Home / Pernikahan / Terpenjara Dalam Kesetiaan / Bab 1 : Luka yang Tak Terucap

Share

Terpenjara Dalam Kesetiaan
Terpenjara Dalam Kesetiaan
Author: Duvessa

Bab 1 : Luka yang Tak Terucap

Author: Duvessa
last update Last Updated: 2024-11-26 21:22:03

Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat.

Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah.

Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah.

Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam.

Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.”

Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jarak yang kian terasa.

Alea menahan napas sejenak, mencoba membendung air mata yang mulai menggenang. Malam ini sama seperti malam-malam sebelumnya, ia harus melawan sepi sendirian, bertahan dalam hubungan yang semakin terasa jauh.

---

Alea masih membuka matanya malam itu, terjaga dalam kegelapan kamar yang sunyi. Jam di dinding menunjukkan pukul dua dini hari.

Di sampingnya, Arka terbaring dengan posisi membelakangi, napasnya teratur, tanda ia sudah lama tenggelam dalam mimpi.

Alea menatap siluet suaminya yang terasa asing. Dulu, saat mereka baru menikah, posisi ini sering jadi candaan kecil di antara mereka. “Aku nggak bisa tidur kalau membelakangi kamu, Alea,” katanya sambil tersenyum, lalu memeluknya erat. Tapi kini, itu hanya tinggal memori yang terasa jauh.

Alea menghela napas panjang, merasakan dingin yang menyusup hingga ke tulang. “Masihkah aku ada di hatimu, Mas?” gumamnya lirih.

Ia tidak berani berkata lebih keras, takut keheningan malam akan mengungkap semua luka yang selama ini coba ia pendam. Tangannya terulur, ingin menyentuh bahu Arka, namun ia urungkan niat itu.

Di luar, suara hujan mulai terdengar, mengetuk perlahan di kaca jendela kamar. Alea memejamkan mata, berharap hujan bisa menenangkan hatinya yang kacau.

Tapi justru memori lama mulai mengalir, membawa ia kembali pada saat segalanya terasa sempurna.

---

Hujan semakin deras, membawa Alea kembali ke kenyataan. Janji itu... janji yang dulu diucapkan dengan penuh keyakinan kini terasa kosong.

Ia menarik napas dalam-dalam, menatap langit-langit kamar. Mungkin, cinta mereka dulu terlalu indah untuk bertahan menghadapi kenyataan hidup.

Alea meraih ponselnya, membuka galeri foto. Foto pernikahan mereka masih ada di sana.

Dalam gambar itu, Arka tersenyum lebar, memandang Alea dengan tatapan penuh cinta. Alea memandang dirinya sendiri di foto itu, mengingat betapa bahagianya ia saat itu.

Tapi sekarang, bayangan di cermin hanya menunjukkan seorang perempuan yang lelah, dengan mata sembab dan senyum yang sulit ditemukan.

Tiba-tiba, suara kecil terdengar dari kamar sebelah. Alea segera bangkit, melangkah menuju kamar Raka. Bocah kecil itu tampak menggeliat gelisah di tempat tidurnya. “Bunda...” gumam Raka dengan suara pelan.

“Ada apa, Nak?” Alea duduk di samping Raka, membelai rambutnya yang halus.

“Bunda... aku mimpi buruk,” kata Raka, matanya yang besar dan cokelat menatap Alea dengan penuh harap.

Alea tersenyum lembut. “Mimpi apa?”

“Ayah nggak pulang...” jawab Raka, membuat Alea terdiam. Kata-kata itu seperti hantaman langsung ke dadanya.

“Bunda di sini, kok. Ayah juga sayang sama kamu,” kata Alea, meskipun suaranya sedikit gemetar.

Ia tahu Raka sangat merindukan perhatian dari Arka, tapi ia tidak tahu bagaimana menjelaskan kenyataan yang sebenarnya pada anak sekecil itu.

“Bunda, peluk aku,” pinta Raka, dan Alea segera memeluknya erat.

“Raka harus tahu, apa pun yang terjadi, Bunda selalu ada buat Raka, ya?” ucap Alea, mencoba menenangkan putranya.

---

Pagi datang terlalu cepat. Seperti biasa, Alea bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan.

Arka masih terlelap di kamar, sementara Raka sedang menonton kartun kesukaannya di ruang tengah.

Ketika Alea sedang mengaduk kopi, suara pintu kamar terbuka terdengar.

Arka muncul, langkahnya tenang namun tegas. Rambut cokelatnya yang ditata rapi memberi kesan profesional, berpadu dengan wajah tampannya yang tegas.

Dada bidangnya terlihat menonjol di balik kemeja putih yang ia kenakan, dan setelan jas gelap melengkapi penampilannya sebagai pria yang selalu terlihat sempurna. Dengan tinggi sekitar 180 cm, ia tampak memancarkan aura karismatik yang sulit diabaikan.

“Pagi,” sapa Arka singkat sambil mengambil gelas kopi yang sudah disiapkan Alea.

“Mas, aku udah bikin sarapan. Makan dulu, ya,” ucap Alea, mencoba terdengar ceria.

“Nggak usah, aku sarapan di kantor aja,” jawab Arka tanpa menatap Alea.

Alea terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Oke, hati-hati ya, Mas.”

Arka hanya mengangguk kecil, lalu melangkah keluar rumah. Sebelum pergi, ia sempat mencium kening Raka, tetapi tidak satu kata pun ditujukan pada Alea.

Ketika pintu tertutup, Alea merasakan gelombang kesedihan yang tak bisa ia tahan. Air mata yang tadi ia tahan di hadapan Raka kini mengalir pelan.

Baginya, Arka bukan hanya pergi bekerja, melainkan semakin jauh dari jangkauannya. Dari kehidupan yang pernah mereka bangun bersama.

Dengan berat hati, Alea mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke rutinitas harian, memastikan bahwa Raka bahagia meskipun hatinya sendiri perlahan hancur.

Di tengah senyuman yang ia pasang untuk anaknya, ia mulai bertanya-tanya dalam hati, “Apakah aku bisa terus bertahan?”

Ia tidak tahu sampai kapan dirinya bisa menjalani hari-hari yang kosong ini, tetapi satu hal yang pasti demi Raka, ia harus tetap berdiri.

Walaupun di dalam hatinya, luka itu semakin dalam dan tak terucapkan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fitri
Love this story 🤍
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 2: Bayangan Masa Lalu

    Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga

    Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 4: Mencari Arti yang Hilang

    Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 5: Pecahan yang Belum Tersusun

    Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b

Latest chapter

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 5: Pecahan yang Belum Tersusun

    Arka duduk di kursi kantor, menatap layar komputer di depannya tanpa melihat apapun. Tugas yang seharusnya ia kerjakan terasa membingungkan dan memusingkan. Setiap detik berlalu, pikirannya lebih banyak melayang jauh dari pekerjaan, terperangkap dalam kebingungan yang terus menghantui hatinya. "Kenapa aku nggak bisa fokus?" pikir Arka frustasi, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ia mencoba untuk kembali menatap layar komputer, tapi kata-kata di layar itu berputar-putar tanpa arti. Arka mengangkat ponselnya, sekadar untuk mengalihkan perhatian, tetapi tidak ada pesan baru yang masuk. Ia mengetik pesan yang hendak dikirimkan kepada Alea, namun urung menekan tombol kirim. Pikirannya terus berkutat pada satu hal. Alea. Hubungan mereka terasa semakin jauh, seperti dua orang yang berbagi ruang yang sama tapi tak pernah benar-benar saling berbicara. Setiap kali ia melihat Alea, ada perasaan cemas yang tiba-tiba muncul, tapi ia tak bisa mengungkapkannya. Setiap kali ia mencoba b

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 4: Mencari Arti yang Hilang

    Malam itu, saat Arka pulang, Alea mencoba membuka percakapan yang berbeda dari biasanya. "Mas, gimana kalau kita ambil cuti sebentar? Pergi berlibur, hanya kita dan Raka?" Alea mencoba, suaranya bergetar sedikit, berharap kata-katanya bisa membuka pintu kehangatan yang sudah lama tertutup. Arka mengangkat alis, terkejut sesaat sebelum ekspresinya kembali datar. "Cuti? Aku lagi banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, Al. Mungkin nanti, kalau ada waktu," jawabnya singkat, tanpa ada perubahan nada atau ekspresi. Alea merasakan jarak yang semakin melebar, seperti angin dingin yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan Alea kembali terasa, menghujam dengan cepat dan tajam. Ia sadar, segala usahanya untuk menghidupkan kembali percikan itu selalu berakhir dengan penolakan. Setelah Arka pergi mandi, Alea duduk di ruang tamu sendirian, menatap kosong ke dinding, merenungi percakapan mereka yang pendek dan kering. Di tengah keheningan itu, handphone Alea berbunyi. Sebuah pesan dari Rand

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 3: Pertemuan yang Tak Terduga

    Hari reuni pun tiba, dan Alea merasa cemas namun antusias. Ia menitipkan Raka ke rumah ibunya yang hanya berjarak 15 menit dari rumah mereka. Ia mengenakan pakaian yang sederhana namun tetap terlihat cantik, dengan rambut ikalnya terurai panjang, sedikit bergelombang. Dress berwarna pink muda yang ia kenakan menambah kesan lembut pada dirinya, sementara sepatu putih yang nyaman memantulkan kilau di setiap langkah. Alea memutuskan untuk memesan taksi online agar bisa berangkat lebih nyaman. Setiap detik yang berlalu membuat hatinya semakin berdebar. Ini kesempatan untuk merasakan kebebasan, walaupun hanya sebentar. Setibanya di restoran tempat reuni, Alea disambut hangat oleh teman-temannya yang sudah lama tak ia jumpai. Ada tawa, cerita, dan kenangan masa sekolah yang kembali hadir, seolah-olah tidak ada waktu yang terlewatkan. Alea merasa sedikit lebih ringan, seolah menemukan tempat di mana ia bisa tertawa lepas, meski hanya sementara. Namun, meskipun suasananya penuh ke

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 2: Bayangan Masa Lalu

    Ketika Arka pulang malam itu, Alea menyambutnya dengan senyuman samar, meski terasa berat. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali percakapan yang sudah lama mati di antara mereka. Namun, seperti biasa, Arka hanya membalas dengan anggukan singkat, tanpa sepatah kata. Setelah menaruh tas kerjanya di meja, Arka berjalan menuju kamar mandi tanpa melirik Alea sedikit pun. Alea hanya bisa memandangi punggung suaminya yang semakin terasa asing. Hatinya mencelos, dan rasa sepi kembali menyergap. Dulu, setiap kali mereka bertemu setelah hari yang panjang, Arka selalu punya senyum hangat dan pelukan untuk Alea. Tapi sekarang, senyum itu lenyap, menyisakan hanya keheningan yang membuat setiap sudut rumah mereka terasa dingin. Air dari kamar mandi berhenti mengalir, membuyarkan lamunannya. Beberapa saat kemudian, Arka keluar, mengenakan piyama lusuhnya, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung menuju kamar dan merebahkan diri di kasur. Alea menatapnya dari kejauhan, merasa dirinya seperti or

  • Terpenjara Dalam Kesetiaan   Bab 1 : Luka yang Tak Terucap

    Alea mengingat kembali hari-hari awal pernikahan mereka, saat Arka adalah segalanya baginya. Dulu, setiap sudut rumah mereka terasa hangat. Bahkan saat pulang larut, Arka selalu memastikan untuk mengirim pesan atau menelepon, sekadar memberitahu bahwa ia akan terlambat. Tapi sekarang, tidak ada lagi kehangatan itu. Hubungan mereka seperti kapal yang perlahan hanyut tanpa arah. Sambil menatap cangkir teh yang semakin dingin, Alea bertanya-tanya dalam hati, apa yang membuat semuanya berubah. Terkadang, ia merasakan kebahagiaan itu bagai mimpi yang semakin pudar sulit diingat, namun terasa begitu nyata saat masih ada. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang terbungkus rapi dalam diam. Dia teringat betapa bahagianya ketika tahu dirinya hamil. Arka saat itu tampak bahagia, mencium perutnya, dan berkata, “Aku akan jadi ayah yang baik untuk anak kita.” Namun, setelah kelahiran Raka, semua perlahan berubah. Perhatian Arka seakan lenyap, digantikan dengan sikap dingin dan jara

DMCA.com Protection Status