Malam itu, Gadis tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali ia memandangi cincin di jarinya, merasakan beban sekaligus harapan yang terkandung dalam berlian kecil itu. Ia tahu, perjalanan di hadapannya takkan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.
Keesokan harinya, Gadis dan Arya kembali bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi saat berbincang hal-hal serius. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, suasana kali ini lebih santai. Arya datang membawa senyum yang menenangkan, dan Gadis merasakan jantungnya berdetak lebih stabil melihat pria di hadapannya itu tampak lebih rileks. “Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Arya, membuka percakapan setelah keduanya memesan minuman. Gadis tersenyum kecil. “Cukup baik. Aku merasa sedikit lega setelah akhirnya membuat keputusan.” Arya mengangguk mengerti. “Aku tahu ini tidak mudah, Gadis. Aku bersyukur kamu bersedia mencoba bersamaku, meski mungkin masih ada keraguan di hatimu.” Mendengar ketulusan di nada suara Arya, Gadis merasa dirinya semakin yakin. “Aku rasa, kita berdua memang membawa luka dari masa lalu, tapi aku tidak ingin hal itu terus menjadi bayang-bayang dalam hidup kita, Arya. Aku ingin kita bisa benar-benar menatap masa depan.” “Aku setuju,” jawab Arya. “Aku juga ingin mengubah cara pandangku. Selama ini, mungkin aku terlalu terpaku pada apa yang sudah lewat dan lupa melihat apa yang ada di depan.” Percakapan mereka terus berlanjut, mengalir dengan alami. Gadis merasa bahwa saat-saat seperti ini adalah yang membuatnya yakin bahwa Arya adalah orang yang tepat untuknya. Arya memiliki cara berbicara yang tenang, penuh empati, dan selalu membuat Gadis merasa didengarkan. Setelah beberapa saat, Arya tiba-tiba mengangkat topik tentang kehidupan pernikahan mereka yang akan segera dimulai. “Gadis, bagaimana pendapatmu tentang kehidupan setelah kita menikah nanti?” Gadis terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. “Aku tahu kita perlu banyak menyesuaikan diri. Tapi aku berharap kita bisa selalu jujur dan terbuka satu sama lain. Tidak ada lagi yang perlu disembunyikan.” Arya menyetujui dengan anggukan. “Aku juga ingin kita bisa menghadapi segala masalah bersama, apa pun bentuknya. Tidak ada yang sempurna, Gadis, tapi aku yakin jika kita tetap saling mendukung, kita bisa melalui semuanya.” Gadis tersenyum, merasa bahwa Arya benar-benar memahami perasaannya. "Aku setuju. Kita mungkin punya ekspektasi, tapi aku rasa yang lebih penting adalah bagaimana kita tetap bertahan ketika ekspektasi itu tidak selalu terpenuhi." Keduanya melanjutkan pembicaraan hingga mereka membahas detail kecil tentang bagaimana mereka akan mengatur kehidupan rumah tangga. Gadis merasa diskusi ini penting untuk saling memahami dan mengurangi potensi konflik di kemudian hari. Mereka berbicara tentang hal-hal sederhana seperti pekerjaan rumah, rencana karier, dan kapan mereka ingin memiliki anak. Pembicaraan mereka menyiratkan keseriusan, namun tetap ringan tanpa tekanan. “Bagaimana kalau kita atur jadwal untuk bertemu keluargamu minggu depan?” tanya Arya, membuyarkan lamunan Gadis. Gadis menatapnya, terkejut. “Maksudmu, kamu ingin bertemu keluargaku secara resmi?” “Ya. Kita akan menikah, jadi aku pikir ini saat yang tepat untuk membicarakan segalanya dengan mereka. Lagipula, aku ingin mereka merasa yakin bahwa kamu akan bahagia bersamaku.” Gadis terharu mendengar niat tulus Arya. “Aku rasa Mama dan Papa akan sangat senang mendengarnya.” Beberapa hari kemudian, sesuai kesepakatan, Arya datang ke rumah keluarga Gadis untuk bertemu dengan orang tua Gadis secara resmi. Hari itu, Arya datang dengan penampilan rapi dan membawa buah tangan sebagai tanda hormat. Saat dia duduk di ruang tamu, berbicara dengan kedua orang tua Gadis, Gadis menyadari betapa serius Arya dalam komitmennya. Papa Gadis, yang selama ini selalu terlihat tenang, pun sesekali menunjukkan senyuman tulusnya. Mama Gadis, yang awalnya sedikit ragu dengan keputusan anaknya, mulai menerima Arya dengan sikap ramah setelah melihat kesungguhan di mata calon menantunya. Setelah pertemuan itu berakhir, Arya dan Gadis duduk berdua di halaman rumah. Gadis merasa lega bahwa keluarganya akhirnya bisa menerima Arya. “Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu mereka,” kata Gadis lembut. “Aku yang seharusnya berterima kasih. Mereka sudah menyambutku dengan baik, dan itu sangat berarti untukku,” jawab Arya, sambil menatap Gadis dengan senyum hangat. “Ini masih awal, Arya,” ucap Gadis lirih. “Tapi aku berharap kita bisa saling menguatkan hingga akhirnya nanti.” “Aku juga, Gadis,” Arya meraih tangan Gadis dan menggenggamnya erat. “Aku ingin kita berdua bisa menjalani semuanya bersama. Aku tidak akan menyerah pada hubungan ini.” Hari-hari berikutnya, Gadis dan Arya disibukkan dengan persiapan pernikahan. Mereka memilih vendor, berbicara dengan wedding planner, dan memastikan segala detail berjalan lancar. Gadis merasa semakin dekat dengan Arya melalui persiapan ini; mereka belajar bekerja sama, mendengarkan satu sama lain, dan menghadapi stres bersama. Namun, di tengah semua persiapan, Gadis tak bisa menahan perasaan cemas. Pernikahan bukanlah hal kecil, dan dia sadar bahwa ini adalah komitmen seumur hidup. Ketika rasa cemas itu muncul, Arya selalu ada untuknya, meyakinkannya bahwa dia tidak sendirian dalam menghadapi segalanya. Suatu sore, saat mereka tengah memilih gaun dan jas, Arya meraih tangan Gadis, menatapnya dalam-dalam. “Apakah kamu bahagia, Gadis? Aku ingin kamu jujur. Jika ada hal yang mengganggumu, kita bisa membicarakannya sekarang.” Gadis menatap Arya, merasakan ketulusan di balik pertanyaannya. “Aku bahagia, Arya. Tetapi, tentu ada sedikit kecemasan, dan itu mungkin wajar, bukan? Aku hanya ingin kita bisa menjalani ini dengan baik tanpa ada rasa ragu atau ketidakjujuran.” “Aku berjanji akan selalu jujur padamu, Gadis. Apa pun yang terjadi, aku tidak ingin ada kebohongan di antara kita.” Mendengar jawaban Arya, Gadis merasakan perasaan damai. Ia tahu bahwa hubungan ini akan selalu memiliki tantangan, tetapi ia merasa lebih kuat dengan Arya di sisinya. ***Gadis Anastasya duduk di sudut kafe favoritnya, sebuah buku terbuka di depan mata. Namun, pikirannya berkelana jauh dari halaman-halaman yang seharusnya dia baca. Bunyi sendok yang beradu dengan cangkir terdengar samar-samar di latar belakang, menjadi suara pengiring yang mengiringi kegelisahannya.Di usia 32 tahun, Gadis merasa hidupnya seperti berada di tengah persimpangan tanpa arah yang jelas. Teman-teman sebaya sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak dua atau tiga. Mereka berbagi cerita tentang anak-anak yang bertumbuh, suami yang perhatian—atau kadang menyebalkan—dan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi naik-turun. Sementara itu, Gadis masih sendirian, masih menunggu datangnya seseorang yang disebut jodoh.Tak terhitung berapa kali dia mendapatkan pertanyaan yang sama di setiap pertemuan keluarga atau acara reuni kecil-kecilan. “Kapan nikah, Gadis?” selalu dilontarkan dengan senyum, tapi membawa beban berat di hatinya.Gadis menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ka
Setelah reuni berakhir, Gadis Anastasya merasa campur aduk. Pertemuan singkatnya dengan Arya Dirgantara tadi malam masih berputar di kepalanya. Sosok pria yang dulu ia kenal ramah dan ceria kini berubah menjadi seseorang yang dingin dan sulit dijangkau. Tapi entah kenapa, tatapan Arya yang begitu kosong tetap terngiang di benaknya."Kenapa dia jadi begitu ya?" Gadis bergumam pada dirinya sendiri sambil duduk di balkon kostannya, menatap langit pagi yang masih sedikit mendung. "Apa kehilangan istri membuatnya berubah se-ekstrem itu?"Tak lama, ponselnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Gadis mengangkatnya dengan cepat."Halo, Vin," sapanya ringan."Gadis! Gimana tadi malem? Seru kan reuni? Aku lihat kamu ngobrol sebentar sama Arya. Kok mendadak banget? Aku nggak nyangka dia bakal datang," kata Vina di seberang telepon, suaranya penuh rasa ingin tahu.Gadis tersenyum tipis, meski Vina tidak bisa melihatnya. "Iya, nggak nyangka juga. Ngobrolnya biasa aja sih, cuma basa-basi.""Basa-
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan tak tenang. Pertemuan dengan Arya kemarin masih menghantui pikirannya. Tawaran untuk menjadi istrinya terdengar aneh, nyaris tidak masuk akal, tetapi juga... realistis. Arya bukan sembarang orang, dan apa yang dia minta bukan sekadar cinta romantis. Ini tentang tanggung jawab, tentang masa depan anaknya. Namun, Gadis belum bisa mengambil keputusan. Ketika ponselnya berdering, Gadis hampir tidak ingin melihatnya, tetapi ketika nama Arya muncul di layar, dia tahu ini adalah panggilan penting."Hallo, Arya," Gadis menyapa dengan suara yang lebih lembut dari biasanya."Apakah kamu sudah memikirkannya?" Arya langsung to the point, tanpa basa-basi.Gadis menggigit bibirnya. "Aku... masih butuh waktu.""Aku mengerti," jawab Arya, suaranya terdengar sedikit lelah. "Aku tidak ingin menekanmu. Tapi bisakah kita bertemu lagi hari ini? Ada sesuatu yang harus aku jelaskan."Gadis menghela napas panjang. "Baiklah, kapan dan di mana?""Kali ini di rumahku. Nay
Hari itu, Gadis tak bisa berhenti memikirkan percakapan dengan Arya dan apa yang didengarnya dari ibunya. Bagaimanapun, tawaran Arya sangat rumit. Dia berada di persimpangan jalan, dan semakin dia merenung, semakin terjebak rasanya.Ponselnya berdering, dan nama Arya muncul lagi di layar. Kali ini, Gadis mengangkatnya dengan segera, rasa penasaran mengalahkan kebimbangannya."Hei," Arya menyapa, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. "Bisakah kita bertemu lagi sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan."Gadis merasa sedikit cemas, tapi juga tidak bisa menolak keingintahuannya. "Baiklah. Di mana?""Kali ini di tempat yang berbeda. Aku akan kirim alamatnya."Sore itu, Gadis tiba di sebuah restoran kecil yang sepi. Arya sudah menunggunya di sana, duduk di meja pojok dengan ekspresi serius. Ketika Gadis masuk, Arya berdiri dan menyapanya dengan anggukan."Kamu datang," kata Arya sambil tersenyum tipis."Ya, kamu bilang ada hal penting," Gadis duduk di hadapannya. "Apa y
Minggu-minggu berlalu, dan Gadis masih belum memberi Arya jawaban. Setiap kali mereka bertemu, hubungan mereka terasa canggung. Bukan karena Arya tidak berusaha, tetapi karena ada sesuatu yang Gadis rasakan di balik setiap ucapan dan tindakan Arya. Meskipun Arya terbuka mengenai rencana pernikahan dan perusahaan, Gadis selalu merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.Suatu sore, ketika Gadis sedang duduk di kafe favoritnya, menikmati teh hangat sambil mencoba merenungi perasaan yang campur aduk di hatinya, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Gadis ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya."Halo, ini Gadis Anastasya?" Suara seorang wanita yang tidak dikenal terdengar dari seberang telepon."Ya, saya Gadis. Siapa ini?" Gadis bertanya dengan nada hati-hati."Aku Rina. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pikir kita harus bicara." Ada nada tegas dalam suaranya, seperti seseorang yang tahu sesuatu yang penting.Gadis merasa curiga. "Bicara soal apa?""
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan campur aduk. Keputusan yang akan dia buat hari ini adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dia masih bisa merasakan hembusan angin segar yang menyambutnya di taman pusat kota beberapa hari lalu, dan pertemuan dengan Rina masih segar dalam ingatannya. Namun, hari ini adalah hari di mana dia harus memberikan jawaban kepada Arya.Setelah sarapan cepat dan membuang waktu dengan berpikir, Gadis akhirnya memutuskan untuk menuju restoran kecil yang sering mereka kunjungi. Dia memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, memastikan dia terlihat tenang dan percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kegugupan yang mendalam.Di restoran, Arya sudah menunggu di meja pojok, tampak seperti seseorang yang sedang menunggu berita penting. Gadis merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali dia melihat Arya. Dia menghela napas dan melangkah menuju meja tersebut, berusaha menenangkan diri."Selamat pagi, Arya," kata Gadis, mencoba me