Minggu-minggu berlalu, dan Gadis masih belum memberi Arya jawaban. Setiap kali mereka bertemu, hubungan mereka terasa canggung. Bukan karena Arya tidak berusaha, tetapi karena ada sesuatu yang Gadis rasakan di balik setiap ucapan dan tindakan Arya. Meskipun Arya terbuka mengenai rencana pernikahan dan perusahaan, Gadis selalu merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Suatu sore, ketika Gadis sedang duduk di kafe favoritnya, menikmati teh hangat sambil mencoba merenungi perasaan yang campur aduk di hatinya, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Gadis ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya. "Halo, ini Gadis Anastasya?" Suara seorang wanita yang tidak dikenal terdengar dari seberang telepon. "Ya, saya Gadis. Siapa ini?" Gadis bertanya dengan nada hati-hati. "Aku Rina. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pikir kita harus bicara." Ada nada tegas dalam suaranya, seperti seseorang yang tahu sesuatu yang penting. Gadis merasa curiga. "Bicara soal apa?" "Ini tentang Arya Dirgantara," jawab wanita itu tanpa basa-basi. Gadis langsung duduk tegak. "Arya? Apa yang kamu tahu tentang Arya?" "Aku pikir kita lebih baik bicara langsung. Ada sesuatu yang kamu harus tahu. Bisa kita bertemu di kafe dekat taman pusat kota? Satu jam lagi?" Gadis merasa jantungnya berdebar. Ada perasaan tak nyaman yang menjalar, tapi juga keingintahuan yang kuat. "Baiklah. Aku akan ke sana." *** Satu jam kemudian, Gadis duduk di salah satu sudut kafe. Tak lama kemudian, seorang wanita cantik dengan rambut lurus panjang dan tatapan percaya diri memasuki kafe. Dia langsung menuju ke arah Gadis dan duduk di depannya. "Kamu pasti Rina," kata Gadis, mencoba memulai percakapan. "Ya, dan kamu pasti Gadis," jawab Rina sambil tersenyum tipis. "Langsung saja ke intinya, aku di sini untuk memberitahumu tentang hubungan Arya denganku." Gadis merasakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya. "Hubungan? Maksudmu apa?" Rina menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku mantan tunangan Arya." Kata-kata itu langsung menghantam Gadis seperti pukulan yang tidak dia duga. "Mantan tunangan?" Gadis hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Arya tidak pernah cerita soal ini." "Tentu saja dia tidak akan menceritakannya," Rina menjawab dengan nada dingin. "Aku adalah bagian dari masa lalunya yang ingin dia lupakan. Tapi aku pikir kamu pantas tahu, karena kamu sedang mempertimbangkan untuk menikah dengannya, kan?" Gadis merasa seluruh tubuhnya tegang. "Apa yang sebenarnya terjadi antara kalian?" Rina menarik napas panjang sebelum berbicara. "Kami bertunangan sekitar satu tahun lalu, tak lama setelah istrinya meninggal. Dia bilang dia butuh seseorang untuk mendampinginya, untuk Naya juga. Awalnya, semuanya tampak sempurna. Aku mengenal Arya sejak lama, dan aku yakin kami bisa saling melengkapi. Tapi kemudian... semuanya berubah." "Berubah bagaimana?" Gadis bertanya dengan nada penasaran. Rina menatap Gadis dengan sorot mata yang penuh rasa sakit. "Arya tidak pernah benar-benar bisa melepaskan masa lalunya. Dia masih terjebak dalam bayang-bayang istrinya, Anya. Setiap kali kami mencoba mendekat, aku selalu merasa seperti orang ketiga dalam hubungan kami, meskipun Anya sudah tidak ada." Gadis mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Rina. "Apakah itu alasan kalian putus?" "Bukan hanya itu," jawab Rina pelan. "Arya mulai menjauh dariku. Dia semakin sibuk dengan perusahaan dan mengabaikan semua rencana kami. Dan akhirnya... dia membatalkan pertunangan tanpa alasan yang jelas." Gadis merasa hatinya mencelos. "Dan sekarang kamu pikir dia akan melakukan hal yang sama padaku?" Rina mengangguk pelan. "Aku hanya tidak ingin kamu mengalami apa yang aku alami. Arya mungkin terlihat tenang, tapi dia masih terjebak di masa lalunya. Dia belum siap untuk membuka hatinya pada orang baru." Gadis terdiam lama. Dia sudah merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Arya, tapi mendengar semuanya dari Rina membuat semuanya semakin jelas. "Apa kamu masih mencintai Arya?" Gadis akhirnya bertanya, suaranya pelan. Rina tersenyum pahit. "Cinta? Mungkin dulu aku mencintainya. Tapi sekarang, aku hanya merasa kasihan pada diriku sendiri karena pernah percaya bahwa aku bisa menggantikan Anya di hatinya." "Kenapa kamu datang padaku sekarang?" Gadis bertanya, mencoba memahami motif Rina. "Aku tidak ingin kamu terjebak dalam situasi yang sama seperti aku. Arya mungkin butuh seseorang, tapi dia butuh lebih dari sekadar kehadiran fisik. Dia butuh seseorang yang bisa membantunya melepaskan masa lalunya, dan aku tidak yakin siapa pun bisa melakukan itu." Gadis merasakan sebuah perasaan campur aduk menguasai dirinya. Di satu sisi, dia merasa simpati pada Arya, tetapi di sisi lain, dia mulai meragukan apakah dia benar-benar bisa menjadi orang yang Arya butuhkan. Setelah Rina pergi, Gadis duduk sendirian di kafe, mencoba mencerna semuanya. Keputusannya untuk menikahi Arya kini tampak lebih rumit daripada sebelumnya. Bagaimana dia bisa melanjutkan jika Arya masih dibayangi masa lalunya dengan Anya? Dan bagaimana dia bisa membangun sesuatu yang nyata jika ada orang ketiga dalam hubungan mereka, bahkan jika orang itu sudah tiada? Ponselnya berbunyi lagi. Kali ini, Arya yang menelepon. "Gadis, kamu di mana?" tanya Arya dengan nada khawatir di telepon. "Aku... aku butuh waktu, Arya," jawab Gadis dengan suara gemetar. "Apa yang terjadi? Kamu terdengar berbeda," Arya bertanya, suaranya berubah menjadi lebih serius. Gadis menggigit bibirnya. "Aku bertemu dengan seseorang hari ini. Mantan tunanganmu, Rina." Ada jeda panjang di seberang telepon sebelum Arya akhirnya menjawab, suaranya lebih rendah. "Rina? Apa yang dia katakan padamu?" "Dia bilang... kamu belum bisa melepaskan masa lalumu. Bahwa kamu masih terjebak dengan kenangan tentang Anya." Arya terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Gadis, aku tidak pernah berniat menyakiti Rina atau siapa pun. Tapi apa yang terjadi antara kami sudah berlalu. Aku memang belum sepenuhnya melupakan Anya, tapi itu tidak berarti aku tidak bisa membuka hatiku lagi." "Bagaimana aku bisa tahu kalau aku tidak akan mengalami hal yang sama?" Gadis bertanya, matanya mulai berkaca-kaca. Arya terdiam, lalu berkata dengan suara pelan, "Aku tidak bisa memberimu jaminan, Gadis. Tapi aku bisa memberimu kejujuran. Dan yang aku tahu, aku ingin mencoba bersamamu." Gadis menutup matanya, merasakan air mata mengalir di pipinya. "Aku butuh waktu, Arya. Aku perlu memastikan bahwa ini bukan hanya tentang melarikan diri dari masa lalu." "Ambillah waktu yang kamu butuhkan," jawab Arya dengan nada lembut. "Tapi tolong, jangan pergi." Setelah menutup telepon, Gadis menyadari bahwa hubungan ini jauh lebih rumit daripada yang dia bayangkan. Kini, ada Rina, ada bayangan Anya, dan ada Arya yang terjebak di antara keduanya. Dan di tengah semua itu, Gadis harus memutuskan apakah dia benar-benar bisa menjadi bagian dari hidup Arya, atau dia akan terjebak dalam lingkaran masa lalu yang tidak pernah selesai. ***Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan campur aduk. Keputusan yang akan dia buat hari ini adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dia masih bisa merasakan hembusan angin segar yang menyambutnya di taman pusat kota beberapa hari lalu, dan pertemuan dengan Rina masih segar dalam ingatannya. Namun, hari ini adalah hari di mana dia harus memberikan jawaban kepada Arya.Setelah sarapan cepat dan membuang waktu dengan berpikir, Gadis akhirnya memutuskan untuk menuju restoran kecil yang sering mereka kunjungi. Dia memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, memastikan dia terlihat tenang dan percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kegugupan yang mendalam.Di restoran, Arya sudah menunggu di meja pojok, tampak seperti seseorang yang sedang menunggu berita penting. Gadis merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali dia melihat Arya. Dia menghela napas dan melangkah menuju meja tersebut, berusaha menenangkan diri."Selamat pagi, Arya," kata Gadis, mencoba me
Malam itu, Gadis tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali ia memandangi cincin di jarinya, merasakan beban sekaligus harapan yang terkandung dalam berlian kecil itu. Ia tahu, perjalanan di hadapannya takkan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.Keesokan harinya, Gadis dan Arya kembali bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi saat berbincang hal-hal serius. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, suasana kali ini lebih santai. Arya datang membawa senyum yang menenangkan, dan Gadis merasakan jantungnya berdetak lebih stabil melihat pria di hadapannya itu tampak lebih rileks.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Arya, membuka percakapan setelah keduanya memesan minuman.Gadis tersenyum kecil. “Cukup baik. Aku merasa sedikit lega setelah akhirnya membuat keputusan.”Arya mengangguk mengerti. “Aku tahu ini tidak mudah, Gadis. Aku bersyukur kamu bersedia mencoba bersamaku, meski mungkin masih ada keraguan di hatimu.”Mendengar ketulu
Gadis Anastasya duduk di sudut kafe favoritnya, sebuah buku terbuka di depan mata. Namun, pikirannya berkelana jauh dari halaman-halaman yang seharusnya dia baca. Bunyi sendok yang beradu dengan cangkir terdengar samar-samar di latar belakang, menjadi suara pengiring yang mengiringi kegelisahannya.Di usia 32 tahun, Gadis merasa hidupnya seperti berada di tengah persimpangan tanpa arah yang jelas. Teman-teman sebaya sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak dua atau tiga. Mereka berbagi cerita tentang anak-anak yang bertumbuh, suami yang perhatian—atau kadang menyebalkan—dan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi naik-turun. Sementara itu, Gadis masih sendirian, masih menunggu datangnya seseorang yang disebut jodoh.Tak terhitung berapa kali dia mendapatkan pertanyaan yang sama di setiap pertemuan keluarga atau acara reuni kecil-kecilan. “Kapan nikah, Gadis?” selalu dilontarkan dengan senyum, tapi membawa beban berat di hatinya.Gadis menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ka
Setelah reuni berakhir, Gadis Anastasya merasa campur aduk. Pertemuan singkatnya dengan Arya Dirgantara tadi malam masih berputar di kepalanya. Sosok pria yang dulu ia kenal ramah dan ceria kini berubah menjadi seseorang yang dingin dan sulit dijangkau. Tapi entah kenapa, tatapan Arya yang begitu kosong tetap terngiang di benaknya."Kenapa dia jadi begitu ya?" Gadis bergumam pada dirinya sendiri sambil duduk di balkon kostannya, menatap langit pagi yang masih sedikit mendung. "Apa kehilangan istri membuatnya berubah se-ekstrem itu?"Tak lama, ponselnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Gadis mengangkatnya dengan cepat."Halo, Vin," sapanya ringan."Gadis! Gimana tadi malem? Seru kan reuni? Aku lihat kamu ngobrol sebentar sama Arya. Kok mendadak banget? Aku nggak nyangka dia bakal datang," kata Vina di seberang telepon, suaranya penuh rasa ingin tahu.Gadis tersenyum tipis, meski Vina tidak bisa melihatnya. "Iya, nggak nyangka juga. Ngobrolnya biasa aja sih, cuma basa-basi.""Basa-
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan tak tenang. Pertemuan dengan Arya kemarin masih menghantui pikirannya. Tawaran untuk menjadi istrinya terdengar aneh, nyaris tidak masuk akal, tetapi juga... realistis. Arya bukan sembarang orang, dan apa yang dia minta bukan sekadar cinta romantis. Ini tentang tanggung jawab, tentang masa depan anaknya. Namun, Gadis belum bisa mengambil keputusan. Ketika ponselnya berdering, Gadis hampir tidak ingin melihatnya, tetapi ketika nama Arya muncul di layar, dia tahu ini adalah panggilan penting."Hallo, Arya," Gadis menyapa dengan suara yang lebih lembut dari biasanya."Apakah kamu sudah memikirkannya?" Arya langsung to the point, tanpa basa-basi.Gadis menggigit bibirnya. "Aku... masih butuh waktu.""Aku mengerti," jawab Arya, suaranya terdengar sedikit lelah. "Aku tidak ingin menekanmu. Tapi bisakah kita bertemu lagi hari ini? Ada sesuatu yang harus aku jelaskan."Gadis menghela napas panjang. "Baiklah, kapan dan di mana?""Kali ini di rumahku. Nay
Hari itu, Gadis tak bisa berhenti memikirkan percakapan dengan Arya dan apa yang didengarnya dari ibunya. Bagaimanapun, tawaran Arya sangat rumit. Dia berada di persimpangan jalan, dan semakin dia merenung, semakin terjebak rasanya.Ponselnya berdering, dan nama Arya muncul lagi di layar. Kali ini, Gadis mengangkatnya dengan segera, rasa penasaran mengalahkan kebimbangannya."Hei," Arya menyapa, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. "Bisakah kita bertemu lagi sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan."Gadis merasa sedikit cemas, tapi juga tidak bisa menolak keingintahuannya. "Baiklah. Di mana?""Kali ini di tempat yang berbeda. Aku akan kirim alamatnya."Sore itu, Gadis tiba di sebuah restoran kecil yang sepi. Arya sudah menunggunya di sana, duduk di meja pojok dengan ekspresi serius. Ketika Gadis masuk, Arya berdiri dan menyapanya dengan anggukan."Kamu datang," kata Arya sambil tersenyum tipis."Ya, kamu bilang ada hal penting," Gadis duduk di hadapannya. "Apa y