Freya justru mengalihkan pandang ke sisi kiri dengan tangan bersedekap. Tidak ingin mendengar penjelasan Sean yang terkesan memberi pembelaan pada Zeta.Sepanjang perjalanan, Gatra tidur dalam dekap sang ayah. Tidak lagi ada perbincangan. Bahkan Zeta pun enggan bersua meski dengan Sean. Menahan diri agar tidak memancing emosi Freya yang bisa meledak kapan saja. Setibanya di rumah, pertama Sean mengambil alih tubuh Gatra. Memberikannya pada Freya yang sudah menunggu di sisinya, lalu menurunkan tubuh Sky, dan Zeta menarik kursi rodanya keluar. "Hati-hati," tukas Freya. Pria itu tidak lantas menjawab dan segera mendaratkan tubuh adiknya kembali ke kursi beroda itu. Mereka masuk, kecuali Zeta. Sean, sempat menoleh pada kekasihnya, tetapi perempuan itu mengatakan 'aku tunggu di sini' tanpa suara. Hanya gerak bibirnya yang sudah mampu dibaca oleh Sean. Dijawab anggukan, dan kemudian ketiganya tertelan oleh jarak lenyap di balik pintu. "Untuk sementara, Sky tidur di kamar Mama dulu, saja
Tidak pernah mereka rasakan sebelumnya, betapa dosa itu cukup membuat keduanya lupa akan batasan. Ciuman mesra masih terus diraup. Berusaha merengkuh hal yang tidak akan mampu didapatkan hanya dengan pautan bibir semata.“Dasar tidak tahu malu,” cecar seseorang yang bersua di belakang tubuh Sean. Setelah mencaci dua sejoli itu, ia lantas meninggalkan keberadaan mereka.Hanya kalimat pendek itulah yang menyeret keduanya dalam kenyataan. Kesadaran yang terasa memalukan. Mereka tidak lantas menoleh karena kenal betul siapa orang yang tengah mencecar kelakuan Sean dan Zeta.Pria itu mengusap bibir Zeta yang basah akibat ulah mereka sendiri. Menelisik lebih dalam sorot mata mencari kepastian apakah wanita itu murka atas tindakannya?“Aku pulang, ya. Sudah semakin malam,” pamit Zeta tiba-tiba. Dia malu merasa ditatap dengan sempurna oleh Sean, kekasihnya.“Kamu marah?” Jari telunjuk Sean menarik dagu Zeta. Dia tidak mampu membaca yang tersirat di raut muka, Zeta.“Untuk apa? Aku tidak akan p
"Saya terima nikah dan kawinnya Freya Kayonna binti Adam dengan mas kawin tersebut dibayar, tunai.""Saksi, bagaimana?" Sahutan menteriakkan satu kata sah menggema di rumah ball room hotel. Seluruh wajah yang menyetor ke acara itu penuh dengan gurat kebahagiaan, senyum, keceriaan, dan keharuan. Bersuka cita atas kehidupan baru bagi Freya dan juga Sky. Sean dam Zeta terlalu sibuk sebulan ini. Mereka yang mengurus segala kemegahan dan keberhasilan atas berlangsungnya acara ini. Secercah kebanggan tumbuh dalam diri Zeta saat melihat jalan acaranya sesuai dengan harapan. "Kamu hebat, Nay," puji Sean. Menggamit pinggang Zeta dengan sebelah tangannya. Ia mengalihkan pandang yang semua ke arah altar tempat Sky dan istrinya berdiri, sekarang menatap wajah sang kekasih yang sudah dua setengah tahun menjalin hubungan asmara dengannya. "Baru sadar? Ck! Menyebalkan sekali," rajuk Zeta. Memasang wajah murungnya dengan manja. Telah banyak cerita mereka lewati, telah banyak kisah mereka jelajah
Jari telunjuk lucu itu bergerak ke kiri dan kanan. Matanya menyipit sarat akan ketidaksukaan pada Zeta. “No! Kamu melebut Papa dali Mommy,” ucapnya yang seketika membuka mata Zeta kian lebar.Tidak percaya bagaimana balita satu setengah tahun tahu kata merebut?Demikian pun dengan Sean, ia lekas menoleh ke arah Zeta dan menyadari ekspresi yang diperlihatkan kekasihnya. Ia alihkan tubuh Gatra pada sebelah tangannya dan lantas satu tangan yang terbebas memeluk Zeta dengan erat. Seakan mendorong jauh-jauh ucapan Gatra. Menopang perasaan rapuh Zeta dengan usapan lembut menenangkan di punggung perempuan itu.“Tidak dong. Tante Zeta itu baik lho. Dia—” Sean berusaha membela.Akan tetapi Gatra menggeleng cepat. Tidak mau mendengarkan apa pun yang hendak dituturkan oleh Sean.“Tidak apa-apa,” ucap Zeta tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang bisa Sean mengerti.Dua pengantin baru sudah kian mendekat dan senyum Freya mengembang luwes. Tangannya menjerat jemari Sky dengan posesif. Gadis itu hanya
Tanpa berbalik dan tatapannya jatuh pada cincin memukau itu Zeta menjawab, “aku mau. Tapi— aku takut membuatmu kecewa, Mine. Aku takut jika aku melukaimu atau—”“Sebaliknya?” potong Sean, masih berbicara dalam ceruk leher Zeta.“Maaf, Mine. Aku wanita trust issue, itu benar. Aku bingung dengan perasaanku. Aku mau, sungguh aku ingin memilikimu seumur hidupku, tapi aku takut kalau aku sumber dari lukamu nanti.”“Kau berpikir bahwa cintamu yang hebat akan melukaiku?” balas Sean. Ia menarik diri dan memonitori raut wajah sang kekasih.Zeta melerai jerat tangan Sean. Ia melangkah menjauh selangkah dari pria itu. “Kau pernah terluka karena memberi cinta yang hebat pada seseorang.”“Karena dia tidak mengharapkanku, Nay. Tapi kita berbeda. Kau berharap penuh padaku dan aku pun sama. Kita memiliki perasaan yang sama. Terima aku, Nay,” pinta Sean.“Tapi—”“Katakan kalau kau mau,” desak Sean.Zeta menatap binar mata Sean yang berkilat. Gadis itu yakin, sesuatu yang sedikit transparan memburamkan
“Kamu marah kenapa, sih? Dia nggak pernah gangguin kamu, Babe. Bahkan dia bantu jagain Gatra selama ini kan?” Sky mengisi sela-sela jari istrinya. Wanita yang sudah sah dia nikahi kemarin. Tubuh pria itu mendekat ke arah Freya yang tatapannya tetap fokus pada pemandangan di bawah sana. Lautan dengan airnya yang tenang dan biru. Gulungan ombak yang memukau tetapi berbahaya, bisa saja melenyapkan segalanya.“Terus aja belain dia. Kamu nikah sama aku, Sky. Kenapa, sih semua kudu belain dia? Apa aku udah nggak seberharga itu di mata kalian?”Mata Sky memicing. Dia menarik dagu sang istri agar menghadap ke arahnya. Keheningan suasana pesawat masih terus menemani perjalanan yang akan mereka tempuh selama dua jam lebih tiga puluh lima menit.Bingkai ayu itu tampak kuyu, bibirnya manyun dan tidak ada semangat yang bertuas di sana. Sky melepaskan jerat di jemari sang istri. Mengubahnya menjadi rangkuman di wajah.“Kalian? Maksudmu aku dan Sean? Jadi— sekarang kamu cemburu dengan kedekatan Sean
“Nay, kamu— sudah makan?” Melirihkan dua kata terakhir, saat melihat Zeta kepayahan.“Sst!” Zeta mendesis galak dengan meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Dia baru saja berhasil membuat Gatra terlelap setelah marah akibat tidak mendapatkan kenyamanan dalam melakukan hal apa pun. Tampaknya belum apa-apa bocah ciilk itu sudah merindukan sang ayah.“Maaf,” bisik Sean. Ia melangkah mendekati ranjang Gatra. Kemudian duduk tepat di sisi tubuh Zeta.Wajah gadis itu berkeringat, padahal pendingin ruangan menyala. Mungkin karena Gatra jauh lebih aktif dari biasanya.Sean menarik satu lembar tisu dan menarik tangannya naik, ia usapkan ke pelipis dan dahi Zeta. Memposisikan tubuh sedekat yang ia bisa.“Modus,” lirih Zeta. Tapi ia justru mencondongkan kepalanya lebih dekat dengan pria itu.Sean tertawa kecil agar tidak membangunkan Gatra. “Kurasa bukan aku yang modus, tapi justru sebaliknya,” balasnya. Menarik jari yang telah selesai melakukan tugasnya. Lantas berubah menjadi belaian lemb
Bunga-bunga mekar menggelitik hati Zeta. Gadis itu tidak pernah tahu kenapa mulutnya bisa sangat berani saat menjawab kata ya' untuk tawaran yang diberikan Sean padanya. Ada banyak kekalutan dan ketakutan yang menggeliat sanubari. Namun, untuk kembali menolak Sean dan menanti lebih lama dari itu rasanya dia sudah tidak akan sanggup."Aku akan menjagamu, Nay. Aku tidak akan membuat kau terluka." Ucapan Sean sangat meyakinkan. Binar di matanya berkilat memancarkan kesungguhan yang tidak hanya sebuah janji, tetapi kenyataan. "Kuharap saat itu tiba, kau benar-benar selalu ada di dekatku," desah Zeta pelan. Air mata kebahagiaan itu sudah tidak lagi bisa dibendung. Gadis itu mendekap erat tubuh pria bakal suaminya. Minggu ini, ya— waktu yang sangat singkat. Namun, kebersamaan mereka sudah berjalan dua tahun lebih jadi, tidak tepat rasanya jika itu adalah waktu sebentar. "Mbak Zeta baik-baik saja?" Suara Runi meruntuhkan bayangannya atas kejadian siang tadi di rumah Sean. Ia pandang gad
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka