Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan campur aduk. Keputusan yang akan dia buat hari ini adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dia masih bisa merasakan hembusan angin segar yang menyambutnya di taman pusat kota beberapa hari lalu, dan pertemuan dengan Rina masih segar dalam ingatannya. Namun, hari ini adalah hari di mana dia harus memberikan jawaban kepada Arya.
Setelah sarapan cepat dan membuang waktu dengan berpikir, Gadis akhirnya memutuskan untuk menuju restoran kecil yang sering mereka kunjungi. Dia memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, memastikan dia terlihat tenang dan percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kegugupan yang mendalam. Di restoran, Arya sudah menunggu di meja pojok, tampak seperti seseorang yang sedang menunggu berita penting. Gadis merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali dia melihat Arya. Dia menghela napas dan melangkah menuju meja tersebut, berusaha menenangkan diri. "Selamat pagi, Arya," kata Gadis, mencoba menyapa dengan senyuman lembut. "Selamat pagi, Gadis," jawab Arya, berdiri untuk menyambutnya. Dia mengangguk pelan dan kemudian mereka duduk. "Aku senang kamu datang." "Aku juga," kata Gadis sambil menatap Arya dengan penuh perhatian. "Aku sudah memikirkan segala sesuatu dengan matang. Dan ada beberapa hal yang ingin aku sampaikan." Arya mengerutkan kening, tampaknya cemas. "Silakan, Gadis. Aku mendengarkan." Gadis menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Aku tahu keputusan ini tidak mudah, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku telah memikirkan banyak hal. Aku bertemu dengan seseorang beberapa hari lalu—Rina. Dia mantan tunanganmu." Arya mengangguk, wajahnya menunjukkan keheranan dan sedikit kesedihan. "Aku tahu, Gadis. Aku tidak ingin menyembunyikan masa laluku darimu." "Aku tahu itu," Gadis melanjutkan. "Rina menceritakan banyak hal tentang hubungan kalian dan bagaimana akhirnya kalian berpisah. Dia merasa seperti dia selalu menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian, meskipun Anya sudah tiada." Arya tampak tersentak mendengar nama Anya. "Aku tidak pernah ingin membuat Rina merasa seperti itu. Tapi kenyataannya, aku masih harus berurusan dengan bayang-bayang masa laluku." "Dan itu yang membuatku ragu," Gadis mengungkapkan dengan suara lembut. "Aku takut bahwa aku mungkin mengalami hal yang sama. Aku tidak ingin menjadi orang ketiga dalam hubungan yang tidak sepenuhnya jelas." Arya menatap Gadis dengan tatapan penuh harapan. "Aku mengerti kekhawatiranmu. Aku tidak bisa mengubah masa laluku, dan aku tahu aku belum sepenuhnya melepaskan Anya. Tapi aku ingin mencoba bersamamu. Aku percaya kita bisa membangun sesuatu yang baru." Gadis merasa hatinya bergetar. "Bagaimana kamu bisa yakin bahwa kita bisa membangun sesuatu yang baru jika masa lalumu masih mengganggu?" "Karena aku percaya pada kesempatan kedua," jawab Arya, wajahnya penuh keyakinan. "Aku tahu bahwa aku tidak bisa melupakan Anya, tetapi itu tidak berarti aku tidak bisa mencintai seseorang yang baru. Aku percaya bahwa kita bisa membuat masa depan yang lebih baik jika kita bekerja sama." Gadis memandang Arya dalam-dalam, mencoba meresapi setiap kata yang diucapkannya. "Jadi, bagaimana kita melanjutkan dari sini?" Arya tersenyum tipis, tampak lebih tenang. "Aku ingin kamu menjadi bagian dari hidupku, Gadis. Aku ingin kita menjalani pernikahan ini dengan penuh kesadaran dan komitmen. Aku tahu ada banyak hal yang harus dihadapi, tetapi aku siap untuk menghadapi semuanya jika kamu ada di sisiku." Gadis merasakan rasa lega dan kepastian yang tiba-tiba muncul di hatinya. "Aku juga siap, Arya. Aku ingin memulai babak baru bersama kamu, meskipun aku tahu tidak akan mudah." Arya mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jasnya dan meletakkannya di atas meja. "Aku ingin memberikan ini padamu," katanya sambil membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat sebuah cincin berlian yang cantik. "Ini adalah simbol komitmenku padamu. Jika kamu siap untuk melangkah bersama, terimalah." Gadis menatap cincin tersebut dengan mata terbuka lebar. Itu adalah cincin yang indah, dan meskipun dia tahu bahwa simbol itu tidak bisa menyelesaikan semua masalah, ia merasa bahwa itu adalah langkah awal yang penting. Dengan hati-hati, Gadis mengulurkan tangannya dan menerima cincin tersebut. "Aku akan menerimanya, Arya. Aku siap untuk memulai perjalanan ini bersamamu." Arya tampak sangat bahagia dan terharu. Dia menggenggam tangan Gadis dengan penuh rasa syukur. "Terima kasih, Gadis. Kamu tidak tahu betapa berartinya bagiku. Aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin untuk membuat hubungan ini berhasil." Mereka melanjutkan makan malam mereka dengan suasana yang lebih ringan dan penuh kehangatan. Gadis merasa lebih tenang setelah membuat keputusan. Meskipun dia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan mulus, dia merasa yakin bahwa mereka bisa menghadapinya bersama. Setelah makan malam, mereka berpisah dengan perasaan yang lebih positif. Gadis pulang ke kostannya dengan perasaan campur aduk—senang karena telah membuat keputusan, tetapi juga cemas tentang apa yang akan datang. Dia tahu bahwa hidupnya akan berubah secara drastis, dan dia harus mempersiapkan diri untuk tantangan yang akan datang. Arya, di sisi lain, merasa penuh harapan. Dia mulai merencanakan pernikahan mereka dengan semangat baru, berusaha memastikan bahwa segalanya berjalan dengan lancar. Dia tahu bahwa dia harus menghadapi banyak hal, termasuk keluarga dan rekan bisnisnya, tetapi dia merasa lebih siap dengan Gadis di sisinya. Saat Gadis tiba di kamar kostnya, dia melihat cincin yang baru saja diterimanya dan merenung tentang semua yang akan datang. Dia tahu bahwa pernikahan ini adalah awal dari sesuatu yang baru, dan meskipun ada banyak hal yang tidak pasti, dia merasa optimis dan siap untuk menjalani perjalanan ini. Dengan keputusan yang telah dibuat, Gadis dan Arya kini berada di ambang awal baru dalam hidup mereka. Mereka siap untuk menghadapi tantangan bersama dan berusaha membangun masa depan yang lebih baik, menghadapi setiap rintangan dengan keyakinan dan harapan baru. ***Malam itu, Gadis tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali ia memandangi cincin di jarinya, merasakan beban sekaligus harapan yang terkandung dalam berlian kecil itu. Ia tahu, perjalanan di hadapannya takkan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.Keesokan harinya, Gadis dan Arya kembali bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi saat berbincang hal-hal serius. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, suasana kali ini lebih santai. Arya datang membawa senyum yang menenangkan, dan Gadis merasakan jantungnya berdetak lebih stabil melihat pria di hadapannya itu tampak lebih rileks.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Arya, membuka percakapan setelah keduanya memesan minuman.Gadis tersenyum kecil. “Cukup baik. Aku merasa sedikit lega setelah akhirnya membuat keputusan.”Arya mengangguk mengerti. “Aku tahu ini tidak mudah, Gadis. Aku bersyukur kamu bersedia mencoba bersamaku, meski mungkin masih ada keraguan di hatimu.”Mendengar ketulu
Gadis Anastasya duduk di sudut kafe favoritnya, sebuah buku terbuka di depan mata. Namun, pikirannya berkelana jauh dari halaman-halaman yang seharusnya dia baca. Bunyi sendok yang beradu dengan cangkir terdengar samar-samar di latar belakang, menjadi suara pengiring yang mengiringi kegelisahannya.Di usia 32 tahun, Gadis merasa hidupnya seperti berada di tengah persimpangan tanpa arah yang jelas. Teman-teman sebaya sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak dua atau tiga. Mereka berbagi cerita tentang anak-anak yang bertumbuh, suami yang perhatian—atau kadang menyebalkan—dan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi naik-turun. Sementara itu, Gadis masih sendirian, masih menunggu datangnya seseorang yang disebut jodoh.Tak terhitung berapa kali dia mendapatkan pertanyaan yang sama di setiap pertemuan keluarga atau acara reuni kecil-kecilan. “Kapan nikah, Gadis?” selalu dilontarkan dengan senyum, tapi membawa beban berat di hatinya.Gadis menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ka
Setelah reuni berakhir, Gadis Anastasya merasa campur aduk. Pertemuan singkatnya dengan Arya Dirgantara tadi malam masih berputar di kepalanya. Sosok pria yang dulu ia kenal ramah dan ceria kini berubah menjadi seseorang yang dingin dan sulit dijangkau. Tapi entah kenapa, tatapan Arya yang begitu kosong tetap terngiang di benaknya."Kenapa dia jadi begitu ya?" Gadis bergumam pada dirinya sendiri sambil duduk di balkon kostannya, menatap langit pagi yang masih sedikit mendung. "Apa kehilangan istri membuatnya berubah se-ekstrem itu?"Tak lama, ponselnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Gadis mengangkatnya dengan cepat."Halo, Vin," sapanya ringan."Gadis! Gimana tadi malem? Seru kan reuni? Aku lihat kamu ngobrol sebentar sama Arya. Kok mendadak banget? Aku nggak nyangka dia bakal datang," kata Vina di seberang telepon, suaranya penuh rasa ingin tahu.Gadis tersenyum tipis, meski Vina tidak bisa melihatnya. "Iya, nggak nyangka juga. Ngobrolnya biasa aja sih, cuma basa-basi.""Basa-
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan tak tenang. Pertemuan dengan Arya kemarin masih menghantui pikirannya. Tawaran untuk menjadi istrinya terdengar aneh, nyaris tidak masuk akal, tetapi juga... realistis. Arya bukan sembarang orang, dan apa yang dia minta bukan sekadar cinta romantis. Ini tentang tanggung jawab, tentang masa depan anaknya. Namun, Gadis belum bisa mengambil keputusan. Ketika ponselnya berdering, Gadis hampir tidak ingin melihatnya, tetapi ketika nama Arya muncul di layar, dia tahu ini adalah panggilan penting."Hallo, Arya," Gadis menyapa dengan suara yang lebih lembut dari biasanya."Apakah kamu sudah memikirkannya?" Arya langsung to the point, tanpa basa-basi.Gadis menggigit bibirnya. "Aku... masih butuh waktu.""Aku mengerti," jawab Arya, suaranya terdengar sedikit lelah. "Aku tidak ingin menekanmu. Tapi bisakah kita bertemu lagi hari ini? Ada sesuatu yang harus aku jelaskan."Gadis menghela napas panjang. "Baiklah, kapan dan di mana?""Kali ini di rumahku. Nay
Hari itu, Gadis tak bisa berhenti memikirkan percakapan dengan Arya dan apa yang didengarnya dari ibunya. Bagaimanapun, tawaran Arya sangat rumit. Dia berada di persimpangan jalan, dan semakin dia merenung, semakin terjebak rasanya.Ponselnya berdering, dan nama Arya muncul lagi di layar. Kali ini, Gadis mengangkatnya dengan segera, rasa penasaran mengalahkan kebimbangannya."Hei," Arya menyapa, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. "Bisakah kita bertemu lagi sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan."Gadis merasa sedikit cemas, tapi juga tidak bisa menolak keingintahuannya. "Baiklah. Di mana?""Kali ini di tempat yang berbeda. Aku akan kirim alamatnya."Sore itu, Gadis tiba di sebuah restoran kecil yang sepi. Arya sudah menunggunya di sana, duduk di meja pojok dengan ekspresi serius. Ketika Gadis masuk, Arya berdiri dan menyapanya dengan anggukan."Kamu datang," kata Arya sambil tersenyum tipis."Ya, kamu bilang ada hal penting," Gadis duduk di hadapannya. "Apa y
Minggu-minggu berlalu, dan Gadis masih belum memberi Arya jawaban. Setiap kali mereka bertemu, hubungan mereka terasa canggung. Bukan karena Arya tidak berusaha, tetapi karena ada sesuatu yang Gadis rasakan di balik setiap ucapan dan tindakan Arya. Meskipun Arya terbuka mengenai rencana pernikahan dan perusahaan, Gadis selalu merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.Suatu sore, ketika Gadis sedang duduk di kafe favoritnya, menikmati teh hangat sambil mencoba merenungi perasaan yang campur aduk di hatinya, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Gadis ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya."Halo, ini Gadis Anastasya?" Suara seorang wanita yang tidak dikenal terdengar dari seberang telepon."Ya, saya Gadis. Siapa ini?" Gadis bertanya dengan nada hati-hati."Aku Rina. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pikir kita harus bicara." Ada nada tegas dalam suaranya, seperti seseorang yang tahu sesuatu yang penting.Gadis merasa curiga. "Bicara soal apa?""