Pov Sattar"Apa yang telah kukatakan, mengakhiri pernikahan? Semudah itukah?"***Kedua telapak tangan kini mengepal, bunyi gesekan terdengar dari geraham yang saling beradu. Degup jantungkupun semakin kencang. Kusandarkan tubuh pada pembatas ranjang. Sekuat tenaga mengatur napas yang terasa begitu cepat.Tak membaik! Keadaanku semakin buruk, bayang-bayang kepergian Hanna, senyumannya yang merekah, saat aku sendiri yang mendorong brangkarnya memasuki ruang operasi. Sesaat tenganku seperti ada yang menggenggam."Hanna!"Aku merasakan kembali genggaman tangannya seperti saat aku hendak menorehkan luka untuk proses operasi. Luka yang sejujurnya tak ingin kulakukan, jika tidak mengingat yang di dalam rahim wanita itu ada benihku yang hidup selama sembilan bulan. Benih yang ingin sekali menatapku, menatapnya. Tapi karena luka itu, Hanna pergi! Karena aku! Aku! Aku yang telah membunuhnya!Aku pembunuh!Pembunuh!Pembunuh!'Ya Allah, aku membunuh istriku ....'Kepalaku kini terasa begitu s
Pov JibranTadinya, aku ingin seperti air putih buatmu, sederhana, tapi begitu berarti. Begitupun rasa ini. Aku tak pernah memintanya untuk mencintaimu. Tapi ia datang tanpa permisi, lalu bersemayam dengan kokoh di dalam basirah. Katakan padaku, apa yang harus kulakukan untuk menghancurkannya?***Aku menghempaskan diri di atas kursi kerja, pertemuan singkatku dengan Aini menyisakan luka teramat dalam. Andai bisa memutar waktu, aku ingin kembali ke beberapa tahun silam, menjadi lelaki pertama yang menyelipkan cincin di jemari tangannya.Menjadi lelaki pertama yang memintanya pada Allah sebagai pelengkap iman.Kini tak ada yang bisa kulakukan, kenyataannya Aini sudah dimiliki oleh Sattar. Ah sakit! Andai ada yang dapat menghentikan denyut ini di dada?Kuperiksa semua pasien dengan baik, senyumku tetap terkembang. Mungkin hanya mereka menjadi alasanku tetap bertahan, jika tidak aku sudah pergi dari kota ini. Kupejamkan mata sambil bersandar pada kursi kerjaku. Semua pasien sudah keluar,
Pov Sattar"Demi Allah, Aini, Abang ingin belajar untuk mencintaimu."Fathy Abdus Sattar.***Kurebahkan tubuh setelah kepergian Jibran, rasanya kepala ini masih terasa berat. Tapi tak lama, pintu ruangan kembali terbuka, Aini muncul di sebaliknya. Kubalikkan badan menghadap tembok, saat tahun dia melangkah masuk dan berjalan mendekatiku.Ah, ternyata aku sepayah ini? Kurasa jika yang jadi istriku gadis lain, sudah dari dulu aku ditinggalkan. Tapi Aini? Benar yang ibunya katakan dahulu, dia memang tak sebaik Hanna, tapi dia istimewa."Aini mau bicara, Bang?" ucapnya tegas, menyingkirkan segala pikiran yang menggerayang sedari tadi."Bicara aja?" Aku menjawab sekenanya saja. Jujur dalam hati, bukan begini ekspresi yang ingin kutunjukkan."Aini mau bicara sama Abang, bukan sama tembok?" sanggahnya cepat.Kuhela napas sambil membalikkan badan. Mengarahkan bola mata pada netranya sejenak, lalu memilih menatap televisi mati."Ucapan cerai Abang semalam, apa benar itu keluar dari hati Abang
Buat apa gengsi, lebih baik duluan daripada kehilangan.'Hurun Aini.***Kudekap kuat tubuhnya. Entah dari mana keberanian itu muncul. Sebab yang kutahu, jangankan memeluk, mencium tangannya saja aku tak pernah.Apa mungkin karena tak ingin kehilangannya? Ya, jika ia tak melepas, akupun takkan melepasnya sampai kapanpun. Sejak kata 'sah' diucap dihari pernikahan, aku sudah membaiat cinta hanya untuknya. Kukubur angan tinggi yang pernah terbangun bersama Jibran, lalu mematri di dalam hati ketaatan dan kecintaan padanya, lelaki yang sudah memintaku menjadi istri pada Allah. Apapun keadaan lelaki itu, sebathil apapun kelakuannya padaku, asal tidak melukai fisik dan menentang syariat, kucoba mendamaikan dengan doa. Sekarang, saat setitis asa mulai terlihat, apakah aku akan melepasnya.Tidak!Justru aku akan semakin erat menggenggam. Jika dia tidak tahu cara meminta, maka aku yang akan meminta. Jika dia lupa cara mencintai, maka aku yang akan mengajarkannya. Bukankah istri penyempurna im
Pov AiniAku berhenti di pinggir tempat tidur, manatap lama ke arah ranjang yang di atasnya Bang Sattar berselimut tebal sambil memejamkan mata. Lalu ragu, kududukkan tubuh di paling sudut. Bisa dikatakan aku bukan duduk, karena nyatanya kakiku yang menahan berat tubuh."Lho, kenapa duduk. Tidur aja sini."Lagi-lagi Bang Sattar membuat keringat dingin mengalir di pelipis. Aku mencoba menelan saliva. Gugup!Entah, padahal ini yang selalu kunanti, tapi ketika sudah dihadapkan pada kenyataan, kenapa rasanya nggak karuan."Gerah Bang, mau mandi dulu," ucapku semakin gugup.Bang Sattar tersenyum. "Abang juga belum mandi."Aku menggosok-gosok tangan mendengar jawabannya. Kubalikkan badan hingga berhasil menatap mata lelaki itu."Nggak pengen tidur bersama kami?"'Huhhuhu... Siapa yang nggak pingin, dari dulu tauk! Tapi kan nggak begini ....'"Udah Abang mana mau ngapa-ngapain, ini lagi meluk Fikri."'Huhuhu ....'Jantungku komat kamit nggak karuan. Dua puluh delapan tahun hidup, baru kali i
Pov aini***"Udah siap?"Aku membelalak menatap sosok yang selama ini begitu dingin berdiri di ambang pintu kamar. Dengan tergesa aku menarik cadar yang tergantung lalu mengikat kedua ujung talinya di belakang kepala. "Fikri gimana, Bang?" tanyaku sambil melangkah keluar."Panasnya udah turun, nanti biar ditemani Bik Ina aja. Adek piket kan hari ini?"Hah? Untuk kedua kalinya, mata ini ingin menyembul keluar. Kenapa Bang Sattar bisa tahu jika hari ini aku piket? Apa jangan-jangan selama ini dia juga tahu hari-hari dimana aku harus stand by di rumah sakit? Wah, berasa diperhatikan diam-diam."Pakeun neu khem-khem (Kenapa senyum-senyum)?" tanyanya lagi."Em ... hana sapue (nggak kenapa-kenapa), Bang. Aini ke kamar Fikri dulu ya. Mau sekalian pamit kerja."Secepat kilat aku menghilang di hadapan lelaki itu. Sampai di kamar Fikri, kututup pintu perlahan, ternyata benar bocah itu masih tertidur dan panas tubuhnya juga sudah turun.Melihat Fikri, hati tak henti ingin besyukur. Tersebab me
Pov Jibran"Aku memang pernah ingin berhenti mengiriminya surat. Tapi sangat sulit, membalas dan mengiriminya surat, seperti candu bagiku. Mungkinkah ini yang membuat-Mu menentang hubungan kami ya Allah?"***[Assalamualaikum, Ma.][Waalaikum Salam, Sayang. Telpon Mama kok lama sekali baru diangkat?][Tadi Jibran di kamar mandi, Ma. Mama apa kabar, sehat?][Alhamdulillah sehat. Kamu ya, kalau nggak Mama yang nelpon duluan, pasti deh lupa ....][Maaf Ma, beberapa hari ini sibuk banget.][Oh, kirain, Mama mau dilupain.][Ya nggak lah Ma.][Bran ....][Ya Ma?][Minggu depan, Mama mau ke Aceh.][Hah, ke Aceh? Ngapain Ma][Ya mau nengokin kamu lah. Mama kangen.][Mama ngapain capek-capek ke Aceh? Nanti biar Jibran aja yang pulang, kalau ada waktu luang, ya Ma.][Ya, tapi kapan, Bran? Masak nunggu lebaran?]Aku bergeming sejenak, sambil menghela napas. Nggak biasanya Mama berkeinginan begini, padahal sebelum ke Aceh, beberapa kali aku juga pernah ninggalin beliau. Cuma bedanya, kali ini bel
Pov Aini***Sudah lebih satu jam aku menunggu Bang Sattar di rumah sakit. Padahal berita terakhir yang kudapat, poli kebidanan hari ini tutup. Dikarenakan pihak rumah sakit tidak tahu jika Bang Sattar sudah sehat dan hari ini mulai kembali bekerja.Kesal berlapis-lapis menimpa dada.'Jika tempat yang seharusnya di tempati bang Sattar hari ini diliburkan, berarti kemana suamiku itu pergi? Apa sih susahnya memberitahu, padahal kami 'kan satu tempat kerja? Atau jika terlalu berat untuk bertemu langsung, seharusnya dia 'kan bisa mengabarkan melalui telpon? Uh! benar-benar kesal Aini sama Abang ...!' gerutuku dalam hati."Apa buatnya, semalam dan tadi pagi itu nggak berarti apa-apa?'Ah, pastinya memang nggak berarti. Bukankah sebelum bersamaku, dia sudah lebih dahulu hidup bahagia bersama seseorang. Lima tahun, bukan waktu yang singkat.. Apalah artinya kalau cuma tidur seranjang terus nggak ngapa-ngapain, atau kecupan singkat yang seperti memukul nyamuk! Ah, kenapa tiba-tiba jadi mencemb
Pov Sattar"Malam ini, kami terus bersama, menghabiskan dua belas jam dengan terus nengungkapkan perasaan. Aku hanya ingin tersenyum, menumpahkan segala rasaku, setelah tiga tahun membeku. Yang kutahu kini, bersamanya hanya akan ada warna, bukan kegelapan juga kesamaran. I Love You, Aini."***Kami sampai di rumah pukul dua belas siang, saat matahari tengah tepat berada di atas kepala. Sesampai di garasi, aku kembali menggendong Fikri yang sudah membukakan matanya. Namun, masih nampak begitu lelah. Aku dan Aini berjalan bersisian memasuki rumah. Terus menaiki tangga, hingga berhenti tepat di depan kamar gadis itu. "Mandilah, dulu. Terus istirahat. Biar nggak kecapean," pesanku padanya yang ia jawab dengan anggukan kepala. Sudah dua kali kami begini, berakhir dengan perpisahan di depan kamar. Apa yang dia rasa, aku memang tidak mampu membaca. Tapi yang kurasa saat ini, jelas ada sesuatu yang membuat dada ini berdenyut. Jika diluar kami memang harus berpisah, tapi tidak jika di rumah
Selepas kepergian Bang Sattar ke Mesjid, kurebahkan tubuh di atas ranjang. Membayangkan kembali apa yang telah kami lewati bersama mulai dari semalam hingga pagi ini. 'Ya Allah, benarkah hamba sedang tidak bermimpi? Hamba ingin selamanya begini ya Allah, tidak hanya untuk satu atau dua malam?'Kembali, mata ini terpejam. Lelaki itu, ah, dia ... dia. Dia yang membuat darahku seakan berhenti mengalir. Dia yang membuat jantungku bertabuh tidak karuan. Dia ya Allah, dia yang telah memiliki seutuhnya hati ini. Tolong, sempurnakanlah pula kehadiranku dihatinya. Hanya aku ...Tak terasa pelupuk mata ini mulai dipenuhi cairan, kukucek-kucek beberapa kali agar tak ada setitikpun cairan itu berderai. Kini aku justru tersenyum sambil memandangi wajah Fikri. "Kamu ingin punya Adik nggak, Sayang? Doakan Mama ya, biar bisa segera kasih kamu, Adik."Aku menenggelamkan wajah pada bantal. Malu!'Semalam aja yang nggak sampai berbuat apa-apa, tapi sampai subuh mata ini nggak bisa terpejam. Gimana lag
Pov JibranLama aku menatap kertas yang diberikan Mama, sedikit terhenyak saat mendapati alamat yang sama antara yang tertera di KTP gadis bercadar tadi, dengan alamat yang ada pada kertas ini. Sepertinya tidak salah lagi, Nurul Aina yang mama maksud adalah gadis bercadar yang tadi bertabrakan denganku di Cafe Kenapa bisa kebetulan begini? Sepuluh menit perjalanan, kami sampai disebuah rumah kos semi permanen. Suasananya sepi, karena memang ini adalah waktu tengah hari. Sudah tentu mahasiswa yang menempati rumah kosan di wilayah ini, masih sibuk dengan berbagai tugas di kampus masing-masing. Mama meneruskan langkah hingga sampai pada rumah bercat hijau. Sambil memperbaiki jilbab, ia mengetuk pintu kayu bercat cream. "Assalamualaikum," ucap Mama memberi salam. Tak lama, pintu kayu rumah itupun terbuka. Seorang gadis bercadar dengan setelan rok plus baju selutut, tampak dibalik daun pintu.Aku melihatnya dengan sesama. Matanya? Benar, ini gadis yang tadi kutemui di Cafe. Dompetnya?
Pov sattar"Badannya panas, air mata mengalir di kedua sudut. Kurasa dia demam karena terlalu lama memakai gamis dan hijab yang basah oleh hujan. Tapi aku bersyukur, karena dia sakit, aku bisa menemaninya. Dan malam itu menjadi malam pertama kami."***Kami berpisah di depan kamarnya. Masih canggung, harusnya aku langsung masuk ke kamar itu, tapi rasa sungkan menuntunku untuk melepas tangan Aini, dan membiarkan dia masuk ke kamarnya sendiri. Sedang aku, seperti biasa, memilih mandi dan mengganti pakaian di kamar Fikri."Sepertinya Fikri masih tidur, biar nanti Abang yang urusin. Kamu ganti pakaian terus, biar nggak masuk angin."Ucapanku ditanggapinya dengan anggukan, dan helaan napas. Lalu dengan tak semangat dia berbalik dan mamasuki kamarnya.Huh!Ada yang begitu menyesaki dada, andai aku bisa bersikap normal padanya, pasti malam ini kami menghabiskan malam berdua. Apalagi hujan begini, pasti begitu syahdu.Ah! Kugeleng-gelengkan kepala, membuang pikiran aneh yang hendak mampir di
Pov Jibran *** Sekarang aku bagaikan gumpalan debu. Seolah hanya dirinya yang mampu merangkai kembali ragaku. Aku menjadi begitu rapuh Tanpanya, hatiku tak lagi utuh. *** "Sadaqallahul 'Adzim ...." Kututup mushaf di tangan, lalu mencium tangan mama dengan takzim. Wanita itu baru saja sampai di Aceh siang tadi. Bersyukur malam jumat kedua keberadaanku di kota ini, aku bisa kembali bertadarus bersama wanita yang hingga detik ini, masih menjadi yang nomar satu di hati. "Bran." Mama memanggilku lirih, aku yang hendak keluar dari mushalla berhenti sejenak. "Tiap malam jumat walau nggak ada Mama, masih rutin baca Al-Kahfi 'kan?" tanyanya sambil memerbaiki duduk. "Masih Ma." "Alhamdulillah. Masih ingatkan Bran, khasiat membaca surat Al Kahfi? Barang siapa membiasakan membaca surat Al Kahfi, kelak pada hari kiamat akan memancar cahaya dari bawah kaki. Dan yang paling utama adalah, diampuninya dosa-dosa yang terdapat diantara dua Jumat." Aku mengangguk. "Jibran ingat, Ma. Makany
Pov AiniSudah hampir jam sebelas malam, tapi mata ini masih juga tidak mau terpejam. Pikiranku masih saja melanglang buana pada seorang lelaki yang berada di kamar sebelah. 'Sedang apa dirinya kini?'Tadi di meja makan, dia diam seribu bahasa. Tak lagi menatapku seperti yang beberapa hari ini kerap dilakukannya. Sampai nasi di dalam piringnya habis, tak ada satu katapun yang meluncur dari mulut lelaki itu. Sepertinya semua ini akibat dari ulahku. Pertama, karena aku tidak menyetujui keinginannya. Lebih parah lagi, aku membiarkannya menunggu seorang diri di rumah makan itu. Huh, padahal saat itu dia sedang kesal, tapi tetap aja turun saat ketemu rumah makan di pinggiran jalan. Harusnya aku tidak mempertahankan gengsiku, dia aja udah merendahkan dirinya.'Ya Allah, rasanya benar-benar kesal sama diri sendiri! Harusnya aku bisa berdamai dengan keinginannya, bukankah berjauhan dengan Jibran adalah suatu kebaikan? Lalu kenapa aku masih aja mempertahankan ego. Sungguh egois sikapku ini y
Pov Sattar"Sebegitu besarkah cintanya pada Jibran, hingga perasaanku ia abaikan?"***Mungkin, permintaanku padanya agar pindah tempat kerja sangat berlebihan. Tapi ini demi kebaikan bersama. Bukan, lebih tepatnya demi aku. Aku tahu, Jibran masih sangat mencintainya, dan itu sangat mengganggu perasaan hatiku. Meski pernah mengabaikan, tapi kini aku ingin belajar mencintainya. Akan kuusahakan membahagiakan Aini dengan segala yang aku punya.***"Kenapa harus pindah, Bang?"Deg!Jantungku mulai berpacu kencang. Entah kenapa bisa secepat ini tubuhku bereaksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keinginanku."Apa karena Jibran?" tanyanya lagi.Aku memilih menatapnya tajam sambil terdiam. Dia menunduk."Aini udah nyaman Bang disitu, semuanya udah seperi saudara ...," keluhnya lirih.Kusandarkan kembali punggung pada kursi. Jantungku semakin berdetak cepat. Kuatur napas agar bisa memberi energi positif.Kuyakinkan diri bahwa ini bukan diriku, aku tak begini. Ini bukan aku. Aku harus
Pov Aini***Sudah lebih satu jam aku menunggu Bang Sattar di rumah sakit. Padahal berita terakhir yang kudapat, poli kebidanan hari ini tutup. Dikarenakan pihak rumah sakit tidak tahu jika Bang Sattar sudah sehat dan hari ini mulai kembali bekerja.Kesal berlapis-lapis menimpa dada.'Jika tempat yang seharusnya di tempati bang Sattar hari ini diliburkan, berarti kemana suamiku itu pergi? Apa sih susahnya memberitahu, padahal kami 'kan satu tempat kerja? Atau jika terlalu berat untuk bertemu langsung, seharusnya dia 'kan bisa mengabarkan melalui telpon? Uh! benar-benar kesal Aini sama Abang ...!' gerutuku dalam hati."Apa buatnya, semalam dan tadi pagi itu nggak berarti apa-apa?'Ah, pastinya memang nggak berarti. Bukankah sebelum bersamaku, dia sudah lebih dahulu hidup bahagia bersama seseorang. Lima tahun, bukan waktu yang singkat.. Apalah artinya kalau cuma tidur seranjang terus nggak ngapa-ngapain, atau kecupan singkat yang seperti memukul nyamuk! Ah, kenapa tiba-tiba jadi mencemb
Pov Jibran"Aku memang pernah ingin berhenti mengiriminya surat. Tapi sangat sulit, membalas dan mengiriminya surat, seperti candu bagiku. Mungkinkah ini yang membuat-Mu menentang hubungan kami ya Allah?"***[Assalamualaikum, Ma.][Waalaikum Salam, Sayang. Telpon Mama kok lama sekali baru diangkat?][Tadi Jibran di kamar mandi, Ma. Mama apa kabar, sehat?][Alhamdulillah sehat. Kamu ya, kalau nggak Mama yang nelpon duluan, pasti deh lupa ....][Maaf Ma, beberapa hari ini sibuk banget.][Oh, kirain, Mama mau dilupain.][Ya nggak lah Ma.][Bran ....][Ya Ma?][Minggu depan, Mama mau ke Aceh.][Hah, ke Aceh? Ngapain Ma][Ya mau nengokin kamu lah. Mama kangen.][Mama ngapain capek-capek ke Aceh? Nanti biar Jibran aja yang pulang, kalau ada waktu luang, ya Ma.][Ya, tapi kapan, Bran? Masak nunggu lebaran?]Aku bergeming sejenak, sambil menghela napas. Nggak biasanya Mama berkeinginan begini, padahal sebelum ke Aceh, beberapa kali aku juga pernah ninggalin beliau. Cuma bedanya, kali ini bel