Share

Tawaran yang Tak Terduga

Setelah reuni berakhir, Gadis Anastasya merasa campur aduk. Pertemuan singkatnya dengan Arya Dirgantara tadi malam masih berputar di kepalanya. Sosok pria yang dulu ia kenal ramah dan ceria kini berubah menjadi seseorang yang dingin dan sulit dijangkau. Tapi entah kenapa, tatapan Arya yang begitu kosong tetap terngiang di benaknya.

"Kenapa dia jadi begitu ya?" Gadis bergumam pada dirinya sendiri sambil duduk di balkon kostannya, menatap langit pagi yang masih sedikit mendung. "Apa kehilangan istri membuatnya berubah se-ekstrem itu?"

Tak lama, ponselnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Gadis mengangkatnya dengan cepat.

"Halo, Vin," sapanya ringan.

"Gadis! Gimana tadi malem? Seru kan reuni? Aku lihat kamu ngobrol sebentar sama Arya. Kok mendadak banget? Aku nggak nyangka dia bakal datang," kata Vina di seberang telepon, suaranya penuh rasa ingin tahu.

Gadis tersenyum tipis, meski Vina tidak bisa melihatnya. "Iya, nggak nyangka juga. Ngobrolnya biasa aja sih, cuma basa-basi."

"Basa-basi? Hm… Arya tuh kayak orang yang misterius sekarang, ya? Nggak kayak dulu yang gampang dideketin. Denger-denger sih dia masih belum bisa move on dari mendiang istrinya."

Gadis terdiam sesaat. "Iya, mungkin itu yang bikin dia jadi kayak gitu. Tapi aku nggak terlalu lama ngobrol sama dia, jadi nggak tahu banyak."

Vina tertawa kecil. "Ya udah, nggak usah dibawa pusing. Ngomong-ngomong, kamu udah ngapain aja hari ini? Ada rencana?"

"Belum, masih santai di rumah. Kamu?"

"Ah, sama. Aku juga lagi santai, mumpung weekend. Eh, by the way, kemarin aku denger ada gosip kamu bakal segera nyusul nikah, beneran nggak?"

Gadis menghela napas panjang. "Gosip dari mana lagi itu? Enggak, Vin. Masih jauh kayaknya."

Vina tertawa lagi, tapi kali ini lebih keras. "Ya udah deh, aku nggak akan nanya lagi. Keep me posted kalau ada kabar bahagia, ya."

"Siap, bakal aku kabarin," jawab Gadis setengah bercanda sebelum akhirnya mereka mengakhiri percakapan.

Setelah menutup telepon, Gadis menatap ponselnya dengan ragu. Ada rasa yang tak bisa ia jelaskan tentang pertemuannya dengan Arya. Mungkin hanya kebetulan, mungkin tak lebih dari basa-basi yang tak berarti. Tapi kenapa tatapan Arya tadi malam terasa begitu membekas?

Gadis berusaha mengalihkan pikirannya dengan membereskan kamar kostannya yang terlihat berantakan dan mencoba sibuk dengan rutinitas. Namun, pikirannya terus kembali pada Arya, seolah ada sesuatu yang tertinggal dari pertemuan mereka.

***

Keesokan harinya, di tengah-tengah kesibukannya bekerja, sebuah pesan W******p muncul di layar ponselnya. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdetak lebih cepat: Arya Dirgantara.

Gadis meraih ponselnya dengan sedikit ragu, lalu membuka pesan itu.

**"Bisa ketemu sore ini? Ada yang ingin aku bicarakan."**

Gadis terdiam sejenak, kebingungan. Dia tidak menyangka Arya akan menghubunginya lagi setelah pertemuan singkat mereka di reuni. Apa yang ingin dia bicarakan? Pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya.

Setelah berpikir sejenak, Gadis mengetik balasan.

**"Tentu. Di mana kita bisa ketemu?"**

Tak lama, Arya membalas dengan cepat, memberi lokasi sebuah kafe di pusat kota. Gadis merasa ada sesuatu yang serius dari nada pesan itu, tapi dia tidak tahu apa.

***

Sore harinya, Gadis tiba di kafe yang dimaksud. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia tidak tahu apa yang akan Arya bicarakan, tapi rasa penasaran dan sedikit kekhawatiran membuatnya cemas.

Saat memasuki kafe, Gadis langsung melihat Arya duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja biru gelap. Wajahnya tetap dingin seperti terakhir kali mereka bertemu. Gadis mengambil napas dalam-dalam dan melangkah mendekat.

"Hei," sapanya ketika sampai di meja.

Arya mengangguk singkat. "Silakan duduk."

Gadis menarik kursi dan duduk di depannya. Suasana hening sejenak. Arya tampak ragu, seperti mencari kata-kata yang tepat. Gadis menunggu dengan sabar, meski dadanya mulai dipenuhi dengan berbagai spekulasi.

"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh," Arya memulai dengan suara yang datar, "tapi ada sesuatu yang ingin aku tawarkan padamu."

Gadis mengerutkan kening, bingung. "Tawaran apa?"

Arya menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku butuh istri."

Jantung Gadis berhenti sejenak. Kalimat itu begitu lugas dan tiba-tiba, hingga membuatnya bingung. "Maaf?" tanyanya, memastikan dia tidak salah dengar.

Arya menarik napas panjang, kemudian menjelaskan, "Aku tahu ini mungkin mengejutkanmu, tapi aku serius. Aku butuh seorang istri. Bukan untuk diriku sendiri, tapi untuk anakku. Putriku, Naya, dia butuh seorang ibu."

Gadis terdiam, masih mencoba mencerna apa yang baru saja dikatakan Arya. "Kenapa... kenapa aku?" tanyanya pelan.

Arya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Aku tahu kamu. Kamu perempuan yang baik, cerdas, dan aku percaya kamu bisa menjadi ibu yang baik untuk Naya. Aku sudah melihatmu bekerja keras sejak dulu di sekolah, dan aku yakin kamu punya kemampuan untuk itu."

Gadis merasa dadanya sesak. Ini bukan tawaran pernikahan biasa. Ini lebih seperti kesepakatan, sebuah kontrak tanpa cinta.

"Arya, ini sangat tiba-tiba. Aku... aku bahkan tidak tahu harus menjawab apa," Gadis berkata, suaranya terdengar gemetar.

Arya mengangguk pelan. "Aku mengerti. Aku tidak memintamu untuk menjawab sekarang. Pikirkan saja dulu. Ini mungkin bukan tawaran ideal, tapi aku butuh seseorang yang bisa aku percayai. Seseorang yang bisa membantu Naya tumbuh dengan baik."

Gadis terdiam. Tawaran ini lebih rumit dari yang bisa ia bayangkan. Menjadi istri Arya, dan ibu bagi putrinya, bukanlah keputusan yang bisa diambil dengan mudah.

"Aku... butuh waktu untuk berpikir," kata Gadis akhirnya, suaranya bergetar.

Arya mengangguk lagi. "Tentu. Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan."

Setelah itu, hening menyelimuti mereka. Gadis masih terkejut, dan Arya tetap tenang, meski wajahnya menunjukkan sedikit kelelahan.

"Aku tahu ini berat untukmu," Arya menambahkan. "Tapi percayalah, aku tidak akan memintamu kalau aku tidak yakin."

Gadis hanya bisa mengangguk, meski pikirannya masih berputar. Apa yang sebenarnya sedang dia hadapi? Apakah benar dia sanggup menjalani hidup sebagai istri Arya, meski pernikahan mereka lebih didasarkan pada kebutuhan daripada cinta?

***

Sepulang dari pertemuan itu, Gadis merasa kepalanya penuh dengan pertanyaan. Dia tak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini. Tawaran Arya adalah sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan, bahkan dalam mimpi sekalipun.

Saat berbaring di tempat tidurnya malam itu, Gadis merenung. Arya jelas-jelas masih terluka. Dia mencari pasangan bukan karena cinta, tapi karena tanggung jawab terhadap putrinya. Tapi apakah itu cukup bagi Gadis? Apakah dia siap menjalani pernikahan yang dimulai tanpa cinta?

Di tengah kekacauan pikirannya, Gadis memejamkan mata, mencoba mencari jawabannya sendiri.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status