“Menurut ibu, sebaiknya kamu mundur, Zha. Kamu hanya akan melukai diri sendiri. Sebesar apa pun cintamu kalau ternyata pria itu bahkan tidak melirikmu, untuk apa? Kamu cantik, kamu mandiri, kamu hebat dan juga keren. Kenapa harus mencintai pria yang sama? Dunia ini luas, Sayang,” tutur Ivy.Lagi-lagi Gea tersenyum kecut. Harusnya dia tidak perlu bertanya, karena dia sendiri pun berpikir hal yang sama seperti Ivy, bahwa Sean terlalu baik untuk Freya. Gadis itu bahkan tidak layak mendapatkan secuil perhatian Sean.“Terima kasih, Bu. Jangan bilang sama Zie, ya,” pintanya.Ivy mengangguk sambil menarik kedua sudut bibirnya. Tentu saja dia akan jaga rahasia dusta itu, karena cerita itu hanya manipulasi Gea semata.“Bu— di sini kalian rupanya. Kita harus pulang, Zha. Mas Rayyan bilang persiapannya sudah maksimal. Jadi, kemungkinan besok malam kita akan terbang,” cakap Sean seraya berjalan mendekati dua wanita beda usia itu.“Yakin secepat itu?” Ivy sedikit sedih, mereka belum tuntas melepas
Penerbangan yang memakan waktu cukup menjenuhkan. Sky diantarkan langsung menggunakan pesawat milik rumah sakit tempat dirinya dirawat sebelumnya. Tidak satu menit pun, Freya meninggalkan laki-laki itu. tubuhnya terbaring nyaman di ranjang yang hanya muat untuknya. Matanya terpejam dengan ringan.“Hati-hati,” pinta Freya pada Sean yang membantu petugas menurunkan Sky.Pria itu tersenyum sambil mengangguk. Tentu saja, ia akan berhati-hati. Sky tetaplah adiknya.Kini tubuh itu telah dibaringkan di brankar. Sky kembali digeledek ke ruangan pemeriksaan untuk memastikan bahwa kondisinya tetap stabil selama penerbangan yang baru saja dilewati.Mereka semua harap-harap cemas menantikan kabar berikutnya. Selama perjalanan, Sky diberi obat tidur agar tidak membuatnya semakin banyak bergerak dan menghambat proses pengobatannya. Kendati semua tahu bahwa Sky sempat mengalami koma. Mereka tetap tenaga medis profesional dan tahu yang lebih baik dan dibutuhkan oleh Sky.“Boleh saya ikut masuk, Dok?”
Sampai di rumah, Gea langsung berlarian menaiki tangga dan mendorong pintu kamar kakaknya dengan brutal. Beruntung kaca pintu itu sangat tebal. Ia merangsek masuk dan mencari keberadaan hadiah yang sudah bertahun-tahun tidak dia ketahui. Langkahnya mendekati lemari yang dikatakan oleh sang kakak.“Pasti di sini ‘kan?” gumamnya seraya menggeser pintu lemari kaca itu dan benar saja! Dia bisa melihat box persegi panjang dan besar.“Bang Sean,” lirihnya saat berhasil menarik dan membongkar isinya.Sebuah Skateboard, bertuliskan namanya dan bergambar sepeda dengan nuansa hitam putih. Dulu, Gea masih sangat kecil untuk tahu masalah kegemaran dan warna kesukaan. Tapi— Sean memberikan hal yang tidak diketahui oleh Sky.Sean bisa membaca karakter adik-adiknya. Hingga apa pun yang diminati mereka, dia bisa menyenangkan mereka dengan mudah.[Selamat ulang tahun, Zha Sayang. Kamu akan jadi pembalap sepeda, pemain skateboard terbaik. Abang minta maaf kalau selalu salah sama kamu dan Kakak, ya]Sura
Pukul enam tiga puluh menit. Sean, pria itu enggan beranjak dari kursi keagungannya. Ia memutarnya mengarah ke dinding kaca yang menerima sorot sinar jingga matahari. Tangannya sibuk memainkan cincin silver yang pernah disematkan di jari Freya. Matanya senantiasa menerawang kosong ke hamparan kota di hadapannya.“Aku harus apa?” Itulah seruan yang dia ucapkan terus menerus selama lebih dari dua puluh menit.“Pak,” panggil Bagas. Ia cemas dengan kondisi bos yang biasanya terlihat tenang, damai, dan berwibawa tiba-tiba sering melamun.Sejak kehadirannya siang tadi, Sean bahkan hanya termenung di ruangannya. Ia hanya memoles paraf di dokumen yang disodorkan kepadanya. Selebihnya ia kembali pada kepelikan hubungannya.“Pulanglah, Gas. Ini sudah jam pulang kantor, kenapa kau masih di sini?” tanyanya tanpa menoleh ke arah pria yang berdiri di sampingnya.“Haruskah saya mengantar Anda pulang terlebih dulu, Pak?” Sejatinya, Bagas ingin mengajak bosnya untuk pulang dan dia yang mengemudikan. A
Tepat setelah rambu lalu lintas berubah warna dari merah ke hijau, Sean hendak kembali mengebut. Namun justru gerobak besinya di hantam. Seorang pengendara sepeda motor datang dari arah kiri dan menabrak mobil Sean. Pria itu lekas menekan rem dengan dalam dan kendaraan di belakangnya pun ikut menginjak rem. Kecelakaan beruntun itu tidak terelakkan. Dahi Sean menabrak kemudi. Pengendara sepeda itu terpelanting jauh dan hampir tergilas oleh pengendara lainnya.Sean keluar dengan raut muka kucel dan kekhawatirannya pada pengendara motor tersebut.“Maafkan saya, Tuan. Saya sungguh tidak tahu kalau lampunya sudah berganti warna. Maafkan saya. Ampuni saya Tuan. Saya—” ia gelagapan. Takut jika diminta untuk ganti rugi yang jumlahnya akan sangat besar.“Anda baik-baik saja?” Tangan Sean menarik bahu perempuan itu dan mengajaknya untuk berdiri. Ia tidak harus berlutut di tengah jalan seperti itu.“Tuan maafkan, saya,” ulangnya. Di belakang Sean sudah berdiri para korban lain yang keluhannya sam
34"Jangan hidup di masa lalu, Bang. Lupakan semua yang buat Abang sakit hati. Percaya sama aku kalau di luar sana banyak yang lebih menghargai dan mencintai Abang. Nerima semua kurangnya Abang," ungkap Gea. Gadis itu datang kala melihat pintu kamar orang tuanya terbuka. Ia melihat siluet bayangan pria yang tersungkur dengan suara tangis tertahan. Gadis itu mendekap tubuh kakaknya. Membesarkan hati seorang pria yang juga butuh bahu untuk menyandarkan kegundahan dan kekalahannya. Serta telinga untuk mendengar curahkan isi hatinya. Sean sama seperti Sky, dia punya hati yang ingin dipedulikan. Namun, ia lebih banyak mengalah karena keseharusan."Abang tidak bisa. Ini sulit, Zha." Suaranya bergetar dan serak. Jelas bahwa Sean memang menahan segala sesuatunya sendirian. "Bisa, Bang! Bisa! Abang hanya butuh sedikit paksaan. Abang harus bangkit dan membuat kesibukan lain. Mungkin dengan kegiatan yang lebih menantang atau ngembangin hobi abang, bisa 'kan?"Sean membisu. Ia tidak menanggap
Dua minggu berlalu, Sky diizinkan untuk pulang. Namun, dokter berpesan bahwa ia belum diperbolehkan melangkah terlebih dulu. Ia masih harus menggunakan kursi roda demi memaksimalkan kesembuhannya. Setelah mereka tiba di kediaman keluarga. Kebahagiaan tercurah kembali. Bahkan Adam dan Kinasih pun diundang ke rumah itu untuk menyambut kedatangan Sky. "Selamat kembali pulang, Nak," sapa Kinasih dan mendapat anggukan serta senyuman dari Adam. Sky menatap keduanya, dia asing dengan mereka. "Terima kasih, tapi ini tidak perlu," timpalnya."Mereka datang khusus menyambutmu, Sky. Kuharap kau tidak keberatan," ungkap Sean dengan senyum tulusnya. Sky melirik sinis dan membuang muka dari kakaknya. Ia lantas meminta Freya untuk lekas mendorong kursinya menjauh dari mereka semua. Kedua orang tua Freya membuntuti. Begitupun dengan Sean. Dia bahkan tidak terlihat penasaran dengan apa yang dilakukan si kembar. Zia dan Gea saling tatap kemudian mendengus kasar. "Dasar, nggak ada hormatnya sam
Mobil yang dikendarai Sean berhenti tepat di gapura pemakaman. Pria itu berkunjung ke pemberhentian terakhir ayah dan ibunya. Kaki terus menggiring mendekati nisan Ghazi dan Divya. Lantas ia berjongkok di antara pemakaman kedua orang tuanya. "Kalian apa kabar?" tanyanya, kemudian keheningan merajai. Sean bagai tak mampu mengeluhkan bebannya. "Kalau kalian tanya kabarku, jika boleh jujur— aku sedang tidak baik. Anak sulungmu sudah duda, Ma," cengirnya. Ia tersenyum getir. Mentertawakan kehidupan yang penuh dengan lelucon ini. "Seharusnya Tuhan menciptakan Freya dua orang agar bisa kubagi dengan Sky. Benarkan?" Pria itu terus berceloteh. Seharusnya cukup mengatakan bahwa dia mencintai wanita yang cintanya habis untuk Sky. Akan tetapi, Sean tidak bisa melakukannya. Kalimatnya berputar-putar karena tidak pernah ada yang mau mendengarnya sedari dulu. Menjadi yang kedua bahkan dianggap tidak ada, memengaruhi cara berbicara seseorang. "Putra Ayah berhasil menjadi juara dunia. Pi
Berada di sebuah restoran yang tidak jauh dari Trevis Fountain, Freya, Gatra dan juga balita yang Zeta perkirakan usianya empat tahun itu duduk mengelilingi meja. Menyantap hidangan yang sudah mereka pesan. Tidak hanya itu, Freya tampak kelelahan dengan perutnya yang membuncit.“Hai. Gatra apa kabar, Sayang?” Zeta mengulurkan tangannya dengan senyum yang merekah indah.“Siapa?” tanya bocah itu dengan nada sinis. Dia kembali sibuk mengunyah salad di mulutnya.“Dia tante Zeta. Apa kamu lupa? Dia yang mengurusmu saat kecil, Nak. Kamu lupa?” jelas Sean.“Cukup, Sean. Biarkan Gatra menghabiskan makanannya dulu. Duduklah, kamu boleh bergabung,” papar Freya dengan suara yang paling tidak disukai oleh Zeta.“Ah— terima kasih. Tapi kurasa aku buru-buru. Suamiku sudah menunggu. Selamat menikmati hidangan dan indahnya Roma.” Zeta berbalik badan, tetapi sebelum itu ia kembali menoleh untuk memberikan senyum pada gadis imut yang terus menatapnya dengan rasa penasaran.“Hei, aku punya sesuatu untukm
Trevi Fountain, di sanalah Zeta berada sekarang. Dalam genggamannya sudah ada dua koin yang hendak ia lempar ke kolam di hadapannya. Menyatukan kedua tangan, ia melangitkan harapan sebelum melempar satu koin itu.“Tersisa satu koin lagi,” ucap seseorang yang sudah menemani sepanjang perjalanannya.“Aku tahu diamlah,” sergah Zeta yang disambut tawa kecil dari rekan spesialnya.“Aku akan lakukan dengan caraku. Katanya dengan cara seperti ini akan lebih mudah untuk dikabulkan, kan?” tambah Zeta.“Hm—? Seperti apa itu?”Zeta berbalik badan membelakangi fountain dan memejamkan mata sama seperti yang dilakukannya pertama kali tadi. Latas melemparkan koin melintasi bahu dengan cukup tinggi dan mendengarkan suara benda berat itu meluncur ke dalam air.Senyum ayunya masih mengembang, saat membuka mata. Akan tetapi, tiba-tiba tubuhnya membeku.Bagaimana bisa? Batinnya. Dia bahkan baru saja melayangkan doanya, dia baru saja meminta pada kepercayaan orang-orang Roma ini. Lalu kemudian sudah berdi
Bukan hal baru bagi Zeta tidak diharapkan atas hidupnya. Jauh sebelum ini, dia juga pernah disia-siakan. Pernah dibuang, dicaci-maki. Sean menawar sekaligus luka baginya setelah bertahun-tahun lalu. "Pergilah, Zie. Sudah tidak ada yang perlu kamu jelaskan, kan?" Zia menggeleng cepat. "Aku tidak akan pergi sendirian, Zeta. Kamu harus ikut denganku. Kamu harus rebut Bang Sean lagi." "Kamu ingin aku menjadi duri untuk wanita lain? Sedang aku sendiri adalah wanita. Aku menentang pengkhianatan seorang wanita, tapi aku tersakiti oleh wanita." "Zeta—" Zeta menatap Zia intens. Setelah sekian hari dia kehilangan isak tangis. Sekarang air mata itu kembali menguar setetes demi setetes. "Ayahku pecandu alkohol dan suka bermain wanita, sekaligus suka memukul ibuku. Kami berjuang sendiri untuk lari darinya. Tapi selalu gagal. Ayahku berkhianat tidak hanya sekali. Tapi, ibuku adalah orang bodoh yang pernah ada di bumi ini. Dia tetap berdiri di sisinya sampai akhir hayat. Setelah dia meninggal,
Dalam gelap, suhu ruangan yang terasa membekukan setiap tulang dalam tubuh perempuan berambut sepinggang itu. Netra sepekat malam hanya mampu menatap kosong ke depan. Tanpa arah dan tanpa makna. Jemarinya meremas dan mengusap tidak tentu arah gawai putih miliknya. "Mbak Zeta! Buka, ya pintunya. Mbak harus makan," teriakan Runi yang selalu terdengar puluhan kali dalam sehari. Namun, tidak mampu membuat Zeta beranjak dari kursi Belezza yang ia duduki. Air matanya telah mengering, tersisa rasa sesak yang tidak juga mampu ia tepis. Luka yang membekas begitu dalam. Fisiknya telah rusak, pun demikian dengan jiwanya, kian rapuh. Pikiran yang semakin ringkih. "Masih nggak mau buka, Mas. Sebetulnya Pak Sean ke mana, to? Tega banget buat Mbak Zeta begitu. Kurang apa, sih Mbak Zeta? Ini sudah hampir satu Minggu, masih juga nggak ada kejelasan dari Pak Sean," gerutu Runi pada Bagas. Pria itu sesekali datang hanya untuk menjenguk menanyakan kabar Zeta. Namun, tidak ada kemajuan yang berarti
Berulangkali Zeta mondar-mandir di ruangan khusus untuk menantikan kedatangan Sean. Entah sudah seberapa keras gadis itu menggigit bibirnya untuk menghalau kegundahan hatinya. Jemari lentik itu berusaha menelepon nomor kekasihnya sudah lebih dari sepuluh kali. "Bagas, dia datang, kan? Kamu sudah pastikan kalau dia akan datang, kan?!" tegasnya. Keringat sebesar jagung sudah menimpuk riasan di wajahnya. Sekarang bukan keanggunan dan juga menawan di wajahnya. Gurat kecemasan yang justru terpancar kian terang. "Sudah, Mbak. Tadi bahkan, Pak Sean sudah siap dengan setelan peachnya. Mungkin macet, Mbak." Meski Bagas juga merasakan apa yang dikhawatirkan oleh Zeta. Namun, dia berusaha untuk membuat pengantin perempuan itu tenang. "Macet di mananya? Kita tadi jalan aman-aman aja, kan? Jalanan lancar, Bagas!" hardik Zeta. Dia sampai harus menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Kendati hal itu tidak dilakukan mereka sama-sama tahu kalau Zeta dan seluruh orang yang hadir juga ketakutan dan
Zeta mengerjap cepat. "Aku— ya, kurasa aku mimpi. Dan— dan itu mengharuskan aku telepon kamu di— pagi buta. Anggap saja begitu," jawabnya dengan terengah. "Kami baik-baik saja, Nay. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Gatra tidur dengan pulas malam ini bersama Zie dan Zha. Mereka ada di rumah. Sama sepertimu tidak sabar menanti kan hari esok." "Hanya aku? Bagaimana denganmu? Apa, kamu tidak merasakan hal itu?" Entah sudah keberapa kali, Zeta menggigiti bibir bawahnya. Menekan dan menenggelamkan keresahan yang terus saja timbul saat jawaban atas pernyataannya tidak dijawab sesuai ekspektasinya. "Tentu saja aku menantikannya, Nay. Bahkan aku sangat antusias. Aku akan berdiri menantikanmu dengan jas peach yang kau pilihkan," terang Sean. Ia layangkan senyum yang tidak diketahui oleh Zeta. "Ya. Bisa kubayangkan betapa menawan dan menariknya dirimu, Mine. Kamu harus tahu kalau aku—" Lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Ada yang menggantung di tenggorokannya hingga sepatah kata tidak mampu
"Sean, Sky membaik. Pagi ini, dia minta makan enak katanya. Dia sembuh, Sean." Kabar itu meluncur membawa kehangatan untuk Sean. Dia merasa lega akhirnya sang adik mendapatkan harapan itu. Setelah panggilan itu terputus, Sean beralih pada Gatra dan juga Zeta. Mereka juga sudah jauh lebih baik dari semalam. Tatapan penuh keharuan dan beban yang seolah menguar begitu saja. Sekarang, dia tidak harus memikirkan nasib Gatra. Tidak harus menyembunyikan perasaannya pada Zeta dari Freya. Tidak harus menanggung beban atas kehidupan ibu dan anak itu. Sean menarik langkah mendekati Zeta. Mereka berdua duduk di atas matras dengan taburan berbagai macam mainan milik bocah laki-laki itu. "Mine? Kamu senyum? Ada apa?" Zeta menoleh memerhatikan raut wajah sang kekasih yang terlibat berbinar. "Freya baru saja telpon. Dia bilang, Sky membaik. Dia minta sesuatu untuk di makan. Aku senang, Nay." "Syukurlah. Aku juga ikut senang, Mine. Maaf aku egois dengan mengatakan ini." Sebelah alis Sean teran
Sorot mata Sean menatap penuh kasih pada Gatra yang terlelap di ranjang bersama dengan Zeta. Mereka baru saja pulang dari klinik. Meneguk obat masing-masing dan kini terpengaruh obat-obat tersebut. Tatapan Sean secara bergantian memerhatikan wajah kekasihnya dan juga anak dari adiknya. Ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Beban yang terasa salah, tetapi juga dirasa tidak benar. Tidak mungkin aku menempatkanmu dalam satu pilihan, Nay. Tapi— bahkan batinnya saja menggantung kalimatnya. Pria itu bertumpu siku pada pahanya. Merangkus wajahnya dengan kasar, mendesah frustasi. Ia raih ponselnya dan menelepon seseorang yang jauh di seberang. "Bagaimana kondisinya?" "Sky— kondisinya semakin menurun, Sean. Aku takut. Saat terlelap begini, seperti tidak terjadi sesuatu padanya. Tapi, suhu tubuhnya tidak turun sama sekali sejak keluar dari ruang pemeriksaan tadi, Sean."Lagi-lagi Sean menghembuskan napasnya secara perlahan. Menyembunyikan kesesakan dalam dirinya. "Semoga saja Tuhan beri
Tubuh Zeta gemetar bukan main. Selain ia belum tidur sejak kemarin, ia pun tidak memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali air putih. Sekarang, ia menggendong Gatra yang mulai menurut padanya, tetapi suhu tubuh bocah itu meningkat sejak bangun tidur pagi tadi. "Mau Papa, Tante," rengeknya pelan. Tatapan matanya sayu."Mau telpon Paman dulu sampai dia datang, Sayang?" Gatra menggeleng pelan. "Mau papa, bukan telepon," jawabnya masih dengan suara yang lemah. "Sabar, ya. Paman akan segera datang." Gerakan tangan Zeta tidak berhenti barang sebentar. Ia terus mengayunkan langkah dan lengan agar Gatra merasa nyaman. "Mbak Zeta. Di luar ada masalah," lapor Nia. Ia meremas ujung apron yang dia kenakan dengan gerakan kuat. "Masalah apa?" suaranya tidak kalah lirih dari Gatra. Dengan tidak anggun, ia menarik ingus yang sudah hendak keluar dari hidung. "Itu mbak. Pembeli permasalahkan toping, katanya— katanya—""Katanya apa, Nia? Kepalaku pusing banget, bisa lebih cepat ngomongnya?""Ka