Share

Terpaksa Menikahi Duda
Terpaksa Menikahi Duda
Penulis: Zee

Di Ujung Waktu yang Menekan

Gadis Anastasya duduk di sudut kafe favoritnya, sebuah buku terbuka di depan mata. Namun, pikirannya berkelana jauh dari halaman-halaman yang seharusnya dia baca. Bunyi sendok yang beradu dengan cangkir terdengar samar-samar di latar belakang, menjadi suara pengiring yang mengiringi kegelisahannya.

Di usia 32 tahun, Gadis merasa hidupnya seperti berada di tengah persimpangan tanpa arah yang jelas. Teman-teman sebaya sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak dua atau tiga. Mereka berbagi cerita tentang anak-anak yang bertumbuh, suami yang perhatian—atau kadang menyebalkan—dan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi naik-turun. Sementara itu, Gadis masih sendirian, masih menunggu datangnya seseorang yang disebut jodoh.

Tak terhitung berapa kali dia mendapatkan pertanyaan yang sama di setiap pertemuan keluarga atau acara reuni kecil-kecilan. “Kapan nikah, Gadis?” selalu dilontarkan dengan senyum, tapi membawa beban berat di hatinya.

Gadis menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. “Kalau jodoh itu ada, kenapa dia nggak datang-datang juga?” gumamnya pada diri sendiri, sedikit sarkastik.

Namun, meskipun sering dipermalukan dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Gadis bukan tipe perempuan yang mudah menyerah. Dia percaya, Tuhan telah menyiapkan pasangan untuk setiap orang. Hanya saja, mungkin waktu yang tepat belum datang untuknya. Tapi, bagaimana jika waktu itu tak pernah datang? Bagaimana jika dia memang ditakdirkan untuk hidup sendiri? Pikiran itu menghantui kepalanya akhir-akhir ini, membuatnya sering terjaga di malam hari, memandangi langit-langit kamarnya yang sunyi.

Ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja, mengalihkan pikirannya. Sebuah pesan masuk dari grup W******p alumni SMP. Gadis membuka pesan itu dengan rasa penasaran yang samar.

**“Reuni SMP! Jangan lupa hadir ya! Sabtu depan di hotel X. Jangan sampai ketinggalan!”**

Gadis menghela napas panjang. Reuni, pikirnya. Sebuah acara yang mungkin hanya akan menambah beban pikirannya.

"Kalau datang, pasti lagi-lagi ditanya soal nikah. Kalau nggak datang, malah terkesan menghindar. Duh..." Gadis menggigit bibirnya, bingung. Di satu sisi, ia rindu bertemu teman-teman lama, namun di sisi lain, ia tahu apa yang akan dihadapinya nanti.

Gadis menghela napas panjang. Antara ingin datang atau tidak, pikirannya bergulat. Di satu sisi, dia rindu dengan teman-teman SMP-nya. Di sisi lain, dia tahu apa yang menantinya jika datang: rasa canggung saat harus menjawab pertanyaan tentang hidup pribadinya yang belum berubah. Tetapi, di balik semua keraguan itu, ada sedikit dorongan dalam dirinya untuk sekadar menghibur diri. Mungkin bertemu orang-orang dari masa lalu akan membawa suasana baru dalam pikirannya yang jenuh.

***

Sabtu malam itu datang lebih cepat dari yang diperkirakan. Gadis mengenakan gaun sederhana berwarna krem, rambutnya tergerai lurus. Saat tiba di hotel tempat acara berlangsung, dia merasa canggung. Sudah lama dia tak menghadiri acara seperti ini, apalagi dengan teman-teman yang tak lagi sering berkomunikasi.

Kedatangan Gadis disambut oleh beberapa teman lama yang langsung mengenalinya. Obrolan ringan tentang masa sekolah dan kabar terbaru mulai mengalir, namun Gadis tetap waspada. Dia tahu, pada titik tertentu, pertanyaan tentang kehidupannya akan muncul. Dan benar saja, saat suasana mulai akrab, salah satu temannya tiba-tiba bertanya, "Eh, Gadis, kamu gimana sekarang? Udah nikah belum?"

Gadis tersenyum, sudah terbiasa dengan pertanyaan itu. “Belum, doain aja, ya,” jawabnya singkat. Di tengah-tengah kerumunan teman-teman seangkatannya, Gadis melihat teman sebangkunya, Vina lalu menghampirinya. Vina, segera menyambutnya dengan senyum lebar.

"Eh, Gadis! Lama banget nggak ketemu!" Vina memeluknya erat. "Kamu kelihatan makin cantik, ya. Gimana kabarmu?"

Gadis tersenyum kecil, "Baik, Vin. Kamu sendiri gimana?"

Vina tertawa kecil sambil melirik cincin di jari manisnya. "Aku? Ya begini-begini aja, lah. Udah dua anak sekarang. Capek tapi seru. Kamu kapan nyusul, Gadis?"

Gadis sudah mempersiapkan jawabannya. Dengan senyum yang sama, ia berkata, "Doain aja, Vin. Masih belum ada yang cocok nih."

Vina tertawa ringan, "Ah, tenang aja. Yang sabar pasti dapat yang terbaik."

Gadis hanya bisa tersenyum sambil menahan desakan dalam hatinya. Pertanyaan itu selalu datang, tanpa henti, dari semua orang. Seolah pernikahan adalah satu-satunya tujuan hidup seorang perempuan.

Percakapan berlanjut dengan beberapa teman lainnya yang bergabung. Mereka berbicara tentang anak-anak, pekerjaan, dan kehidupan rumah tangga. Gadis mendengarkan, berusaha terlihat antusias, meski pikirannya melayang-layang ke tempat lain.

Namun, suasana berubah ketika suara riuh mulai terdengar dari pintu masuk aula. Gadis mengikuti arah pandangan teman-temannya, dan melihat seorang pria tinggi dengan setelan jas hitam masuk ke ruangan.

"Arya," bisik Vina dengan nada kagum. "Kakak kelas kita yang dulu super populer itu. Masih kelihatan keren, ya? Tapi kasihan, sekarang jadi duda, istrinya meninggal karena kecelakaan."

Gadis terdiam. Tentu dia ingat Arya Dirgantara. Kakak kelas yang dulu selalu menjadi pusat perhatian, pujaan banyak gadis. Tapi baginya, Arya hanyalah senior yang cerdas dan ramah. Mereka sering bekerja sama di mading sekolah, Arya sebagai pemimpin redaksi dan Gadis sebagai editornya.

Namun Arya yang sekarang tampak berbeda. Wajahnya lebih dingin, lebih kaku. Dia tidak lagi menebar senyum seperti dulu, bahkan tatapannya pun terasa jauh.

Tanpa sadar, Arya dan Gadis saling bertatapan. Mata mereka bertemu sesaat sebelum Arya mengalihkan pandangannya dan berjalan menuju kelompok teman-temannya tanpa sepatah kata pun.

"Dia berubah banget, ya?" gumam Gadis pelan.

Vina mengangguk. "Iya. Dulu Arya itu cowok paling ramah, suka bercanda. Tapi semenjak istrinya meninggal, dia berubah. Jarang banget dia mau datang ke acara seperti ini."

Gadis mengangguk, meski hatinya merasa sedikit terusik. Arya yang dulu dia kagumi dari jauh sekarang terasa seperti orang asing. Tapi ada sesuatu yang menarik di balik sikap dinginnya itu, sesuatu yang membuat Gadis penasaran.

"Eh, Gadis," tiba-tiba suara Vina membuyarkan lamunannya. "Kamu masih sering nulis nggak? Dulu kan kamu jago banget jadi editor di mading."

Gadis tersenyum tipis, "Iya, masih suka nulis. Tapi ya cuma buat sendiri aja. Belum ada waktu buat serius."

"Kamu harus mulai lagi, lho. Siapa tahu bisa sukses jadi penulis." Vina menepuk bahunya dengan semangat.

Gadis tertawa kecil. "Iya, nanti deh. Kalau waktunya tepat."

"Btw, sekarang kamu kerja di mana?"

"Aku kerja di perusahaan penerbitan, udah 7 tahun, bosan juga, hehe, kalo kamu Vin?"

" Yaah, boro-boro kerja kantoran, sekarang aku mah cuma jadi ibu rumah tangga, ngurus bocil yang lagi nakal-nakalnya nih, capek, tapi seru sih hehe." Gadis hanya tersenyum meringis, mendengar jawaban Vina, ibu rumah tangga, pekerjaan yang sejak kecil diimpikannya.

Gadis kembali melirik Arya lagi yang pada saat itu tengah mengobrol dengan beberapa teman laki-laki. Bagi Gadis, Arya adalah sosok yang tak terjangkau. Terlalu populer, terlalu sempurna, terlalu jauh dari dunianya yang sederhana sampai sekarangpun dia terlihat seperti itu, tak terjangkau.

Arya berjalan ke arah meja yang sepertinya telah disiapkan untuknya, dengan langkah tenang dan penuh percaya diri. Orang-orang di sekitarnya masih membicarakannya, terutama tentang statusnya sebagai duda beranak satu setelah kematian istrinya dua tahun lalu.

Gadis mencoba menghindari pandangan Arya, meski di dalam hatinya dia merasa sedikit penasaran. Apakah Arya masih sama seperti dulu? Atau apakah hidup telah mengubahnya?

Acara reuni semakin ramai, namun Gadis mulai merasa tidak nyaman. Perasaan canggung dan sedikit kebingungan menyelimuti pikirannya. Tatapan dingin Arya tadi terus berputar di kepalanya.

Saat dia tengah melamun, sebuah suara berat menyapanya.

"Gadis Anastasya?"

Gadis menoleh dan terkejut melihat Arya berdiri di depannya. Untuk beberapa detik, mereka hanya saling menatap. Gadis berusaha mengendalikan dirinya, meski jantungnya berdetak lebih cepat. Vina menyadari jika Arya ingin mengobrol dengan teman sebangkunya itu, lalu pamit undur diri, kini hanya Gadis dan Arya yang sama-sama terlihat canggung.

"Arya... lama nggak ketemu," ucap Gadis akhirnya, berusaha tersenyum.

Arya mengangguk pelan. "Iya, sudah lama. Aku nggak nyangka kamu masih ingat aku."

"Tentu aja aku ingat," Gadis tersenyum canggung. "Kamu kan pemimpin redaksi kita dulu."

Arya hanya menatapnya tanpa senyum. Suasana menjadi sedikit kikuk.

"Bagaimana kabarmu sekarang?" tanya Gadis, mencoba mencairkan suasana.

Arya menarik napas panjang. "Biasa saja. Kehidupan berubah, tapi ya begitulah."

Gadis merasa ada sesuatu yang berat dalam nada bicara Arya, tapi ia tidak ingin menekannya lebih jauh. "Aku dengar tentang istrimu. Maaf soal itu."

Arya hanya mengangguk, tanpa ekspresi yang jelas. "Sudah dua tahun berlalu. Kehidupan tetap berjalan."

Gadis tak tahu harus berkata apa. Dia ingin menghibur, tapi rasanya tak ada kata yang tepat untuk situasi ini.

Setelah beberapa detik yang canggung, Arya berbicara lagi, "Kamu masih menulis?"

Gadis terkejut mendengar pertanyaannya. "Iya, masih. Tapi ya, cuma buat diri sendiri. Nggak seintens dulu."

Arya menatapnya dalam-dalam. "Kamu harus terus menulis. Kamu punya bakat."

Gadis tersenyum kecil. "Makasih, Arya. Senang dengar itu dari kamu."

Setelah itu, Arya hanya mengangguk dan pergi tanpa pamit, meninggalkan Gadis yang masih terkejut dengan pertemuan singkat itu.

"Apa yang sebenarnya terjadi padanya?" gumam Gadis dalam hati.

Dan di sanalah, di tengah suasana reuni yang seharusnya penuh kehangatan, Gadis mulai merasakan sesuatu yang tak terduga. Sesuatu yang akan mengubah hidupnya dalam waktu dekat, tanpa dia sadari.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status