Banda Aceh, Januari 2003
***
Namaku Hurun Aini. Statusku saat ini seorang istri, banyak orang mengistilahkan pernikahanku 'turun ranjang', tapi aku menyebutnya badal pengantin.
Menjadi badal pengantin itu ada enaknya ada nggak enaknya. Enaknya itu, kalau kita membadalkan sebuah pernikahan yang dilandasi rasa cinta, dapat suami pengertian, ikhlas meminang dan menjadikan kita sebagai istrinya. Dan yang nggak enaknya itu, jika kita membadalkan sebuah pernikahan yang tidak dilandasi rasa cinta. Apalagi jika selama pernikahan, suami tidak pernah memenuhi kebutuhan bathin kita sebagai istrinya.
Jika kebanyakan wanita mungkin akan meminta bercerai, tapi tidak denganku. Akadku diucapkan dihadapan Allah, dipersaksikan dan didoakan oleh malaikat. Demi Allah, aku akan menjaga pernikahan ini, kecuali jika dia 'suamiku' telah lebih dulu mengucap kata cerai.
Inilah kisahku.
***
"Aini ... Aini ...."
Suara itu ...
Jibran ...
"Aini ... Aini ...."
***
Mataku membulat sempurna, memandang pias langit-langit kamar yang tampak remang. Napasku beradu cepat, dengan detak jantung yang dua kali lebih kencang. Sepertinya, guratan merah masih tampak memenuhi sklera. Entah berapa jam sudah aku tertidur, dan akhirnya mimpi itu kembali membangunkanku.
Mimpi yang kerap kali menghampiri tanpa dipanggil. Lalu, rentetan kilasan kenangan yang terjadi tiga belas tahun silam, bak video yang diputar ulang dimimpi itu. Kenangan yang sampai detik ini masih tak sepenuhnya terhapus dari ingatan. Lelaki itu, pemilik senyuman dan suara termerdu.
Jibran ...
Rasanya baru kemarin lelaki itu mengutarakan perasaannya. Namun kini, semua bagai mimpi yang harus berakhir di tengah jalan. Kutarik nafas sejenak, membangkitkan tubuh lalu meneguk segelas air yang ada di atas nakas. Entah kenapa, meski air digelas itu sudah habis, rasa haus ini tak jua reda.
Kugerakkan tubuh menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Lalu netra ini diajak menelisir seluruh ruangan kamar yang cukup luas.
Sunyi.
Kamar ini bahkan mampu menampung dua tempat tidur sekaligus. Namun kenyataannya, hanya ada satu tempat tidur, yang penghuninya tak pernah melepas hasrat, juga diam seribu bahasa jika sudah saling bersitatap.
Kenapa? Ah, aku lelah dengan pertanyaan itu. Andai bisa kupungkiri, lebih baik aku tidur beralaskan tikar, asal ada yang menemani. Dibandingkan memiliki tempat tidur mewah, namun lagi-lagi harus bertemankan bantal.
Bukankah aku seorang istri?
Kuhela napas sejenak. Berusaha mengusir pikiran buruk yang sejatinya sudah kuusahakan mendamaikannya setiap waktu. Tapi tetap saja, syetan kerap kali membisikkan kata-kata yang paling dibenci dalam sebuah pernikahan. 'Perceraian!'
Sedikit kupaksakan tubuh menuju balkon. Aku ingin menetralkan perasaan sembari menghirup udara segar di luar sana. Menikmati pemandangan yang langsung menghadap ke jalan utama Mesjid Raya Baiturrahman, biasanya bisa membuat perasaanku tenang.
Bagiku, di kota ini tidak ada tempat seindah dan sedamai Mesjid Baiturrahman di kondisi malam hari. Kubah yang menjulang tinggi, dipenuhi lampu yang berpendarkan cahaya kekuningan. Teramat indah dengan sebuah kolam kecil yang dikelilingi air mancur. Mesjid ini adalah tempatku mencurahkan kegelisahan.
Sepuluh menit mengedar pandang, ke seluruh penjuru mesjid, tiba-tiba manik mataku bergerak cepat saat sebuah Toyota Yaris berhenti tepat di depan pagar rumah. Tak lama, satpam yang tadi terlihat duduk di pos jaga, bergegas membukakan pintu gerbang.
Lantas mobil berwarna silver itu perlahan memasuki halaman yang juga begitu luas.
Dia, suamiku. Fathy Abdus Sattar. Lelaki yang tahun ini genap berusia tiga puluh delapan tahun itu, adalah seorang dokter supesialis OBGIN di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banda Aceh.
Kami menikah tiga tahun yang lalu. Penikahan sederhana, tanpa pesta mewah, juga pakaian pengantin terindah, ataupun bulan madu ke hotel berbintang.
Bersamanya, tidak bisa dikatakan aku menderita. Sebab semua kebutuhan jasmaniku ia penuhi dengan baik. Tapi juga bukan merupakan pernikahan yang sempurna, karena ada satu kebutuhan normal seorang istri yang tidak ia penuhi untukku. Yaitu kebutuhan bathinku.
Mungkin, akulah salah satu wanita berhati bidadari. Tiga tahun pernikahan kami, aku masih bertahan meski dia tak pernah sekalipun menyentuhku, walau hanya sebuah kecupan. Padahal aku tak pernah melakukan suatu kesalahan apapun. Apalagi sesuatu seperti yang tersebut dalam Quran surah An-Nisa', 'Nusyuz'.
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisa’: 34)
Demi Allah, aku tak pernah nusyuz apalagi membangkang pada suamiku.
Di awal pernikahan, dia membuat peraturan yang tidak bisa diterima oleh akal pikiranku sebagai wanita normal.
Peraturan pertama, kamar pengantin menjadi milikku seutuhnya, namun aku tidak boleh tertidur di kamar anaknya. Padahal saat itu aku setiap malam bertugas menidurkan Fikri yang masih bayi.
Peraturan kedua, foto pernikahanku boleh diletakkan di tempat manapun di rumah ini, kecuali di kamar Fikri.
Peraturan ketiga, aku boleh menyentuh barang apapun kepunyaan, kecuali koper bajunya.
Peraturan terakhir, dan menurutku ini adalah peraturan yang paling dibenci oleh malaikat juga dilaknat oleh Sang Pemilik Kehidupan. Aku harus tidur sendirian. Hiks ... Untuk berapa lama? Untuk batas waktu yang tidak dapat ditentukan.
Saat itu, duniaku bagai kejatuhan meteor. Hancur! Sebegitu tak inginkan dia pada pernikahan ini?Rasanya ingin pergi dari rumahnya saat itu juga. Tapi, inilah rumahku kini.
Setelah empat bulan bersamanya, aku memberanikan diri bertanya, apa alasannya menjauhiku. Tapi untuk kesekian kali ia mengacuhkan dan tak memberi jawaban yang membuat hati ini lega. Suatu ketika bahkan aku terlihat seperti seorang hakim dalam sidang pengadilan. Kataku padanya,
"Abang pernah dengar nggak, jika seorang suami mendiamkan istrinya di atas tempat tidur lebih dari empat bulan, sengaja menelantarkan, tanpa ada keteledoran istrinya untuk menunaikan hak-hak suami, maka suami tersebut berada di bawah hukum pengadilan, meskipun tidak bersumpah, disetarakan dengan hukum ilaa’ (bersumpah tidak mau mensetubuhi istrinya)?"
Dia bergeming.
Kukatakan lagi, "Kalau selama empat bulan suami tersebut belum juga kembali kepada istrinya dan menggaulinya dari qubul, padahal dia mampu melakukannya, tidak pada masa haid dan nifasnya, maka suami itu disuruh untuk menceraikannya, Bang. Namun jika dia menolak untuk kembali kepada istrinya dan tidak mau menceraikannya, maka hakim yang menceraikannya atau membatalkan pernikahan itu, jika pihak wanita memintanya demikian."
Saat itu, matanya menyorotku tajam, kulihat dia benar-benar terengah-engah menahan napas. Namun secepat kilat ia pergi, menghilang dari pandanganku.
Setelah hari itu, aku menyerah. Tak pernah lagi kupermasalahkan tentang kewajibannya memenuhi hakku sebagai istri.
Biarlah, perlahan. Aku tahu posisinya saat ini. Dia menikahiku karena terlanjur berjanji pada almarhum Kakak. Juga sebagai wujud rasa hormatnya pada ibu yang pernah menjadi mertuanya.
Tapi, tidakkah dia tahu, disini akupun sudah mengorbankan perasaanku. Cintaku, pengharapanku. Segalanya, demi, dia. Dan rumah tangga ini.
***
Kuhela napas panjang. Mengingat hal itu hanya akan menambah deretan luka yang hingga kini belum terobati secara sempurna.
Kembali mata ini menatap sosok berkharima yang kini nampak keluar dari mobil. Saat kaki jenjangnya menginjak teras, mata Bang Sattar terlempar padaku yang masih berdiri di balkon. Sejenak netra kami saling bertemu. Sebelum akhirnya, ia kembali meluruskan pandangan dan berjalan memasuki rumah.
Kucoba menata perasaan, entah kapan mata lelaki itu bisa kutatap dengan leluasa. Entah kapan aku bisa menempelkan hidungku pada hidung mancungnya sambil membuka mata lebar-lebar.
Entah kapan?
Perasaanku kembali fokus. Sambil terpejam, aku bisa merasakan langkahnya telah menaiki tangga. Tiap kali kakinya menyentuh lantai, degup jantungkupun ikut tersentak.
Dia semakin dekat.
Sangat dekat.
Kini kami hanya terhalang pintu.
Dia berhenti beberapa detik, sebelum akhirnya.
Mataku terbuka, seiring kehadirannya diambang pintu.
Bang Sattar menghentikan langkah saat mendapatiku tengah berdiri di balkon. Hanya menatap, tanpa tersenyum, ia melangkah masuk.
Kubuang semua pikiran buruk dan rasa perih yang tiba-tiba memasuki jiwa. Langkahku kini berjalan mendekati lelaki itu yang tampak meletakkan kopernya di depan ranjang.
“Abang kok nggak kabari Aini pulang malam ini?” ucapku sembari melangkah masuk.
Bang Sattar bergeming. Lalu dengan berpakaian lengkap dia berjalan ke kamar mandi. Seperti biasa, untuk mencuci tangan. Sebelum membuka pintu, lelaki itu berhenti sejenak.
"Harusnya besok pagi, tapi ternyata pihak penanggung jawab pelatihan, sudah memesan tiket malam ini."
Entah dengan siapa lelaki itu berbicara, karena selama ini dia tak pernah melihatku saat mengucapkan sesuatu.
Apa dia pikir aku ini tembok? Huh!
Perlahan, pintu kamar mandi terbuka. Ia menghilang dibaliknya.
Kurebahkan tubuh di atas ranjang, lalu menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuh.
'Nggak ada gunanya juga menunggui Bang Sattat keluar, paling cuma ambil baju lalu ke kamar Fikri!'
Sepuluh menit berlalu, mataku masih buka tutup di dalam selimut.
Terdengar, suara pintu kamar mandi terbuka. Bang Sattar keluar lalu berhenti di depan lemari, mengambil baju tidurnya. Lalu ia kembali melangkah. Tepat di depan ranjang, ia berhenti. Menatap ke arahku yang masih berbalut selimut.
Hanya beberapa detik, selanjutnya lelaki dingin itu kembali meneruskan langkah. Dan pintu kamarpun kembali tertutup.
'Kamu pergi lagi 'kan, Bang? Apa hanya Fikri yang engkau rindukan di rumah ini? Tidakkah kamu ingat ada seorang wanita disisimu yang tak pernah tersentuh? Seminggu lebih kamu pergi, aku tak harapkan kecupan, hanya menggenggam tanganmu lalu meletakkannya di dahi. Hanya itu Bang?'
Kegalauan semakin membuat adrenalinku meningkat. Berkali-kali pula aku mengucap istighfar dalam hati. Mencoba mengusir amarah dan air mata yang berlomba-lomba menggoyahkan ketegaranku selama ini.
Setelah Bang Sattar keluar dari kamar, aku bangkit dari ranjang. Sepertinya Bang Sattar melupakan kopernya. Ia melupakan sesuatu yang selama ini diharamkannya untuk kusentuh.
Segera kubuka koper itu.
'Benda begini, bukan seharusnya benda ini tak lebih istimewa dari cincin perkawinan kami? Kenapa Bang Sattar amat menjaganya dariku?'
Cepat-cepat kubuka benda itu, takut ia kembali dan menemukanku tengah menyentuh barangnya yang paling istimewa.
Setelah kopernya terbuka, mataku membelalak. Sebuah foto wanita cantik tergeletak indah diatas susunan baju Bang Sattar.
“Kak Hanna?”
Dadaku terasa begitu sesak. Jika bisa menghentikan denyut ini, aku ingin menghentikannya sejenak.
'Jadi ini alasannya, Bang? Aku tidak melarangmu mengingat Kakak. Tapi lihat aku Bang, bukankah aku kini istrimu?'
***
Bersambung
Pov Sattar***Namaku Fathy Abdus Sattar, usiaku kini tiga puluh delapan tahun. Banyak orang menyebutku Macan Asia, mungkin karena kelihaianku dalam menyelesaikan setiap kasus di bawah lampu operasi. Saat ini aku tercatat sebagai dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Banda Aceh.Hampir sepuluh tahun mengabdi, tak pernah ada pasien yang melayang ajalnya di tanganku. Semua berakhir bahagia. Kecuali satu, tiga tahun yang lalu, dia adalah wanita yang sangat kucintai.Hanna, istriku. Aku telah membunuhnya. Hanna, Dia meninggal di tanganku sendiri.Mungkin aku adalah lelaki paling bodoh di dunia. Istilah macan Asia itu tidak pantas lagi disematkan untukku. Benar, semua ini nggak adil! Berapa banyak aku telah menolong setiap jiwa yang tengah bertarung nyawa melahirkan bayinya ke dunia. Lalu kenapa? Kenapa Dia tak membiarkan istriku tetap bernapas, kenapa Dia membiarkan wanita yang begitu kucintai meregang nyawa di tanganku? Di tanganku?Lima tahun ya Allah
"Lapor, Dok. Ada pasien post SC dengan riwayat pre-eklampsia yang membutuhkan penanganan segera."Kuhentikan kegiatan menulis status pasien yang sedari tadi tengah kutekuni."Siapkan tindakan operasi. Lima menit lagi, saya kesana," ucapku sambil menutup dan merapikan segala berkas. "Oya, Aini sedang tidak sehat. Hari ini dia tidak bisa masuk. Tolong sampaikan ke ruangan."Bidan di hadapanku mengangguk, namun tak lekas pergi, justru kembali melempar suara. "Ehm ... Ehm ... Sebulan ditinggal, saat kembali malah kelelahan ya, Dok?"Mataku seketika menyorot tajam ke arah Bidan yang terkenal suka berguyon itu. "Permisi, Dok." Entah kenapa, melihatku menatapnya tegas, dia segera pamitan meninggalkan ruangan. Aku kembali merebahkan punggung pada sandaran kursi. Lalu menggerakkan kursi putar itu ke samping kiri. Tak jauh di depan, pada dinding yang bercat putih gading, sebuah cermin besar terpasang di atas wastafel.Aku bangkit dan melirik wajah dari kejauhan. "Apa maksud perkataan Kak Y
Mataku kini justru menerawang jauh ke depan. Tepat di dinding yang berhadapan dengan ranjang, foto pernikahanku dengan Aini yang ukurannya begitu besar, terpajang dengan indah. Hanya di kamar ini, foto itu duduk dengan manis. Aku melarangnya memajang foto-foto kami di luar sana. Memang kalau dilihat-lihat, Aini seperti melampiaskan hawa nafsunya, semua foto mulai dari ukuran dompet hingga ukuran sebesar pintu pun ada di kamar ini."Sattar. ***Aku sampai di rumah tepat pukul sebelas malam. Rasa gerah yang menghujam tubuh menuntunku untuk segera mensucikan diri di bawah air pancuran. Harusnya tidak selarut ini aku pulang. Namun, kejutan dari teman-teman dalam rangka menyambut ulang tahunku, mengubah segala rencana. Ditambah lagi keharusan menangani pasien SC yang masuk secara dadakan. 'Huh benar-benar melelahkan.'Perlahan, kulangkahkan kaki menapaki teras rumah. Dengan pelan kubuka pintu masuk. Suasana tampak hening, pasti semua sudah tertidur. Tapi saat pintu rumah terbuka lebar, m
Pov Aini***"Makasih, ya."Mataku yang masih memerhatikan Fikri masuk ke pekarangan sekolahnya seketika beralih. Tak percaya, benarkah Bang Sattar mengucapkan terima kasih padaku?"Makasih buat apa, Bang?""Kue ulang tahun dan menu spesial di atas meja makan.""Allahu Rabbi, sebenarnya apa yang Engkau mimpikan pada lelaki ini tadi malam ya, Rabb. Udah diijinkan semobil dengannya, sekarang malah diberi ucapan terima kasih. Hahaha ... benarkah ia mulai luluh?" jerit batinku kuat-kuat."Abang suka?" tanyaku sambil kini memerhatikan gerak tangannya.Dia terdiam, tak menoleh, tak juga menjawab. Tangannya justru sibuk menghidupkan music pada head unit. Pasti yang barusan itu, dia salah berucap.Huh!Aku persembahkan hidupku untukmuTelah ku relakan hatiku padamu.Namun kau-Seketika Bang Sattar gelagapan mengganti channel. Kurasa dia risih mendengar lagu yang mencerminkan dirinya. Lagu berikutnya.Ciumlah, bibirku ini,Karena esok aku tak disini,Kulihat dari-Tut!Belum habis lagu istimew
Pov JibranNamaku Ayatullah Jibran Siddiq. Sudah lebih sepuluh tahun aku menimba ilmu di negeri orang, dan hari ini aku diberi kesempatan untuk kembali menginjakkan kaki di bumiku tercinta. Alasannya kerjaan, tapi sebenarnya bukan itu. Ada satu hal yang sangat menjadi pertimbanganku kembali ke Aceh. Karena dia, gadis yang selalu tersebut namanya di sepertiga malam."Aini, semoga kamu masih menungguku."***Pagi ini, adalah hari pertamaku bekerja di rumah sakit terbesar seluruh Aceh, Rumah Sakit Umum Daerah Zainoel Abidin. Antara semangat dan tidak. Dua hari yang lalu, begitu sampai di provinsi terujung Indonesia ini, tempat pertama yang kudatangi adalah Kota Lhokseumawe. Kota kelahiran Aini. Sangat besar harapanku dapat bertemu kembali dengannya. Entah kenapa, aku begitu yakin, bahwa dia masih menungguku."Aini dan keluarganya sudah lama pindah, Nak."Kepala desa kampung tempat kediaman Aini memberi kabar padaku. Aku sempat terhenyak, namun detik berikutnya mencoba berdamai dengan ke
Setelah doa berhasil kubaca, Aini memejamkan matanya. Mungkin dia berharap aku mencium keningnya. Tapi aku tak melakukan hal itu. Aku hanya mengelus pipi, lalu pergi meninggalkan Aini di kamar pengantin kami seorang diri. Maafkan aku."Fathy Abdus Sattar.Pov Sattar***Aini terkapar di atas ranjang. Sejak sejam lalu aku mengantarnya pulang, lebih dari lima kali dia muntah. Dasar wanita, udah tau sakit parah gitu, dibawa ke dokter malah nolak. Ah, obatpun maunya cuma minum jintan hitam. Padahal kalau sudah dalam keadaan begini, harusnya minum sejenis domperidone dan obat lambung lainnya.'Aini memang aneh. Dia tak seperti Hanna yang nurut aja kalau disuruh minum obat. Padahal seharusnya, Aini yang notabene seorang bidan lebih paham obat-obatan, sebagaimana ia mengobati pasien-pasien. Tapi, ini?' gerutuku terus dalam hati sambil meremas-remas jemari.Bik Ina keluar masuk kamar Aini untuk mengambil segala yang gadis itu perlukan. Membawa air putih hangat, mengurut, hingga membuang munta
Pov AiniSelepas kepergian Bang Sattar, aku mencoba memejamkan mata. Tapi sampai satu jam berlalu, mata ini tetap terus terbuka. Kucoba menghilangkan bayang dua lelaki yang terus menari-nari dalam benak. Andai boleh, aku memohon dengan sedalam-dalam permohonan, buatlah agar Jibran melupakanku ya Allah.Seberapapun aku pernah mencintainya, tetap saja semua itu masa lalu. Dan sekarang, meski Bang Sattar terus mencoba menyingkirkanku dari hidupnya, aku tetaplah istrinya. Bola mataku terasa hangat. Beberapa kali aku mengerjap, jika kubiarkan buliran ini berjatuhan, maka aku akan semakin lemah dan butuh sandaran. Kemana aku harus merebahkan diri ini, sementara bahu yang seharusnya kujadikan tempat bersandar masih dimiliki oleh Almarhum Kak Hanna.***Senja mulai tampak temaram di ufuk timur. Jalanan semakin ramai, lalu lalang kendaraan tampak menyemut di jalan utama depan Mesjid Baiturrahman. Di Balkon ini, aku memandang jauh ke salah satu puncak menara Mesjid."Ma, Fikri mau minum susu .
Pov jibran...Kau bilang, suatu saat kita pasti bisaBisa saling mencintai dengan halal.Bersama sampai tua.Bersatu hingga terpisahkan maut.Kau bilang, aku hanya harus perkuat doa dan harapan.Suatu saat Allah pasti akan mengabulkan.Tapi kenyataannya, kini, kau bersamanya...Apa yang tertinggal untukku, rindu yang kusam? Cinta yang terbuang? Air mata, lara?Jika masih ada ruang di hatimu untukku, sedikit saja.Bicaralah, katakan mengapa semua bisa begini?***Kugenggam erat hijab warna pink muda yang ada di tangan. Lalu membekap kuat ke dada. Seolah ini menjadi penawar sekian resah yang timbul karenanya. Hijab ini, hijab kepunyaan Aini. Sengaja puluhan tahun yang lalu tak kukembalikan pada pemiliknya. Ia marah saat aku malah memberikan jilbab yang baru, serupa namun tak sama sebagai ganti jilbab ini."Ini bukan jilbab ana. Akhy kemanakan jilbab ana?"Suaranya menderu di telpon, sesaat ketika aku baru saja sampai di rumah setelah mengembalikan jilbabnya di pintu pagar."Maaf, ko
Pov Sattar"Malam ini, kami terus bersama, menghabiskan dua belas jam dengan terus nengungkapkan perasaan. Aku hanya ingin tersenyum, menumpahkan segala rasaku, setelah tiga tahun membeku. Yang kutahu kini, bersamanya hanya akan ada warna, bukan kegelapan juga kesamaran. I Love You, Aini."***Kami sampai di rumah pukul dua belas siang, saat matahari tengah tepat berada di atas kepala. Sesampai di garasi, aku kembali menggendong Fikri yang sudah membukakan matanya. Namun, masih nampak begitu lelah. Aku dan Aini berjalan bersisian memasuki rumah. Terus menaiki tangga, hingga berhenti tepat di depan kamar gadis itu. "Mandilah, dulu. Terus istirahat. Biar nggak kecapean," pesanku padanya yang ia jawab dengan anggukan kepala. Sudah dua kali kami begini, berakhir dengan perpisahan di depan kamar. Apa yang dia rasa, aku memang tidak mampu membaca. Tapi yang kurasa saat ini, jelas ada sesuatu yang membuat dada ini berdenyut. Jika diluar kami memang harus berpisah, tapi tidak jika di rumah
Selepas kepergian Bang Sattar ke Mesjid, kurebahkan tubuh di atas ranjang. Membayangkan kembali apa yang telah kami lewati bersama mulai dari semalam hingga pagi ini. 'Ya Allah, benarkah hamba sedang tidak bermimpi? Hamba ingin selamanya begini ya Allah, tidak hanya untuk satu atau dua malam?'Kembali, mata ini terpejam. Lelaki itu, ah, dia ... dia. Dia yang membuat darahku seakan berhenti mengalir. Dia yang membuat jantungku bertabuh tidak karuan. Dia ya Allah, dia yang telah memiliki seutuhnya hati ini. Tolong, sempurnakanlah pula kehadiranku dihatinya. Hanya aku ...Tak terasa pelupuk mata ini mulai dipenuhi cairan, kukucek-kucek beberapa kali agar tak ada setitikpun cairan itu berderai. Kini aku justru tersenyum sambil memandangi wajah Fikri. "Kamu ingin punya Adik nggak, Sayang? Doakan Mama ya, biar bisa segera kasih kamu, Adik."Aku menenggelamkan wajah pada bantal. Malu!'Semalam aja yang nggak sampai berbuat apa-apa, tapi sampai subuh mata ini nggak bisa terpejam. Gimana lag
Pov JibranLama aku menatap kertas yang diberikan Mama, sedikit terhenyak saat mendapati alamat yang sama antara yang tertera di KTP gadis bercadar tadi, dengan alamat yang ada pada kertas ini. Sepertinya tidak salah lagi, Nurul Aina yang mama maksud adalah gadis bercadar yang tadi bertabrakan denganku di Cafe Kenapa bisa kebetulan begini? Sepuluh menit perjalanan, kami sampai disebuah rumah kos semi permanen. Suasananya sepi, karena memang ini adalah waktu tengah hari. Sudah tentu mahasiswa yang menempati rumah kosan di wilayah ini, masih sibuk dengan berbagai tugas di kampus masing-masing. Mama meneruskan langkah hingga sampai pada rumah bercat hijau. Sambil memperbaiki jilbab, ia mengetuk pintu kayu bercat cream. "Assalamualaikum," ucap Mama memberi salam. Tak lama, pintu kayu rumah itupun terbuka. Seorang gadis bercadar dengan setelan rok plus baju selutut, tampak dibalik daun pintu.Aku melihatnya dengan sesama. Matanya? Benar, ini gadis yang tadi kutemui di Cafe. Dompetnya?
Pov sattar"Badannya panas, air mata mengalir di kedua sudut. Kurasa dia demam karena terlalu lama memakai gamis dan hijab yang basah oleh hujan. Tapi aku bersyukur, karena dia sakit, aku bisa menemaninya. Dan malam itu menjadi malam pertama kami."***Kami berpisah di depan kamarnya. Masih canggung, harusnya aku langsung masuk ke kamar itu, tapi rasa sungkan menuntunku untuk melepas tangan Aini, dan membiarkan dia masuk ke kamarnya sendiri. Sedang aku, seperti biasa, memilih mandi dan mengganti pakaian di kamar Fikri."Sepertinya Fikri masih tidur, biar nanti Abang yang urusin. Kamu ganti pakaian terus, biar nggak masuk angin."Ucapanku ditanggapinya dengan anggukan, dan helaan napas. Lalu dengan tak semangat dia berbalik dan mamasuki kamarnya.Huh!Ada yang begitu menyesaki dada, andai aku bisa bersikap normal padanya, pasti malam ini kami menghabiskan malam berdua. Apalagi hujan begini, pasti begitu syahdu.Ah! Kugeleng-gelengkan kepala, membuang pikiran aneh yang hendak mampir di
Pov Jibran *** Sekarang aku bagaikan gumpalan debu. Seolah hanya dirinya yang mampu merangkai kembali ragaku. Aku menjadi begitu rapuh Tanpanya, hatiku tak lagi utuh. *** "Sadaqallahul 'Adzim ...." Kututup mushaf di tangan, lalu mencium tangan mama dengan takzim. Wanita itu baru saja sampai di Aceh siang tadi. Bersyukur malam jumat kedua keberadaanku di kota ini, aku bisa kembali bertadarus bersama wanita yang hingga detik ini, masih menjadi yang nomar satu di hati. "Bran." Mama memanggilku lirih, aku yang hendak keluar dari mushalla berhenti sejenak. "Tiap malam jumat walau nggak ada Mama, masih rutin baca Al-Kahfi 'kan?" tanyanya sambil memerbaiki duduk. "Masih Ma." "Alhamdulillah. Masih ingatkan Bran, khasiat membaca surat Al Kahfi? Barang siapa membiasakan membaca surat Al Kahfi, kelak pada hari kiamat akan memancar cahaya dari bawah kaki. Dan yang paling utama adalah, diampuninya dosa-dosa yang terdapat diantara dua Jumat." Aku mengangguk. "Jibran ingat, Ma. Makany
Pov AiniSudah hampir jam sebelas malam, tapi mata ini masih juga tidak mau terpejam. Pikiranku masih saja melanglang buana pada seorang lelaki yang berada di kamar sebelah. 'Sedang apa dirinya kini?'Tadi di meja makan, dia diam seribu bahasa. Tak lagi menatapku seperti yang beberapa hari ini kerap dilakukannya. Sampai nasi di dalam piringnya habis, tak ada satu katapun yang meluncur dari mulut lelaki itu. Sepertinya semua ini akibat dari ulahku. Pertama, karena aku tidak menyetujui keinginannya. Lebih parah lagi, aku membiarkannya menunggu seorang diri di rumah makan itu. Huh, padahal saat itu dia sedang kesal, tapi tetap aja turun saat ketemu rumah makan di pinggiran jalan. Harusnya aku tidak mempertahankan gengsiku, dia aja udah merendahkan dirinya.'Ya Allah, rasanya benar-benar kesal sama diri sendiri! Harusnya aku bisa berdamai dengan keinginannya, bukankah berjauhan dengan Jibran adalah suatu kebaikan? Lalu kenapa aku masih aja mempertahankan ego. Sungguh egois sikapku ini y
Pov Sattar"Sebegitu besarkah cintanya pada Jibran, hingga perasaanku ia abaikan?"***Mungkin, permintaanku padanya agar pindah tempat kerja sangat berlebihan. Tapi ini demi kebaikan bersama. Bukan, lebih tepatnya demi aku. Aku tahu, Jibran masih sangat mencintainya, dan itu sangat mengganggu perasaan hatiku. Meski pernah mengabaikan, tapi kini aku ingin belajar mencintainya. Akan kuusahakan membahagiakan Aini dengan segala yang aku punya.***"Kenapa harus pindah, Bang?"Deg!Jantungku mulai berpacu kencang. Entah kenapa bisa secepat ini tubuhku bereaksi terhadap hal-hal yang bertentangan dengan keinginanku."Apa karena Jibran?" tanyanya lagi.Aku memilih menatapnya tajam sambil terdiam. Dia menunduk."Aini udah nyaman Bang disitu, semuanya udah seperi saudara ...," keluhnya lirih.Kusandarkan kembali punggung pada kursi. Jantungku semakin berdetak cepat. Kuatur napas agar bisa memberi energi positif.Kuyakinkan diri bahwa ini bukan diriku, aku tak begini. Ini bukan aku. Aku harus
Pov Aini***Sudah lebih satu jam aku menunggu Bang Sattar di rumah sakit. Padahal berita terakhir yang kudapat, poli kebidanan hari ini tutup. Dikarenakan pihak rumah sakit tidak tahu jika Bang Sattar sudah sehat dan hari ini mulai kembali bekerja.Kesal berlapis-lapis menimpa dada.'Jika tempat yang seharusnya di tempati bang Sattar hari ini diliburkan, berarti kemana suamiku itu pergi? Apa sih susahnya memberitahu, padahal kami 'kan satu tempat kerja? Atau jika terlalu berat untuk bertemu langsung, seharusnya dia 'kan bisa mengabarkan melalui telpon? Uh! benar-benar kesal Aini sama Abang ...!' gerutuku dalam hati."Apa buatnya, semalam dan tadi pagi itu nggak berarti apa-apa?'Ah, pastinya memang nggak berarti. Bukankah sebelum bersamaku, dia sudah lebih dahulu hidup bahagia bersama seseorang. Lima tahun, bukan waktu yang singkat.. Apalah artinya kalau cuma tidur seranjang terus nggak ngapa-ngapain, atau kecupan singkat yang seperti memukul nyamuk! Ah, kenapa tiba-tiba jadi mencemb
Pov Jibran"Aku memang pernah ingin berhenti mengiriminya surat. Tapi sangat sulit, membalas dan mengiriminya surat, seperti candu bagiku. Mungkinkah ini yang membuat-Mu menentang hubungan kami ya Allah?"***[Assalamualaikum, Ma.][Waalaikum Salam, Sayang. Telpon Mama kok lama sekali baru diangkat?][Tadi Jibran di kamar mandi, Ma. Mama apa kabar, sehat?][Alhamdulillah sehat. Kamu ya, kalau nggak Mama yang nelpon duluan, pasti deh lupa ....][Maaf Ma, beberapa hari ini sibuk banget.][Oh, kirain, Mama mau dilupain.][Ya nggak lah Ma.][Bran ....][Ya Ma?][Minggu depan, Mama mau ke Aceh.][Hah, ke Aceh? Ngapain Ma][Ya mau nengokin kamu lah. Mama kangen.][Mama ngapain capek-capek ke Aceh? Nanti biar Jibran aja yang pulang, kalau ada waktu luang, ya Ma.][Ya, tapi kapan, Bran? Masak nunggu lebaran?]Aku bergeming sejenak, sambil menghela napas. Nggak biasanya Mama berkeinginan begini, padahal sebelum ke Aceh, beberapa kali aku juga pernah ninggalin beliau. Cuma bedanya, kali ini bel