Banda Aceh, Januari 2003***Namaku Hurun Aini. Statusku saat ini seorang istri, banyak orang mengistilahkan pernikahanku 'turun ranjang', tapi aku menyebutnya badal pengantin.Menjadi badal pengantin itu ada enaknya ada nggak enaknya. Enaknya itu, kalau kita membadalkan sebuah pernikahan yang dilandasi rasa cinta, dapat suami pengertian, ikhlas meminang dan menjadikan kita sebagai istrinya. Dan yang nggak enaknya itu, jika kita membadalkan sebuah pernikahan yang tidak dilandasi rasa cinta. Apalagi jika selama pernikahan, suami tidak pernah memenuhi kebutuhan bathin kita sebagai istrinya.Jika kebanyakan wanita mungkin akan meminta bercerai, tapi tidak denganku. Akadku diucapkan dihadapan Allah, dipersaksikan dan didoakan oleh malaikat. Demi Allah, aku akan menjaga pernikahan ini, kecuali jika dia 'suamiku' telah lebih dulu mengucap kata cerai.Inilah kisahku.***"Aini ... Aini ...."Suara itu ...Jibran ..."Aini ... Aini ...."***Mataku membulat sempurna, memandang pias langit-lan
Pov Sattar***Namaku Fathy Abdus Sattar, usiaku kini tiga puluh delapan tahun. Banyak orang menyebutku Macan Asia, mungkin karena kelihaianku dalam menyelesaikan setiap kasus di bawah lampu operasi. Saat ini aku tercatat sebagai dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banda Aceh.Hampir sepuluh tahun mengabdi, tak pernah ada pasien yang melayang ajalnya di tanganku. Semua berakhir bahagia. Kecuali satu, tiga tahun yang lalu, dia adalah wanita yang sangat kucintai.Hanna, istriku. Aku telah membunuhnya. Hanna, Dia meninggal di tanganku sendiri.Mungkin aku adalah lelaki paling bodoh di dunia. Istilah macan Asia itu tidak pantas lagi disematkan untukku. Benar, semua ini nggak adil! Berapa banyak aku telah menolong setiap jiwa yang tengah bertarung nyawa melahirkan bayinya ke dunia. Lalu kenapa? Kenapa Dia tak membiarkan istriku tetap bernapas, kenapa Dia membiarkan wanita yang begitu kucintai meregang nyawa di tanganku? Di tanganku?Lima tahun ya Allah
"Lapor, Dok. Ada pasien post SC dengan riwayat pre-eklampsia yang membutuhkan penanganan segera."Kuhentikan kegiatan menulis status pasien yang sedari tadi tengah kutekuni."Siapkan tindakan operasi. Lima menit lagi, saya kesana," ucapku sambil menutup dan merapikan segala berkas. "Oya, Aini sedang tidak sehat. Hari ini dia tidak bisa masuk. Tolong sampaikan ke ruangan."Bidan di hadapanku mengangguk, namun tak lekas pergi, justru kembali melempar suara. "Ehm ... Ehm ... Sebulan ditinggal, saat kembali malah kelelahan ya, Dok?"Mataku seketika menyorot tajam ke arah Bidan yang terkenal suka berguyon itu. "Permisi, Dok." Entah kenapa, melihatku menatapnya tegas, dia segera pamitan meninggalkan ruangan. Aku kembali merebahkan punggung pada sandaran kursi. Lalu menggerakkan kursi putar itu ke samping kiri. Tak jauh di depan, pada dinding yang bercat putih gading, sebuah cermin besar terpasang di atas wastafel.Aku bangkit dan melirik wajah dari kejauhan. "Apa maksud perkataan Kak Y
Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini."Sattar. ***Aku sampai di rumah tepat pukul sebelas malam. Rasa gerah yang menghujam tubuh menuntunku untuk segera mensucikan diri di bawah air pancuran. Harusnya tidak selarut ini aku pulang. Namun, kejutan dari teman-teman dalam rangka menyambut ulang tahunku, mengubah segala rencana. Ditambah lagi keharusan menangani pasien SC yang masuk secara dadakan. 'Huh benar-benar melelahkan.'Perlahan, kulangkahkan kaki menapaki teras rumah. Dengan pelan kubuka pintu masuk. Suasana tampak hening, pasti semua sudah tertidur. Tapi saat pintu rumah terbuka lebar, m
Pov Aini***"Makasih, ya."Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?"Makasih buat apa, Bang?""Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan.""Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat."Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.Huh!Aku persembahkan hidupku untukmuTelah ku relakan hatiku padamu.Namun kau-Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.Ciumlah, bibirku ini,Karena esok aku tak disini,Kulihat dari-Tut!Belum habis lagu istimew
Pov JibranNamaku Ayatullah Jibran Siddiq. Sudah lebih sepuluh tahun aku menimba ilmu di negeri orang, dan hari ini aku diberi kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di bumiku tercinta. Alasannya kerjaan, tapi sebenarnya bukan itu. Ada satu hal yang sangat menjadi pertimbanganku kembali ke Aceh. Karena dia, gadis yang selalu tersebut namanya di sepertiga malam."Aini, semoga kamu masih menungguku."***Pagi ini, adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit terbesar seluruh Aceh, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin. Antara semangat dan tidak. Dua hari yang lalu, begitu sampai di provinsi terujung Indonesia ini, tempat pertama yang kudatangi adalah Kota Lhokseumawe. Kota kelahiran Aini. Sangat besar harapanku dapat bertemu kembali dengannya. Entah kenapa, aku begitu yakin, bahwa dia masih menungguku."Aini dan keluarganya sudah lama pindah, Nak."Kepala desa kampung tempat kediaman Aini memberi kabar padaku. Aku sempat terhenyak, namun detik berikutnya mencoba berdamai dengan ke
Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."Fathy Abdus Sattar.Pov Sattar***Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang munta
Pov AiniSelepas kepergian Bang Sattar, aku mencoba memejamkan mata. Tapi sampai satu jam berlalu, mata ini tetap terus terbuka. Kucoba menghilangkan bayang dua lelaki yang terus menari-nari dalam benak. Andai boleh, aku memohon dengan sedalam-dalam permohonan, buatlah agar Jibran melupakanku ya Allah.Seberapapun aku pernah mencintainya, tetap saja semua itu masa lalu. Dan sekarang, meski Bang Sattar terus mencoba menyingkirkanku dari hidupnya, aku tetaplah istrinya. Bola mataku terasa hangat. Beberapa kali aku mengerjap, jika kubiarkan buliran ini berjatuhan, maka aku akan semakin lemah dan butuh sandaran. Kemana aku harus merebahkan diri ini, sementara bahu yang seharusnya kujadikan tempat bersandar masih dimiliki oleh Almarhum Kak Hanna.***Senja mulai tampak temaram di ufuk timur. Jalanan semakin ramai, lalu lalang kendaraan tampak menyemut di jalan utama depan Mesjid Baiturrahman. Di Balkon ini, aku memandang jauh ke salah satu puncak menara Mesjid."Ma, Fikri mau minum susu .