Buat apa gengsi, lebih baik duluan daripada kehilangan.'Hurun Aini.***Kudekap kuat tubuhnya. Entah dari mana keberanian itu muncul. Sebab yang kutahu, jangankan memeluk, mencium tangannya saja aku tak pernah.Apa mungkin karena tak ingin kehilangannya? Ya, jika ia tak melepas, akupun takkan melepasnya sampai kapanpun. Sejak kata 'sah' diucap dihari pernikahan, aku sudah membaiat cinta hanya untuknya. Kukubur angan tinggi yang pernah terbangun bersama Jibran, lalu mematri di dalam hati ketaatan dan kecintaan padanya, lelaki yang sudah memintaku menjadi istri pada Allah. Apapun keadaan lelaki itu, sebathil apapun kelakuannya padaku, asal tidak melukai fisik dan menentang syariat, kucoba mendamaikan dengan doa. Sekarang, saat setitis asa mulai terlihat, apakah aku akan melepasnya.Tidak!Justru aku akan semakin erat menggenggam. Jika dia tidak tahu cara meminta, maka aku yang akan meminta. Jika dia lupa cara mencintai, maka aku yang akan mengajarkannya. Bukankah istri penyempurna im
Pov AiniAku berhenti di pinggir tempat tidur, manatap lama ke arah ranjang yang di atasnya Bang Sattar berselimut tebal sambil memejamkan mata. Lalu ragu, kududukkan tubuh di paling sudut. Bisa dikatakan aku bukan duduk, karena nyatanya kakiku yang menahan berat tubuh."Lho, kenapa duduk. Tidur aja sini."Lagi-lagi Bang Sattar membuat keringat dingin mengalir di pelipis. Aku mencoba menelan saliva. Gugup!Entah, padahal ini yang selalu kunanti, tapi ketika sudah dihadapkan pada kenyataan, kenapa rasanya nggak karuan."Gerah Bang, mau mandi dulu," ucapku semakin gugup.Bang Sattar tersenyum. "Abang juga belum mandi."Aku menggosok-gosok tangan mendengar jawabannya. Kubalikkan badan hingga berhasil menatap mata lelaki itu."Nggak pengen tidur bersama kami?"'Huhhuhu... Siapa yang nggak pingin, dari dulu tauk! Tapi kan nggak begini ....'"Udah Abang mana mau ngapa-ngapain, ini lagi meluk Fikri."'Huhuhu ....'Jantungku komat kamit nggak karuan. Dua puluh delapan tahun hidup, baru kali i
Pov aini***"Udah siap?"Aku membelalak menatap sosok yang selama ini begitu dingin berdiri di ambang pintu kamar. Dengan tergesa aku menarik cadar yang tergantung lalu mengikat kedua ujung talinya di belakang kepala. "Fikri gimana, Bang?" tanyaku sambil melangkah keluar."Panasnya udah turun, nanti biar ditemani Bik Ina aja. Adek piket kan hari ini?"Hah? Untuk kedua kalinya, mata ini ingin menyembul keluar. Kenapa Bang Sattar bisa tahu jika hari ini aku piket? Apa jangan-jangan selama ini dia juga tahu hari-hari dimana aku harus stand by di rumah sakit? Wah, berasa diperhatikan diam-diam."Pakeun neu khem-khem (Kenapa senyum-senyum)?" tanyanya lagi."Em ... hana sapue (nggak kenapa-kenapa), Bang. Aini ke kamar Fikri dulu ya. Mau sekalian pamit kerja."Secepat kilat aku menghilang di hadapan lelaki itu. Sampai di kamar Fikri, kututup pintu perlahan, ternyata benar bocah itu masih tertidur dan panas tubuhnya juga sudah turun.Melihat Fikri, hati tak henti ingin besyukur. Tersebab me
Pov Jibran"Aku memang pernah ingin berhenti mengiriminya surat. Tapi sangat sulit, membalas dan mengiriminya surat, seperti candu bagiku. Mungkinkah ini yang membuat-Mu menentang hubungan kami ya Allah?"***[Assalamualaikum, Ma.][Waalaikum Salam, Sayang. Telpon Mama kok lama sekali baru diangkat?][Tadi Jibran di kamar mandi, Ma. Mama apa kabar, sehat?][Alhamdulillah sehat. Kamu ya, kalau nggak Mama yang nelpon duluan, pasti deh lupa ....][Maaf Ma, beberapa hari ini sibuk banget.][Oh, kirain, Mama mau dilupain.][Ya nggak lah Ma.][Bran ....][Ya Ma?][Minggu depan, Mama mau ke Aceh.][Hah, ke Aceh? Ngapain Ma][Ya mau nengokin kamu lah. Mama kangen.][Mama ngapain capek-capek ke Aceh? Nanti biar Jibran aja yang pulang, kalau ada waktu luang, ya Ma.][Ya, tapi kapan, Bran? Masak nunggu lebaran?]Aku bergeming sejenak, sambil menghela napas. Nggak biasanya Mama berkeinginan begini, padahal sebelum ke Aceh, beberapa kali aku juga pernah ninggalin beliau. Cuma bedanya, kali ini bel
Pov Aini***Sudah lebih satu jam aku menunggu Bang Sattar di rumah sakit. Padahal berita terakhir yang kudapat, poli kebidanan hari ini tutup. Dikarenakan pihak rumah sakit tidak tahu jika Bang Sattar sudah sehat dan hari ini mulai kembali bekerja.Kesal berlapis-lapis menimpa dada.'Jika tempat yang seharusnya di tempati bang Sattar hari ini diliburkan, berarti kemana suamiku itu pergi? Apa sih susahnya memberitahu, padahal kami 'kan satu tempat kerja? Atau jika terlalu berat untuk bertemu langsung, seharusnya dia 'kan bisa mengabarkan melalui telpon? Uh! benar-benar kesal Aini sama Abang ...!' gerutuku dalam hati."Apa buatnya, semalam dan tadi pagi itu nggak berarti apa-apa?'Ah, pastinya memang nggak berarti. Bukankah sebelum bersamaku, dia sudah lebih dahulu hidup bahagia bersama seseorang. Lima tahun, bukan waktu yang singkat.. Apalah artinya kalau cuma tidur seranjang terus nggak ngapa-ngapain, atau kecupan singkat yang seperti memukul nyamuk! Ah, kenapa tiba-tiba jadi mencemb
Pov Sattar"Sebegitu besarkah cintanya pada Jibran, hingga perasaanku ia abaikan?"***Mungkin, permintaanku padanya agar pindah tempat kerja sangat berlebihan. Tapi ini demi kebaikan bersama. Bukan, lebih tepatnya demi aku. Aku tahu, Jibran masih sangat mencintainya, dan itu sangat mengganggu perasaan hatiku. Meski pernah mengabaikan, tapi kini aku ingin belajar mencintainya. Akan kuusahakan membahagiakan Aini dengan segala yang aku punya.***"Kenapa harus pindah, Bang?"Deg!Jantungku mulai berpacu kencang. Entah kenapa bisa secepat ini tubuhku bereaksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keinginanku."Apa karena Jibran?" tanyanya lagi.Aku memilih menatapnya tajam sambil terdiam. Dia menunduk."Aini udah nyaman Bang disitu, semuanya udah seperi saudara ...," keluhnya lirih.Kusandarkan kembali punggung pada kursi. Jantungku semakin berdetak cepat. Kuatur napas agar bisa memberi energi positif.Kuyakinkan diri bahwa ini bukan diriku, aku tak begini. Ini bukan aku. Aku harus
Pov AiniSudah hampir jam sebelas malam, tapi mata ini masih juga tidak mau terpejam. Pikiranku masih saja melanglang buana pada seorang lelaki yang berada di kamar sebelah. 'Sedang apa dirinya kini?'Tadi di meja makan, dia diam seribu bahasa. Tak lagi menatapku seperti yang beberapa hari ini kerap dilakukannya. Sampai nasi di dalam piringnya habis, tak ada satu katapun yang meluncur dari mulut lelaki itu. Sepertinya semua ini akibat dari ulahku. Pertama, karena aku tidak menyetujui keinginannya. Lebih parah lagi, aku membiarkannya menunggu seorang diri di rumah makan itu. Huh, padahal saat itu dia sedang kesal, tapi tetap aja turun saat ketemu rumah makan di pinggiran jalan. Harusnya aku tidak mempertahankan gengsiku, dia aja udah merendahkan dirinya.'Ya Allah, rasanya benar-benar kesal sama diri sendiri! Harusnya aku bisa berdamai dengan keinginannya, bukankah berjauhan dengan Jibran adalah suatu kebaikan? Lalu kenapa aku masih aja mempertahankan ego. Sungguh egois sikapku ini y
Pov Jibran *** Sekarang aku bagaikan gumpalan debu. Seolah hanya dirinya yang mampu merangkai kembali ragaku. Aku menjadi begitu rapuh Tanpanya, hatiku tak lagi utuh. *** "Sadaqallahul 'Adzim ...." Kututup mushaf di tangan, lalu mencium tangan mama dengan takzim. Wanita itu baru saja sampai di Aceh siang tadi. Bersyukur malam jumat kedua keberadaanku di kota ini, aku bisa kembali bertadarus bersama wanita yang hingga detik ini, masih menjadi yang nomar satu di hati. "Bran." Mama memanggilku lirih, aku yang hendak keluar dari mushalla berhenti sejenak. "Tiap malam jumat walau nggak ada Mama, masih rutin baca Al-Kahfi 'kan?" tanyanya sambil memerbaiki duduk. "Masih Ma." "Alhamdulillah. Masih ingatkan Bran, khasiat membaca surat Al Kahfi? Barang siapa membiasakan membaca surat Al Kahfi, kelak pada hari kiamat akan memancar cahaya dari bawah kaki. Dan yang paling utama adalah, diampuninya dosa-dosa yang terdapat diantara dua Jumat." Aku mengangguk. "Jibran ingat, Ma. Makany