bahu sambil tersenyum. “Aku tetap nggak sabar buat datang dan lihat kamu bersinar di tempat kerja kamu.”Alea terdiam sejenak, memandangi Randy dengan rasa terima kasih yang sulit ia ungkapkan dengan kata-kata. “Makasih, Randy. Aku… aku senang kamu mau datang.”“Selalu, Alea,” jawab Randy lembut. “Aku di sini buat kamu dan Raka, kapan pun kamu butuh.”Malam itu berlanjut dengan percakapan ringan tentang pameran, tentang Raka, dan tentang seni yang membantu orang-orang menemukan diri mereka. Suasana apartemen Alea yang hangat, ditambah perhatian tulus dari Randy, membuat malam itu t
Nama itu menghantam Arka seperti petir di siang bolong.“Randy?” ulang Arka dengan suara lebih pelan, hampir berbisik. “Dia juga ada di Singapura?”“Iya,” jawab Risa di seberang telepon, nada suaranya hati-hati. “Dia sopan, dan aku bisa lihat dia sangat perhatian ke Alea dan Raka. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ... aku pikir kamu berhak tahu.”Arka terdiam, mencoba mencerna kabar itu. Tangannya mengepal di sisi meja, napasnya tertahan, sementara matanya terpaku pada foto keluarga yang terpajang di dinding ruang kerjanya. Foto itu, yang menunjukkan dirinya, Alea, dan Raka dengan senyum lebar, kini terasa seperti kenangan dari dunia lain.“Terima kasih, Kak,” katanya akhirnya, suaranya kaku, hampir tanpa emosi.Risa menarik napas panjang di seberang. Ia tahu kabar ini akan mengguncang Arka, tetapi ia merasa tidak ada gunanya menyembunyikan kenyataan. “Arka, aku nggak bilang ini untuk bikin kamu merasa buruk. Aku cuma ingin kamu tahu kenyataannya, apa pun itu. Alea juga
Randy tidak langsung menjawab. Ia hanya menunggu, menatap Alea dengan kesabaran yang tak tergoyahkan.“Tapi …” lanjut Alea, menarik napas dalam-dalam. “Aku lelah terus berlari, Randy. Aku ingin mencoba. Aku ingin memberi kita kesempatan. Meski aku nggak tahu apa aku bisa berjalan secepat kamu.”Wajah Randy berubah cerah. Ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “Alea, kamu nggak tahu betapa aku bersyukur dengar itu.”Namun, sebelum Randy bisa melanjutkan, Alea menoleh, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi aku juga harus jujur, Randy. Perjalanan ini nggak akan mudah. Aku masih membawa luka yang belum sembuh sepenuhnya. Dan aku nggak mau kamu terluka karenanya.”Randy menggenggam tangan Alea, jemarinya hangat dan penuh ketulusan. “Alea, aku nggak peduli seberapa sulitnya. Aku di sini bukan untuk mencari kesempurnaan. Aku di sini untuk berjalan bersama kamu, setapak demi setapak, sesakit apa pun itu.”Air mata akhirnya jatuh di pipi Alea. Kata-kata Randy begitu sederhana, tetap
Randy tersenyum, lalu menjawab dengan nada lembut. “Aku ingin memastikan kamu benar-benar tahu kalau aku serius dengan perasaanku. Dan aku di sini bukan untuk terburu-buru. Aku di sini untuk jalanin ini sama-sama, dengan sabar, sampai kamu benar-benar yakin.”Kata-kata Randy membuat hati Alea bergetar. Ia tahu Randy tulus, dan itu membuat segalanya terasa lebih rumit. Alea duduk di sofa, memandangi Randy yang masih tersenyum hangat.“Randy … aku nggak tahu apa aku bisa kasih yang kamu butuhkan,” kata Alea pelan, nadanya dipenuhi keraguan.“Kamu nggak perlu kasih apa-apa, Alea,” jawab Randy cepat. “Cukup kasih aku kesempatan. Itu aja.”***Malam itu, setelah Randy pergi, Alea duduk di sofa kecilnya dengan perasaan campur aduk. Suasana apartemennya yang biasanya hangat kini terasa hening, seolah-olah menyerap semua kebingungan yang melingkupi pikirannya. Cangkir teh di tangannya sudah dingin, tetapi ia masih menggenggamnya erat, seolah mencari kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam