Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan tak tenang. Pertemuan dengan Arya kemarin masih menghantui pikirannya. Tawaran untuk menjadi istrinya terdengar aneh, nyaris tidak masuk akal, tetapi juga... realistis. Arya bukan sembarang orang, dan apa yang dia minta bukan sekadar cinta romantis. Ini tentang tanggung jawab, tentang masa depan anaknya. Namun, Gadis belum bisa mengambil keputusan.
Ketika ponselnya berdering, Gadis hampir tidak ingin melihatnya, tetapi ketika nama Arya muncul di layar, dia tahu ini adalah panggilan penting. "Hallo, Arya," Gadis menyapa dengan suara yang lebih lembut dari biasanya. "Apakah kamu sudah memikirkannya?" Arya langsung to the point, tanpa basa-basi. Gadis menggigit bibirnya. "Aku... masih butuh waktu." "Aku mengerti," jawab Arya, suaranya terdengar sedikit lelah. "Aku tidak ingin menekanmu. Tapi bisakah kita bertemu lagi hari ini? Ada sesuatu yang harus aku jelaskan." Gadis menghela napas panjang. "Baiklah, kapan dan di mana?" "Kali ini di rumahku. Naya juga ingin bertemu denganmu," jawab Arya dengan nada yang terdengar serius. Gadis kaget. "Putrimu? Kamu sudah cerita soal aku ke dia?" Arya terdiam sejenak sebelum menjawab, "Belum secara langsung, tapi dia tahu aku sedang mencari seseorang untuknya." Ada jeda panjang sebelum Gadis akhirnya setuju. "Oke, aku akan datang sore ini." *** Ketika Gadis tiba di rumah Arya, suasananya sangat berbeda dari yang dia bayangkan. Rumah itu besar, modern, namun terasa sepi. Seolah-olah rumah itu lebih mirip museum daripada tempat tinggal. Arya membukakan pintu, tampak lebih santai dalam pakaian kasual. "Masuklah," kata Arya sambil mempersilakan Gadis masuk. Begitu masuk, Gadis melihat seorang anak kecil berusia sekitar 6 tahun, Naya, duduk di sofa sambil memegang boneka. Matanya besar dan penuh rasa ingin tahu, persis seperti Arya, namun ada sesuatu yang lembut dalam tatapannya yang tidak dimiliki oleh ayahnya. "Naya, ini Gadis," Arya memperkenalkan mereka. Naya menatap Gadis dengan senyum malu-malu. "Halo, Tante Gadis." Gadis merasa ada kehangatan yang tiba-tiba mengalir dalam dirinya. "Halo, Naya. Senang bertemu denganmu." Mereka mengobrol sebentar, tapi pertemuan itu berlangsung singkat. Setelah Naya kembali ke kamarnya, Arya mengajak Gadis duduk di ruang tamu. "Aku harus memberitahumu sesuatu yang belum aku ceritakan kemarin," kata Arya tiba-tiba, suaranya lebih dalam. Gadis merasakan ketegangan di udara. "Apa itu?" Arya menghela napas panjang, seakan mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Sebenarnya... tawaranku bukan hanya soal Naya. Ini juga tentang perusahaan keluarga." Gadis mengerutkan kening. "Perusahaan keluarga?" "Ya," Arya mengangguk. "Keluargaku memiliki perusahaan besar, dan setelah ayahku meninggal, semua tanggung jawab jatuh ke pundakku. Namun, ada satu syarat dalam wasiat ayahku yang membuat semua ini lebih rumit. Aku harus menikah sebelum usia 40 tahun jika ingin mengamankan warisan dan mengelola perusahaan sepenuhnya." Gadis terdiam, mencoba memahami semua itu. "Jadi... kamu ingin menikah denganku agar memenuhi syarat warisan?" Arya menatapnya dengan penuh intensitas. "Bukan hanya itu. Aku benar-benar membutuhkan seseorang yang bisa aku percayai untuk mendampingiku. Dan aku tahu, kamu orang yang tepat." Gadis menelan ludah, merasa tidak nyaman. "Arya... ini bukan sekadar pernikahan. Ini seperti... bisnis?" Arya menggeleng. "Tidak, ini lebih dari itu. Aku tahu ini terdengar egois, tapi aku tidak bisa memungkiri kenyataan bahwa aku butuh bantuan. Naya butuh seorang ibu, dan perusahaan ini butuh stabilitas. Kamu bisa membantuku dalam dua hal itu." Gadis merasa jantungnya berdebar lebih cepat. "Dan apa yang akan aku dapatkan dari semua ini, Arya? Aku bukan orang yang hanya ingin menikah untuk memenuhi syarat perusahaan atau menjadi ibu pengganti. Aku butuh lebih dari itu." Arya menatapnya lama, seakan ada sesuatu yang ingin dia katakan tapi dia tahan. "Aku tidak bisa memberimu cinta sekarang," dia akhirnya berkata, suaranya pelan tapi tegas. "Tapi aku bisa memberimu keamanan, masa depan yang stabil, dan... mungkin, kesempatan untuk kita membangun sesuatu bersama." Gadis menghela napas dalam, merasa semakin bingung. "Ini terlalu cepat, Arya. Aku butuh waktu lebih banyak." "Aku tahu," jawab Arya lembut. "Tapi aku ingin kamu tahu segalanya sebelum kamu membuat keputusan." Saat Gadis hendak menanggapi, suara pintu yang terbuka terdengar. Dari balik pintu muncul seorang wanita paruh baya, cantik dan elegan. Matanya menatap Gadis dengan tajam, seolah sedang menilai setiap inci dirinya. "Arya, aku tidak tahu kau mengundang tamu hari ini," kata wanita itu dengan nada dingin. Arya tampak tegang. "Ini ibuku, Mah, ini Gadis, wanita yang pernah aku ceritakan tempo hari." Gadis berdiri, merasa sedikit terintimidasi oleh kehadiran wanita itu. "Senang bertemu dengan Anda, Bu." Seru Gadis sambil mengulurkan tangannya ke arah wanita paruh baya disebelah Arya. "Saya Ratna, mamanya Arya," kata Tante Ratna sambil menyambut tangan Gadis. "Arya, mama ingin bicara denganmu sebentar," katanya, jelas tanpa memedulikan keberadaan Gadis. Arya menghela napas. "Maaf, Gadis. Sebentar ya." Mereka berdua meninggalkan ruangan, meninggalkan Gadis yang merasa semakin tidak nyaman. Dia bisa mendengar percakapan samar-samar dari balik pintu. "Arya, apa yang kamu pikirkan? Kamu benar-benar akan menikahi perempuan itu hanya demi warisan?" "Aku tahu apa yang kulakukan, Ma, Ini bukan hanya soal warisan. Naya butuh ibu, dan Gadis bisa menjadi bagian dari hidup kita." Wanita itu mendengus. "Kau yakin dia bisa diandalkan? Atau kau hanya terjebak dalam desakan waktu?" Percakapan itu semakin samar, tapi Gadis sudah mendengar cukup jelas sekali bahwa ibu Arya tidak setuju, dan ini bukan hanya soal Naya atau Arya. Ada lebih banyak hal yang dipertaruhkan. Ketika Arya kembali, dia tampak lebih tenang, meski Gadis bisa melihat ketegangan di wajahnya. "Maaf soal tadi. Ibuku sedikit... protektif," kata Arya, mencoba tersenyum tipis. Gadis hanya mengangguk. "Aku bisa mengerti. Tapi Arya... aku harus jujur. Ini terlalu banyak untuk dipikirkan dalam waktu singkat. Bukan hanya tentang kamu atau Naya, tapi juga keluargamu, perusahaanmu." Arya menatapnya serius. "Aku tahu. Aku tidak akan memaksamu untuk memutuskan sekarang. Tapi tolong, pertimbangkan ini. Aku tidak akan membuatmu menyesal." Gadis terdiam, pikirannya penuh dengan kebingungan dan keraguan. Apakah dia benar-benar bisa masuk ke dalam dunia Arya yang begitu rumit? Ataukah tawaran ini hanyalah jebakan yang akan menjebaknya dalam kehidupan yang penuh dengan tekanan dan tuntutan? ***Hari itu, Gadis tak bisa berhenti memikirkan percakapan dengan Arya dan apa yang didengarnya dari ibunya. Bagaimanapun, tawaran Arya sangat rumit. Dia berada di persimpangan jalan, dan semakin dia merenung, semakin terjebak rasanya.Ponselnya berdering, dan nama Arya muncul lagi di layar. Kali ini, Gadis mengangkatnya dengan segera, rasa penasaran mengalahkan kebimbangannya."Hei," Arya menyapa, suaranya terdengar lebih lembut daripada biasanya. "Bisakah kita bertemu lagi sore ini? Ada hal penting yang ingin kubicarakan."Gadis merasa sedikit cemas, tapi juga tidak bisa menolak keingintahuannya. "Baiklah. Di mana?""Kali ini di tempat yang berbeda. Aku akan kirim alamatnya."Sore itu, Gadis tiba di sebuah restoran kecil yang sepi. Arya sudah menunggunya di sana, duduk di meja pojok dengan ekspresi serius. Ketika Gadis masuk, Arya berdiri dan menyapanya dengan anggukan."Kamu datang," kata Arya sambil tersenyum tipis."Ya, kamu bilang ada hal penting," Gadis duduk di hadapannya. "Apa y
Minggu-minggu berlalu, dan Gadis masih belum memberi Arya jawaban. Setiap kali mereka bertemu, hubungan mereka terasa canggung. Bukan karena Arya tidak berusaha, tetapi karena ada sesuatu yang Gadis rasakan di balik setiap ucapan dan tindakan Arya. Meskipun Arya terbuka mengenai rencana pernikahan dan perusahaan, Gadis selalu merasa ada sesuatu yang dia sembunyikan.Suatu sore, ketika Gadis sedang duduk di kafe favoritnya, menikmati teh hangat sambil mencoba merenungi perasaan yang campur aduk di hatinya, ponselnya berbunyi. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Gadis ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkatnya."Halo, ini Gadis Anastasya?" Suara seorang wanita yang tidak dikenal terdengar dari seberang telepon."Ya, saya Gadis. Siapa ini?" Gadis bertanya dengan nada hati-hati."Aku Rina. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tapi aku pikir kita harus bicara." Ada nada tegas dalam suaranya, seperti seseorang yang tahu sesuatu yang penting.Gadis merasa curiga. "Bicara soal apa?""
Pagi itu, Gadis bangun dengan perasaan campur aduk. Keputusan yang akan dia buat hari ini adalah salah satu keputusan terpenting dalam hidupnya. Dia masih bisa merasakan hembusan angin segar yang menyambutnya di taman pusat kota beberapa hari lalu, dan pertemuan dengan Rina masih segar dalam ingatannya. Namun, hari ini adalah hari di mana dia harus memberikan jawaban kepada Arya.Setelah sarapan cepat dan membuang waktu dengan berpikir, Gadis akhirnya memutuskan untuk menuju restoran kecil yang sering mereka kunjungi. Dia memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, memastikan dia terlihat tenang dan percaya diri, meskipun di dalam hatinya dia merasakan kegugupan yang mendalam.Di restoran, Arya sudah menunggu di meja pojok, tampak seperti seseorang yang sedang menunggu berita penting. Gadis merasakan detak jantungnya yang cepat setiap kali dia melihat Arya. Dia menghela napas dan melangkah menuju meja tersebut, berusaha menenangkan diri."Selamat pagi, Arya," kata Gadis, mencoba me
Malam itu, Gadis tak bisa tidur nyenyak. Berulang kali ia memandangi cincin di jarinya, merasakan beban sekaligus harapan yang terkandung dalam berlian kecil itu. Ia tahu, perjalanan di hadapannya takkan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang layak diperjuangkan.Keesokan harinya, Gadis dan Arya kembali bertemu di sebuah kafe kecil yang biasa mereka kunjungi saat berbincang hal-hal serius. Tidak seperti pertemuan sebelumnya, suasana kali ini lebih santai. Arya datang membawa senyum yang menenangkan, dan Gadis merasakan jantungnya berdetak lebih stabil melihat pria di hadapannya itu tampak lebih rileks.“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Arya, membuka percakapan setelah keduanya memesan minuman.Gadis tersenyum kecil. “Cukup baik. Aku merasa sedikit lega setelah akhirnya membuat keputusan.”Arya mengangguk mengerti. “Aku tahu ini tidak mudah, Gadis. Aku bersyukur kamu bersedia mencoba bersamaku, meski mungkin masih ada keraguan di hatimu.”Mendengar ketulu
Gadis Anastasya duduk di sudut kafe favoritnya, sebuah buku terbuka di depan mata. Namun, pikirannya berkelana jauh dari halaman-halaman yang seharusnya dia baca. Bunyi sendok yang beradu dengan cangkir terdengar samar-samar di latar belakang, menjadi suara pengiring yang mengiringi kegelisahannya.Di usia 32 tahun, Gadis merasa hidupnya seperti berada di tengah persimpangan tanpa arah yang jelas. Teman-teman sebaya sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak dua atau tiga. Mereka berbagi cerita tentang anak-anak yang bertumbuh, suami yang perhatian—atau kadang menyebalkan—dan kehidupan rumah tangga yang dipenuhi naik-turun. Sementara itu, Gadis masih sendirian, masih menunggu datangnya seseorang yang disebut jodoh.Tak terhitung berapa kali dia mendapatkan pertanyaan yang sama di setiap pertemuan keluarga atau acara reuni kecil-kecilan. “Kapan nikah, Gadis?” selalu dilontarkan dengan senyum, tapi membawa beban berat di hatinya.Gadis menatap cangkir kopinya yang sudah dingin. “Ka
Setelah reuni berakhir, Gadis Anastasya merasa campur aduk. Pertemuan singkatnya dengan Arya Dirgantara tadi malam masih berputar di kepalanya. Sosok pria yang dulu ia kenal ramah dan ceria kini berubah menjadi seseorang yang dingin dan sulit dijangkau. Tapi entah kenapa, tatapan Arya yang begitu kosong tetap terngiang di benaknya."Kenapa dia jadi begitu ya?" Gadis bergumam pada dirinya sendiri sambil duduk di balkon kostannya, menatap langit pagi yang masih sedikit mendung. "Apa kehilangan istri membuatnya berubah se-ekstrem itu?"Tak lama, ponselnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Gadis mengangkatnya dengan cepat."Halo, Vin," sapanya ringan."Gadis! Gimana tadi malem? Seru kan reuni? Aku lihat kamu ngobrol sebentar sama Arya. Kok mendadak banget? Aku nggak nyangka dia bakal datang," kata Vina di seberang telepon, suaranya penuh rasa ingin tahu.Gadis tersenyum tipis, meski Vina tidak bisa melihatnya. "Iya, nggak nyangka juga. Ngobrolnya biasa aja sih, cuma basa-basi.""Basa-