Share

6. Cinta Pertama Jibran

Pov Jibran

Namaku Ayatullah Jibran Siddiq. Sudah lebih sepuluh tahun aku menimba ilmu di negeri orang, dan hari ini aku diberi kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di bumiku tercinta. Alasannya kerjaan, tapi sebenarnya bukan itu. Ada satu hal yang sangat menjadi pertimbanganku kembali ke Aceh. Karena dia, gadis yang selalu tersebut namanya di sepertiga malam.

"Aini, semoga kamu masih menungguku."

***

Pagi ini, adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit terbesar seluruh Aceh, Rumah  Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin. Antara semangat dan tidak. Dua hari yang lalu, begitu sampai di provinsi terujung Indonesia ini, tempat pertama yang kudatangi adalah Kota Lhokseumawe. Kota kelahiran Aini. Sangat besar harapanku dapat bertemu kembali dengannya. Entah kenapa, aku begitu yakin, bahwa dia masih menungguku.

"Aini dan keluarganya sudah lama pindah, Nak."

Kepala desa kampung tempat kediaman Aini memberi kabar padaku. Aku sempat terhenyak, namun detik berikutnya mencoba berdamai dengan keadaan. Tiga tahun tak ada kabar, bukan waktu yang singkat untuk seorang gadis menanti lelaki datang meminangnya.

"Kemana mereka pindah, Pak?"

"Kalau nggak salah, ke Banda Aceh, Nak. Kasihan Aini, musibah beruntun menimpa keluarganya tiga tahun yang lalu."

"Musibah? Musibah apa, Pak?" 

"Kakaknya meninggal saat melahirkan anak pertama. Terus nggak lama, ibunya juga ikut berpulang ke Rahmatullah karena sakit jantung."

"Astaghfirullah. Innalillahi Wainnailaihi Rajiun. Jadi nasib Aini bagaimana, Pak?" 

Antara percaya dan tidak aku mendengar kabar ini. Mungkin ini pula yang menjadi alasan kenapa sekian tahun suratku tak dibalasnya lagi.

'Ya Allah, harusnya aku pulang sedari dulu.'

"Aini menikah dengan suami almarhum kakaknya. Dan sekarang, bekerja pada salah satu rumah sakit di Banda Aceh."

'Menikah?Astaghfirullah.'

"Lagipula kalau dipikir-pikir, lebih baik begitu. Aini nggak mungkin lagi tinggal di kampung, karena dia sudah menjual rumah peninggalan orang tuanya ke saya, buat biaya pengobatan ibunya. Makanya Aini nggak pernah lagi pulang kemari, Nak. Padahal hingga tahun yang lalu, banyak sekali surat yang saya terima atas nama Aini. Sepertinya surat cinta.

Awalnya saya kira hanya surat cinta dua anak muda yang dimabuk asmara, tapi ternyata saya salah. Surat yang terakhir itu isinya surat lamaran. Ada cincin di dalamnya. Kasihan sekali pemuda itu, suratnya nggak sampai ke tangan Aini. Malah berhenti di tangan saya. Jika anak ini mau mencari Aini? Saya mau titip benda itu sekalian, biar nggak disaya terus, takut, keingat hutang ...."

Kutarik napas sambil mengembuskannya perlahan. Pupus sudah harapanku. Andai mama tidak melarang, lima tahun yang lalu saat selesai pendidikan dokter umum, aku sudah pulang untuk melamarnya.

'Seperti apa kau sekarang Aini? Bisakah kita bertemu? Aku, ingin meminta maaf padamu ...."

"Nak ...."

"Oh, iya. Tolong tulis di sini Pak nomer handphone Bapak, jika saya menemuinya, saya akan mengabari Bapak."

***

Dua malam aku tak tidur nyenyak, bukan itu saja. Makan, duduk, berdiri, bekerja, semua kulakukan hanya karena sebuah tuntutan, tak lebih. Padahal dulu, meski tak pernah bertemu, dia tetap menjadi suntikan penyemangat hari-hari yang kulalui. Karena ia pula, aku tak pernah melirik gadis lain.

Tapi kini, setelah kenyataan ini aku ketahui, dunia mendadak hampa. Dia yang menjadi siang dan malamku, hilang ditelan bumi.

Mampukah aku menemukan penggantinya?

Pagi ini sama, aku enggan bergerak. Berkali-kali aku meyakinkan diri, bahwa dia sudah menikah. Tapi rasa ingin bertemu, melihatnya, sungguh begitu besar. Minimal bertemu sekali, memastikan ia dalam keadaan baik. Tapi, andai boleh, ijinkan ya Allah aku terus bisa melihatnya. Atau, bolehkah aku menunggunya janda?

'Astaghfirullah!'

Kulirik jam di tangan. Robbi, aku terlambat menghadiri rapat pertama. Kubersihkan diri seadanya, memakai jas dokterku lalu menyesat cepat ke rumah sakit. Benar saja, aku sudah ditunggu-tunggu di tempat itu. 

Saat langkahku memasuki ruangan, ada sesuatu yang menyentak jantungku.

Aku pernah mengalaminya dulu, ketika melihat Aini di ruang ustadz pondok pesantren. Kenapa hari ini, perasaan itu terulang kembali? Ah, kubiarkan perasaan itu menghilang dengan sendirinya. 

Kehadiranku disambut antusias oleh seluruh peserta rapat. Mungkin karena aku adalah satu-satunya yang masih single. Andai mereka tahu, bahwa aku sedang patah hati. Mungkin ada yang berminat menjadi siang malamku kini. Ah!

Selesai pertemuan singkat di aula, salah satu dokter yang menjadi rekan kerjaku, mengajak berkeliling hingga sampai ke ruangan tempat kami akan selalu wara wiri mengurusi pasien. Ruang bersalin.

Tak ada yang aneh, kecuali satu. Wanita bernama Hurun Aini. Dia istri dokter Sattar, rekan seprofesiku. Bukan karena namanya yang sama dengan gadis pemilik siang dan malamku, tapi matanya. Benarkah dia Hurun Ainiku? 

'Apa Ainiku sekarang sudah bercadar?'

Anehnya, ketika tanpa sengaja mata kami bertemu, aku seperti di lempar ke masa lalu.

***

Agustus 1990

Tiga bulan aku terus menyimpan rasa untuknya. Setelah pertemuan itu.

'Astaghfirullah, ijinkan ya Allah aku mencintainya dalam doa. Hanya pada-Mu ya Allah aku memohon, jadikan ia jodohku.'

Ayatullah Jibran Siddiq.

***

"Bran. Antum pernah jatuh cinta?"

Mataku membulat mendengar pertanyaan Fatah saat kami tengah memberesi koper. Hari ini seluruh santri akan pulang ke kampung halamannya. Dan hari ini juga akan menjadi hari terakhir bagiku di tempat ini. Tempat yang sudah mempertemukanku dengannya. Entah, mungkin hanya sampai disini aku akan mengenalnya, karena selepas ini, keluarga besarku akan pindah ke Jakarta.

Kuhela napas panjang. "Pernah."

Saat mengucapkan itu, anganku kembali terlempar pada sosok Aini. Gadis yang sudah mengunci perasaanku diam-diam.

"Wah, ternyata ada yang seperti ana juga. Sama siapa Bran?"

"Hem, rahasia. Cukup ana sama Allah aja yang tahu!"

"Huuh ... Bran, ana boleh cerita nggak?" tukas Fatah lagi. Sahabat sekamarku ini memang berbeda dari yang lainnya, aku dan dia bagai sepasang buku dan pena. Kami selalu berbagi, apapun itu. Bahkan kami selalu berbagi jawaban ketika ujian dimulai. Hah!

"Cerita apa?" kurespon pertanyaannya sambil terus mengemasi pakaian. Kedua orang tuaku akan sampai di pesantren siang ini. Selain pakaian dan baju, barang lainnya akan dibawa pulang menggunakan mobil pickup. Aku kembali memfokuskan pendengaran.

"Ana ingat nggak, ukhty yang tiga bulan lalu kepergok di tanah haram kita?"

Mataku seketika melotot, "ada apa dengan ukhty bernama Aini itu?"

"Pada dialah, ana menjatuhkan perasaan ini."

"Aini?"

'Ya Rabbi, ternyata Fatah juga jatuh hati pada gadis itu?'

"Hari ini, ana akan memberikannya sebuah surat."

"Surat?"

"Iya, surat ini sudah ana tulis semalaman. Hari ini sebelum kita berpencar ke berbagai tempat, ana akan memberikannya pada ukhty itu."

"Namanya Aini, Fatah."

"Ya, Hurun Aini. Bidadari bermata indah. Bran, antum harus menemani ana menyelesaikan misi ini!"

"Misi apa? Jangan libatkan ana pada hal-hal yang melanggar syariat! Ana tidak mau!"

"Antum suudhon pada ana Bran, ana tau batasan. Ana hanya minta bantuan dari antum untuk menemani ana ke parkiran."

"Buat apa?"

"Kita akan menunggu bidadari itu keluar dari surganya."

Aku mengernyitkan dahi, ide macam apa ini.

"Nggak!"

"Saidni, Bran ...."

Ck!

Bukan karena aku juga jatuh cinta padanya, tapi ini tentang kemaslahatan.

"Atusa 'iduni min Fadzlik ya, Akhy?"

Kalau sudah begini, aku harus jawab apa.

"Tab'an."

***

Semua santri putra masih di dalam pondok, kecuali aku dan Fatah. Hari ini gerbang utama pondok pesantren terbuka lebar, karena seluruh orang tua atau wali santri datang silih berganti untuk menjemput putra putri mereka.

Hal ini memudahkan niat Fatah untuk keluar pondok. Kami berjalan beberapa meter hingga sampai di depan gerbang pondok santriwati.

Halaman pondok sudah penuh orang tua santri, sementara diluar beberapa santriwati yang masih duduk di kelas 10 dan 11 tampak berjalan keluar. Untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing.

Fatah mengajakku ke halte. Rasanya risih sekali, tapi di tempat itu tidak hanya kami para lelaki. Ada beberapa lelaki lainnya yang kemungkinan sanak keluarga yang menunggu.

Fatah terus memperhatikan tiap santriwati yang keluar gerbang.

"Bagaimana kalau dia dijemput pakai kendaraan pribadi?" tanyaku padanya setelah lebih dari sepuluh menit kami menunggu tanpa hasil.

Fatah terdiam sambil menghela napas, "kalau itu terjadi, Ana ikhlas, berarti dia bukan jodoh ana."

Rasanya aku mau tertawa sekencang-kencangnya. Ini sama aja seperti mengundi nasib. Tapi, aku salut dengan kegigihannya. Beda denganku yang gigih dalam doa. Kita lihat, kegigihan mana yang akan didahulukan Allah.

Aku kembali melempar pandangan ke jalanan. Tiba-tiba, Fatah menarik lengan bajuku.

"Bran, itu dia!"

Kubetulkan kopiah, lalu segera menoleh.

"Masya Allah, benar. Ukhty itu."

"Antum Ana tugaskan untuk menyerahkan surat ini!"

"Apa, Ana? Nggak ada dalam perjanjian!"

"Tolong Ana Bran, sekali lagi sebelum kita berpisah?"

Huh!

"Baiklah."

Kuraih surat di tangan Fatah, dengan langkah gemetar berjalan mendekati ukhwaty yang nampak berjalan berbarengan menuju bus yang sudah menunggu di depan gerbang.

Kupercepat langkah supaya bisa mencegat Aini sebelum ia menaiki bus.

'Bismillah, tak kuperdulikan lagi berapa banyak mata yang menatapku kini.'

"Assalamualaikum, Ukhty Aini!"

Semua berhenti berjalan, dan kini semua tengah membidikku, termasuk dia.

"Waalaikum salam. Akhy mencari ana?"

"Masya Allah, suaranya ...."

Kutelan saliva, mengatur degup di dadal yang tak karuan.

"Afwan, ana hanya ingin menyerahkan ini," ucapku sambil menyerahlan surat di tangan.

"Untuk Ana?"

Kuanggukkan kepala. Matanya, astaghfirullah. Persis penggambaran sosok wanita Arab bermata besar.

"Dari Akhykah?"

Segera kugeleng-gelengkan kepala. "Permisi."

***

"Dokter Jibran ...."

Mataku membelalak. Mata istri dokter Sattar itu membuat anganku terlempar jauh ke masa lalu.

"Maaf, Dok. Saya tidak konsentrasi," ucapku pada dokter Sattar. Dia menuntunku ke meja perawat di ruangan itu. Membuka beberapa status pasien lalu mengarahkannya padaku.

"Maaf Dok, saya harus pamit sebentar. Tidak mungkin saya membiarkan istri saya pulang seorang diri dalam keadaan sakit."

"Oh, silahkan, Dok. Sebelumnya, boleh saya tanya sesuatu?"

Dokter Sattar yang hendak membalikkan tubuhnya, mendadak berhenti.

"Silahkan."

"Istri dokter Sattar, orang Lhokseumawekah?"

Raut wajah dokter di hadapanku ini langsung berubah saat aku menanyakan asal usul tempat tinggal istrinya. Ah, sepertinya aku telah salah mengajukan pertanyaan. Lancang sekali mulut ini!

"Memang kenapa, Dok?"

"Ah, bukan apa-apa. Hanya saya pernah punya teman namanya Hurun Aini juga. Beliau asli orang Lhokseumawe," ucapku sedikit gugup.

"Istri saya orang Meureudu, Dok. Permisi, dokter."

Kuhela napas panjang. Ternyata dugaanku salah, hanya matanya yang mirip. Bukankah siapa saja boleh memiliki nama Hurun Aini? 

'Dimana kamu Aini?'

***

bersambung.

terima kasih sudah membaca.

utamakan baca Al-Quran.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fitri
Ya ampun orang meureudu,saya sampe ketawa bcanya,karena sya orang meureudu ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status