Pov Jibran
Namaku Ayatullah Jibran Siddiq. Sudah lebih sepuluh tahun aku menimba ilmu di negeri orang, dan hari ini aku diberi kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di bumiku tercinta. Alasannya kerjaan, tapi sebenarnya bukan itu. Ada satu hal yang sangat menjadi pertimbanganku kembali ke Aceh. Karena dia, gadis yang selalu tersebut namanya di sepertiga malam."Aini, semoga kamu masih menungguku."***Pagi ini, adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit terbesar seluruh Aceh, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin. Antara semangat dan tidak. Dua hari yang lalu, begitu sampai di provinsi terujung Indonesia ini, tempat pertama yang kudatangi adalah Kota Lhokseumawe. Kota kelahiran Aini. Sangat besar harapanku dapat bertemu kembali dengannya. Entah kenapa, aku begitu yakin, bahwa dia masih menungguku."Aini dan keluarganya sudah lama pindah, Nak."Kepala desa kampung tempat kediaman Aini memberi kabar padaku. Aku sempat terhenyak, namun detik berikutnya mencoba berdamai dengan keadaan. Tiga tahun tak ada kabar, bukan waktu yang singkat untuk seorang gadis menanti lelaki datang meminangnya."Kemana mereka pindah, Pak?""Kalau nggak salah, ke Banda Aceh, Nak. Kasihan Aini, musibah beruntun menimpa keluarganya tiga tahun yang lalu.""Musibah? Musibah apa, Pak?" "Kakaknya meninggal saat melahirkan anak pertama. Terus nggak lama, ibunya juga ikut berpulang ke Rahmatullah karena sakit jantung.""Astaghfirullah. Innalillahi Wainnailaihi Rajiun. Jadi nasib Aini bagaimana, Pak?" Antara percaya dan tidak aku mendengar kabar ini. Mungkin ini pula yang menjadi alasan kenapa sekian tahun suratku tak dibalasnya lagi.'Ya Allah, harusnya aku pulang sedari dulu.'"Aini menikah dengan suami almarhum kakaknya. Dan sekarang, bekerja pada salah satu rumah sakit di Banda Aceh."'Menikah?Astaghfirullah.'"Lagipula kalau dipikir-pikir, lebih baik begitu. Aini nggak mungkin lagi tinggal di kampung, karena dia sudah menjual rumah peninggalan orang tuanya ke saya, buat biaya pengobatan ibunya. Makanya Aini nggak pernah lagi pulang kemari, Nak. Padahal hingga tahun yang lalu, banyak sekali surat yang saya terima atas nama Aini. Sepertinya surat cinta.Awalnya saya kira hanya surat cinta dua anak muda yang dimabuk asmara, tapi ternyata saya salah. Surat yang terakhir itu isinya surat lamaran. Ada cincin di dalamnya. Kasihan sekali pemuda itu, suratnya nggak sampai ke tangan Aini. Malah berhenti di tangan saya. Jika anak ini mau mencari Aini? Saya mau titip benda itu sekalian, biar nggak disaya terus, takut, keingat hutang ...."Kutarik napas sambil mengembuskannya perlahan. Pupus sudah harapanku. Andai mama tidak melarang, lima tahun yang lalu saat selesai pendidikan dokter umum, aku sudah pulang untuk melamarnya.'Seperti apa kau sekarang Aini? Bisakah kita bertemu? Aku, ingin meminta maaf padamu ....""Nak ....""Oh, iya. Tolong tulis di sini Pak nomer handphone Bapak, jika saya menemuinya, saya akan mengabari Bapak."***Dua malam aku tak tidur nyenyak, bukan itu saja. Makan, duduk, berdiri, bekerja, semua kulakukan hanya karena sebuah tuntutan, tak lebih. Padahal dulu, meski tak pernah bertemu, dia tetap menjadi suntikan penyemangat hari-hari yang kulalui. Karena ia pula, aku tak pernah melirik gadis lain.Tapi kini, setelah kenyataan ini aku ketahui, dunia mendadak hampa. Dia yang menjadi siang dan malamku, hilang ditelan bumi.Mampukah aku menemukan penggantinya?Pagi ini sama, aku enggan bergerak. Berkali-kali aku meyakinkan diri, bahwa dia sudah menikah. Tapi rasa ingin bertemu, melihatnya, sungguh begitu besar. Minimal bertemu sekali, memastikan ia dalam keadaan baik. Tapi, andai boleh, ijinkan ya Allah aku terus bisa melihatnya. Atau, bolehkah aku menunggunya janda?'Astaghfirullah!'Kulirik jam di tangan. Robbi, aku terlambat menghadiri rapat pertama. Kubersihkan diri seadanya, memakai jas dokterku lalu menyesat cepat ke rumah sakit. Benar saja, aku sudah ditunggu-tunggu di tempat itu. Saat langkahku memasuki ruangan, ada sesuatu yang menyentak jantungku.Aku pernah mengalaminya dulu, ketika melihat Aini di ruang ustadz pondok pesantren. Kenapa hari ini, perasaan itu terulang kembali? Ah, kubiarkan perasaan itu menghilang dengan sendirinya. Kehadiranku disambut antusias oleh seluruh peserta rapat. Mungkin karena aku adalah satu-satunya yang masih single. Andai mereka tahu, bahwa aku sedang patah hati. Mungkin ada yang berminat menjadi siang malamku kini. Ah!Selesai pertemuan singkat di aula, salah satu dokter yang menjadi rekan kerjaku, mengajak berkeliling hingga sampai ke ruangan tempat kami akan selalu wara wiri mengurusi pasien. Ruang bersalin.Tak ada yang aneh, kecuali satu. Wanita bernama Hurun Aini. Dia istri dokter Sattar, rekan seprofesiku. Bukan karena namanya yang sama dengan gadis pemilik siang dan malamku, tapi matanya. Benarkah dia Hurun Ainiku? 'Apa Ainiku sekarang sudah bercadar?'Anehnya, ketika tanpa sengaja mata kami bertemu, aku seperti di lempar ke masa lalu.***Agustus 1990Tiga bulan aku terus menyimpan rasa untuknya. Setelah pertemuan itu.'Astaghfirullah, ijinkan ya Allah aku mencintainya dalam doa. Hanya pada-Mu ya Allah aku memohon, jadikan ia jodohku.'Ayatullah Jibran Siddiq.
***"Bran. Antum pernah jatuh cinta?"Mataku membulat mendengar pertanyaan Fatah saat kami tengah memberesi koper. Hari ini seluruh santri akan pulang ke kampung halamannya. Dan hari ini juga akan menjadi hari terakhir bagiku di tempat ini. Tempat yang sudah mempertemukanku dengannya. Entah, mungkin hanya sampai disini aku akan mengenalnya, karena selepas ini, keluarga besarku akan pindah ke Jakarta.Kuhela napas panjang. "Pernah."Saat mengucapkan itu, anganku kembali terlempar pada sosok Aini. Gadis yang sudah mengunci perasaanku diam-diam."Wah, ternyata ada yang seperti ana juga. Sama siapa Bran?""Hem, rahasia. Cukup ana sama Allah aja yang tahu!""Huuh ... Bran, ana boleh cerita nggak?" tukas Fatah lagi. Sahabat sekamarku ini memang berbeda dari yang lainnya, aku dan dia bagai sepasang buku dan pena. Kami selalu berbagi, apapun itu. Bahkan kami selalu berbagi jawaban ketika ujian dimulai. Hah!"Cerita apa?" kurespon pertanyaannya sambil terus mengemasi pakaian. Kedua orang tuaku akan sampai di pesantren siang ini. Selain pakaian dan baju, barang lainnya akan dibawa pulang menggunakan mobil pickup. Aku kembali memfokuskan pendengaran."Ana ingat nggak, ukhty yang tiga bulan lalu kepergok di tanah haram kita?"Mataku seketika melotot, "ada apa dengan ukhty bernama Aini itu?""Pada dialah, ana menjatuhkan perasaan ini.""Aini?"'Ya Rabbi, ternyata Fatah juga jatuh hati pada gadis itu?'"Hari ini, ana akan memberikannya sebuah surat.""Surat?""Iya, surat ini sudah ana tulis semalaman. Hari ini sebelum kita berpencar ke berbagai tempat, ana akan memberikannya pada ukhty itu.""Namanya Aini, Fatah.""Ya, Hurun Aini. Bidadari bermata indah. Bran, antum harus menemani ana menyelesaikan misi ini!""Misi apa? Jangan libatkan ana pada hal-hal yang melanggar syariat! Ana tidak mau!""Antum suudhon pada ana Bran, ana tau batasan. Ana hanya minta bantuan dari antum untuk menemani ana ke parkiran.""Buat apa?""Kita akan menunggu bidadari itu keluar dari surganya."Aku mengernyitkan dahi, ide macam apa ini."Nggak!""Saidni, Bran ...."Ck!Bukan karena aku juga jatuh cinta padanya, tapi ini tentang kemaslahatan."Atusa 'iduni min Fadzlik ya, Akhy?"Kalau sudah begini, aku harus jawab apa."Tab'an."***Semua santri putra masih di dalam pondok, kecuali aku dan Fatah. Hari ini gerbang utama pondok pesantren terbuka lebar, karena seluruh orang tua atau wali santri datang silih berganti untuk menjemput putra putri mereka.Hal ini memudahkan niat Fatah untuk keluar pondok. Kami berjalan beberapa meter hingga sampai di depan gerbang pondok santriwati.Halaman pondok sudah penuh orang tua santri, sementara diluar beberapa santriwati yang masih duduk di kelas 10 dan 11 tampak berjalan keluar. Untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing.Fatah mengajakku ke halte. Rasanya risih sekali, tapi di tempat itu tidak hanya kami para lelaki. Ada beberapa lelaki lainnya yang kemungkinan sanak keluarga yang menunggu.Fatah terus memperhatikan tiap santriwati yang keluar gerbang.
"Bagaimana kalau dia dijemput pakai kendaraan pribadi?" tanyaku padanya setelah lebih dari sepuluh menit kami menunggu tanpa hasil.Fatah terdiam sambil menghela napas, "kalau itu terjadi, Ana ikhlas, berarti dia bukan jodoh ana."Rasanya aku mau tertawa sekencang-kencangnya. Ini sama aja seperti mengundi nasib. Tapi, aku salut dengan kegigihannya. Beda denganku yang gigih dalam doa. Kita lihat, kegigihan mana yang akan didahulukan Allah.Aku kembali melempar pandangan ke jalanan. Tiba-tiba, Fatah menarik lengan bajuku."Bran, itu dia!"Kubetulkan kopiah, lalu segera menoleh."Masya Allah, benar. Ukhty itu.""Antum Ana tugaskan untuk menyerahkan surat ini!""Apa, Ana? Nggak ada dalam perjanjian!""Tolong Ana Bran, sekali lagi sebelum kita berpisah?"Huh!"Baiklah."Kuraih surat di tangan Fatah, dengan langkah gemetar berjalan mendekati ukhwaty yang nampak berjalan berbarengan menuju bus yang sudah menunggu di depan gerbang.Kupercepat langkah supaya bisa mencegat Aini sebelum ia menaiki bus.'Bismillah, tak kuperdulikan lagi berapa banyak mata yang menatapku kini.'"Assalamualaikum, Ukhty Aini!"Semua berhenti berjalan, dan kini semua tengah membidikku, termasuk dia."Waalaikum salam. Akhy mencari ana?""Masya Allah, suaranya ...."Kutelan saliva, mengatur degup di dadal yang tak karuan."Afwan, ana hanya ingin menyerahkan ini," ucapku sambil menyerahlan surat di tangan."Untuk Ana?"Kuanggukkan kepala. Matanya, astaghfirullah. Persis penggambaran sosok wanita Arab bermata besar."Dari Akhykah?"Segera kugeleng-gelengkan kepala. "Permisi."
***"Dokter Jibran ...."Mataku membelalak. Mata istri dokter Sattar itu membuat anganku terlempar jauh ke masa lalu."Maaf, Dok. Saya tidak konsentrasi," ucapku pada dokter Sattar. Dia menuntunku ke meja perawat di ruangan itu. Membuka beberapa status pasien lalu mengarahkannya padaku."Maaf Dok, saya harus pamit sebentar. Tidak mungkin saya membiarkan istri saya pulang seorang diri dalam keadaan sakit.""Oh, silahkan, Dok. Sebelumnya, boleh saya tanya sesuatu?"Dokter Sattar yang hendak membalikkan tubuhnya, mendadak berhenti."Silahkan.""Istri dokter Sattar, orang Lhokseumawekah?"Raut wajah dokter di hadapanku ini langsung berubah saat aku menanyakan asal usul tempat tinggal istrinya. Ah, sepertinya aku telah salah mengajukan pertanyaan. Lancang sekali mulut ini!
"Memang kenapa, Dok?""Ah, bukan apa-apa. Hanya saya pernah punya teman namanya Hurun Aini juga. Beliau asli orang Lhokseumawe," ucapku sedikit gugup."Istri saya orang Meureudu, Dok. Permisi, dokter."Kuhela napas panjang. Ternyata dugaanku salah, hanya matanya yang mirip. Bukankah siapa saja boleh memiliki nama Hurun Aini? 'Dimana kamu Aini?'***bersambung.terima kasih sudah membaca.
utamakan baca Al-Quran.Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."Fathy Abdus Sattar.Pov Sattar***Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang munta
Pov AiniSelepas kepergian Bang Sattar, aku mencoba memejamkan mata. Tapi sampai satu jam berlalu, mata ini tetap terus terbuka. Kucoba menghilangkan bayang dua lelaki yang terus menari-nari dalam benak. Andai boleh, aku memohon dengan sedalam-dalam permohonan, buatlah agar Jibran melupakanku ya Allah.Seberapapun aku pernah mencintainya, tetap saja semua itu masa lalu. Dan sekarang, meski Bang Sattar terus mencoba menyingkirkanku dari hidupnya, aku tetaplah istrinya. Bola mataku terasa hangat. Beberapa kali aku mengerjap, jika kubiarkan buliran ini berjatuhan, maka aku akan semakin lemah dan butuh sandaran. Kemana aku harus merebahkan diri ini, sementara bahu yang seharusnya kujadikan tempat bersandar masih dimiliki oleh Almarhum Kak Hanna.***Senja mulai tampak temaram di ufuk timur. Jalanan semakin ramai, lalu lalang kendaraan tampak menyemut di jalan utama depan Mesjid Baiturrahman. Di Balkon ini, aku memandang jauh ke salah satu puncak menara Mesjid."Ma, Fikri mau minum susu .
Pov jibran...Kau bilang, suatu saat kita pasti bisaBisa saling mencintai dengan halal.Bersama sampai tua.Bersatu hingga terpisahkan maut.Kau bilang, aku hanya harus perkuat doa dan harapan.Suatu saat Allah pasti akan mengabulkan.Tapi kenyataannya, kini, kau bersamanya...Apa yang tertinggal untukku, rindu yang kusam? Cinta yang terbuang? Air mata, lara?Jika masih ada ruang di hatimu untukku, sedikit saja.Bicaralah, katakan mengapa semua bisa begini?***Kugenggam erat hijab warna pink muda yang ada di tangan. Lalu membekap kuat ke dada. Seolah ini menjadi penawar sekian resah yang timbul karenanya. Hijab ini, hijab kepunyaan Aini. Sengaja puluhan tahun yang lalu tak kukembalikan pada pemiliknya. Ia marah saat aku malah memberikan jilbab yang baru, serupa namun tak sama sebagai ganti jilbab ini."Ini bukan jilbab ana. Akhy kemanakan jilbab ana?"Suaranya menderu di telpon, sesaat ketika aku baru saja sampai di rumah setelah mengembalikan jilbabnya di pintu pagar."Maaf, ko
Aku mulai mencemburui awan, karena mendapati kau terus memandangnya.'Sattar.***Siang ini, aku sempatkan diri singgah ke rumah diantara jam-jam istirahat. Entah kenapa seharian ini, perasaanku serba aneh. Parahnya lagi, entah sejak kapan aku mulai mengurusi jadwal Aini menyambut bayi sesar. Rasanya kalau tiap hari aku meributkan soal kecil begini, bisa-bisa aku dikira mencemburui dokter Jibran. Ah, memang iya aku mencemburuinya?Ck!Beberapa meter lagi sampai rumah, aku melihat seorang lelaki turun dari sebuah ojek tepat di depan pagar rumahku.Kupelankan mobil dan berhenti di pinggir jalan. Lalu menurunkan kaca mobil sembari bertanya."Bapak cari siapa?"Lelaki itu segera menoleh dan berjalan mendekati mobilku."Saya mencari seseorang di rumah ini," jawabnya pelan, "benarkah ini rumahnya Hurun Aini?" Aku mendelik. "Benar. Ada perlu apa Bapak sama istri saya?""Oh, maaf. Jadi anda suaminya saudari Aini?"Kuanggukkan kepala. Masih menanti penjelasan siapa dan apa perlunya dengan Ain
Diam-diam ikhlas, bukan diam-diam sesak.Diam-diam berkorban, bukan diam-diam terluka.Begitulah caraku mencintainya.Tapi itu dulu, kini aku harus membuka kedua tangan dan mempersiapkan diri untuk menjadi janda. Ya, janda tak tersentuh.'Hurun Aini.'***Rasanya aku ingin berlari sejauh-jauhnya. Kok bisa Bang Sattar membuka belanjaanku? Mana tadi itu belanja khusus dalaman. Huh, bisa-bisanya Bang Sattar memegang baju yang, oh ... pasti dia berpikir yang nggak-nggak. Hiks ... Hiks ...Kurebut bajuku dari tangannya. Ia gelagapan. "Maaf, Abang salah buka plastik. Tadi Abang cuma mau lihat baju yang kamu beli untuk Fikri."Benarkah katanya? Tapi aku terlanjur kesal juga malu. Nggak tahu harus kubawa kemana wajah ini. Jika baju ini itu sudah ada di tangan Bang Sattar, apalagi yang seperti kaca mata itu. Pasti dia sudah melihat benda terlarang milikku!Padahal itu hanya untuk koleksi, mana mungkin aku tega memakai yang begitu modelnya. Kugagalkan niat memasuki mobil. Dengan cekatan aku
Pov Aini"Katakan satu hal pada Ana, ukhty Aini. Apakah ukhty pernah mencintai Ana walau sebesar debu?"Ayatullah Jibran Siddiq.***Pagi ini aku bangun lebih cepat, bukan. Bukan bangun, karena memang semalaman aku tak tidur. Tepatnya keluar kamar lebih cepat.Sepanjang malam aku menghabiskan waktu di atas sajadah. Segalanya, tentang kemelut batin yang tak sederhana, bagaimana aku terus berkarib dengan kesabaran, juga tentang luka yang sepanjang hati berceceran. Semua kuadukan pada-Nya, pemilik suka dan duka. Meski tak sempurna menenangkan, tapi cukup membuat mata ini berhenti menumpahkan isinya.Kata pisah yang diucapkan Bang Sattar semalam, aku harus mendapatkan penjelasan.Apakah benar dia bermaksud ingin menceraikanku. Jika memang ia serius dengan ucapannya, maka aku akan pergi. Aku tak ingin menjadikan talak satu yang memungkinkan pasangan kembali dalam masa iddah, terjadi pada kasus kami ini. Aku akan menganggap peristiwa ini sebagai salah satu alasan untuk memilih jalan berpisa
Pov Sattar"Apa yang telah kukatakan, mengakhiri pernikahan? Semudah itukah?"***Kedua telapak tangan kini mengepal, bunyi gesekan terdengar dari geraham yang saling beradu. Degup jantungkupun semakin kencang. Kusandarkan tubuh pada pembatas ranjang. Sekuat tenaga mengatur napas yang terasa begitu cepat.Tak membaik! Keadaanku semakin buruk, bayang-bayang kepergian Hanna, senyumannya yang merekah, saat aku sendiri yang mendorong brangkarnya memasuki ruang operasi. Sesaat tenganku seperti ada yang menggenggam."Hanna!"Aku merasakan kembali genggaman tangannya seperti saat aku hendak menorehkan luka untuk proses operasi. Luka yang sejujurnya tak ingin kulakukan, jika tidak mengingat yang di dalam rahim wanita itu ada benihku yang hidup selama sembilan bulan. Benih yang ingin sekali menatapku, menatapnya. Tapi karena luka itu, Hanna pergi! Karena aku! Aku! Aku yang telah membunuhnya!Aku pembunuh!Pembunuh!Pembunuh!'Ya Allah, aku membunuh istriku ....'Kepalaku kini terasa begitu s
Pov JibranTadinya, aku ingin seperti air putih buatmu, sederhana, tapi begitu berarti. Begitupun rasa ini. Aku tak pernah memintanya untuk mencintaimu. Tapi ia datang tanpa permisi, lalu bersemayam dengan kokoh di dalam basirah. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan untuk menghancurkannya?***Aku menghempaskan diri di atas kursi kerja, pertemuan singkatku dengan Aini menyisakan luka teramat dalam. Andai bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke beberapa tahun silam, menjadi lelaki pertama yang menyelipkan cincin di jemari tangannya.Menjadi lelaki pertama yang memintanya pada Allah sebagai pelengkap iman.Kini tak ada yang bisa kulakukan, kenyataannya Aini sudah dimiliki oleh Sattar. Ah sakit! Andai ada yang dapat menghentikan denyut ini di dada?Kuperiksa semua pasien dengan baik, senyumku tetap terkembang. Mungkin hanya mereka menjadi alasanku tetap bertahan, jika tidak aku sudah pergi dari kota ini. Kupejamkan mata sambil bersandar pada kursi kerjaku. Semua pasien sudah keluar,