Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."
Fathy Abdus Sattar.
Pov Sattar
***
Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.
'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.
Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang muntahannya. Aku hanya mengintip lewat celah pintu.
Kududukkan tubuh menunggunya tenang hingga lima belas menit lagi. Alhamdulillah, Aini mulai baikan, tampaknya ia sudah tertidur. Tak lagi terdengar muntahan.
Kulirik jam di tangan. Sudah terlalu lama aku menghabiskan waktu di rumah. Sedang rumah sakit tengah menungguku menangani puluhan pasien.
Kuputuskan untuk memasuki kamar Aini, hanya untuk melihat keadaannya lalu langsung berangkat ke rumah sakit. Ah, tapi kenapa dada ini tiba-tiba berdegup tidak jelas.
Aku berhenti tepat di sebelah ranjang Aini. Dia tertidur pulas, gurat kelelahan memenuhi wajahnya. Aneh, lenguhan napasnya yang teratur seperti musik yang menggetarkan jiwa. Kupandangi wajah gadis itu lama, meski pucat tapi tetap, cantik.
"Hem ... Kasihan sekali gadis ini. Harusnya aku yang melakukan semua yang dilakukan Bik Ina. Tapi ...."
Kuhela napas panjang. Aini tampak menggeliat. Dari posisi miring kanan, kini tubuhnya terlentang. Mataku seketika dipaksa memandangnya sedikit lebih lama lagi. Seperti ada magnet yang menarik wajahku agar mendekati wajahnya yang masih memejamkan mata. Dan sekarang, sorotan mataku malah terbidik pada keningnya.
'Astaghfirullah. Apa yang akan aku lakukan?'
Wajahku semakin mendekat, tanpa sadar mata ini pun terbius untuk tertutup. Lalu, kurasa hampir mendarat, tapi...
"Bang Sattar?"
Aku terlonjak kaget. Mataku yang tadi tertutup mendadak membulat sempurna.
"Ehm!"
Tubuhku kini sudah sempurna berdiri kembali, dengan jantung rancak berdegup.
"Abang ngapain?" tanya Aini membuatku gugup.
"Ehm ... Abang, eng-Ab, Abang, mau pamit. Abang harus balik ke rumah sakit. Ada jadwal operasi," jawabku gelagapan sambil membalikkan langkah menuju pintu.
"Bang ...."
Suara Aini membuat langkahku terhenti, namun tak berbalik.
"Makasih ya," ucapnya lirih.
Kutarik napas dalam. "Iya."
"Hanya iya. Ck! Ada apa dengan diri ini!"
Kusingkirkan segala rasa aneh yang timbul, sambil meneruskan langkah meninggalkan kamar itu. Entah bagaimana Aini setelah kepergianku. Yang jelas diri ini hanya ingin menghilang diri dari hadapannya.
***
Kuteguk air mineral di dalam botol saat aku sudah duduk kembali di balik kemudi.
Tiba-tiba saja tubuhku terasa panas. Kutekan tombol pendingin hingga berada pada status maksimal. Ada apa denganku, apa yang mau aku lakukan tadi?
"Arghhh ...!" Kupukul setir kemudi dengan tangan yang menggepal. Lalu merahup wajah dengan kuat!
"Ainiii ...!"
Namanya kembali tersebut dengan geraham yang saling tertindih.
***
'Plasenta previa (plasenta yang menutupi jalan lahir).'
Aku membaca sebuah status pasien yang sesaat lagi akan kutangani persalinannya. Kuhela napas sejenak, ingatan kembali membawaku terbang ke masa lalu.
.
.
.
Flash back
Tiga bulan setelah kepergian Hanna. Saat itu Aini terus bolak balik menemani ibunya dirawat di Banda Aceh karena penyakit jantung. Aku yang sudah memegang janji dari Hanna untuk menikahi Aini, masih saja menutup-nutupi perihal itu. Ingin aku mengingkari semuanya, meski aku tahu itu adalah sebuah kesalahan, karena bagaimanapun janji adalah hutang.
Hari itu Aini dan wanita yang masih menjadi mertuaku itu datang berkunjung ke rumah. Beliau bilang dua hari lagi, dirinya akan mengalami operasi pemasangan ring jantung.
Malam harinya, aku menemukan ada yang berbeda. Tiga bulan sudah usia Fikri, tak semalampun ia tidur dengan nyenyak. Selalu rewel meski minum cukup cairan.
Saat Fikri menangis, Aini mengendong dan meninabobokkan anakku. Bayi itu tertidur pulas dalam dekapan Aini.
Sesaat aku tersadar, mungkin ini karena amanah Hanna yang belum kujalankan. Tapi, ya biarlah. Semua akan berubah seiring bertambahnya usia Fikri. Yang jelas, aku belum siap menerima pengganti Hanna.
Sampai operasi berlangsung, aku masih ikut mengurus segala keperluan ibu mertua. Namun, sesaat sebelum memasuki ruangan bedah, sesuatu yang disampaikan ibu mertua membuat darahku seakan berhenti mengalir.
"Terima kasih, Nak Sattar. Ibu berhutang banyak jasa sama kamu. Hanna sudah tiada, tapi kamu tetap membantu ibu melakukan semua ini. Andai ada yang bisa Ibu lakukan untuk membantu meringankan bebanmu, Anakku?"
Aku terdiam. Segala yang kulakukan ini ikhlas, tak pernah sedikitpun aku mengharap balasan. Bagiku, menghormatinya, sama seperti aku menghormati Hanna. Apa yang dicintai Hanna akan menjadi kecintaanku juga.
"Aini ...."
Ibu mertua memanggil gadis itu agar mendekat dengannya.
"Aini, jika umur Mamak tak lagi panjang. Tolong Anakku, rawatlah Fikri, menikahlah dengan Sattar ...."
Netraku membulat sempurna. Ternyata, yang menjadi amanah Hanna, kini ibu mertua juga meminta hal yang sama. Dua amanah kini berada dipundakku. Kulirik Aini yang juga nampak terkejut dengan permintaan ibunya. Dia mendekat dan mencium tangan wanita itu.
"Mak ...."
Ia hanya memanggil nama ibunya lirih, kurasa gadis itu ingin menolak. Mungkin saja dia sudah punya imam pilihannya.
"Maukan kamu menikah dengan Abang iparmu?"
Sebulir kristal lolos dari pelupuk mata gadis itu.
"Aini ...."
Suara ibu mertua kembali terdengar lirih. Gadis itu terisak. Aku hanya bisa diam membisu, bukan karena aku setuju, tapi bimbang.
"Meunyoe nyan yang Mamak lakee bak lon, hana pue laen lon seuot menyoe ken jeut Mak (Jika itu yang ibu inginkan, nggak ada lain yang bisa Aini katakan selain mengiyakannya, Buk."
Sesuatu seperti menembus jantungku. Rasa perih itu membuat napasku begitu berat.
"Nak Sattar ...."
Aku mendekat.
"Terimalah Aini sebagai pengganti Hanna. Dia memang tidak sebaik Hanna, tapi ia istimewa. Ibu yakin, Aini akan mengabdi padamu, sebagai mana Hanna mengabdikan dirinya selama ini."
'Allah ....'
Saat itu, aku ingin menangis.
***
Sehari setelah operasi pemasangan ring jantung, ibu mertua mengembuskan napas terakhir. Dan Aini, dia resmi menjadi istriku dua bulan setelah ibunya meninggal.
Huhft...
Pernikahan kami sederhana. Dia memang cantik, tapi aku tidak mencintainya. Malam dan siangku, terus saja dipenuhi bayang-bayang Hanna. Terutama saat melihat Fikri.
Tapi anak itu, dia lengket sekali dengan Aini yang selama ini memang sudah menempati rumahku.
Malam pertama kami, mungkin selamanya akan membekas sebagai catatan kelam dalam hati Aini. Aku memasuki kamar pengantin kami, lalu mendekatinya yang masih duduk di ranjang tanpa bergerak sedikitpun dari pertama kali ia masuk. Tanpa berbicara, kudekati ia, kuangkat tangan kanan dan meletakkannya di atas ubun-ubun Aini. Dia menatapku sejenak lalu menunduk.
"Biamillahirrahmanirrahim. Allahumma inni as-aluka khayraha wa hayra ma jabaltahaa 'alaihi wa a'uudzu bika min syarrihaa wa min syarri maa jabaltahaa 'alaihi. Ya Allah sesungguhnya aku memohon kebaikanMu dan kebaikan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya. Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari keburukan apa yang Engkau ciptakan pada dirinya."
Aini menatapku saat aku selesai membaca doa itu. Aku bisa menangkap bulir mengambang di pelupuk matanya.
Detik kemudian ia memejamkan mata. Mungkin berharap aku mencium keningnya. Tapi, Astahgfirullah, aku hanya mengelus pipinya dan meninggalkannya begitu saja di kamar pengantin kami.
***
Flash back off
"Dok?"
Aku tersentak.
Perawat memakaikan pakaian operasiku. Lalu mengarahkan baki steril berisi handscoon padaku. Kukenakan dengan cepat, lalu perawat itu menyemprotkan alkohol pada tanganku yang sudah siap dengan sarungnya.
"Siap kita mulai operasinya, Dok?"
Aku menarik napas, berusaha melupakan semua yang sudah berlalu, dan menepis segala rasa yang kini mulai hadir. Di hadapanku, jauh tertutup oleh lapisan-lapisan perut dan uterus, seorang bayi tengah memanggil-manggil namaku. Dia minta agar aku membantunya keluar ke dunia.
"Siap! Bismillahirrahmanirrahim ..."
Sayatan selebar tujuh centi itupun telah kulakukan. Kini saatnya fokus.
***
bersambung.
terima kasih sudah membaca
utamakan baca Al-Quran.
Pov AiniSelepas kepergian Bang Sattar, aku mencoba memejamkan mata. Tapi sampai satu jam berlalu, mata ini tetap terus terbuka. Kucoba menghilangkan bayang dua lelaki yang terus menari-nari dalam benak. Andai boleh, aku memohon dengan sedalam-dalam permohonan, buatlah agar Jibran melupakanku ya Allah.Seberapapun aku pernah mencintainya, tetap saja semua itu masa lalu. Dan sekarang, meski Bang Sattar terus mencoba menyingkirkanku dari hidupnya, aku tetaplah istrinya. Bola mataku terasa hangat. Beberapa kali aku mengerjap, jika kubiarkan buliran ini berjatuhan, maka aku akan semakin lemah dan butuh sandaran. Kemana aku harus merebahkan diri ini, sementara bahu yang seharusnya kujadikan tempat bersandar masih dimiliki oleh Almarhum Kak Hanna.***Senja mulai tampak temaram di ufuk timur. Jalanan semakin ramai, lalu lalang kendaraan tampak menyemut di jalan utama depan Mesjid Baiturrahman. Di Balkon ini, aku memandang jauh ke salah satu puncak menara Mesjid."Ma, Fikri mau minum susu .
Pov jibran...Kau bilang, suatu saat kita pasti bisaBisa saling mencintai dengan halal.Bersama sampai tua.Bersatu hingga terpisahkan maut.Kau bilang, aku hanya harus perkuat doa dan harapan.Suatu saat Allah pasti akan mengabulkan.Tapi kenyataannya, kini, kau bersamanya...Apa yang tertinggal untukku, rindu yang kusam? Cinta yang terbuang? Air mata, lara?Jika masih ada ruang di hatimu untukku, sedikit saja.Bicaralah, katakan mengapa semua bisa begini?***Kugenggam erat hijab warna pink muda yang ada di tangan. Lalu membekap kuat ke dada. Seolah ini menjadi penawar sekian resah yang timbul karenanya. Hijab ini, hijab kepunyaan Aini. Sengaja puluhan tahun yang lalu tak kukembalikan pada pemiliknya. Ia marah saat aku malah memberikan jilbab yang baru, serupa namun tak sama sebagai ganti jilbab ini."Ini bukan jilbab ana. Akhy kemanakan jilbab ana?"Suaranya menderu di telpon, sesaat ketika aku baru saja sampai di rumah setelah mengembalikan jilbabnya di pintu pagar."Maaf, ko
Aku mulai mencemburui awan, karena mendapati kau terus memandangnya.'Sattar.***Siang ini, aku sempatkan diri singgah ke rumah diantara jam-jam istirahat. Entah kenapa seharian ini, perasaanku serba aneh. Parahnya lagi, entah sejak kapan aku mulai mengurusi jadwal Aini menyambut bayi sesar. Rasanya kalau tiap hari aku meributkan soal kecil begini, bisa-bisa aku dikira mencemburui dokter Jibran. Ah, memang iya aku mencemburuinya?Ck!Beberapa meter lagi sampai rumah, aku melihat seorang lelaki turun dari sebuah ojek tepat di depan pagar rumahku.Kupelankan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu menurunkan kaca mobil sembari bertanya."Bapak cari siapa?"Lelaki itu segera menoleh dan berjalan mendekati mobilku."Saya mencari seseorang di rumah ini," jawabnya pelan, "benarkah ini rumahnya Hurun Aini?" Aku mendelik. "Benar. Ada perlu apa Bapak sama istri saya?""Oh, maaf. Jadi anda suaminya saudari Aini?"Kuanggukkan kepala. Masih menanti penjelasan siapa dan apa perlunya dengan Ain
Diam-diam ikhlas, bukan diam-diam sesak.Diam-diam berkorban, bukan diam-diam terluka.Begitulah caraku mencintainya.Tapi itu dulu, kini aku harus membuka kedua tangan dan mempersiapkan diri untuk menjadi janda. Ya, janda tak tersentuh.'Hurun Aini.'***Rasanya aku ingin berlari sejauh-jauhnya. Kok bisa Bang Sattar membuka belanjaanku? Mana tadi itu belanja khusus dalaman. Huh, bisa-bisanya Bang Sattar memegang baju yang, oh ... pasti dia berpikir yang nggak-nggak. Hiks ... Hiks ...Kurebut bajuku dari tangannya. Ia gelagapan. "Maaf, Abang salah buka plastik. Tadi Abang cuma mau lihat baju yang kamu beli untuk Fikri."Benarkah katanya? Tapi aku terlanjur kesal juga malu. Nggak tahu harus kubawa kemana wajah ini. Jika baju ini itu sudah ada di tangan Bang Sattar, apalagi yang seperti kaca mata itu. Pasti dia sudah melihat benda terlarang milikku!Padahal itu hanya untuk koleksi, mana mungkin aku tega memakai yang begitu modelnya. Kugagalkan niat memasuki mobil. Dengan cekatan aku
Pov Aini"Katakan satu hal pada Ana, ukhty Aini. Apakah ukhty pernah mencintai Ana walau sebesar debu?"Ayatullah Jibran Siddiq.***Pagi ini aku bangun lebih cepat, bukan. Bukan bangun, karena memang semalaman aku tak tidur. Tepatnya keluar kamar lebih cepat.Sepanjang malam aku menghabiskan waktu di atas sajadah. Segalanya, tentang kemelut batin yang tak sederhana, bagaimana aku terus berkarib dengan kesabaran, juga tentang luka yang sepanjang hati berceceran. Semua kuadukan pada-Nya, pemilik suka dan duka. Meski tak sempurna menenangkan, tapi cukup membuat mata ini berhenti menumpahkan isinya.Kata pisah yang diucapkan Bang Sattar semalam, aku harus mendapatkan penjelasan.Apakah benar dia bermaksud ingin menceraikanku. Jika memang ia serius dengan ucapannya, maka aku akan pergi. Aku tak ingin menjadikan talak satu yang memungkinkan pasangan kembali dalam masa iddah, terjadi pada kasus kami ini. Aku akan menganggap peristiwa ini sebagai salah satu alasan untuk memilih jalan berpisa
Pov Sattar"Apa yang telah kukatakan, mengakhiri pernikahan? Semudah itukah?"***Kedua telapak tangan kini mengepal, bunyi gesekan terdengar dari geraham yang saling beradu. Degup jantungkupun semakin kencang. Kusandarkan tubuh pada pembatas ranjang. Sekuat tenaga mengatur napas yang terasa begitu cepat.Tak membaik! Keadaanku semakin buruk, bayang-bayang kepergian Hanna, senyumannya yang merekah, saat aku sendiri yang mendorong brangkarnya memasuki ruang operasi. Sesaat tenganku seperti ada yang menggenggam."Hanna!"Aku merasakan kembali genggaman tangannya seperti saat aku hendak menorehkan luka untuk proses operasi. Luka yang sejujurnya tak ingin kulakukan, jika tidak mengingat yang di dalam rahim wanita itu ada benihku yang hidup selama sembilan bulan. Benih yang ingin sekali menatapku, menatapnya. Tapi karena luka itu, Hanna pergi! Karena aku! Aku! Aku yang telah membunuhnya!Aku pembunuh!Pembunuh!Pembunuh!'Ya Allah, aku membunuh istriku ....'Kepalaku kini terasa begitu s
Pov JibranTadinya, aku ingin seperti air putih buatmu, sederhana, tapi begitu berarti. Begitupun rasa ini. Aku tak pernah memintanya untuk mencintaimu. Tapi ia datang tanpa permisi, lalu bersemayam dengan kokoh di dalam basirah. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan untuk menghancurkannya?***Aku menghempaskan diri di atas kursi kerja, pertemuan singkatku dengan Aini menyisakan luka teramat dalam. Andai bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke beberapa tahun silam, menjadi lelaki pertama yang menyelipkan cincin di jemari tangannya.Menjadi lelaki pertama yang memintanya pada Allah sebagai pelengkap iman.Kini tak ada yang bisa kulakukan, kenyataannya Aini sudah dimiliki oleh Sattar. Ah sakit! Andai ada yang dapat menghentikan denyut ini di dada?Kuperiksa semua pasien dengan baik, senyumku tetap terkembang. Mungkin hanya mereka menjadi alasanku tetap bertahan, jika tidak aku sudah pergi dari kota ini. Kupejamkan mata sambil bersandar pada kursi kerjaku. Semua pasien sudah keluar,
Pov Sattar"Demi Allah, Aini, Abang ingin belajar untuk mencintaimu."Fathy Abdus Sattar.***Kurebahkan tubuh setelah kepergian Jibran, rasanya kepala ini masih terasa berat. Tapi tak lama, pintu ruangan kembali terbuka, Aini muncul di sebaliknya. Kubalikkan badan menghadap tembok, saat tahun dia melangkah masuk dan berjalan mendekatiku.Ah, ternyata aku sepayah ini? Kurasa jika yang jadi istriku gadis lain, sudah dari dulu aku ditinggalkan. Tapi Aini? Benar yang ibunya katakan dahulu, dia memang tak sebaik Hanna, tapi dia istimewa."Aini mau bicara, Bang?" ucapnya tegas, menyingkirkan segala pikiran yang menggerayang sedari tadi."Bicara aja?" Aku menjawab sekenanya saja. Jujur dalam hati, bukan begini ekspresi yang ingin kutunjukkan."Aini mau bicara sama Abang, bukan sama tembok?" sanggahnya cepat.Kuhela napas sambil membalikkan badan. Mengarahkan bola mata pada netranya sejenak, lalu memilih menatap televisi mati."Ucapan cerai Abang semalam, apa benar itu keluar dari hati Abang