Hari itu, Gadis tak bisa berhenti memikirkan percakapan dengan Arya dan apa yang didengarnya dari ibunya. Bagaimanapun, tawaran Arya sangat rumit. Dia berada di persimpangan jalan, dan semakin dia merenung, semakin terjebak rasanya.
Ponselnya berdering, dan nama Arya muncul lagi di layar. Kali ini, Gadis mengangkatnya dengan segera, rasa penasaran mengalahkan kebimbangannya. "Hei," Arya menyapa, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. "Bisakah kita bertemu lagi sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan." Gadis merasa sedikit cemas, tapi juga tidak bisa menolak keingintahuannya. "Baiklah. Di mana?" "Kali ini di tempat yang berbeda. Aku akan kirim alamatnya." Sore itu, Gadis tiba di sebuah restoran kecil yang sepi. Arya sudah menunggunya di sana, duduk di meja pojok dengan ekspresi serius. Ketika Gadis masuk, Arya berdiri dan menyapanya dengan anggukan. "Kamu datang," kata Arya sambil tersenyum tipis. "Ya, kamu bilang ada hal penting," Gadis duduk di hadapannya. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" Arya menarik napas panjang sebelum memulai. "Aku sudah berpikir banyak sejak pertemuan terakhir kita. Aku tahu tawaranku mungkin terasa seperti beban bagimu, tapi aku benar-benar serius dengan apa yang aku katakan." Gadis menatapnya, mencoba membaca raut wajahnya. "Aku tidak meragukan keseriusanmu, Arya. Tapi masalahnya bukan hanya soal serius atau tidak. Ada banyak hal yang membuat ini menjadi keputusan yang sulit. Terutama... keluargamu." Arya tersenyum pahit. "Ya, aku tahu ibuku tidak mudah. Dia punya harapannya sendiri tentang siapa yang pantas mendampingiku. Tapi aku sudah membuat keputusan. Aku ingin kamu menjadi bagian dari hidupku." "Arya, ini bukan soal siapa yang pantas atau tidak. Kamu sendiri masih terjebak di masa lalu. Aku bisa melihatnya. Kamu belum sepenuhnya move on dari istrimu," kata Gadis dengan hati-hati. "Aku tidak menyangkal itu," Arya mengakui, tatapannya suram. "Istriku, Anya, akan selalu menjadi bagian dari hidupku. Tapi itu tidak berarti aku tidak bisa membuka lembaran baru." Sebelum Gadis sempat merespons, seorang pelayan datang membawa minuman. Mereka terdiam sejenak, menikmati suasana sepi restoran tersebut. Arya memulai lagi, kali ini dengan nada yang lebih tegas. "Aku ingin jujur, Gadis. Selain warisan, ada hal lain yang perlu kamu ketahui. Perusahaanku sedang dalam masalah besar." Gadis terkejut. "Masalah? Masalah apa?" "Ada permainan kotor di balik layar. Beberapa rekan bisnisku mencoba mengambil alih kontrol perusahaan dengan cara yang tidak bersih. Aku butuh pernikahan ini bukan hanya untuk memenuhi syarat warisan, tapi juga untuk mengamankan posisiku di perusahaan." Mendengar hal itu, Gadis merasa jantungnya berdetak lebih cepat. "Jadi... kamu ingin menikah denganku untuk melindungi posisimu di perusahaan? Ini bukan sekadar masalah keluarga, Arya. Ini bisnis." Arya menatapnya dalam, jelas merasa tertekan. "Benar. Aku tahu ini terdengar kejam, tapi ini kenyataan. Jika aku tidak segera menikah dan menunjukkan stabilitas, aku mungkin kehilangan segalanya—baik perusahaan maupun masa depan Naya." Gadis tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Dan kamu pikir aku adalah jawaban dari semua masalah itu?" "Aku tidak ingin memanfaatkanmu, Gadis. Aku benar-benar percaya kamu bisa menjadi partner yang aku butuhkan. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa pernikahan ini akan memberiku kekuatan untuk melawan ancaman di perusahaan." Seketika suasana di antara mereka menjadi lebih berat. Gadis merasa seperti sedang berhadapan dengan teka-teki yang semakin rumit. Dia harus memutuskan apakah dia ingin terlibat dalam permainan ini atau tidak. "Jadi, bagaimana dengan cinta, Arya? Apakah ada ruang untuk itu di antara semua ini?" Gadis bertanya, suaranya penuh dengan kejujuran. Arya terdiam sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak tahu, Gadis. Aku belum bisa menjanjikan cinta. Tapi aku percaya bahwa cinta bisa tumbuh seiring waktu, jika kita saling mengenal lebih dalam." Gadis merasakan sebuah dorongan untuk tertawa, tetapi dia menahannya. "Kamu sungguh yakin dengan itu? Bagaimana jika akhirnya kita malah terjebak dalam pernikahan yang dingin dan penuh perhitungan?" "Jika kamu merasa tidak siap, aku tidak akan memaksamu," jawab Arya dengan tenang. "Tapi aku ingin kamu tahu bahwa ini bukan hanya soal aku atau perusahaan. Ini soal Naya juga. Dia butuh ibu, dan aku yakin kamu bisa menjadi figur itu." Gadis menunduk, mencoba meresapi setiap kata yang Arya ucapkan. Namun sebelum dia sempat menjawab, pintu restoran terbuka dan seorang pria yang tampak berwibawa melangkah masuk dengan cepat. Arya langsung berdiri, wajahnya berubah menjadi tegang. "Gadis, aku ingin kamu bertemu dengan Pak Hendra, salah satu mitra bisnis ayahku," kata Arya, memperkenalkan pria tersebut dengan suara dingin. Pak Hendra duduk tanpa basa-basi dan langsung menatap Gadis dengan tatapan tajam. "Jadi, ini perempuan yang akan menjadi istrimu, Arya?" Gadis merasa ada sesuatu yang salah. Pria itu memandangnya seolah-olah dia adalah bagian dari negosiasi bisnis yang sedang berlangsung. "Ya, Pak Hendra. Ini Gadis Anastasya," jawab Arya, mencoba tetap tenang. Pak Hendra mengerutkan kening, jelas tidak terkesan. "Kamu yakin dia bisa membantu menyelamatkan perusahaan, Arya? Menikah hanya demi warisan tidak akan cukup. Kami butuh lebih dari sekadar istri di atas kertas." Gadis terkejut. Dia baru menyadari betapa dalam dan kotornya masalah yang dihadapi Arya. Ini bukan hanya tentang pernikahan atau warisan. Ini tentang permainan kekuasaan yang jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan. Arya mengepalkan tangannya. "Aku sudah bilang, Gadis adalah orang yang tepat. Dia bisa mendukungku, baik di rumah maupun di perusahaan." Pak Hendra menyeringai tipis, lalu berdiri. "Kita lihat saja nanti, Arya. Tapi ingat, waktu terus berjalan. Jika kau tidak segera bertindak, perusahaan ini akan diambil alih, dan tidak ada yang bisa menghentikannya." Setelah Hendra pergi, suasana di restoran menjadi lebih dingin. Gadis menatap Arya, perasaannya campur aduk. "Arya... apa sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa aku merasa seperti pion di permainan ini?" Arya mendesah, matanya menunjukkan kelelahan. "Aku tidak ingin kamu merasa seperti itu, Gadis. Tapi ini kenyataan yang harus aku hadapi. Dan jika kamu memilih untuk bersamaku, ini juga akan menjadi kenyataanmu." Gadis terdiam lama, mencerna semuanya. Dia ingin menjauh dari situasi ini, tetapi pada saat yang sama, dia merasa ada sesuatu yang menariknya lebih dalam ke dalam kehidupan Arya. Akhirnya, Gadis menghela napas panjang dan berkata dengan suara tegas, "Arya, aku butuh waktu. Aku belum bisa memberi jawaban sekarang." Arya mengangguk pelan, ekspresinya menunjukkan bahwa dia mengerti. "Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku harap, kamu bisa segera memutuskannya. Waktuku... tidak banyak." Gadis bangkit dari kursinya, merasa semakin bingung dengan apa yang harus dia lakukan. Meninggalkan Arya di restoran itu, pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan dan kekhawatiran. Gadis tahu, jika dia menerima tawaran ini, hidupnya tidak akan pernah sama lagi. ***Minggu-minggu berlalu, dan Gadis masih belum memberi Arya jawaban. Setiap kali mereka bertemu, hubungan mereka terasa canggung. Bukan karena Arya tidak berusaha, tetapi karena ada sesuatu yang Gadis rasakan di balik setiap ucapan dan tindakan Arya. Meskipun Arya terbuka mengenai rencana pernikahan dan perusahaan, Gadis selalu merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.Suatu sore, ketika Gadis sedang duduk di kafe favoritnya, menikmati teh hangat sambil mencoba merenungi perasaan yang campur aduk di hatinya, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Gadis ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya."Halo, ini Gadis Anastasya?" Suara seorang wanita yang tidak dikenal terdengar dari seberang telepon."Ya, saya Gadis. Siapa ini?" Gadis bertanya dengan nada hati-hati."Aku Rina. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pikir kita harus bicara." Ada nada tegas dalam suaranya, seperti seseorang yang tahu sesuatu yang penting.Gadis merasa curiga. "Bicara soal apa?""
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan campur aduk. Keputusan yang akan dia buat hari ini adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dia masih bisa merasakan hembusan angin segar yang menyambutnya di taman pusat kota beberapa hari lalu, dan pertemuan dengan Rina masih segar dalam ingatannya. Namun, hari ini adalah hari di mana dia harus memberikan jawaban kepada Arya.Setelah sarapan cepat dan membuang waktu dengan berpikir, Gadis akhirnya memutuskan untuk menuju restoran kecil yang sering mereka kunjungi. Dia memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, memastikan dia terlihat tenang dan percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kegugupan yang mendalam.Di restoran, Arya sudah menunggu di meja pojok, tampak seperti seseorang yang sedang menunggu berita penting. Gadis merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali dia melihat Arya. Dia menghela napas dan melangkah menuju meja tersebut, berusaha menenangkan diri."Selamat pagi, Arya," kata Gadis, mencoba me
Malam itu, Gadis tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali ia memandangi cincin di jarinya, merasakan beban sekaligus harapan yang terkandung dalam berlian kecil itu. Ia tahu, perjalanan di hadapannya takkan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.Keesokan harinya, Gadis dan Arya kembali bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi saat berbincang hal-hal serius. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, suasana kali ini lebih santai. Arya datang membawa senyum yang menenangkan, dan Gadis merasakan jantungnya berdetak lebih stabil melihat pria di hadapannya itu tampak lebih rileks.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Arya, membuka percakapan setelah keduanya memesan minuman.Gadis tersenyum kecil. “Cukup baik. Aku merasa sedikit lega setelah akhirnya membuat keputusan.”Arya mengangguk mengerti. “Aku tahu ini tidak mudah, Gadis. Aku bersyukur kamu bersedia mencoba bersamaku, meski mungkin masih ada keraguan di hatimu.”Mendengar ketulu
Gadis Anastasya duduk di sudut kafe favoritnya, sebuah buku terbuka di depan mata. Namun, pikirannya berkelana jauh dari halaman-halaman yang seharusnya dia baca. Bunyi sendok yang beradu dengan cangkir terdengar samar-samar di latar belakang, menjadi suara pengiring yang mengiringi kegelisahannya.Di usia 32 tahun, Gadis merasa hidupnya seperti berada di tengah persimpangan tanpa arah yang jelas. Teman-teman sebaya sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak dua atau tiga. Mereka berbagi cerita tentang anak-anak yang bertumbuh, suami yang perhatian—atau kadang menyebalkan—dan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi naik-turun. Sementara itu, Gadis masih sendirian, masih menunggu datangnya seseorang yang disebut jodoh.Tak terhitung berapa kali dia mendapatkan pertanyaan yang sama di setiap pertemuan keluarga atau acara reuni kecil-kecilan. “Kapan nikah, Gadis?” selalu dilontarkan dengan senyum, tapi membawa beban berat di hatinya.Gadis menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ka
Setelah reuni berakhir, Gadis Anastasya merasa campur aduk. Pertemuan singkatnya dengan Arya Dirgantara tadi malam masih berputar di kepalanya. Sosok pria yang dulu ia kenal ramah dan ceria kini berubah menjadi seseorang yang dingin dan sulit dijangkau. Tapi entah kenapa, tatapan Arya yang begitu kosong tetap terngiang di benaknya."Kenapa dia jadi begitu ya?" Gadis bergumam pada dirinya sendiri sambil duduk di balkon kostannya, menatap langit pagi yang masih sedikit mendung. "Apa kehilangan istri membuatnya berubah se-ekstrem itu?"Tak lama, ponselnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Gadis mengangkatnya dengan cepat."Halo, Vin," sapanya ringan."Gadis! Gimana tadi malem? Seru kan reuni? Aku lihat kamu ngobrol sebentar sama Arya. Kok mendadak banget? Aku nggak nyangka dia bakal datang," kata Vina di seberang telepon, suaranya penuh rasa ingin tahu.Gadis tersenyum tipis, meski Vina tidak bisa melihatnya. "Iya, nggak nyangka juga. Ngobrolnya biasa aja sih, cuma basa-basi.""Basa-
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan tak tenang. Pertemuan dengan Arya kemarin masih menghantui pikirannya. Tawaran untuk menjadi istrinya terdengar aneh, nyaris tidak masuk akal, tetapi juga... realistis. Arya bukan sembarang orang, dan apa yang dia minta bukan sekadar cinta romantis. Ini tentang tanggung jawab, tentang masa depan anaknya. Namun, Gadis belum bisa mengambil keputusan. Ketika ponselnya berdering, Gadis hampir tidak ingin melihatnya, tetapi ketika nama Arya muncul di layar, dia tahu ini adalah panggilan penting."Hallo, Arya," Gadis menyapa dengan suara yang lebih lembut dari biasanya."Apakah kamu sudah memikirkannya?" Arya langsung to the point, tanpa basa-basi.Gadis menggigit bibirnya. "Aku... masih butuh waktu.""Aku mengerti," jawab Arya, suaranya terdengar sedikit lelah. "Aku tidak ingin menekanmu. Tapi bisakah kita bertemu lagi hari ini? Ada sesuatu yang harus aku jelaskan."Gadis menghela napas panjang. "Baiklah, kapan dan di mana?""Kali ini di rumahku. Nay